sannflowers


Mereka tiba di restoran bernuansa Eropa, melewati tiap-tiap furnitur kayu yang disusun secara cantik, dan lampu-lampu chandelier mini yang tergantung di tiap meja. Dua orang itu berjalan menuju balkon di mana suasananya jauh lebih tenang. Disambut hangat oleh cahaya kota di bawah sana, dan hamparan bintang di atas langit, mereka berkelip bagaikan peri yang menari-nari memberikan keajaiban pada malam yang penuh memori.

Shaka, dengan balutan suit berwarna abu-abu dan rambut yang ia style brushed on top, sehingga menampakkan seluruh jidatnya, terlihat manly dan sangat tampan, persis seperti duplikat Abian semasa muda dulu.

Lelaki itu menggandeng tangan Diandra, yang terlihat sangat anggun dengan sentuhan dress pemberiannya, rambutnya ia ikat setengah dengan satu jepitan manis bermanik-manik mutiara cantik, terjepit pada ikatan rambut panjangnya. Diandra membawa satu bucket bunga lily putih yang tadi siang ia beli.

“Bener kan kata aku,” celetuk Shaka tiba-tiba, seraya menarik kursi untuk Diandra duduki. “Apa?” Diandra menoleh, membeku merasakan deru napas Shaka yang mendekat di antara telinga dan lehernya, sebelum lelaki itu berbisik, “Kamu cantik.”

Ini bukan pertama kalinya Shaka memuji Diandra, bahkan sudah ribuan kali ia mengucapkan kata cantik kepadanya. Tapi malam itu, tidak seperti biasanya. Ada aliran listrik yang seakan menjalar di seluruh tubuh Diandra begitu suara Shaka masuk melewati kedua telinganya, lidahnya terasa kelu, ia menggigit bibir mati-matian menahan senyum.

“Diem.” jawabnya singkat salah tingkah, lalu duduk sambil menarik dasi yang dikenakan Shaka, hingga terlihat berkerut tidak rapi. “Ih, Ara! Benerin!” “No, punishment.” “Dih, aku ngapain emang?!” tanya Shaka tidak terima, masih berdiri di sebelah Diandra dengan bibir mengerucut. Diandra terkekeh, “Please sit in your chair, sir.” Lelaki itu mengalah, pergi menuju kursinya, berjalan menunduk sambil merapikan dasinya sendiri.

“Ini kamu yang pilih tempatnya?” tanya Diandra setelah mereka sudah sama-sama duduk di kursi masing-masing, saling berhadapan. “Iya, bagus kan?” “Baguuus! aku speechless dulu tadi lima detik pas liat ke bawah, banyak lampu-lampu, terus liat ke atas banyak bintang! Aku ngga mau pulang kita yang lama dong disini.” Diandra berbicara dengan napas tersengal, perempuan itu memang selalu berbicara tanpa jeda mengambil napas kalau sedang antusias. “Kita kayak lagi di Paris tau hahaha.”

Shaka mendengarkannya dengan raut wajah berseri, menyuarakan tawa kecilnya di sepanjang Diandra berbicara dengan antusiasnya yang menggebu. Seraya mengangguk pada pelayan yang membawa satu karaf anggur dan menuangkannya ke dalam gelas. Anggur yang mengkilap ditimpa cahaya lilin, rasa hangat mengalir dari kerongkongan begitu diteguk, menyembuhkan tulang belulang yang kedinginan dari sapaan angin malam.

“Jangan banyak-banyak.” ucap Shaka memperingatkan, begitu melihat Diandra menghabiskan setengah gelas dalam sekali teguk, “Kamu ngga terlalu bisa minum.” Lalu meraih satu gelas wine di tangan Diandra, dan meneguk sisanya hingga habis.

Alunan melodi dari piano mulai mengisi keheningan malam dengan teduh begitu hidangan tiba. Mengalunkan salah satu lagu pilihan Diandra, through the arbor, yang sepertinya belum disadari oleh gadis itu. Dirinya sekarang sibuk memotong daging steak di atas piring.

“Kalo ayah sama bunda anniv, kita tuh jarang bikin acara di luar kayak gini, paling sesekali aja,” ujar Diandra seraya menyuap hidangannya, “Aku biasanya lebih makan-makan terus masak yang aneh-aneh gitu di rumah, eh, maksudnya aneh tuh bukan makanan yang biasa dimasak sehari-hari, ya makanan yang rada mewah lah bahasa lebay-nya.”

Walau matanya tertuju pada potongan daging di atas piringnya, Shaka memasang telinganya baik-baik terhadap celotehan Diandra, sesekali memberi anggukan di tiap jeda bicaranya, memberi tanda bahwa ia sedang mendengarkan.

“Terus, tiap hari h, pasti aku sama Kak Theo udah di-booking dari jauh-jauh hari biar tetep di rumah, ngga boleh ada acara pergi-pergi.” sambungnya lagi sambil tertawa. “Tapi ya udah sih gitu doang, ngga ada yang seru.”

“Seru, kumpul sama keluarga tuh asik tau ra, walau emang ngga ada kegiatan yang gimana-gimana. Cause they are home, you always feel safe with them.” balas Shaka. “Ngga semua orang punya waktu quality time sama keluarga, so, selama kamu punya itu, you should cherish the moment.”

Diandra mengangguk setuju.

“Kalo kamu? ada cerita apa? aku mau denger dong!” tanya Diandra lagi, setelah menyuap suapan terakhirnya.

Setelah sama-sama mengosongkan piringnya, Shaka mengeluarkan handycam dari balik saku jasnya, yang berisikan satu memori lama yang belum sempat ia tunjukkan pada Diandra hari itu.

“I brought a memories here, belum pernah aku liatin ke kamu. Mau liat?” “Mau!”

Shaka menaruh handycam itu tepat di tengah-tengah meja, di posisikan secara menyerong agar keduanya sama-sama bisa menyaksikan. Bersamaan dengan piano kedua yang teralun, meet again by Gianluca Podio.

Ruangan dengan cat berwarna putih, diisi dengan suara monitor yang seolah menjadi latar suara utama pada satu video yang terputar di dalam sana. Ruangan putih bersih itu terasa suci dan hangat, sebelum menampakkan satu tabung oksigen dan tiang infus, yang selang-selangnya tersambung ke dalam tubuh seorang wanita yang rambutnya sudah sangat menipis, tengah terduduk setengah berbaring di atas kasur.

Claudia, mulai kehilangan rambut tebalnya, rambut yang sering dimainkan Shaka sebelum lelaki itu tertidur. Tangan cantiknya, sekarang harus ditusuk oleh beberapa jarum yang mengalirkan zat-zat kimia ke dalam tubuhnya, membuatnya lemah tidak berdaya, bahkan untuk mengangkat satu buah palet lukis.

Perempuan itu memegang satu buah kue ulang tahun, dibantu oleh Abian, dengan lilin berangka lima belas terpasang di atasnya.

“Shaka, selamat ulang tahun sayang.”

Sambutnya dengan suara parau, begitu melihat Shaka tiba dari balik pintu. Menyambut anak satu-satunya dengan balutan seragam putih abu-abu, yang baru ia kenakan sekitar dua minggu.

“Mama, ini masih bulan maret, ulang tahunku masih tiga bulan lagi.” Shaka menghampirinya, dengan raut wajah bingung.

“Iya mama tau, mama mau ngucapin lebih cepet. Kan mama mau jadi orang pertama yang ngasih selamat ke Shaka,” Claudia mengusap-usap rambut Shaka, yang berdiri di sebelah kasurnya dengan tas yang bahkan masih tergantung di punggungnya. “Anak mama, udah remaja, makin ganteng.” Kini tangannya pindah mengelus sebelah pipi anak lelakinya.

“Shaka, janji sama mama, harus bahagia terus ya?”

Air mata itu, mengalir dari dua bola mata berwarna coklat milik Shaka, lelaki itu seolah tahu kemana arah pembicaraan Claudia mengalir. Shaka menggeleng sebelum menjatuhkan diri ke dalam pelukan Claudia, memeluknya erat, seakan perpisahan di antaranya sudah di depan mata.

“Jangan nangis,” Claudia cepat-cepat menyeka air matanya sendiri di balik punggung Shaka, tidak mau menunjukkan tangisnya di depan anak kesayangannya. “We’re celebrating your birthday now, harus seneng, ngga boleh sedih!”

Shaka menarik tubuhnya dari dalam dekapan sang mama, dengan mata yang sembab, kedua pipinya dilewati air mata yang terus menetes hingga membasahi kerah bajunya.

“We don’t have to celebrate it now, karena bulan juni nanti, mama akan ada di samping aku, ngerayain ulang tahun di tanggal yang tepat.”

Shaka menjeda kalimatnya, dengan suara terisak. Abian di sisi lain kasur, diam-diam ikut menahan isakannya, air matanya terus menetes, namun cepat-cepat ia seka.

“Bulan juni, tahun depan, dua tahun lagi, lima tahun lagi, sampai aku dewasa, sampai seterusnya. Mama akan terus sama aku, mama ngga akan pergi kemana-mana.” sambungnya, “Engga! aku ngga mau. Mama pokonya ngga akan kemana-mana!”

Tangisnya pecah sejadi-jadinya, hingga suaranya nyaris tidak terdengar jelas. Shaka kembali menjatuhkan diri ke dalam rengkuhan Claudia, yang kini sama-sama sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya.

Kini Abianpun telah ikut masuk ke dalam rangkulan itu, mereka menangis bersama-sama. Sudah cukup untuk berpura-pura kuat. Tangisan haru menggema memenuhi seisi ruangan, terdengar menyakitkan di dalam memori yang terputar.

Sudah waktunya, Claudia tidak mampu lagi memberikan Shaka kata-kata manis yang berisikan kebohongan bahwa ia akan selalu terus ada di sampingnya. Takdir telah di atur sebagaimana rapinya, menyakitkan, tapi waktu tidak akan pernah mau peduli. Jika memang harus berpisah, maka berpisah.

“Shaka.. i’m sorry, i can’t promise you..”

Satu alasan kuat mengapa Shaka tidak pernah menunjukkan video itu kepada siapapun, karena, terlalu menyakitkan baginya untuk kembali mengingat memori terakhir di mana dunianya masih utuh. Setelah hari itu, seminggu kemudian, Claudia menghembuskan napas terakhirnya, di tempat yang sama di mana memori terakhir tercipta.

Cepat-cepat Diandra mengusap air mata Shaka yang dari tadi terus menetes sepanjang durasi, perempuan itu menahan pecah tangisnya kuat-kuat, kalau ia ikut menangis. Siapa yang akan jadi penguat bagi Shaka? pikirnya.

“Kalo aja aku tau, itu adalah tujuh hari terakhir yang aku punya sebelum aku ngga bisa liat mama lagi, aku bakal peluk mama lebih lama.” ujar Shaka pada helaan napasnya yang berat.

Diandra meraih tangan Shaka, menautkan jari-jarinya di sana. Ia mengusap-usap punggung tangan Shaka dengan satu jari jempolnya. Sambil tersenyum hangat, Diandra berbicara dengan sangat hati-hati.

“Kamu inget permintaan terakhir mama? untuk terus bahagia?” tanya Diandra, pada Shaka yang dari tadi menunduk, sambil memandangi handycam di sebelah genggaman tangannya.

“Aku jahat kalo nyuruh kamu untuk berhenti sedih, untuk berhenti inget hal apapun tentang mama. Kamu boleh kangen beliau kapanpun, kamu boleh nangis selama yang kamu mau, tapi, cukup jadiin itu sebagai luapan emosi kamu, ya?” sambung Diandra, sekarang tangannya mengelus pipi Shaka, kembali menyeka air matanya. “Jangan jadiin rasa sedih itu untuk bikin hati kamu semakin berat untuk ikhlas. Aku tau ini berat banget, ngga gampang, tapi, coba sekarang kamu liat ke atas.”

Shaka reflek mendongak ke atas langit, menatap hamparan bintang yang dari tadi menyaksikannya.

“Mama ngga bisa janji untuk selalu ada di samping kamu dengan wujudnya yang nyata, tapi, mama ngga bohong waktu bilang dia akan selalu terus ada buat kamu. She is up there, ada mama di antara bintang-bintang itu.” ucap Diandra.

Perempuan itu bangun dari kursinya, menghampiri Shaka yang langsung menghantamkan tubuhnya ke dalam pelukan Diandra, ia melingkarkan tangannya erat-erat pada pinggang perempuan itu. Lalu memecahkan tangisnya di sana. Diandra tidak mengeluarkan sepatah kata apapun, ia hanya membiarkan Shaka menangis di dalam dekapannya, sambil mengusap-usap rambutnya, sesekali menciumi pucuk kepalanya.

Alunan piano yang masih terus terputar, semakin mendramatisir momen di malam itu. Di antara terangnya cahaya yang di berikan langit malam, ada kegelapan tersimpan pada diri Shaka.

Setelah getaran pada bahu lelaki itu mulai berhenti, suara tangisnya tidak lagi terdengar. Diandra mulai kembali berbicara.

“Did you forget about our plan tonight? we celebrate your parents wedding anniversary, harus seneng-seneng, ngga boleh sedih!” kata Diandra, masih dalam posisi memeluk Shaka.

“We should make a happy memories for them,” Diandra melepas pelukannya, lalu menangkup kedua pipi Shaka yang masih lembab karena aliran air mata. “Smile!” Lelaki itu terkekeh, dengan senyum sarkas yang seakan menyindir dirinya sendiri, “You’re right, apa sih kok aku menye-menye banget hari ini, ngga keren.” Shaka mulai bisa tertawa, sambil mengusap sisa air matanya.

Diandra mengelus sekilas kepala Shaka sebelum berjalan kembali menuju kursinya, langkahnya berhenti disaat telinganya menangkap satu melodi familiar yang teralun dari pianis di sudut ruangan.

“Flowing colors?” Diandra menoleh kembali pada Shaka yang tengah tersenyum teduh kepadanya, “Wait, aku baru ngeh, kayaknya piano yang dari tadi dimainin, semuanya lagu dari aku ya? list yang tadi siang kamu minta?”

