280; Phone Talk
Diandra meletakkan ponselnya di atas kasur dari pertama kali ia mengangkat telepon dari Shaka, memposisikan dirinya tengkurap sambil mencoret-coret gambar asalnya di layar ipad. Semenjak hampir tiap minggu Shaka mengajaknya melukis, entah di mini studio mama ataupun di kamar apartment Shaka, tangan Diandra jadi semakin terlatih untuk menarik garis-garis pola di atas kertas. Perempuan itu sekarang jadi gemar menggambar, walau referensi gambar yang ia buat juga itu-itu saja.
Shaka di ujung sana, sama-sama meletakkan ponsel di atas meja, fokus matanya sibuk menelusuri nama-nama restoran di dalam internet.
“Sumpah tapi sampe sekarang tuh aku masih suka bertanya-tanya sendiri tau, kamu tuh kenapa ada aja ya idenya?” tanya Diandra.
Shaka tertawa, “Aku juga ngga tau, soalnya emang beneran kepikiran sendiri.” jawabnya, bersamaan dengan suara keyboard laptop yang ikut terdengar dari ujung sambungan, “Kayak tiap kamu lagi kenapa-kenapa ya misal, otak aku auto bekerja sendiri, ok shaka you need to do this for cheer her up.”
“Terus kenapa kamu ngide bikin akun itu fullsunset bldkdk apa sih namanya susah.” Diandra mengungkit ulang perihal akun instagram yang ia jumpai dengan ratusan potret miliknya di sana. “Fullsunset.bvrl06” Shaka membenarkan. “Nah itu, maksudku, tujuannya untuk apa?” “As written in the bio, for adoring you.”
Diandra terdiam untuk beberapa detik, melengkungkan garis bibirnya dengan binaran mata yang berkerlip.
“Thank you, thank you so much.”
“No need to thank you ra,” Shaka menjeda kalimatnya. “Admiring you is a fun thing that i always want to do every day.”
“I remember the first time you made me tts,” Diandra tertawa, “Itu aku speechless banget jujur, effort banget gila sampe bikin-bikin pertanyaan, bikin pola, padahal kamu ngajak biasa juga aku iyain.”
“Ya kan itu first date, masa ngajakin jalan pertama kali ngga berkesan,” Shaka menutup laptopnya, lalu meraih ponsel dan pindah berbaring ke atas kasur berkemul selimut. “Harus berkesanlah biar kamunya baper.”
“Dih? Biar apa?”
“Biar naksir, kan aku jadi gampang deketinnya HAHAHA.”
“Oh ternyata kamu ada rasa ngga pede juga ya,” Diandra menjeda ucapannya, “Aku kalo jadi kamu udah pasti bakal efortless sih. Kek ngapain gitu coyyy, kamu ganteng iya, pinter iya, suara bagus, alat musik semua bisa, sopan, family oriented, terus apalagi ya? banyak banget ternyata, kamu kok nyaris sempurna dipikir-pikir curang amat?!?!”
Nada suaranya semakin meninggi, deru napas antusiasnya terdengar sepanjang ia berbicara.
“Ok lanjut, nah tapi kamu tuh ngga yang cuma modal tampang doang, kamu beneran baik banget astagaaa aku bingung kamu bukan manusia ya?? soalnya aku belum pernah liat kamu marah yang beneran marah perasaan. Ya gitu deh intinya kamu napas doang juga cewe-cewe pasti naksir sendiri, ngga usah too much effort. OMG I FEEL SO LUCKY FOR HAVING YOU!“
Sepanjang Diandra berbicara, entah sudah berapa kali Shaka menendang-nendang selimut, berguling kesana kemari menahan gemas bercampur malu karena dipuji sebegitunya. Wajahnya memerah. Lelaki itu bahkan tidak mampu memberi respon apapun selain suara tawa salah tingkahnya yang terdengar.
Shaka mengubah panggilan suara menjadi video call. Memperlihatkan Diandra dengan rambut yang ia ikat secara asal. Anak-anak rambutnya keluar acak-acakan, yang entah mengapa justru membuat perempuan itu terlihat sangat cantik dengan balutan gaun tidur berwarna pink muda.
“Udah ketawanya?” sindir Diandra. “Udah.” jawab Shaka dengan sisa tawanya. “Kenapa kok di switch ke vidcall?” “Kamu tadi bawel.” “Hah ngga ada hubungannya!” “Ada!” “Apa?” “Aku jadi pengen liat kamu, kangen.”
Diandra menjatuhkan kepalanya pada bantal, lalu membalikkan layar ponselnya sehingga kamera depannya ikut tertutup.
“IH MANA KOK ILANG.” “Kamu kayak gitu ngomongnya muka aku nanti kayak kepiting rebus, malu.”
Lagi-lagi Shaka tertawa.
“Ketawa mulu ngga jelas lu receh banget.” Diandra kembali menghadapkan wajahnya ke depan layar ponsel seraya ikut tertawa.
“Ada cerita apa hari ini? Ada yang nyebelin ngga?” tanya Shaka, kondisi keduanya mulai kondusif. “Ngga ada,” sambungnya lagi, “Eh ada!” “Sini bilang sama aku siapa yang nyebelin, nanti aku tampol.”
Diandra mendengus, ekspresinya seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Bibir bawahnya ia majukan secara spontan, membuat Shaka kembali menahan gemas.
“Kamu tau kan dari kemarin aku bilang mau beli kardigan? Yang putih itu loh, ada motif-motif bunga mataharinya.”
Shaka mengangguk.
“Nah, kan open po-nya tadi siang.” “Iya, terus?” “Terus aku ngga kebagian! padahal aku udah stay di webnya dari lima menit sebelum, buset, itu orang-orang jempolnya titisan belut listrik. Gak jelaaas!” Shaka terkekeh, “Kepengen banget emang?” “Pengen, tapi ya engga banget juga. Kalo ngga dapet ngga apa-apa sebenernya cuma, ya tetep kesel.” “Tapi kamu seneng banget pake kardigan rajut deh ra aku liat-liat.” “Iya ya hahaha ngga tau aku juga, seneng aja soalnya looknya bikin manis.”
Tidak ada yang bersuara untuk beberapa saat, Shaka hanya memperhatikan Diandra yang kini kembali asyik mencoret-coret gambarnya.
“Eh iya, karena aku sebel ngga dapet kardigannya, besok aku mau nyari barang lain buat pengganti kekecewaan.” Diandra tertawa. “Mau beli apa?” “Ngga tau sih, mau liat-liat dulu aja, kamu mau anterin aku ngga?” “Besok ya? Besok aku ada urusan bentar, kamu mau nunggu?” “Oh ya udah ngga apa-apa, aku sendiri aja.” “Loh beneran? aku bentar doang.” “Beneeer, sekalian me time, udah lama juga aku ngga ngasih waktu buat diri sendiri.” “Okay then.” “Kamu mau kemana besok?” “Rahasia hahaha, you’ll find out soon.”