sannflowers


“Pulangnya aku jemput?” Shaka terduduk di atas motor sambil memandang perempuan yang baru saja turun dari boncengannya. “Ga usah, biasa aku minta jemput supirku. Udah sana kamu pulang nanti aku ga fokus.” “Sana masuk dulu, baru aku jalan.”

Lelaki itu membalas lambaian tangan perempuannya dengan senyum yang terhalang pada balik helm sehingga hanya menampakkan kedua matanya yang menyipit, sampai perempuan itu benar-benar menghilang dari balik pintu, barulah ia menancap gas meninggalkan area cafe, pergi menuju studio band yang kehadirannya sudah ditunggu oleh ketiga temannya yang sudah sampai lebih dulu. Kini usia hubungan Shaka dan Kaina sudah hampir memasuki tahun ketiga. Berawal dari satu gugus semasa ospek, pertemanan diantara vokalis utama band sekolah dan wakil ketua osis itu terus berlanjut sampai akhirnya menjadi pasangan yang nyaris dikenali oleh satu sekolah.

Kaina memiliki wajah yang kecil, hidung mancung dan bibir yang tipis. Di kedua pipinya ada lesung pipit yang selalu muncul saat dia tersenyum. Ia cantik, ditambah kepribadiannya yang pandai bergaul membuatnya semakin populer. Shaka merasa beruntung mengenal Kaina sebagai pacar pertamanya.

Tiap pulang sekolah, Shaka selalu menemani Kaina mengurus tugas-tugas dan rapat organisasi yang biasanya baru selesai hingga larut petang, dengan inhaler yang selalu sedia di dalam sakunya. Kaina memiliki asma, pernah sekali kejadian asmanya kambuh hingga mengharuskan dirinya dilarikan ke IGD karena anak itu lupa membawa inhaler sebagai benda paling penting yang seharusnya dia bawa kemanapun. Selepas kejadian itu, Shaka tidak pernah sekalipun membiarkan Kaina berkegiatan sendiri, tanpa meninggalkan inhaler yang ia beli sebagai cadangan kalau perempuan itu lupa lagi, demi mengantisipasi kejadian terulang.

Malam ini, malam minggu yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Alih-alih berpacaran seperti pasangan pada umumnya, Shaka kembali melihat perempuannya dengan apron barista berwarna coklat. Kaina mengambil kerja paruh waktu di sebuah cafe yang hanya perlu ia lalukan seminggu dua kali setiap weekend. Shaka sendiri tidak mengerti kenapa Kaina tiba-tiba mengambil kerja paruh waktu, karena jika dilihat dari background keluarganya, Kaina jauh dari seseorang yang membutuhkan uang tambahan.

Kalau kalian mengira Shaka tidak mau menemani Kaina, itu salah. Seringkali Shaka memaksa perempuannya agar mau ia temani selama kerja, tapi selalu berakhir dengan penolakan, katanya “kalo kamu disini yang ada aku bukannya kerja nanti malah pacaran tau, mana bisa fokuuus.” Akhirnya Shaka mengalah asal dengan syarat, ia yang mengantar jemput setiap minggunya. Namun, memasuki bulan ketiga perempuan itu bekerja, Shaka semakin jarang mengantar jemput Kaina karena ia mempunyai supir pribadi sekarang.

“Ka, udah mau jam sepuluh, ga jemput Kaina?” Tanya Jeno. “Engga, dia dijemput supirnya.” “Pengen gue ledekin apa gunanya punya pacar kalo ga malem mingguan, tapi di sekolah kerjaannya juga mojok mulu di kantin.” Tutur Naresh dengan segelas ice americano di tangannya.

Celetukan itu hanya direspon dengan tawa oleh Shaka, itulah alasan mengapa dia tidak terlalu mempermasalahkan perihal malam minggunya yang tidak seperti pasangan-pasangan lain. Shaka dan Kaina hampir selalu bersamaan setiap waktu, dengan Kaina yang saat ini mengambil kerja paruh waktu sama sekali tidak menganggu intensitas waktu diantara keduanya. Shaka percaya pada Kaina.

Matanya dari tadi bolak balik mengecek ponsel menunggu kabar dari Kaina. Sudah memasuki jam sebelas malam, biasanya perempuan itu sudah mengirimi foto dengan berbalut piyama tidur, atau selfie di dalam mobil memberi kabar kalau ia sudah pulang. Namun, malam itu belum ada kabar apapun dari Kaina. Shaka khawatir karena beberapa pesan terakhirnya bahkan belum dibaca sama sekali. Teringat kalau ia menyimpan nomor supir pribadinya yang ia ambil secara diam-diam dari kontak Kaina, Shaka menghubungi supir itu.