Shaka bangun dari duduknya, berjalan satu langkah menghampiri Diandra, “We’re not only make memories for them, but for us too.” Kata Shaka, sembari menyelipkan rambut Diandra di samping telinganya.

“Mama sama papa, they love to dance under the night sky in every year for celebrating they anniversary,” ujarnya lagi, seraya meraih tangan Diandra, “Would you like to represent them, and dance with me?”

Sama seperti Claudia kala itu, Diandra menarik tangannya dari genggaman Shaka, dengan ekspresi panik dan canggungnya.

“Aku ngga bisa nari, i’m not Genevieve.” jawab Diandra. “Me too, i’m not Derek.” balas Shaka, “But doesn’t mean we can move our feet, right? just follow the music ra.”

Diandra masih menatapnya ragu, melihat sekeliling balkon, tidak ada siapa-siapa, hanya mereka berdua di atas sana.

“Can i take your hand?” tanya Shaka sekali lagi, sebelum akhirnya Diandra menjatuhkan tangannya di atas telapak tangan milik Shaka.

Mereka berjalan bergandengan menuju sisi balkon berbatas kaca bening. Pemandangan yang jauh lebih cantik dari ujung sana, seluruh cahaya seakan menyorot bagaikan lampu panggung yang memberikan sinarnya pada dua pemeran utama. Shaka menaruh kedua tangan Diandra di atas pundaknya, lalu melingkarkan tangannya mengelilingi pinggang ramping perempuan itu.

Mereka bergerak pelan, ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan piano. Sambil bertatapan, menangkap masing-masing binaran mata yang terlempar di antara keduanya. Angin sejuk menyapa, menerpa tiap-tiap helai rambut Diandra dan dress panjangnya yang ikut menari di bawah sinar bulan, terlihat indah bagaikan putri di negeri dongeng.

“Do you feel awkward?” tanya Shaka, memecah keheningan.

Diandra menggeleng, perempuan itu melengkungkan garis bibirnya dengan manis. “No, it feels relaxed.” Shaka ikut tersenyum.

“Kamu tau ngga ra, aku dapet dress ini dari mana?” tanya Shaka lagi. “Oh iya, aku belum nanya. Dari mana?” balas Diandra. “Gigi.” Shaka tertawa, karena mendapat jeweran pelan dari Diandra. “Sial, aku dibegoin.” “Hahaha, ngga dibegoin, kan surprise, masa bilang-bilang.”

Diandra menyandarkan kepalanya pada dada bidang milik Shaka, mencari kehangatan di dalam dekapannya. Ia memejamkan mata di antara alunan melodi yang teralun, dan Shaka yang ikut menaruh dagunya di atas kepala Diandra, memeluk punggungnya erat, seakan ada kehangatan dari Claudia yang terjebak di dalam diri Diandra.

“Kamu wangi!” katanya seraya mendongak menatap Shaka.

Shaka menunduk menatap balik manik mata milik Diandra, lengannya masih melingkar erat pada pinggang itu.

“Can i kiss you?” ucap Shaka.

Diandra, menangkup sebelah wajah Shaka, satu jarinya bergerak lembut di atas pipinya, lalu turun ke bibir. Diandra mengusap sekilas bibir Shaka, ia tersenyum, lalu mengangguk.

Perempuan itu memejamkan mata, di saat Shaka mulai menaruh sebelah tangannya di belakang kepala Diandra dan jarak di antara keduanya yang ikut menyempit. Bibirnya semakin dekat, bersamaan dengan jantung yang seolah berhenti berdetak. Aroma maskulin lelaki itu menghipnotisnya tanpa alasan.

Malam yang sunyi, keheningan seakan menghentikan waktu saat Shaka mulai memagutkan bibirnya pada bibir Diandra. Hangat dan lembut. Lututnya seakan melemah setelah ia membiarkan lidah lelaki itu menyelinap ke dalam bibir manis miliknya. Debaran yang semakin kuat, ia hanya bisa fokus pada betapa lembutnya perasaan lelaki itu di dalam sana.

Perasaan hangat dari napas keduanya yang tidak stabil, menjadi penutup bagi satu memori indah yang tercipta pada malam itu. Di bawah sinar bintang, semesta bagai memberikan izin pada dua orang yang mencari kebahagiaan pada satu sama lain, di bawah langit malam yang terang dari sinar-sinarnya.

“Happy wedding anniversary for your parents,” ucap Diandra seraya melepas pagutannya, “I thanks to them, karena telah melahirkan kamu.”

Shaka mengusap dahi Diandra lembut, menyisiri helai rambutnya, lalu menarik Diandra ke dalam pelukannya.

“Thank you for celebrating with me. I love you, so much.”


Diandra meletakkan ponselnya di atas kasur dari pertama kali ia mengangkat telepon dari Shaka, memposisikan dirinya tengkurap sambil mencoret-coret gambar asalnya di layar ipad. Semenjak hampir tiap minggu Shaka mengajaknya melukis, entah di mini studio mama ataupun di kamar apartment Shaka, tangan Diandra jadi semakin terlatih untuk menarik garis-garis pola di atas kertas. Perempuan itu sekarang jadi gemar menggambar, walau referensi gambar yang ia buat juga itu-itu saja.

Shaka di ujung sana, sama-sama meletakkan ponsel di atas meja, fokus matanya sibuk menelusuri nama-nama restoran di dalam internet.

“Sumpah tapi sampe sekarang tuh aku masih suka bertanya-tanya sendiri tau, kamu tuh kenapa ada aja ya idenya?” tanya Diandra.

Shaka tertawa, “Aku juga ngga tau, soalnya emang beneran kepikiran sendiri.” jawabnya, bersamaan dengan suara keyboard laptop yang ikut terdengar dari ujung sambungan, “Kayak tiap kamu lagi kenapa-kenapa ya misal, otak aku auto bekerja sendiri, ok shaka you need to do this for cheer her up.”

“Terus kenapa kamu ngide bikin akun itu fullsunset bldkdk apa sih namanya susah.” Diandra mengungkit ulang perihal akun instagram yang ia jumpai dengan ratusan potret miliknya di sana. “Fullsunset.bvrl06” Shaka membenarkan. “Nah itu, maksudku, tujuannya untuk apa?” “As written in the bio, for adoring you.”

Diandra terdiam untuk beberapa detik, melengkungkan garis bibirnya dengan binaran mata yang berkerlip.

“Thank you, thank you so much.”

“No need to thank you ra,” Shaka menjeda kalimatnya. “Admiring you is a fun thing that i always want to do every day.”

“I remember the first time you made me tts,” Diandra tertawa, “Itu aku speechless banget jujur, effort banget gila sampe bikin-bikin pertanyaan, bikin pola, padahal kamu ngajak biasa juga aku iyain.”

“Ya kan itu first date, masa ngajakin jalan pertama kali ngga berkesan,” Shaka menutup laptopnya, lalu meraih ponsel dan pindah berbaring ke atas kasur berkemul selimut. “Harus berkesanlah biar kamunya baper.”

“Dih? Biar apa?”

“Biar naksir, kan aku jadi gampang deketinnya HAHAHA.”

“Oh ternyata kamu ada rasa ngga pede juga ya,” Diandra menjeda ucapannya, “Aku kalo jadi kamu udah pasti bakal efortless sih. Kek ngapain gitu coyyy, kamu ganteng iya, pinter iya, suara bagus, alat musik semua bisa, sopan, family oriented, terus apalagi ya? banyak banget ternyata, kamu kok nyaris sempurna dipikir-pikir curang amat?!?!”

Nada suaranya semakin meninggi, deru napas antusiasnya terdengar sepanjang ia berbicara.

“Ok lanjut, nah tapi kamu tuh ngga yang cuma modal tampang doang, kamu beneran baik banget astagaaa aku bingung kamu bukan manusia ya?? soalnya aku belum pernah liat kamu marah yang beneran marah perasaan. Ya gitu deh intinya kamu napas doang juga cewe-cewe pasti naksir sendiri, ngga usah too much effort. OMG I FEEL SO LUCKY FOR HAVING YOU!“

Sepanjang Diandra berbicara, entah sudah berapa kali Shaka menendang-nendang selimut, berguling kesana kemari menahan gemas bercampur malu karena dipuji sebegitunya. Wajahnya memerah. Lelaki itu bahkan tidak mampu memberi respon apapun selain suara tawa salah tingkahnya yang terdengar.

Shaka mengubah panggilan suara menjadi video call. Memperlihatkan Diandra dengan rambut yang ia ikat secara asal. Anak-anak rambutnya keluar acak-acakan, yang entah mengapa justru membuat perempuan itu terlihat sangat cantik dengan balutan gaun tidur berwarna pink muda.

“Udah ketawanya?” sindir Diandra. “Udah.” jawab Shaka dengan sisa tawanya. “Kenapa kok di switch ke vidcall?” “Kamu tadi bawel.” “Hah ngga ada hubungannya!” “Ada!” “Apa?” “Aku jadi pengen liat kamu, kangen.”

Diandra menjatuhkan kepalanya pada bantal, lalu membalikkan layar ponselnya sehingga kamera depannya ikut tertutup.

“IH MANA KOK ILANG.” “Kamu kayak gitu ngomongnya muka aku nanti kayak kepiting rebus, malu.”

Lagi-lagi Shaka tertawa.

“Ketawa mulu ngga jelas lu receh banget.” Diandra kembali menghadapkan wajahnya ke depan layar ponsel seraya ikut tertawa.

“Ada cerita apa hari ini? Ada yang nyebelin ngga?” tanya Shaka, kondisi keduanya mulai kondusif. “Ngga ada,” sambungnya lagi, “Eh ada!” “Sini bilang sama aku siapa yang nyebelin, nanti aku tampol.”

Diandra mendengus, ekspresinya seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Bibir bawahnya ia majukan secara spontan, membuat Shaka kembali menahan gemas.

“Kamu tau kan dari kemarin aku bilang mau beli kardigan? Yang putih itu loh, ada motif-motif bunga mataharinya.”

Shaka mengangguk.

“Nah, kan open po-nya tadi siang.” “Iya, terus?” “Terus aku ngga kebagian! padahal aku udah stay di webnya dari lima menit sebelum, buset, itu orang-orang jempolnya titisan belut listrik. Gak jelaaas!” Shaka terkekeh, “Kepengen banget emang?” “Pengen, tapi ya engga banget juga. Kalo ngga dapet ngga apa-apa sebenernya cuma, ya tetep kesel.” “Tapi kamu seneng banget pake kardigan rajut deh ra aku liat-liat.” “Iya ya hahaha ngga tau aku juga, seneng aja soalnya looknya bikin manis.”

Tidak ada yang bersuara untuk beberapa saat, Shaka hanya memperhatikan Diandra yang kini kembali asyik mencoret-coret gambarnya.

“Eh iya, karena aku sebel ngga dapet kardigannya, besok aku mau nyari barang lain buat pengganti kekecewaan.” Diandra tertawa. “Mau beli apa?” “Ngga tau sih, mau liat-liat dulu aja, kamu mau anterin aku ngga?” “Besok ya? Besok aku ada urusan bentar, kamu mau nunggu?” “Oh ya udah ngga apa-apa, aku sendiri aja.” “Loh beneran? aku bentar doang.” “Beneeer, sekalian me time, udah lama juga aku ngga ngasih waktu buat diri sendiri.” “Okay then.” “Kamu mau kemana besok?” “Rahasia hahaha, you’ll find out soon.”


15.30 Mereka tiba. Panas dan nyeri di sekitar pinggang seakan menjalar pada seluruh tubuh karena terlalu lama duduk. Tadi, selepas mampir dari supermarket, Jeno dengan sukarela menawarkan diri untuk bergantian menyetir, karena melihat kondisi Shaka yang tidak memungkinkan jika harus lanjut mengemudi, matanya sudah terus-terusan berair menahan beratnya kantuk selama hampir lima jam.

Suara kicauan burung dan aroma segar pepohonan, menyambut ketujuh orang dengan raut wajah lelah masing-masing yang telah menghabiskan waktu setengah hari di dalam mobil. Setengah dari mereka lari berhamburan memasuki villa, meninggalkan seluruh barang bawaan di bagasi, buru-buru mencari alas yang empuk untuk merebahkan badan.

Gistara, orang pertama yang memasuki villa, kecepatan larinya langsung bertambah begitu melihat sofa empuk di tengah ruangan, “Badan gueee, akhirnya bisa direbahin.”

Disusul Shaka dan Naresh, ikut mencari spot kosong untuk meluruskan badan. Shaka yang baru saja terlelap kurang dari dua jam, seakan tidurnya belum cukup. Lelaki itu langsung merebahkan badan di atas sofa panjang, meraih bantal lalu memeluknya di atas dada dengan posisi terlentang, membuat setengah wajahnya tertutup dan hanya menampakkan alis dan matanya yang terpejam.

“Ah anjir Shaka tempat gue,” protes Naresh yang sama-sama mengincar sofa panjang, tidak digubris sama sekali oleh Shaka. “Gi, geser dong, pindah kek kemana sekalian, mau rebahan gue cape.”

Gistara yang belum ada tiga menit menikmati kenyamanan sofa empuk, langsung meluruskan seluruh badannya, menutupi seluruh spot kosong agar tidak ada siapapun yang mempersempit tempatnya.

“Emang lo doang yang cape!” “Ah elah geser dikit, sok-sok cape lo kayak nyetir aja.” ujar Naresh sambil memaksakan diri duduk di ujung sofa, merebut tempat. “Lah lo juga sadar diri, lo tidur aja yang paling lama kayak orang mati.” balas Gistara, seraya mengencangkan badannya agar tidak tergeser.

“Apa sih lu bedua ribut banget, kasian cowo gue lagi tidur. Dia noh yang cape.” Diandra menyembul dari balik pintu, membawa beberapa plastik belanjaan melewati dua orang yang tengah memperebutkan sofa, pergi menuju dapur untuk menaruh bahan-bahan mentah di dalam kulkas.

Di luar villa, masih ada Jeno, Ozzie, dan Zella yang dengan sukarela mengurus barang-barang bawaan yang ditinggal teman-temannya. Membawanya masuk tanpa banyak protes.

“Nih, kurang baik apa gue.” Ozzie menggeletakkan beberapa tas ransel di atas karpet. Disusul Jeno, yang berjalan setengah lari, menjatuhkan tas dengan sedikit melempar tidak sengaja, sebelum lari menuju kamar mandi.

“Jeno kurang ajar tas gue, maen lempar-lempar aja.” teriak Naresh. “Lo bersyukur udah di bawain.” timpal Zella yang langsung merebahkan badan di sebelah Gistara. “Ayo kumpul, kita bagi kamar.”

Villa berdesain minimal interior itu memiliki dua lantai. Ada satu kamar utama di lantai atas, dan dua kamar di bawah. View ruang utama bersekat jendela kaca dengan pintu geser di tengahnya, mengarah langsung menuju kolam renang, disuguhi pemandangan beberapa pohon rindang yang terlihat dari dalam villa. Udara di sana terasa dingin menyejukkan walau matahari di luar masih terik. Kicauan burung yang masih belum berhenti bersiul saling bersahutan, semakin menguatkan suasana asri yang tidak bisa ditemui dalam padatnya hiruk pikuk ibu kota.

“Shaka bangunin dulu ngga?” jeda Zella, setelah Diandra dan Jeno tiba. “Ngga usah lah ya kasian, biarin aja.” sambungnya lagi, menjawab pertanyaan sendiri.

“Ini kita ngga liat dulu kamarnya?” tanya Jeno. “Nanti kita bagi dulu, soalnya ini udah fix nih,” jawab Zella, “gue cewe bertiga di atas, kalian cowo-cowo di bawah ya. Tuh, ada dua kamar, terserah mau sekamar sama siapanya atur sendiri.”

“Kok lo curang di kamar utama? kan paling gede?!” protes Naresh. “Kita bertiga, ber-ti-ga.” balas Diandra, menekankan kata bertiga. “Kamar atas satu kasur doang, king size. Lo berdua dapet single bed tapi satu orang satu.” sambung Zella mempertegas detail.

Gistara bangun dari duduknya, yang langsung diambil alih oleh Naresh. “Gue bertiga ke atas naro tas.” ujarnya seraya meraih tas, disusul oleh Diandra dan Zella.

“Cepetan lo berdua mau sekamar sama siapa, gue gampang sisanya.” ucap Naresh.

Shaka masih tertidur pulas seakan kericuhan yang dari tadi terjadi hanya angin lewat.

“Gue juga bebas.” balas Jeno. “Bebas-bebas semua ngga akan kelar-kelar, cepetan.” sambung Ozzie dengan tas yang telah ia sampirkan di sebelah pundaknya, siap-siap menuju kamar. “Udah ayo res lo sama gue.” “Ya udah berarti lo sama Shaka ya.” ujar Naresh, tidak berpindah dari posisinya, terbaring di atas sofa. “Zi nitip tas!” “Kaki lo masih ada dua. Bangun. Ngga ada kerjanya lo dari tadi.” jawab Ozzie tidak peduli, lalu berjalan menuju kamar.


17.00 Setelah dirasa seluruh energi kembali terisi, berbagai macam aktivitas dan segala kebisingan mulai terdengar di setiap sudut villa.

“Yang duluan sampe ujung dapet kamar sebelah tv.” ucap Naresh, posisi kakinya ia naikkan sebelah, bertumpu pada ujung ubin kolam, siap mendorong tubuhnya untuk berenang hingga ujung.

Di sebelahnya ada Jeno, tengah menyunggingkan smirk-nya dengan percaya diri seakan tahu siapa juaranya, seraya mengibas rambutnya yang basah. Dan Gistara yang ikut stanby di ujung kolam dengan kaki setengah tercebur sambil menikmati semangkuk salad buah, menjadi wasit.

Setelah pembagian kamar, laki-laki itu protes perihal posisi kasur yang menurutnya tidak strategis hanya karena tidak menghadap jendela. Katanya, kamar sebelah lebih aesthetic. Alasan tidak masuk akal yang tidak dipedulikan oleh siapapun.

Suara gebyuran air dari dalam kolam terdengar hingga ke dapur, menyapa Diandra dan Zella, sedang memasak satu panci ramen untuk dimakan bersama sebelum makan berat nanti malam. Sambil mengobrol dan memutar musik, tidak terganggu sama sekali dengan kericuhan di kolam renang.

Dan satu manusia yang lebih tidak peduli dengan kerusuhan teman-temannya, Ozzie. Setelah membereskan barang dan membersihkan badan, lelaki itu langsung berleyeh-leyeh di atas sofa, dengan tv menyala tapi tidak dilirik sama sekali. Berkali-kali disindir, “Tidur mah di rumah aja.” Namun bukan Ozzie kalau tidak menyahut, “Healing mah nyantailah leha-leha, kok banyak tingkah, ya makin capek.”

“Pada kemana?” tanya Shaka dengan mata yang masih setengah terpejam, sambil meregang-regangkan badan dan tangannya, ngulet. “Noh.” tunjuk Ozzie ke arah kolam. “Ara?” “Di dapur sama Zella.” Yang dibalas anggukan oleh Shaka. “Lo ngga nyebur?” “Dingin anjir, gue abis mandi lagian males bilas lagi.” “Ah elu mah emang kaga pernah ada niat.” ucap Shaka seraya bangun dari tidurnya.

Lelaki itu pergi menuju dapur, mengecek Diandra dari balik pintu, memandangi punggung perempuannya yang tengah mengaduk-aduk ramen membelakanginya, sambil bersenandung mengikuti alunan lagu. Shaka tersenyum dari kejauhan, lalu kembali berjalan menuju kamar untuk mengganti pakaian, dan siap-siap ikut menyeburkan diri ke dalam kolam renang.


19.30 “Eh minta apa kek buat ngipasin.”

Ucap Naresh sambil memotong-motong daging di atas panggangan kepada teman-teman di belakangnya, yang tengah duduk bersenandung dengan iringan gitar yang dipetik Shaka.

Naresh memang terlihat tidak berguna, selain mulutnya yang berisik seperti petasan mercon. Tapi, jika urusan masak memasak, dialah orang yang paling diandalkan. Masakannya tidak pernah gagal.

Kini lelaki itu memanggang berpotong-potong daging yang telah dimarinasi, setelah tadi merebus sayur-sayuran pada kuah suki hangat yang sekarang uapnya tampak menari-nari dari dalam panci, menunggu seluruh hidangan untuk siap disantap.

“Kipaaas!” ucap Naresh sekali lagi, lebih menggunakan urat.

And i would answer all your wishes, if you asked me to.

Shaka dengan mode jailnya, sekarang pindah berdiri di samping Naresh bersama gitar dipegangannya, menyanyikan bait-bait lirik lebih keras sebagai respon dari suruhan Naresh.

“Ka cariin kertas atau kardus, buat ngipas buruan.” Jawabnya masih santai, sambil membalik-balikkan daging.

But if you deny me one of your kisses, don't know what i’d do.” lanjut Shaka tidak peduli.

“Jeno, tolong dong ada kipas ngga?”

Dancing on the kitchen tiles, yes you make my life worthwhile.” Jeno yang ikut-ikutan menjawab dengan lirik lagu.

Lima detik, sepuluh detik...

“AH ANJING, MAKAN DAGING GOSONG YA LU SEMUA GUE NGGA PEDULI SAT!”

Gelak tawa yang pecah mengiringi helaan napas frustasinya. Mereka semua sengaja menghiraukan Naresh bukan karena tidak peduli, melainkan, ya pengen aja biar itu anak ngerasain kali-kali jadi korban jail.

“So i told you with a smile, it’s all about yoOOouuuU.” saut Diandra dengan sisa tawanya, sembari bangun dari duduknya dan mengambil beberapa lembar koran.

(All about you – McFlurry)

Mereka semua duduk mengitari sisi meja, yang ditarik ke luar dari dalam villa ke halaman belakang. Dinginnya malam dipadu oleh kehangatan api unggun memberikan suasana makan malam yang emosional. Menikmati santapan sambil bersenda gurau, diselingi obrolan-obrolan ringan di bawah hamparan bintang yang sangat terlihat jelas di atas langit. It’s a beautiful night.


00.15 Satu persatu dari mereka mulai memasuki kamar masing-masing, karena rasa lelah yang kembali terasa. Mengingat hampir seharian bermacet-macetan di dalam mobil sekaligus jiwa aktif ketujuhnya yang berapi-api melakukan segala kegiatan di villa. Berenang, perang bola, karaoke, bermain board game. Kini hanya tersisa Shaka dan Gistara di lantai bawah, menemani Diandra yang tertidur di pangkuan Shaka dari satu jam yang lalu.

“So, how’s about the dinner?”

Gistara membuka percakapan, memecahkan hening di antaranya.

“Gimana apanya?” jawab Shaka, matanya tidak teralih dari ponsel. “Sorry bukannya gue kepo, tapi ngga mungkin kalo dinner biasa lo sampe harus ribet-ribet bikin baju.”

Shaka terkekeh tidak menjawab, lalu menunjukkan sesuatu dari layar ponselnya.

“Nih, gue juga lagi scrolling restoran.” Yang hanya dibalas oleh gelengan kepala oleh Gistara.

“Lo mau bikin acara apa sih?” tanyanya lagi.

“Ngga ada, beneran it’s just a normal dinner.” jawab Shaka menegaskan, “i just celebrate my parents’s wedding anniversary.”

“Oh ya? ada bokap lo juga dong, lagi pulang?”

Shaka terdiam sejenak, menimbang kembali apakah dia perlu menceritakannya pada Gistara atau tidak.

“Nah, itu dia. We usually had a dinner setiap kali ngerayain anniversary, semenjak mama gue ngga ada. Dan kebetulan, papa ngga bisa pulang bulan ini, he feels guilty for that. Terus gue bilang, ya udah i’m gonna celebrate it for them, with Diandra.” jawab Shaka, sambil tangannya mengusap-usap rambut Diandra.

“Terus dress?” tanya Gistara lagi.

“My dad has been missing his wife so much. Itu dress yang dipake mama waktu ngerayain tahun pertama pernikahan mereka, and Diandra will represent her on their 26th anniversary.” Shaka menjeda kalimatnya, lalu tertawa menyadari semua kalimat yang ia katakan, “Hahaha sorry, that’s too much, gue emang suka berlebihan.”

Gistara tertegun, mengagumi tiap kalimat yang keluar dari mulut Shaka sepanjang ia bercerita. Sorot matanya, nada suaranya, semua terdengar tulus, begitu terlihat sebesar apa Shaka mencintai kedua orang tuanya.

“Genius. Ngga, sama sekali ngga berlebihan. Lo tulus banget, i didn’t expect that,” jawabnya, “Jadiin malem itu sebagai tahun ke 26 yang mengesankan. Your parents are waiting for that night, good luck!”

Gistara menepuk pundak Shaka sekilas, sebelum pergi menuju kamarnya. Malam sudah semakin larut.

Shaka yang awalnya tidak yakin pada rencana random yang ia buat, seakan kembali mendapatkan percaya dirinya. Lelaki itu melengkungkan senyum pada kalimat terakhir Gistara, “your parents are waiting for that night”. Hampir setiap malam Shaka merasakan perasaan rindu di dalam suara papa terhadap mama di tiap sambungan telpon. I can’t take her back, what should i do.

Kini sorot matanya jatuh pada Diandra yang dari tadi tertidur dengan tenang di atas pahanya. Sekarang tangannya pindah mengelus pipi gadis itu dengan lembut, lalu meraih telapak tangannya, kulitnya terasa dingin.

“Ra, pindah yuk, jangan tidur disini, dingin.” ujar Shaka, sambil menepuk-nepuk lengan Diandra pelan. “Udah ngga ada siapa-siapa, aku tinggal nih.”

Bukannya terbangun, Diandra malah memeluk lengan Shaka, menahannya untuk tetap disitu.

“Ayo pindaaah, disini dingin ra, ngga ada selimut.” “Ya udah kamu aja.” jawab Diandra dengan mata terpejam. “Nggalah, masa aku ninggalin kamu di luar.” “Bukan kamu yang pindah maksudnya.”

Diandra tiba-tiba menarik Shaka cukup kencang tanpa aba-aba, membuat Shaka tertarik dan ikut terbaring di sebelahnya.

Perempuan itu terbangun sejenak, membetulkan posisinya agar berhadapan dengan Shaka, lalu kembali berbaring seraya melingkarkan tangannya pada pinggang Shaka, tidur menyamping menenggelamkan kepalanya pada dada milik lelaki itu.

“Kamu aja yang jadi selimut.”


“Oh kalian udah di lobby? Mau ke atas dulu apa gimana?” tanya Diandra, sambil memainkan sendok di atas mangkuk berisi sereal dan susu coklat. “Lo masih lama ngga?” balas Gistara dari ujung sambungan telepon. “Lagi sarapan dikit lagi.” “Ya udah nanggung gue sama yang lain nunggu di bawah aja, sekalian nunggu Naresh, tinggal dia.” “Ok, bentar kok abis ini langsung turun.”

Pagi yang cerah, sinar matahari pagi menembus lapisan kaca jendela, memberikan kehangatan di awal hari yang menyenangkan, semoga.

“Yuk turun, udah semua kan?” Diandra mendorong mangkuk setengah kosong, menjauh beberapa senti di atas meja. “Abisin dulu.” jawab Shaka seraya mengunyah roti bakar, tangan kirinya memegang ponsel, asyik berselancar di social media. “Udah, tinggal dikit.” “Justru karena tinggal dikit, abisin, sayang.” “Kamu sayang ke aku apa sayang ke serealnya?” goda Diandra. Shaka terkekeh, ia bangun dari duduknya sambil membawa piring dan gelas kotor, “Dua-duanya,” lalu mendekatkan kembali mangkuk berisi sereal pada Diandra.