“Halo pak, Kaina udah dijemput belum ya? Harusnya dia udah pulang dari cafe dari setengah jam yang lalu.”

Tanya Shaka dengan nada bicara yang terdengar khawatir, napasnya semakin terdengar gusar setelah ia mendengar jawaban dari ujung sambungan telpon disana.

“Loh kirain nak Shaka yang jemput? Tadi bilang ke saya katanya ngga usah jemput, soalnya bareng nak Shaka.”

Sorot matanya seketika berubah menjadi dingin, ia memutus telpon dan langsung meraih jaket jeans dan helmnya secara kasar, lalu pergi meninggalkan studio. “Gue cabut, ada yang ngga beres.”

Shaka melajukan motor dengan kecepatan yang cukup tinggi, menerobos dinginnya angin malam melewati jalanan yang sepi karena hari sudah semakin larut. Hanya Kaina yang ada dipikirannya saat ini, kemana dia? kenapa dia harus bohong? Segudang pertanyaan yang mengepul telah menguasai sebagian emosinya.

Cafe sudah tutup dari jam sepuluh lalu, hanya ada tiga orang pria di dalamnya dengan sebagian lampu yang sudah mati tengah merapikan sisa-sisa gelas disana. Shaka memasuki cafe dengan gusar sambil menenteng helm yang ia kenakan.

“Permisi, cafenya udah close dari tadi ya mas?” Tanya Shaka. “Iya maaf kak, kita udah close dari satu jam yang lalu. Sebelumnya ada yang bisa dibantu kak?” Ucap salah satu barista itu. “Saya mau nyari Kaina, dia kerja paruh waktu disini udah hampir tiga bulan, harusnya dia udah pulang dari tadi tapi belum ada kabar. Masnya kenal ga ya?” “Oalah Kaina yang pacarnya mas Rafi? Mereka udah pulang dari tadi, memang belum lama, mungkin masih di jalan.” “Mas Rafi?”

Shaka mengernyitkan dahi dengan sorot mata yang bertanya-tanya, sepertinya bukan Kaina-nya yang dimaksud.

“Iya, mas Rafi anak yang punya cafe ini kak, dia suka ngisi live musik disini. Dan udah sebulan ini mereka juga selalu pulang bareng, kayaknya sih emang pacaran.”

Belum percaya dengan apa yang dibicarakan oleh barista itu, Shaka menunjukkan foto Kaina dari dalam dompetnya demi menghindari kesalahpahaman.

“Kaina yang ini?” “Iya kak bener, eh maaf ini kakak siapanya Kaina ya kalo boleh tau?”

Shaka memejamkan matanya dengan helaan napas yang terdengar kasar, kedua tangannya terkepal di bawah sana. Lalu ada senyuman yang muncul bersamaan dengan jawaban yang ia beri.

”Dia adik saya. Kalo gitu, makasih banyak ya mas.”

Shaka meninggalkan cafe dengan senyum yang masih tersimpul, sebelum akhirnya ia mengeluarkan tawa sarkas terhadap kenyataan pahit yang baru saja terungkap. Emosinya tercampur, sedih, heran, bahkan masih ada sedikit keraguan kalau yang dibicarakan barista tadi itu bukan benar-benar Kaina-nya. Shaka tidak mau menerima pernyataan itu mentah-mentah sebelum ada bukti yang ia lihat sendiri. Karena ia percaya, Kaina is not a traitor.

Setelah menenggak beberapa teguk air minum dari botol air mineral yang ia bawa, emosinya mulai terkontrol, setelah berkali-kali ia mencoba menanamkan pikiran positif kalau barista itu pasti salah paham.

Ia berjalan menuju parkiran, namun langkahnya terhenti pada satu mobil berwarna putih dengan lampu yang menyala di dalamnya. Terlihat jelas siluet itu menampilkan pemandangan dua orang yang tengah bercumbu di bawah lampu mobil, “dasar anak muda.” Tawanya terlempar sebelum akhirnya ia merasakan ada hal janggal disana. Bayangan itu, bayangan yang terlihat familiar baginya. Bayangan orang yang selalu berada disampingnya selama hampir tiga tahun. Orang yang ia khawatirkan karena belum juga memberi kabar kalau dia sudah pulang. Bayangan itu milik perempuannya, itu Kaina.

Dengan degupan jantung yang tak beraturan, mata yang berusaha mati-matian menahan uraian air mata. Shaka menghampirinya. Suara ketukan kaca pada mobil itu berhasil menghentikan aktivitas orang di dalamnya dengan reflek keduanya yang terkejut. Lebih terkejut lagi disaat perempuan itu sadar, siapa yang mengetuk kaca itu.