Diandra ikut tertawa, matanya mengikuti gerak Shaka yang berjalan pergi menuju dapur, menaruh alat makan di dalam kitchen sink.

“Langsung dicuci, kita mau ninggalin apart dua hari, jangan sampe ada cucian piring.” ujar Diandra dari meja makan. “Kamu udah belum? biar sekalian.” tanya Shaka. “Udah.” jawab Diandra.

Shaka kembali menghampiri Diandra, mengambil mangkuk kosong miliknya. “Eh, ngga usah ini aku aja yang cuci,” tangannya menahan mangkuk yang hampir diraih Shaka. “Bawel,” Shaka melepas pegangan Diandra dari sisi mangkuk, “Itu air putihnya minum jangan lupa,” lalu kembali pergi ke dapur.

Sambil menunggu Shaka mencuci piring, Diandra kembali mengecek isi tas mereka, memastikan kalau tidak ada barang penting yang tertinggal. Menutup gorden, mematikan lampu, dan mencabut beberapa colokan listrik. Kondisi kamar sudah benar-benar rapi dan aman untuk ditinggal.

“Yuk.” ajak Shaka, sambil mengelap tangannya yang basah menggunakan tissue. “Kamu mau ke kamar mandi dulu ngga? takut kebelet di jalan.” “Engga nanti aja, kan kita mau ke supermarket dulu lagian.” jawab Shaka.

Keadaan lorong apartment sangat sepi, masih terlalu pagi untuk orang-orang bangun dan beraktivitas di hari libur. Shaka dan Diandra berjalan berdampingan menuju lift, sesekali membungkuk, menyapa beberapa cleaning service dengan senyum ramahnya.

“Kamu ganteng.” celetuk Diandra tiba-tiba, selepas pintu lift menutup. “Apa?” Shaka menoleh dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Ini,” Diandra menarik-narik ujung jaket kulit hitam yang dikenakan Shaka. “Aku biasa liat kamu pake jaket jeans mulu,” ucapnya antusias, “Sekalinya ganti style kenapa jadi ganteng banget?!” “Udah ganteng dari sononya mau pake apa juga ya ganteng aja.” Jawab lelaki itu percaya diri, sambil menonjolkan lidah dari dalam pipinya lalu senyum menyeringai.

Mereka tertawa, gemanya memenuhi seisi lift yang hanya dinaiki oleh mereka berdua, “Bener juga, mau apaansih tapi kamu beneran ganteng.”

Jam 08.15, dua orang yang baru keluar dari lift itu langsung disambut oleh pemandangan teman-temannya yang tengah duduk bergerombol di atas sofa berbentuk setengah lingkaran di pojok lobby, memposisikan badan setengah berbaring, saling menyandar dengan mata yang masih mengantuk.

“Lama banget lo berdua udah kayak nungguin penganten baru.” sindir Naresh, wajahnya masih terlihat bengkak efek bangun tidur. “Sadar diri, lo aja baru dateng lima belas detik yang lalu.” ujar Jeno tidak terima. “Pantesan anjir muka lo jelek banget, lo ngga mandi ya?” kali ini Diandra ikut memojokkan Naresh. “Kagak hehehehe.” jawab Naresh, cengengesan.

“DIH DEMI APA LO JOROK BANGET, SANA AH JANGAN DEKET-DEKET GUE!” Zella yang sedang tenangnya menyandarkan tubuh pada sofa dengan mata setengah terpejam, sontak terduduk menatap Naresh dengan ekspresi bergidik, mendorong lelaki itu hingga nyaris jatuh dari ujung kursi.

“Heh santai aja kali mba, emang lo dari tadi duduk sebelah gue mencium aroma-aroma busuk?!” bela Naresh, ia berbicara dengan satu tarikan napas sambil memajukan bibir. “Bodo amat lo jorok!” balas Zella, mendorong Naresh sekali lagi. “Udah ayo jalan, masih banyak drama dan keributan lain yang menanti, mari siapkan seluruh energi.” ucap Gistara seraya bangun dari duduknya.

Mereka semua berjalan menuju basement parkir. Tadinya atas usul tidak tahu diri stres bajingannya Naresh, iya meminta untuk semuanya tunggu di lobby dan membiarkan Shaka mengambil mobil sendiri, “Kita tunggu di sini ye, ntar tinggal naek dari sini, males basement jauh.” Yang langsung mendapat keplakan dari Shaka, “Lo pikir gue supir?”

Barang-barang disusun rapi di dalam bagasi. Gitar, tas, bola sepak dan sebagian barang lain yang sekiranya tidak terlalu makan tempat disimpan di bawah kursi masing-masing agar tidak terlalu menghabiskan ruang untuk menyimpan plastik-plastik belanjaan nantinya. Kondisi di dalam mobil terlihat penuh, namun tetap nyaman.

“Ozzie udah minum antimo belum? kamu kan mabok darat laut dan udara.” ledek Naresh, sambil menyanyikan lirik lagu pada iklan obat.

Ozzie yang notabennya duduk di belakang, memudahkan tangannya untuk meraih bagasi, mengambil bola lalu melemparnya tepat mengenai belakang kepala Naresh, yang duduk di samping kursi pengemudi.

“Goblog sia!” Naresh melempar kembali bola ke belakang.

“Lo ngapain di situ?” tanya Shaka, melirik tajam ke arah Naresh. “Ya duduk? Lo liat gue kayang?” “Ya ngapain duduk di situ? Ra, sini pindah ke depan.” Shaka menoleh ke arah Diandra yang duduk di kursi tengah, di antara Gistara dan Zella. “Apa sih ngga usah lebay Mahesa El Shaka, lo sama Ara cuma beda duduk sejengkal doang!” protes Naresh. “Ih udah ayo berangkat! Sumpah pusing banget belom apa-apa udah rusuh.” ujar Diandra seraya menepuk-nepuk pucuk kepala Shaka dari belakang.

Mobil keluar dari gedung apartment, melenggang melewati arus lalu lintas yang masih lancar. Pemandangan gedung-gedung tinggi menghiasi kota, dengan sentuhan langit biru bergunduk awan putih cantik di atas sana seolah merepresentasikan hari yang baik. Diandra mengeluarkan dua bungkus roti sobek dari dalam tas, jaga-jaga kalau teman-temannya belum sempat sarapan.

“Roti nih, ada yang belum sarapan ngga?” “Gue gue!” Gistara meraih cepat satu bungkus roti dari tangan Diandra. “Gi, mau dong.” Jeno mencolek bahu perempuan itu dari belakang, mengesampingkan gitar yang dari tadi ia mainkan. “Res, mau ngga?” Diandra menyodorkan roti ke depan Naresh. “Ngga mau takut pengen boker.”

Kericuhan terdengar dari orang-orang di belakang.

“IH!” “Bangsat gue lagi makan jangan bahas-bahas tai.” “YA NGGA USAH DIPERTEGAS.” “Lu si Naresh ah elah.” “Gue lagi ya anjing gue aja terus.” jawab Naresh kesal.

Shaka diam-diam tertawa, menonton kerusuhan teman-temannya dari pantulan kaca mobil. Shaka memang yang paling jarang menyumbang suara di antara kegaduhan orang-orang itu. Tapi, tawanya selalu paling keras, tertawa hingga mengeluarkan air mata adalah perannya di dalam circle. Humornya memang hancur.

“Jadi belanja dulu ngga?” Shaka memelankan laju mobilnya, siap-siap membelokkan tuas setir pada supermarket di depan. “Makan waktu banget ngga ya? takut macet, apa mau belanja setelah keluar tol aja?” ujar Zella. Shaka mengecek jam di pergelangan tangannya, sudah hampir jam sembilan. “Makin siang arah puncak pasti makin macet, apalagi ini liburan.” “Gas aja Ka, belanja di sono.” ajak Ozzie, setengah matanya tertutup tudung hoodie. “Ya udah gue langsung ke tol nih ya.” balas Shaka yang langsung diiyakan oleh teman-temannya.

Bukannya kembali melajukan mobil dengan kecepatan normal, Shaka malah menghentikan mobilnya di tepi jalan, lalu mengusir Naresh yang sudah nyaris memejamkan mata, masih ngantuk katanya.

“Turun lu, pindah ke belakang.” “Sumpah? lo segitu bencinya sama gue.” rajuk Naresh dengan eskpresi setengah kaget bercampur bingung.

Shaka terkekeh, lalu menoleh ke arah Diandra yang tengah menyaksikan adu mulut dua orang di depan dengan tatapan bingung.

“Ra, sini pindah ke depan.” “Bajingaaaan, lo bucin banget demi tuhan!” ujar Gistara sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ok fine, pertemanan kita cukup sampe sini aja.” balas Naresh seraya keluar dari mobil, dengan raut wajah melow yang dilebih-lebihkan.

Diandra ikut keluar untuk pindah ke sebelah Shaka, diikuti suara tawa teman-teman di belakang sana seolah bahagia melihat Naresh terbully.

“Puas lu berdua, pacaran sono, ciuman-ciuman dah sekalian!” celetuk Naresh begitu kembali memasuki mobil, lalu merebahkan kepalanya di atas bantal leher. Shaka tertawa geli hingga suara tawanya tak terdengar, “Hahaha iya lah, gini kan enak.”


“When i first saw you, from across the room, i could tell that you were curious, oh, yeah.” Ozzie menyanyikan bait tiap bait lirik, mengikuti iringan gitar yang dipetik Jeno, dengan sorot cahaya flash dari ponsel yang di gerakkan ke kanan dan ke kiri oleh Naresh.

“Girl i hope you're sure, what you're looking for, cause i’m not good at making promises.” lirik selanjutnya disambung oleh Shaka, ia bernyanyi menikmati momen, dengan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidungnya, tampilan itu berhasil menghipnotis Diandra yang dari tadi tersenyum di sebelahnya, mengagumi visual Shaka.

“GUYS, BARENG-BARENG!” ajak Naresh, setengah berteriak antusias.

“But if you like causing trouble up in hotel rooms, and if you like having secret little rendezvous, if you like to do the things you know that we shouldn't do, Then baby, i’m perfect, Baby, i'm perfect for you.”

“Anjirrrr, gue harus live ig.” ucap Gistara disela-sela lagu, seraya mengeluarkan ponselnya.

“And if you like midnight driving with the windows down, and if you like going places we can't even pronounce, if you like to do whatever you've been dreaming about, Then baby, you're perfect, Baby, you're perfect, So let's start right now.”

Perlahan pemandangan gedung-gedung tinggi mulai tergantikan oleh pohon-pohon dan deretan kebun teh, kepulan kabut mulai muncul. Tak ada yang bersuara lagi di dalam mobil yang kini lajunya mulai melambat, semuanya terlelap setelah usai menyanyikan beberapa lagu dan tragedi rebutan snack yang stoknya terbatas karena belum sempat mampir ke supermarket. Hanya tersisa Shaka dan Diandra yang masih terjaga.

Diandra membuka sedikit kaca mobil, merasakan sejuknya angin dan udara segar yang dimiliki dataran tinggi.

“Enak banget anginnya, aku berasa hidup kembali.” ujar Diandra seraya memejamkan mata, membiarkan angin lembut menerpa wajahnya. “Apalagi kalo kita pilih villa nomer satu, beuh, langsung tereinkarnasi menjadi manusia sungguhan.” sindir Shaka, masih mendebatkan masalah villa. “Hahaha wle, udah kamu kalah suara.”

Mobil berhenti, Diandra sedikit mengeluarkan kepala dari jendela, menyaksikan barisan-barisan mobil di sepanjang jalan yang mulai berhenti tidak ada pergerakkan. Ia menutup kembali kaca jendela, lalu menyandarkan tubuh setengah berbaring pada sandaran kursi, sesekali melirik teman-temannya yang tertidur dalam balutan jaket hangat. Lelaki di sebelahnya sadar akan helaan napas kasar Diandra yang terdengar, Shaka sudah hafal pasti, Diandra sangat membenci macet.

Shaka menurunkan tangannya dari tuas setir, ikut menyandarkan diri sambil menguap, lalu memiringkan badan ke arah Diandra.

“Kamu tidur aja biar ngga bete.” Shaka mengelus-elus pipi Diandra dengan jari telunjuknya. “Engga ah, kasian kamu nyetir sendirian, lagian aku ngga ngantuk.” “Tapi untuk ukuran puncak, ini ngga macet banget tau Ra,” Shaka kembali menginjak pedal gasnya pelan begitu melihat mobil di depannya bergerak maju, sedikit, “Empat jam udah mau keluar tol, termasuk cepet.” “Terus nunggu keluar tolnya ngga cukup satu jam, hhhhhh.” balas Diandra dengan helaan napas gusar, “Eh kamu kenapa deh nyuruh aku pindah?”

Shaka sedikit mengencangkan volume radio, melihat padatnya jalan dicampur udara dingin membuatnya mengantuk. Lagi-lagi lelaki itu menguap.

“Biar semangat.” jawab Shaka, sambil menatap mobil-mobil di depannya yang tidak bergerak sama sekali. “Apaan biar semangat?” “Ya masa macet-macetan gini sebelah aku Naresh,” suaranya sedikit mengeras, “Males bangeeet!” “HAHAHA kamu kayaknya beneran punya dendam ya sama Naresh.” “Liat, kayak orang mati kan dia tidurnya.”

Diandra tertawa, ia menoleh ke arah Naresh yang tertidur dengan airpod menggantung pada telinganya, tidak berubah posisi sama sekali dari pertama kali Diandra mengecek teman-temannya setelah terlelap.

“Tapi adem banget kuping kalo dia tidur, dia anaknya emang bacot gitu dari dulu ya?” “Iya, jaman SMA suka teriak-teriak depan kelas kayak orang gila.” “HAHAHA.” “Terus pas ketauan guru gara-gara berisik kedengeran sampe ujung koridor, yang kena sekelas,” lanjut Shaka, “Padahal biang keroknya dia doang.”