“Shaka?!” Kaina membuka setengah kaca mobil dengan sorot mata ketakutan dan panik yang menjadi satu. “No it’s okay, i just making sure that you came home safely, and now i know. Aku pulang.”

Shaka meninggalkan keduanya diikuti dengan langkah Kaina yang menyusul.

“No! Shaka aku bisa jelasin.” Air mata perempuan itu jatuh membasahi pipinya. Shaka membalik badan, mendekat menghampiri Kaina lalu menyeka air mata yang mengalir melewati kedua lesung pipit perempuan itu. “Engga usah, aku udah ngerti, yang aku liat barusan udah lebih dari jawaban.”

Shaka tersenyum, jarinya mengelus bibir tipis Kaina. “Now these lips, aren’t mine anymore. Go with him, Kaina. I let you go.”

Tangannya merogoh saku jaket yang ia kenakan, mengambil satu inhaler yang tidak pernah lepas dari dalam sakunya.

“Ini, kasih ke cowo itu, bilang kalo kamu sering lupa bawa inhaler hahaha. Jangan lupa lagi ya.”


Wanita itu mengamati satu-persatu lukisan yang terpampang di sepanjang galeri seni lebih seksama, sambil menenteng hasil lukisan abstrak buatannya yang baru setengah jadi. Mengunjungi tiap galeri ke galeri adalah caranya mencari inspirasi dikala tangan itu terasa kaku untuk menarikan kuas di atas kanvas. Claudia mencintai seni sebagaimana seni adalah jantung baginya. Bakatnya menurun dari sang Ayah sebagai salah satu pemahat patung kayu yang namanya tidak pernah absen dari jajaran-jajaran pengrajin pada tiap museum seni di kota tempat tinggalnya.

“It’s the process of seeing yourself in things that aren’t you. Seni bisa mengeksplor dirimu lebih jauh. Elizabeth bround said, art isn’t always about pretty things, it’s about who we are, what happened to us, and how our lives are affected. Karyamu bisa berbicara, nak.” Begitu kata sang Ayah, dengan secangkir kopi di suatu sore yang tanpa satu orangpun menyangka kalau itu adalah terakhir kalinya ia melihat sang Ayah bergelut pada perkakas pahatnya.

Claudia menikmati tiap lukisan yang ada sambil berkali-kali matanya memandangi kanvas yang ia genggam. Lukisannya cantik, tapi tidak secantik lukisan-lukisan yang terpampang di depannya, begitu katanya.

“Kenapa?” Abian, menyadari raut kekecewaan pada wanita di sebelahnya. “Ternyata lukisanku ngga layak untuk dipamerin.” Keluh Claudia. “Kamu terlalu sering membanggakan karya orang lain, sampai kamu lupa kalau karyamu juga sama layaknya, Claudia.”

Alih-alih mencari inspirasi, Abian seringkali mendapati istrinya kehilangan rasa percaya diri tiap kali mengunjungi galeri seni. Satu jam sebelum mereka berangkat, Claudia selalu mengekspresikan keantusiasan dengan tidak berhenti berceloteh tentang keinginannya melihat salah satu lukisannya terpampang di galeri seni suatu saat nanti. Dan satu jam kemudian juga Abian melihat gumpalan rasa takut dan kekecewaan pada sorot mata perempuan itu.

“Kadang aku suka mikir, lukisan-lukisanku yang hampir memenuhi satu ruangan itu akan berakhir gimana nantinya. Kenapa ya aku kok pede banget kalo lukisanku bisa menghilang satu-persatu dan pindah kesini.” Claudia masih memandangi lukisan setengah jadinya dengan senyum tak bernyawa.

“Clau, kamu inget art class yang kamu datengin waktu di aussie? Lukisanmu paling cantik, bahkan seniman itu nahan lukisan kamu buat dipajang di kelas dia.“ “Kayaknya dia bohong, buktinya kemarin lukisanku ditolak hahaha.”

Dua bulan sebelumnya, ia menyumbangkan salah satu lukisannya untuk pertama kali. Berkonsep relax, unwind, and living your life, bersketsa satu pohon beringin dengan daun-daunnya yang lebat. Dan itu menjadi penolakan pertamanya.

“Kamu baru sekali nyoba, terlalu cepet kalo langsung merasa gagal.” Tutur Abian. “Aku ngga ngerasa gagal, aku hanya, merasa kecil setelah melihat lukisan-lukisan disini. Apa aku bisa?”

Abian memutar tubuhnya ke arah Claudia, meraih pergelangan tangannya dan menatap kedua mata berwarna coklat itu lekat-lekat.