Naresh, entah dari kapan terbangun, rambutnya acak-acakan dengan nyawa yang masih hilang setengah. Tiba-tiba menoyor kepala dua orang di depan, yang dari tadi asyik tertawa-tawa sambil menyebut namanya.

“Gue denger ya, setan.”


“Hp terooos.”

Diandra melempar remahan snack ke arah Shaka, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Yang disindir hanya terkekeh, lalu mencubit pelan ujung hidung Diandra.

“Kayak yang engga aja, laptop terooos!” balas Shaka, balik menyindir. “Dih, kan kamu yang ngasih aku laptop, kenapa nyalahin aku?” ujar Diandra, tak mau kalah. “Ya udah iya.” “Apa?” “Aku yang salah, maaf.” “HAHAHA.” “Kenapa ya aku ngga pernah menang lawan kamu.” “Kamu kelewat bucin.”

Dua orang itu asyik bercanda, menikmati waktu di atas hamparan karpet empuk, sambil menonton video-video yang memutarkan memori lama milik Shaka.

“Papa, mama i did it!” Memori pertama, terputar kenangan saat pertama kali lelaki itu belajar mengemudikan sepeda roda dua. “Liat ke depan jangan ngebut-ngebut dulu!” “Aku bisaaa.” Anak lelaki berusia enam tahun itu, melambai-lambaikan tangannya dengan senyum sumringah, menyapa terpaan angin yang melewati tiap helai rambutnya.

“Ya ampuuun lucu banget! Ini kamu berapa tahun?” Diandra tertawa gemas, sambil menunjuk anak lelaki dengan sepeda berwarna birunya. “Enam tahun, itu pertama kali aku bisa pake sepeda.” Jawab Shaka seraya ikut tertawa, seolah rasa bahagia di hari itu terus terbawa hingga hari ini, “Dulu aku penakut banget ra, kayanya di video itu, hasil setelah percobaan ketiga papa maksa aku sampe akhirnya aku mau belajar sepeda.”

“Engga mau! Mama disini aja, aku ngga mau ditinggal!” Memori kedua, menampilkan anak laki-laki yang tengah menangis dalam balutan seragam sekolah di hari pertamanya, merengek sambil menggenggam kuat tangan sang Mama. “Ini kan mama disini sayang, mama ngga ninggalin Shaka.” “Ayo ikut aku ke dalem kelas, kan itu kursinya banyak yang kosong, mama duduk disitu aja.” Kini anak lelaki itu menarik-narik ujung baju Claudia, sedikit membuatnya ikut tertarik ke dalam ruangan. “Mama ayo! Ngga apa-apa, kan mama ngga nakal.” Claudia terkekeh, lalu berjongkok mensejajarkan diri dengan Shaka.

“Shaka, coba liat ini di tas Shaka ada gambar apa?” Claudia menunjuk satu karakter yang tergambar pada tas gendong di pelukan Shaka. “Spiderman.” “Suka ngga sama spiderman?” “Suka.” “Mama juga suka sama spiderman, soalnya dia hebat, walau dia hidup dengan berbagai masalah dan kesedihan. Spiderman selalu siap berhadapan dengan rasa takutnya, dia petarung yang tidak kenal kata menyerah.” “Aku juga kayak spiderman! Kemarin aku jatoh terus naik sepeda tapi akhirnya aku bisa. Aku ngga nyerah. Aku juga keren kan!” “Thats right!” Claudia mengusap pucuk kepala Shaka. “Waktu itu Shaka jagoan, tangannya sampe banyak yang luka tapi ngga nyerah buat belajar naik sepeda. Sekarang juga ngga takut dong buat masuk ke kelas sendiri?”

Shaka menatap mata sang Mama ragu.

“Masa jadi spidermannya sehari doang. Jadi spiderman lagi yuk hari ini!” Shaka yang polos, ia menggeleng-geleng seakan tidak rela membuang title spiderman yang diberikan Claudia kepadanya. “Nooo, ok shaka-man will going to class right now.”

Satu persatu memori terputar, membawa lelaki itu kembali pada masa-masa paling menyenangkan di dalam hidupnya. Ada kesedihan yang menyeruak, namun memberikan kehangatan secara bersamaan.

Shaka memandang perempuan di sebelahnya, yang dari tadi tidak berhenti melempar senyum terhadap putaran memori di dalam layar. Shaka jatuh cinta pada senyum itu. Diandra, seakan membawa kembali memori lama yang tidak bisa lagi ia ulang.

Shaka mendapatkan dunianya kembali.

“Ra,” panggil Shaka. “Jangan pergi kemana-mana ya.”

Diandra menoleh, tersontak kaget menatap Shaka yang tatap matanya kini telah berubah menjadi sendu.

“Kamu kenapa?” Diandra meraih tangan Shaka, lalu menggenggamnya. “Ngga apa-apa, aku cuma, ngga mau kehilangan lagi. It hurts too much.” jawab Shaka, ia menunduk menghindari tatapan mata itu. Diandra tersenyum, seraya mengusap-usap tangan yang ada di dalam genggamannya.

“It’s called destiny. Beberapa takdir emang jahat, dan waktu yang ikut merenggut perpisahan secara paksa. We can fight, we will leave each other in the end, kita ngga bisa melawan takdir,” Diandra menghela napas, menjeda kalimatnya, “Tapi, aku janji. Selama kamu masih bisa liat aku, i’ll never ever leave you. Aku ngga akan kemana-mana.”

Shaka menjatuhkan tubuhnya pada Diandra, membenamkan kepalanya di antara pundak perempuan itu. Memeluknya erat, aroma lily yang manis dari tubuh Diandra seolah membuat Shaka semakin tertarik ke dalam pelukannya.

“Sekarang aku di sini, aku ngga akan pergi kemana-mana.” ujar Diandra, sambil menyisiri rambut Shaka menggunakan jarinya. “Let’s never stop making memories together.”

Shaka memejamkan matanya, nyaman di dalam dekapan Diandra. Merasakan sentuhan halus pada usapan tangan perempuan itu.

“Promise?” Shaka menarik tubuhnya dari pelukan Diandra, menatap binaran matanya lekat-lekat.

Diandra membalas tatapan itu, ada hening yang cukup lama di antara keduanya. Sebelum akhirnya Diandra menangkup kedua pipi Shaka, mendekatkan wajah di antara keduanya yang sekarang hanya berjarak tiga senti. Lalu mencium bibir Shaka tiba-tiba. Shaka yang terkejut tidak menolak, dengan senang hati ia menerima pagutan itu.

Perasaan hangat dari napasnya yang tidak stabil, waktu seakan berhenti saat bibir manis Diandra bertemu dengan bibirnya. Shaka meletakkan tangannya di belakang kepala Diandra, lalu membelai rambutnya dengan penuh kehangatan. Saling memejamkan mata, merasakan gelombang kenikmatan yang hampir membungkam semua pikiran.

“Promise.” jawab Diandra, di antara deru napasnya.


Hujan. Aroma sandalwood yang hangat. Jam tiga pagi. Diandra terbangun dengan isakan kecil yang tertahan, meredam suara di dalam tarikan selimutnya agar suara tangis itu tidak tersuarakan, demi menjaga ketenangan seseorang yang tidur di sebelahnya.

Terbangun pada dini hari adalah salah satu kebiasaannya jika gadis itu tidur dengan keadaan hati yang buruk. Suara-suara itu seakan menggema di dalam kepalanya, “Coba contoh Kak Theo”, “kenapa nilai bisa turun”, “suaranya bagusan yang cowo”, “kenapa ngga yang cowo aja yang nyanyi sih”. Semakin Diandra mengingat hal-hal tidak menyenangkan yang ia dapat sepanjang hari kemarin, semakin ia menyalahkan dirinya sendiri. Air matanya terus berjatuhan membasahi bantal. Diandra menutup kuat-kuat mulutnya dengan dua tangan sehingga getaran pada bahu gadis itu semakin kencang.

“Jangan ditahan Ra, nanti sakit loh dadanya. Ngga apa-apa nangis aja.”

Terasa ada tangan lain yang mengusap-usap punggungnya dari belakang. Suara khas bangun tidur dari Shaka menyapa telinganya.

“Sini sama aku, jangan nangis sendiri.” Tidak ada jawaban terdengar selain isak tangis Diandra yang mulai bersuara.

“Raa.” Gadis itu masih membelakanginya.

Shaka menggeser tubuhnya mendekat, “Wanna hug? i’m warmer more than Olaf,” lalu meletakkan dagunya di atas bahu Diandra, dan memberinya pelukan hangat.

Perempuan itu masih menangis tanpa mengeluarkan sepatah kata, sambil menatap embun di luar jendela ia menikmati kehangatan pada dekapan Shaka yang membiarkannya mengeluarkan seluruh perasaan sesak yang mengisi hatinya.

“Diandra, Diandra main yuk!” “Yah tapi Diandranya lagi nangis, ngga mau ngomong dari tadi, pacarnya dicuekkin.” “Loh, emang Diandra pacarnya siapa?” “Pacar akulaaah!”

Shaka terus mengoceh sendirian, sambil mengusap-usap lengan Diandra. Bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri seperti orang bodoh, demi menarik perhatian Diandra agar terhenti dari tangisnya.

“Kasian pacar aku lagi nangis.” “Mau nangis sampe kapan? sampe pagi? sampe besok, atau sam-“ “Seminggu.” Diandra mulai merespon candaan Shaka dengan nada datar tidak tertarik. “Waduh seminggu! Ok boleh, tapi posisinya nanti gantian ah, curang banget, kan aku juga mau dipeluk.” “Ya udah sana kalo ngga ikhlas.” “Ya udah sana kalo ngga ikhlas,” Shaka mengikuti nada bicara Diandra, sambil memajukan bibir, “Sana sana tapi dari tadi tangan aku dipegangin terus.”

Diandra melepas pelukan Shaka secara sepihak, mendorong lelaki itu hingga ke ujung kasur lalu menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut.

“DIH NGAMBEK!” “Udahlah berisik aku mau tidur.” “Mana ada mau tidur cekikikan. Ketawa mah ketawa aja ngga usah gengsi!” Diandra tertawa, “Beruntung kan kamu punya pacar receh.” Ia mengalah, membalikkan badannya menyamping ke arah Shaka.

“Kenapa bangun?” Shaka mengelus-elus dahi Diandra dengan jari telunjuknya, saling berhadapan dengan jarak yang dekat. “Ngga tau, tiba-tiba kebangun aja dada aku sakit.” “Ada yang mau diceritain? i’m listen.”

Shaka menggeser tubuhnya lebih dekat, lalu memindahkan kepala Diandra ke atas dadanya. Tangannya mulai memainkan rambut Diandra.

“Sekilas aja ya, aku ngga mau inget-inget.” Shaka tersenyum, kemudian mencium lembut pucuk kepala Diandra, “Go on, senyamannya kamu Ra.”

“Tadi siang bunda marahin aku gara-gara ipk turun, eh, bukan marah sih, lebih ke negur aja, cuma dibayangan aku tuh kedengeran suara bunda kalo lagi ngomong serius. Terus, aku mulai dibandingin sama Kak Theo, aku bosen banget apa-apa selalu dia yang dijadiin patokan, padahal kan aku juga punya potensiku sendiri. Kenapa sih apa-apa Kak Theo. Kesannya aku ngga berguna banget dibanding dia.”

Diandra berbicara tanpa menatap mata Shaka.

“Terus tadi di kafe, Hesa tiba-tiba ngabarin ngga bisa dateng sepuluh menit sebelum harusnya kita naik panggung. Aku panik, aku belum pernah nyanyi sendirian, ngga ada persiapan. Mana tadi kafenya rame banget. Aku nge-blank, dua kali salah masuk nada, suara aku fals, aku lupa lirik. Ancur. Sampe yang makan ngga ada yang liat ke arah panggung sama sekali, aku malu.”

Air matanya mulai jatuh kembali, Diandra bercerita dengan suara yang bergetar sambil sesekali menggigit bibir agar tangisnya tidak kembali meledak.

“Udah?” “Udah, segitu aja. Semakin aku cerita detail, semakin keliatan kalo aku payah.”

Shaka sedikit mengangkat kepalanya, mengintip Diandra. Ia sadar kalau tangisan perempuan itu kembali pecah. Shaka menyeka air matanya, lalu kembali meletakkan dagunya di atas kepala Diandra.

“Aku hampir selalu denger cerita kamu tentang gimana kamu dituntut untuk dapetin nilai yang sempurna di mata beliau, dan kamu selalu berujung blaming diri sendiri kapanpun kamu ngga bisa kejar target itu. Tapi, kamu lupa. Dengan kamu berusaha untuk mengikuti alur yang dikasih bunda dengan kondisi kamu yang sebenarnya tertekan sama tuntutan itu, kamu udah keren, Ra. Ngga gampang loh menyesuaikan diri dengan hal-hal yang kita ngga suka, apalagi dengan sesuatu yang ngasih kamu tekanan. Dan kamu berhasil bertahan sampe sejauh ini, kamu hebat banget.”

Shaka menjeda ucapannya, seraya menyisiri rambut Diandra menggunakan jarinya, “Jangan selalu mematok semuanya dari hasil yang kamu dapet, karena proses yang kamu lewatin itu lebih berharga dari si target itu sendiri. Berhasil itu bonus, kalo gagal, ayo kita belajar dari kesalahan itu. Dengan kamu gagal, bukan berarti kamu payah, no. Kamu ngga nyerah, kamu ngelewatin semua prosesnya sampe hari ini. You reallly did a great job, aku bangga banget sama kamu Ra. Makasih udah bertahan sampe sejauh ini ya.”

Diandra mencerna omongan Shaka, menatap mata lelaki itu lekat-lekat sambil tangannya memainkan telinga Shaka.

“Terus yang masalah nyanyi, hahaha! kamu ngga perlu malu Raaa, itu artinya kamu lagi menciptakan pengalaman. Ngga ada pengalaman yang isinya mulus-mulus doang, and it’s normal. Ngga apa-apa, besok kamu nyanyi lagi, tunjukkin kalo kamu layak ada di atas panggung. Okay?”

Diandra semakin terpaku oleh kata-kata Shaka, lelaki itu bahkan menasehatinya tanpa sedikitpun membuat Diandra merasa terpojok.

“Aku speechless, ngga tau mau ngomong apa.” Diandra menghela napas, semakin memeluk Shaka dengan erat. “Thank you so much. I feel like the luckiest girl ever for being chosen by you.”

Shaka menarik Diandra ke dalam pelukannya, kemudian kembali mencium dahi Diandra.

“Udah yuk, sekarang tidur, udah mau jam empat pagi.” Shaka memejamkan matanya di atas kepala Diandra, sembari mengusap-usap punggungnya. “Eh bentar, kok tadi siang kamu ngga nanya-nanya masalah ipk?” Diandra menyembul dari dalam rangkulan Shaka. “Aku tau kalo kamu ngga puas sama hasilnya.” “Tau dari mana?” “Kalo kamu seneng, pasti kamu bakal cerita duluan sambil excited. Dari kamu diem aja juga aku udah tau.” “Kok udah tau tapi ngga nanya?” “Kamu kalo sedih kan ngga mau ditanyaaa, udah ah ayo tidur, aku ngantuk.” Shaka kembali menenggelamkan kepala Diandra ke dalam pelukannya. “Aku udah ngga ngantuk.” “Terus mau ngapain?” “Nonton narnia yuk!” “Araaa!” “Pleaseee, ya, ya aku yang bangun deh ambil remot, kamu diem aja di kasur.” “Aku ngantuk mau tidur!” Shaka tidak melepas tangan Diandra yang dari tadi melingkar pada pinggangnya.

“Ya udah aku nangis lagi.” “Aku pulang.” “Mau cari pacar baru.” Ledek Diandra seolah merajuk kesal. “Hhhh, ya udah fine, kita nonton!” “HAHAHAHA yeay! I love you.” Kemudian ia mencium pipi Shaka, sebelum berjalan mengambil remot.


“Aku minta warna putih lagi dong.”

Diandra menyodorkan palet pada Shaka yang tengah sibuk menari-narikan kuasnya di atas kanvas. Hari ini, Shaka belum banyak bicara, selain menjawab pertanyaan-pertanyaan Diandra yang bagaikan percakapan di antara dokter dan pasien, “kamu bener udah sembuh?”, “tadi obatnya masih di minum ngga?”, “suhu terakhir kamu berapa?”, lelaki itu seakan bersikap dingin hari ini. Ada kegelisahan dan emosi lain yang tergambar jelas pada raut wajahnya.

Shaka tidak terlalu suka ditanya. Kapanpun Diandra merasa ada yang aneh dari Shaka, perempuan itu hanya akan menemaninya seharian, mengajaknya melakukan atau membicarakan hal-hal yang Shaka suka, sambil menyisiri rambut lelaki itu di atas pangkuannya. Shaka akan bercerita sendiri kalau dia mau.

“Thank you.” Diandra menerima kembali paletnya, Shaka hanya mengangguk dan mengusap pucuk kepala Diandra, lalu kembali menaruh fokus pada lukisannya.

“Kamu lagi bikin apa?” Diandra kembali membuka percakapan. “Bintang.” Jawab lelaki itu, singkat namun tidak terdengar ketus. “Wiiii, aku suka bintang! Mau liat.” “Hahaha nanti, belum jadi masih jelek.” “Dih, jelek katanya. Liat kanvas aku, aku dari tadi cuma nyoret-nyoret ngga ada polanya.” Balas Diandra, sambil memajukan bibirnya.

Shaka terkekeh memandangi kanvas Diandra yang hanya berisi tumpukkan warna abstrak yang ia coret secara asal.

“Kamu emang ngga ngegambar pola apapun, tapi kamu melukis perasaan kamu disana,” ujar Shaka, “I can feel it.”

Shaka meraih kanvas itu.

“No one can ever make the same painting as this one, that’s what makes it interesting. It’s cool! Buat aku ya lukisannya.”

Diandra menatap Shaka heran, bagaimana bisa ia memuji coret-coretan yang bahkan terlihat seperti gambaran anak yang baru belajar menggunakan pensil.

“Shaka, is there something happen?” tanya Diandra hati-hati.

Shaka melempar senyumnya sebelum ia beranjak meninggalkan Diandra sejenak. Lelaki itu mengambil satu keping vinyl record milik André Gagnon berjudul monologue, yang sampulnya sudah mulai terlihat lusuh, seperti rilisan jadul.

“Mau denger ngga, Ra. Ini pianis favoritnya mama.” “Mau, ayo dengerin!”

Shaka memutar piringan hitam itu di atas turntable pada meja kayu di sudut ruangan. Les jours tranquilles, lagu pertama yang terlantun mengisi keheningan di dalam ruang kesayangan sang peri lukis.

“Sini, bintang aku udah jadi.”

Shaka menarik Diandra pelan, mendudukkan perempuan itu di atas pangkuannya. Sebelah tangannya terlingkar pada pinggang Diandra.

“What do you see?” “There’s sky with a lot of stars, terus ada.. eh ini apa sih? kunang-kunang? and a girl who is looking at it.” “Mama.” “Mama?” “Perempuan ini mama, she’s an astrophile,” jawab Shaka, sambil menunjuk sketsa perempuan yang tengah menatap langit di atas kanvasnya.

Astrophile; the one who loves stars and astronomy.

“Kalo kamu suka banget sama lampu kota, mama juga suka banget sama cahaya bintang. Katanya, bintang itu baik udah mau nemenin bulan, soalnya kalo bulan sendirian, dia ngga akan bisa ngasih cahaya yang cukup buat langit malam. Nanti orang-orang di bumi ngga bisa liat!” ujar Shaka, “Sederhana banget alesannya, tapi the way she always get excited just by looking at one star, everybody knows how pure she is.”

Diandra tergelak melihat perubahan ekspresi Shaka dengan senyum sumringah yang sekarang tersimpul pada bibirnya. Senyum yang selalu hadir, kapanpun ia berbicara tentang mama, wanita yang paling lelaki itu cintai.

Lalu tatap matanya jatuh pada inisial huruf di ujung kuas. Jari-jarinya mengelus ukiran yang timbul di atas sana. Alat-alat lukis yang sudah lama tidak disentuh pemiliknya itu serasa masih bernyawa. Sentuhan tangan cantik milik Claudia, seakan masih ada di sana.

Dalam hitungan detik, Diandra tersontak, diam mematung terhadap nama yang selalu terasa familiar di dalam kepalanya. Claudia Ashalina, salah satu nama yang terpampang tepat di sebelah lukisan pada art gallery yang terakhir kali ia datangi, bersama anak dari pemilik nama indah itu.

”Damn it, how stupid i am!” pekik Diandra, seolah merutuki diri sendiri.

Shaka ikut terkejut, menatap Diandra heran.

“Claudia Ashalina, is she-“ “You’re right,” Shaka memotong kalimat Diandra, “Sekarang kamu inget,” dan ia tersenyum.

“Why? kenapa kamu ngga ngingetin aku?”

Nadanya sedikit meninggi, ada kekecewaan yang ikut tersampaikan di dalam getaran suara Diandra.

“Shaka, maafin aku, kok aku jahat banget ya.. maaf aku udah lupa..”

Shaka merasakan ada perasaan sesal yang tersimpan di antara mata perempuan itu, tatapannya seakan meminta penjelasan, kenapa ia membiarkan Diandra melupakan salah satu moment penting bagi hidupnya.

“Ra.”

Shaka mengusap lembut pipi Diandra.

“Hari itu kejadiannya cepet banget, bahkan cuma selewat kamu liat namanya. Kalo aku jadi kamu, aku juga pasti ngga akan nyadar.”

Diandra masih diam menatap Shaka tidak terima, memandangnya lekat-lekat dengan rasa bersalah. Kini mulai ada genangan air mata di dalamnya. Hatinya terasa sakit. Mengingat betapa besar keinginan Shaka untuk membuat dunia mengakui karya sang ibunda.

“Jangan nangis!”

Cepat-cepat Shaka menyeka air mata yang hampir menetes pada mata perempuan itu.

”Aku udah ngeliat nama beliau berkali-kali, tapi kenapa aku ngga pernah nyadar kalo nama itu adalah nama yang sama saat pertama kali aku liat nama mama di sana. Aku kecewa banget, jahat, ngga seharusnya aku ngelupain nama beliau.” sesal Diandra.

Shaka menggeleng tidak setuju pada satu pernyataan yang baru saja ia dengar.

“Kamu bukan orang jahat, kamu ngga salah, dan ngga ada yang salah.”

Diandra menjatuhkan kepalanya pada ceruk leher Shaka, memeluknya erat, bersamaan dengan air mata yang tidak bisa lagi ia tahan.

“You lie.” Balas perempuan itu dengan suara tertahan. “I’m sorry.”

“Ngga apa-apa sayang,” Shaka mengusap-usap punggung Diandra, hangat, “Makasih ya ra. Makasih udah bilang nama mama cantik, thank you for calling her as an angel, thank you for adoring her that much.”

Semakin Shaka memakluminya, isakan Diandra justru semakin menjadi.

Shaka, your mother really raised you well, how lucky you are, karena sudah terlahir dari rahim seorang ibu yang luar biasa cantik hatinya. I wish i could meet you sooner.

“Kamu lucu banget kalo nangis, aku cium boleh ngga?” ledek Shaka. “SHAKAAA!” “Udah ah, yuk bangun, kita kan mau ngelukis seneng-seneng.” Hiburnya, lalu mencium pucuk kepala Diandra.

Diandra menarik tubuhnya dari pelukan Shaka, sambil menggosok-gosok mata, masih pada posisi yang sama di atas pangkuan lelaki itu. Lantunan instrumen pada vinyl yang masih terputar, seolah ikut mendramatisir apa yang baru saja terjadi.

“Mama selera musiknya bagus, gara-gara mama aku jadi seneng dengerin musik klasik tau. Ternyata emang nenangin banget.” Ujar perempuan itu tiba-tiba.

Alunan musik. Shaka teringat sesuatu pada janjinya terhadap papa.

“Ra, how sweet it would be if there was a couple, terus mereka nari berdua pake alunan musik klasik kayak gini.” “Eh, iya!” rasa sedihnya mulai teralih, “Kayak di film la la land, terus ituuu geneveive sama derek, aku bisa ngulang berkali-kali scene mereka kalo lagi dansa, aku ngerasain banget atmosfernya!”

Diandra, perempuan yang selalu berhasil membuat Shaka terpana dengan segala keantusiasannya terhadap hal-hal kecil. Keunikan itu mampu membuat Shaka jatuh berulang kali.

“Mau ngga?” Shaka menjeda kalimatnya, “Engga sekarang, but, would you like to dance with me? someday.”


Diandra mengetuk pintu apartment bernomor 548, sambil membawa satu kantong plastik yang cukup besar berisikan obat-obatan dan makanan ringan yang aman untuk dikonsumsi orang sakit, hasil googling. Sebenarnya, Diandra jelas sudah mengetahui password apartment Shaka, mengingat kamar itu sudah nyaris menjadi rumah keduanya, karena hampir tiap hari dua orang itu menghabiskan waktu bersama disana. Selain jatuh cinta pada pemandangan kota yang disuguhi oleh kamar Shaka, Shaka sendiri adalah alasan utama mengapa Diandra senang berlama-lama disana. Diandra selalu merasa aman kapan dan dimanapun selama Shaka ada di sampingnya.

“Masuk aja kali ya, ngapain amat gue nungguin padahal tau passwordnya.” Diandra bergumam pada diri sendiri.

Baru saja tangannya hendak menekan tombol, pintu itu terbuka, menampakkan laki-laki dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur, bibirnya pucat pasi.

“Kenapa ngga masuk aja sih, Ra?” tanya Shaka, suaranya serak. “Iya maaf, aku tau kamu pasti tidur, jadi takut ngagetin.”

Shaka kembali tergeletak di tempat tidur dan memejamkan mata, memaksa diri untuk tidur lagi sambil memegangi perutnya. Diandra yang berjalan tertinggal di belakangnya meraih lelaki itu, menahannya agar tetap terjaga.

“Eh, engga ada jangan tidur lagi, kamu belum makan!“ “Percuma, Ra nanti juga kebuang lagi. Aku udah bolak balik kamar mandi lima kali hari ini.” Jawab Shaka, tanpa membuka singkapan selimutnya sedikitpun. “Ya makanya, sekarang perut kamu kosong, harus diisi. Udah ayo makan dulu ya, ini aku beliin bubur, terus minum obat, baru kamu boleh tidur lagi.”

Shaka mengalah, ia duduk menyandarkan diri pada sandaran kasur dengan selimut yang ia liliti pada seluruh tubuhnya, sehingga hanya menampakkan kepalanya yang menyembul. Seperti bayi di dalam bedong.

“Hahaha kamu kayak we bare bear!“ goda Diandra, sebelum menuju lemari dapur yang hanya dibalas oleh kernyitan dahi oleh Shaka.

Shaka memperhatikan perempuan dengan kardigan rajut berwarna mint itu dari atas kasur, sambil diam-diam tersenyum dan bergumam dalam hati, “mom, she is taking care of me, don’t worry.”

“Ayo makan dulu anak bayi, mau aku suapin?” Diandra kembali menghampiri Shaka, membawa satu mangkuk bubur hangat dan gelas berisi air minum.

“Ngga mau, aku bukan anak kecil, aku bisa makan sendiri ya!” timpal Shaka seraya merebut mangkuk dari tangan Diandra.

Selagi menunggu Shaka menyantap makanannya. Diandra beranjak dari kasur, membereskan beberapa baju dan jaket kotor yang masih tergeletak di lantai. Kamarnya cukup berantakan, karena hampir seharian ini Shaka hanya menghabiskan waktu di atas kasur.

“Kamu abis makan apa sih, perasaan tadi pagi belum kenapa-kenapa?” tanya Diandra. “Aku tadi siang beli tomyum, ngga tau kalo ternyata pedes.” “Emang ngga nanya dulu?” “Aku pesen yang biasa, aku ngga tau kalo yang biasa ternyata udah pedes.” “Terus sekarang masih sakit perutnya?” “Lumayan, tapi udah ngga bolak-balik kamar mandi lagi.” Jawab Shaka, bersamaan dengan suapan terakhirnya.

Diandra kembali menghampiri Shaka, kali ini membawa beberapa butir obat dan satu buah apel yang telah dikupas.

“Mau? aku baca di google katanya buah apel bagus buat orang yang lagi diare, udah aku kupasin.”

Tidak mengiyakan ataupun menolak, Shaka malah meresponnya dengan partanyaan lain.

“Kamu mau pulang abis ini?” “Aku boleh pulang?” “Engga boleh!” pinta Shaka, sambil meraih satu potong apel.

Diandra ikut merebahkan diri di kasur, bersebelahan dengan Shaka. Namun tiba-tiba Shaka menggeser tubuhnya menjauhkan diri, memberi jarak yang cukup renggang di antara mereka berdua.

“Ra jangan deket-deket, badan aku masih panas. Nanti kamu ketularan.” Diandra ikut menggeser tubuhnya kembali berdekatan dengan Shaka. “Ngga apa-apa imun aku kuat, sini, kamu ngga mau aku peluk, ngga dingin?” goda Diandra. “Tadi katanya this person needs hug HAHAHA.”

Shaka menggigit bibir menahan senyum, ingin rasanya ia melingkarkan tangan pada pinggang perempuannya, mencari kehangatan di dalam dekapan itu. Shaka kembali menggeser tubuhnya sampai pas di ujung kasur. Ia benar-benar tidak mau Diandra ikut tertular.

“Jangaaan! Udah kamu diem disitu, jangan geser lagi, aku jatoh ntar.” Bukan Diandra kalau tidak ngeyel, alih-alih ikut menggeser dirinya, perempuan itu langsung menarik Shaka yang tengah lemas kehilangan tenaga, meletakkan kepala lelaki itu di atas lengannya, “bawel, sok sok nolak.” Shaka pasrah tidak menolak, ia melingkarkan tangannya pada pinggang Diandra, “kalo kamu sampe sakit aku ngga tanggung jawab.”

Aroma sandalwood dari diffuser seperti biasanya, semakin memberi kesan tenang yang membuat dua orang di balik selimut itu mengantuk. Shaka sudah lebih dulu tertidur di dalam dekapan Diandra karena efek kantuk pada obat yang barusan ia minum. Pelan-pelan Diandra memindahkan kepalanya pada bantal, lalu menyelimuti seluruh tubuh lelaki itu dengan bed cover, sebelum ia pindah ke sofa, agar lelaki itu bisa tidur di atas kasur yang lebih lega.

“Aku pindah ke sofa, ya. Aku disini, aku ngga pulang.”

Diandra berbisik sambil mengusap kening Shaka yang masih terasa hangat, lalu menciumnya.


Pukul tujuh malam di hari Senin, bukan tanpa alasan Diandra ogah-ogahan mengiyakan permintaan Theo, berada di jam kerumunan di mana orang-orang pulang beraktivitas membuat mereka berdua terjebak di dalam mobil tanpa bergerak sama sekali.

“Bener kan, kita belum ada setengah jalan aja udah ngga gerak sama sekali, ini sih nyampe rumah tengah malem.”

Diandra mendengus seraya menatap barisan mobil di depannya dengan raut wajah kesal. Tangannya dari tadi bolak balik menekan-nekan tombol pada radio, mengganti tiap lagu yang bahkan belum terputar sampai reff.

“Jangan diganti-ganti muluuu!” Shaka dengan cepat meraih tangan Diandra, lalu membawa tangan itu ke dalam genggaman di atas pahanya. “Aku pegangin, tangan kamu ngga mau diem.”

“Aku bete tau, bukan bete macet-macetan sama kamunya. Tapi mikirin kita mau nyampe jam berapa coba?”

Shaka memiringkan badannya berhadapan pada Diandra, mendengarkan ocehan perempuannya sambil sebelah tangannya mengelus-ngelus tangan manis itu. Diandra mengoceh tanpa henti dengan bibir yang mengerucut, terlihat menggemaskan bagi Shaka.

“Mau coklat ngga? itu ada di belakang.” “Lah kamu bawa cemilan?” sorot matanya langsung berubah antusias. “Bawa, aku tau bakal macet jadi tadi sebelum jemput kamu aku mampir dulu beli jajanan.” “Bukan bilang dari tadiiii!”

Diandra mengambil satu plastik berwarna putih pada jok belakang mobil yang berisikan cemilan-cemilan ringan kesukaannya.

“Silverqueen, kitkat, tao kae noi, chitato.. OMG ICHITAN MY LOVE KENAPA CUMA SATU?!” “Eh enak aja ichitan punya aku ya, kamu kan ngga suka katanya kayak permen alpenlibel diblender!” protes Shaka. “Yang nyuruh aku suka ichitan siapa?” balas Diandra tak mau kalah. “Aku.” “Ya udaaah bagi dua!”

Tiga puluh lima menit berlalu, dua orang itu masih terjebak di jalan yang sama. Laju mobilnya hanya bisa bergerak merayap tiap lima menit sekali, arus lalu lintas belum cukup melenggang. Sambil meneguk ichitan yang tersisa setengah botol, Shaka menyodorkan ponselnya pada Diandra yang dari tadi tidak berhenti mengunyah.

“Ra buka spotify aku, aku punya playlist baru.”
“Sini.” Diandra meraih ponsel dan mencari playlist baru yang dimaksud, sebelah tangannya masih memegang satu bungkus chitato. “Stuck in the traffic?” Shaka mengangguk. “Jangan bilang ini kamu bikin playlistnya barusan juga? prepare banget anjirrrr.”

Lelaki itu terkekeh, tangan kirinya kini meraih pucuk kepala Diandra, mengusap lembut tiap helai rambutnya.

“Soalnya aku tau kamu pasti bete, so i need to prepare everything well for you.”

🎶 Everything i didn’t say – 5 Second of summer

Whoa, whoa, oh, oh Whoa, whoa, oh, oh This is everything i didn’t say

Wait, don't tell me Heaven is a place on earth I wish i could rewind all the times that i didn't Show you what you're really worth (What you're really worth)

“Okay, check check welcome to the stuck in the traffic series with Shaka and Diandra.”

Shaka tiba-tiba bertingkah seolah ia adalah pemandu wisata dadakan pada tur travel dengan botol kosong di tangannya yang ia jadikan mic ala-ala. Diandra yang terkejut namun tidak heran, karena, ya.. Shaka memang kadang serandom itu. Hanya orang-orang beruntung yang bisa bertemu sisi humornya.

“Mba Diandra, tolong kacamata di dalam dashboard.”

Telepatinya seakan tersambung pada orang yang sama-sama memiliki selera humor dengan satu frekuensi. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Diandra mengambil dua kacamata hitam dari dalam sana.

“Okay, make some noiseeee!”

Diandra ikut mengambil botol di sampingnya, lengkap dengan kacamata hitam yang kini telah terpasang pada masing-masing mata dua orang random di dalam mobil.

“Taking every breath away, with all the mistakes i made, from all the letters that i saved. This is everything i didn’t say.”

“I wish i could’ve made you stay, and i’m the only one to blame, i know that it’s a little too late..”

“Semuanyaaa?” Shaka menyodorkan botol ke arah mobil-mobil di depannya seolah itu penonton yang tengah menyaksikan konsernya.

“This is everything i didn’t say.”

Whoa, whoa, oh, oh Whoa, whoa, oh, oh This is everything i didn’t say


Pukul setengah sembilan malam, akhirnya arus lalu lintas mulai normal, mereka mulai memasuki pintu tol pertama. Mood keduanya kini sudah sama-sama bagus walau telah menghabiskan waktu selama satu jam di tempat yang sama. Lagu-lagu dari playlist Shaka masih terputar bersamaan dengan dua orang yang bersenandung mengikuti alunan lagu.

“Ya ampun udah mau jam sembilan, Ruby kelamaan ngga ya nunggunya, aku mulai kepikiran.” ujar Diandra.

Ruby adalah anjing betina yang di adopsi oleh Theo sekitar 5 tahun lalu, kakak satu-satunya itu memang sangat mencintai binatang, mulai dari ikan, hamster, kelinci, semua pernah dipelihara oleh Theo, dan Ruby adalah satu-satunya hewan peliharaan yang masih menemaninya hingga saat ini. Berhubung Theo tengah menjalani pendidikannya di Australia, dan tidak memungkinkan untuk membawa hewan peliharaan ke dalam asrama. Ia terpaksa meninggalkan Ruby di rumah.

“Ayah sama bunda ngapain emang ke Bali? ada urusan?” tanya Shaka. “Liburaaan! sumpah gaya banget liburan dadakan aja jauh, aku ngga di ajak.” Shaka tertawa kecil lalu mengelus sebelah pipi Diandra, “nanti kita liburan ya.”

Suara getaran tanda telpon masuk terdengar dari ponsel Diandra, itu Theo.

“Halo?” “Ara, udah berangkat?” “Udah lah dari tadi jam tujuh tapi baru masuk tol, sumpah macet banget Kak Theooo, kasian Ruby kelamaan ngga ya.”

Shaka di sebelahnya fokus pada jalanan, sambil menikmati percakapan diantara kakak beradik itu.

“Ra, jangan marah ya.” “Kenapa?”

Theo menjeda kalimatnya, suara tawanya terdengar dari ujung sambungan.

“Hehehe Ruby udah dijemput orang pet shopnya ternyata hehehehe.”

Diandra diam tanpa ekspresi, memejamkan mata lalu menarik napas dalam-dalam sebelum,

“GUE BILANG JUGA APA TUNGGU DULU SABAR, ITU KAN PET SHOP BUKA 24 JAM NGGA MUNGKIN NGGA RESPON. GUE BILANG JUGA SABAAAR!” suaranya berapi-api, Shaka yang terkejut ikut menatapnya dengan heran.

“Ya udah ih maaf kenapa sih, perginya sama pacar juga ngga kerasa.” “Bukan gitu! aku sama Shaka kejebak macet satu jam, bela-belain ngga makan dulu Kak Theo ngeburu-buru terus sekarang??” “Hehehehehehehehe ya namanya juga panik cinta hidup dan mati.” “Haha hehe haha hehe Ruby mulu diurusin, cari pacar sono! Ya udah aku pulang lagi.”

Diandra memutus sepihak sambungan telponnya, menjatuhkan tubuh pada sandaran kursi dengan helaan napasnya yang kasar.

“Kenapa?” tanya Shaka. “Ngga jelas emang aku punya kakak satu, bener kan Ruby udah diambil sama orang pet shopnya,” ia menjeda kalimatnya, “padahal aku udah bilang, sabar, tunggu respon dulu belum juga ada satu jam padahal udah grasak grusuk banget, tau gitu kan kita makan dulu aja, kesel.”

Shaka lagi-lagi terkekeh mendapati pemandangan Diandra yang berbicara dengan pipi yang menggembul, ia membiarkan Diandra meluapkan seluruh emosinya sebelum ia ikut berbicara.

“Udah marah-marahnya?” tanya Shaka dengan hati-hati. “Engga marah, aku kesel doang. Sia-sia banget kita macet-macetan satu jam tanpa gerak, mana udah setengah jalan.”

Shaka membelokkan mobil ke arah pintu keluar tol, sambil melirik perempuan di sebelahnya yang tengah menatap lurus jalanan dengan tatapan yang masih menyimpan kesal di dalamnya.

Ia menghentikan mobilnya di persimpangan jalan yang banyak diisi oleh aneka kuliner kaki lima.

“Udah kita makan yuk, kamu laper makanya gampang emosi. Mau makan apa aku pesenin.” “Kamu juga makan masa aku doang!” ”Ya iyalaaah, siapa yang bilang aku ngga makan.” “Hmm..” Diandra mengernyitkan dahi sambil melihat-lihat gerobak makanan yang berjejer di luar sana. “Aku mau sate padang deh.” “Okay, sebentar ya kamu tunggu disini.”

Selagi menunggu Shaka memesan makanan, Diandra membersihkan bekas bungkusan dan remahan snack yang berserakan di dalam mobil, memasukkannya ke dalam plastik sampah. Matanya menatap keluar, memandangi Shaka dengan hoodie hitamnya yang saat ini tengah mengantre. Warna kulitnya tampak bersinar di bawah sorot keemasan lampu jalan, Diandra merasa tidak enak karena tiada henti-hentinya melampiaskan emosi selama perjalanan.

“Tunggu lima belas menit katanya Ra, ngga apa-apa kan?” Shaka memasuki mobil, membawa dua botol air mineral dingin, “ini kamu minum dulu.”

Sorot mata Diandra tidak berpindah dari laki-laki di sebelahnya, Shaka yang sadar akan hal itu menyadari kalau ada tatapan yang terlempar tengah tertuju ke arahnya.

“Shaka.” panggil Diandra. “Maaf ya, aku ngeselin banget hari ini, dari tadi marah-marah kesannya kayak kesel sama kamu, padahal engga beneran. Maaf yaa.”

Shaka tersontak menoleh ke arahnya, heran mendengar pernyataan Diandra yang tiba-tiba merasa bersalah.

“Ra, sini.” Shaka menepuk-nepuk bahunya. “Apa?” “Nyender.”

Belum sempat Diandra mengiyakan, Shaka menarik perempuan itu ke dalam rangkulannya, menyenderkan kepala Diandra ke atas dadanya.

“Kenapa minta maaf?” tanya Shaka, sambil jari-jarinya menyisiri rambut Diandra. “Aku ngeselin.” “Ngga ada yang bilang kamu ngeselin.” “Ih kamu mah!” Diandra memukul pelan dada Shaka. “Aku tadi manja banget tau, ngeluh macetlah, terus kesel sama Kak Theo marah-marahnya ke kamu, aku ngeselin banget kamu marah dong jangan ngalah teruuus.”

Mendengar penuturan itu, Shaka justru semakin menarik Diandra ke dalam pelukannya, lalu sesekali menciumi pucuk kepalanya.

“Ya emang kamu ngga ngeselin masa aku harus marah?”

Diandra mendongak memandang Shaka dalam jarak yang hanya terpaut 10 cm diantara keduanya.

“Nih dengerin aku, kalo aku jadi kamu juga samalah aku kesel. Di luar kita peduli sama Ruby, tapi ya malem-malem, dadakan, disuruh cek ke rumah yang jaraknya ngga deket, terus tiba-tiba disuruh pulang lagi. Wajar banget, Ra kalo kamu kesel. Jadi, ngga apa-apa.” sambung Shaka.

“Kamu kesel ngga?” “Lumayan.” “Tapi kok ngga keliatan?” “Kalo aku ikutan kesel, nanti dua-duanya jadi api. Yang ada kita malah berantem, aku ngga mau.”

Diandra terdiam mendengar jawaban Shaka. Matanya tidak sedikitpun terlepas dari lelaki yang saat ini tengah memejamkan matanya, sambil mulutnya bersenandung mengikuti alunan lagu yang masih terputar.

Tiba-tiba, Diandra mencium pipi Shaka. Shaka yang terkejut membuka matanya lalu menatap balik tatapan Diandra, ini pertama kalinya Diandra mencium pipinya.

“I love you, you are the first that i don't regret for, Shaka.”

Tanpa sadar jarak diantaranya semakin dekat, dengan posisi Diandra yang sama sekali tidak berpindah dari rangkulannya.

Shaka memajukan wajahnya pada Diandra, ia merasakan hembusan nafas lelaki itu semakin menyapa wajahnya, bersamaan dengan degup jantung keduanya yang terdengar berdetak tidak karuan. Diandra spontan menutup mata ketika ia merasakan hidung Shaka telah menyentuh hidungnya. Tangannya mencengkram kuat hoodie Shaka disaat tangan lelaki itu mulai meraih pipinya.

Namun, pada saat itu juga keduanya spontan melepas rangkulan ketika seseorang mengetuk kaca mobilnya.

“Satenya, mas.”


Arion cafe night memiliki eksterior yang menawan dengan nuansa pink pastel, bangunan kafe yang terlihat simpel namun dalamnya cukup luas dan mempunyai banyak spot menarik untuk berfoto. Bangunan itu terdiri dari dua lantai, area bawah dengan suasana cozy yang tenang dan rooftop dengan panggung kecil dimana para pengunjung dapat menikmati live musik. Kafe yang dikelola langsung oleh kakak laki-laki Gistara itu cukup ramai dengan mayoritas pengunjungnya anak-anak muda, walau notabennya baru melangsungkan opening dua minggu yang lalu.

Diandra bisa merasakan dirinya menciut setelah mendapati jumlah pengunjung kafe disana. Raut wajahnya mulai berubah. Padahal sepanjang perjalanan tadi, perempuan itu tidak henti-hentinya menyebut dirinya keren setelah berani mengambil tawaran bernyanyi di kafe. Shaka sampai berkali-kali menyuruhnya diam demi menjaga pita suaranya yang terlalu semangat melakukan carpool karaoke tanpa henti. Dan keantusiasan itu seolah hilang begitu saja.

“Shaka, kok rame banget.” Tangannya reflek menarik ujung jaket Shaka yang berjalan di sebelahnya. Lelaki itu menoleh dengan senyum hangat yang menenangkan sebelum tangannya meraih tangan Diandra. “Remember what i said on the phone? Rilex, ngga apa-apa. Yuk.”

Keduanya berjalan memasuki kafe, melewati beberapa pengunjung dengan aroma kopi dan minuman manis lainnya yang bercampur menjadi satu, menyeruak ke dalam indra penciuman.

“Ara, Shaka sini naik!” Dua orang itu menangkap sosok familiar dari atas rooftop yang pemandangannya bisa terlihat dari bawah. Itu Gistara dan Zella.

“Idiiiih gokil artis gue, kirain mau kabur lo Ra ngga jadi dateng.” Ledek Gistara. “Ngga kabur, tapi nih, tangannya udah kayak es batu.” Shaka menjawab sambil mengangkat sebelah tangannya yang tengah menggandeng tangan Diandra. “ANJIR PAMER APA GIMANA?!” “Lepas kali lepas, aman lo berdua di kafe ngga lagi nyebrang.” “Sumpah Gi, lambe lo sebelas dua belas banget sama Naresh najis.” “Lo berdua tuh pacaran ngga sih?” Tanya Zella.

Keduanya saling melirik, seolah saling menunjuk siapa yang harus menjawab pertanyaan itu. Hubungan Shaka dan Diandra memang mampu memberi pertanyaan bagi siapapun yang berada di antaranya. Perilaku masing-masing yang terlihat tidak mungkin jika disebut sebagai teman, namun belum mencapai level dimana keduanya bisa disebut sebagai sepasang kekasih. (u pada cape ga sie)

“Partner duetnya Ara mana?” Shaka mengalihkan pembicaraan. “Oh iya, mana ya tadi si Hesa ke toilet ngga balik-balik.” “Tuh anaknya.”

Lelaki dengan setelan jeans itu melambaikan tangan dari arah tangga, melempar senyuman yang menampilkan barisan gigi-giginya yang rapi. Perawakannya sangat tinggi, membuat siapapun yang ada di sebelahnya terlihat mungil, begitupun dengan Shaka, hampir 10 cm jarak yang terpaut diantara keduanya.

“Hai, sorry lama nunggunya ya?” Hesa menyapa sambil mengulurkan tangan pada Diandra dan Shaka. “Hesa. Udah lama Ra?” “Engga engga santai, baru aja dateng.” “Gimana? Mau langsung naik?” “LOH SEKARANG BANGET?” Diandra memekik bersamaan dengan getaran pada matanya. “Hahaha engga, kita kenalan sama panggung aja, sekalian nyesuain nada.”

Matanya secara otomatis menatap Shaka yang bisa langsung ditangkap oleh lelaki itu kalau ada kekhawatiran di dalam sorot mata Diandra. Shaka membalas dengan anggukan, diikuti gerak bibir yang menyuarakan “it’s okay” tanpa suara.

“Bro, pinjem cewenya bentar ya.” Hesa menepuk pelan bahu Shaka sebelum ia berjalan menuju panggung.

Panggung kecil itu mengarah tepat pada meja dan kursi di depannya yang sudah mulai terisi beberapa, ada dua stand mic dan satu gitar akustik yang siap mengiringi dua orang di atas sana. Diandra merasakan telapak tangannya semakin dingin bercampur keringat. Diikuti tatapan mata para pengunjung yang mulai menaruh fokus padanya.

“Sa, aduh gimana ya, gue minta maaf banget kalo nanti gue nyanyinya kacau atau gimana, sumpah gue deg-degan banget.” Diandra menghampiri Hesa yang sedang sibuk mengotak-atik senar gitar dengan wajah yang sudah hampir terlihat pucat, dan lelaki itu balik menatapnya dengan tawa kecil yang terlepas.

“Lo baru pertama kali ya manggung?” Tanya Hesa. “Pertama kali dalam seumur hidup.” “Muka lo panik banget Ra hahahaha.”

Menyebalkan, Diandra melempar tatapan sinis pada lelaki itu, ia seperti ingin mendorong Hesa dan menarik Shaka ke atas panggung.

“Waktu pertama kali gue tampil di depan publik juga gue kayak lo, semua orang bahkan kayak lo. Wajar kalo sekarang lo deg-degan.”

Hesa menjeda perkataannya.

“Tapi, semakin gue terbiasa ya semakin biasa aja, malah gue semakin pengen lama-lama di atas panggung. Yang berarti, lo juga pasti akan begitu, lo cuma perlu memulai untuk bisa terbiasa.”

“Santai Ra, ada gue, nanti gue cover oke. Tenang aja pokonya manggung perdana lo pasti lancar.”

Waktu memasuki pukul tujuh malam. Hesa mulai meraih mic, lalu menyapa para pengunjung yang benar-benar terlihat sebagai musisi dengan jam terbang tinggi. Detak jantung perempuan itu semakin tidak karuan, matanya dari tadi hanya mengarah ke arah meja yang diisi oleh Shaka dan teman-temannya. Naresh, Jeno, dan Ozzie juga sudah ada di sana, masing-masing menyalakan flash dari ponsel seolah menyerupai cahaya bintang yang menyorot.

“We will fill your night with some sweet songs under the moonlight, so, enjoy!”

Petikan gitar mulai terdengar bersamaan dengan tepukan tangan yang menjadi pembuka untuk penampilan mereka malam ini. Keduanya sama-sama mendekatkan mic pada bibir, siap memamerkan suara emas yang dimiliki.

“Lyin' isn't better than silence, Floatin', but i feel like i’m dyin', Still, no matter where i go At the end of every road You were good to me You were good to me.”

Hesa memulai nyanyiannya, bersamaan dengan getaran mata panik yang masih ada di dalam sana. Shaka dari ujung meja berjalan menuju kursi kosong yang terletak persis di depan panggung, menyemangati Diandra lebih dekat sambil memberi sinyal,

“Ra, two-two-one breathe.”

Diandra menangkap sinyal itu dengan baik. Ia meletakkan tangan di atas dada, dan mulai menarik dan membuang napas dengan ketukan persis seperti yang tadi sore ia lakukan lewat telpon. Lima detik sebelum bagiannya tiba.

“Leavin' isn't better than tryin', Growin', but i'm just growin' tired.”

Suara itu, bakat yang selama ini ia sembunyikan, akhirnya didengar oleh tiap pasang telinga di sana. Diandra menyanyikan lirik pertama dengan mulus, tanpa terlihat panik sama sekali.

“Now i’m worried for my soul, And i'm still scared of growin' old, You were good to me, You were good to me,”

“And i’m so used to letting go But i don't wanna be alone You were good to me You were good to me, yeah, oh”

...

“Swear i'm different than before, I won't hurt you anymore, 'Cause you were good to me”

Lagu pertama selesai dengan lancar. Senyuman lega pada perempuan itu, bertemu dengan senyum bangga laki-laki yang saat ini tengah mengacungkan dua jempol kepadanya. Sorak ricuh teman-teman dari ujung sana bahkan mampu membuat seisi rooftop menoleh. Diandra berhasil.

Lagu demi lagu berhasil dibawakan dengan baik, Diandra semakin terbiasa dengan atmosfer panggung, ditambah pembawaan Hesa yang mampu menuntun Diandra dengan nyaman. Sampai akhirnya satu-persatu pengunjung mulai meninggalkan kafe, dan keduanya menuruni panggung. Penampilan perdana hari ini selesai.

“Anjingggg keren banget temen gue.” Naresh berlari menghampiri Diandra sambil mengacak-acak rambutnya kasar.

“Gila Ra gue beneran ga ekspek lo bisa se-chill itu. Pecah banget please.” “Apa gue bilang, rugi kan kalo suara lo dipendem sendiri, gas laaah udah lo jadi vokalis gantiin Shaka.” “Ntar gue masukin story biar lo denger sendiri suara lo seenak apa.”

Pujian demi pujian dilontarkan pada Diandra, ada ekspresi sumringah yang jelas tidak bisa disembunyikan sama sekali. Malam ini, menjadi salah satu malam bersejarah bagi Diandra karena untuk pertama kalinya ia berani menunjukkan siapa ia sebenarnya di depan publik.

“Thank youuu! Beneran gue ngga tau mau jawab apa, gila, kalian keren banget bisa ngedukung gue sampe segininya, sampe gue bisa ada di atas panggung kayak tadi. Lo semua lebih keren.” Tutur Diandra.

“Heee engga, ada yang lebih keren,” Gistara melirik ke arah Shaka. “Shaka sih gila lo keren banget sumpah lo pake ilmu apa drastis banget bisa ngubah Diandra?!?!!”

“Hahaha apa sih, engga lah, gue cuma ngedukung doang. Tetep kalo bukan Ara sendiri yang ngelawan rasa takutnya, dia ngga akan bisa nyanyi kayak tadi. Good job, Ra!”

“Oiiiiii tinggal jadian anjir lo bedua cepetan nggak?! Gue kawinin sekarang juga.” Ledek Naresh.

“Eh oh iya bentar, gue nyamperin Hesa dulu.”

Diandra menghampiri Hesa yang masih bersenandung asal di atas panggung.

“Hesa! Tos dulu laaah!” “Hahahaha gimana Ra? Aman kan?” “Aman sumpah aman banget, makasih banyak ya Sa, lo keren banget tadi.” “You’re cooler ra. Jadi, fix ya ngga kapok jadi partner duet gue?” “Fix!”

Malam itu berakhir dengan sempurna. Segala ketakutan dan kepanikan yang Diandra khawatirkan tidak ada satupun hal buruk yang terjadi pada penampilannya. Tidak ada suara fals, tidak ada kecanggungan, semua itu hanya berakhir di dalam kepalanya. Diandra is getting more confident.

“Ra, nih.”

Shaka mengeluarkan satu buah flashdisk tepat perempuan itu memasuki mobilnya.

“Flashdisk? Punya siapa?” “Your gift. Hadiah lo ada disini.” “OHIYAAA LO KAN MAU NGASIH HADIAH YA KATANYA ABIS GUE NYANYI.” “Berisik, happy banget kayaknya.” “HAHAHA iya laaah gue terakhir dapet hadiah kapan ya ngga tau lupa, tahun lalu waktu ulang tahun.” “Ya udah, nanti sampe rumah diliat.” “Okey, besok.”

Jawaban yang hanya mendapatkan respon kernyitan dahi dari lelaki itu.

“Sekarang ngantuuuk, ayo pulaaang!”