“Bisa, kamu ngga mungkin gagal dan ngga akan pernah gagal. It’s all about win, or learn. Kalo kamu merasa kalah, ayo kita belajar dari kekalahan itu. I’m here, i’m fully supporting you.”

Senyumnya terlukis tepat setelah kata-kata dari Abian melewati ruang telinganya. Pria itu, selalu mempunyai kehangatan yang mampu mencairkan senyum pada wanitanya.

“I love you.” “I couldn’t be more in love, Claudia.”

But, she’s too late.


Mereka menaiki lift menuju lantai 26, gedung apartement itu berada di tengah-tengah kota dengan keadaan di sekelilingnya yang sudah pasti ramai, tidak perlu ditanya. Karena berada di pusat kota, atmosfer yang terasa benar-benar hidup, hiruk pikuk ibu kota yang menyuguhi pemandangan gedung-gedung tinggi menjulang, there is nothing prettier than the night that casts a spotlight on the city lights. Untuk seorang Diandra yang sangat menyukai suasana malam, ia jatuh cinta pada pemandangan di sekelilingnya, terlebih dengan eksistensi laki-laki yang ada di sebelahnya saat ini.

“Ini kalo gue yang tinggal disini, gue ngga akan keluar-keluar sih Ka, i can stare at the city lights for all daaay long”. Shaka menyunggingkan senyum miringnya dengan tawa kecil yang terdengar menyombongkan. “Lo belum liat view di kamar gue, palingan ngga mau pulang.”

Kamarnya terletak pada pintu ke lima lantai tersebut dengan nomor 548. Ada dua gitar akustik yang tergantung di sebelah keyboard pada samping meja belajar, beberapa vinyl record bercover Michael Jackson semakin menambah kesan bahwa pemilik kamar ini adalah seorang musisi dibandingkan calon arsitek. Kamar bernuansa abu-abu itu juga memiliki posisi kasur yang mengarah tepat pada jendela kaca dan langsung menampakkan pemandangan kota. Shaka benar, view yang diberikan oleh kamar ini tidak main-main.

“Can i ask you something?” Shaka membalas dengan anggukan. “Lo kayaknya suka banget sama musik, kenapa ngga ambil jurusan musik aja?”

Shaka menepuk-nepuk karpet bulu yang didudukinya, memberi sinyal pada Diandra yang dari tadi tidak melepas fokusnya dari alat-alat musik untuk duduk di sampingnya. Perempuan itu mengangguk dan menghampiri lelaki yang tengah mengeluarkan uno stacko dari dalam kotak.

“Iya gue seneng banget sama musik, tapi musik cuma hobi, buat sekedar seneng-seneng aja.” “Terus kalo arsitek? cita-cita lo dari kapan?” “Sebenernya cita-cita bukan cita-sita sih Ra, hahaha. Gue juga suka gambar, dari kecil gue hobi banget yang namanya nyusun-nyusun lego, terus ya udah, pengen aja jadi arsitek. Gajinya gede.” “Wow oke, alasan yang sangat realistis.” “Ok now, let’s get to know each other based on the numbers that coming out of here.” “Ha gimana?”

Shaka mencubit lembut ujung hidung Diandra, lalu mengeluarkan gulungan-gulungan kecil kertas yang berisi beberapa pertanyaan yang ia buat sendiri tadi siang.

“Jadi, tiap uno kan ada nomor dan warnanya masing. Gue udah nyiapin beberapa pertanyaan berdasarkan nomor-nomor ini. Tiap lo ambil satu, lo cek pertanyaan sesuai nomor dan warna yang lo ambil. Ngerti kan?” “NIAT BANGET???” “Anything for you.”

Diandra tersontak menatapnya dengan tatapan ambigu, seperti sorot mata kaget, bingung, dan heran yang menjadi satu.

“Eh, i-i mean no maksudnya itu, kan gue udah janji mau ngajak main board game, tapi gue ngga punya board game beneran jadi ya udah, gue ini, ngide sendiri, gitu.” Jawabnya gugup.

Tatapan Diandra masih disana, masih menatap heran laki-laki yang dari tadi berbicara sambil menghindari sorot matanya. Itu pertama kali Diandra melihat Shaka gugup. Perlahan-lahan matanya menyipit bersamaan dengan lengkung dibibirnya. “Santai kaliii gugup banget, gue cuma nanya bukan mau makan orang. Wle.”

“Lima biru, which do you prefer- scary movies or happy endings?” “Whats the different? film horror juga banyak yang happy ending.” “Enggalaaah, dimana-mana film horror bikin stres ngga ada bahagia-bahagianya.” “DIH SHAKA PLIS MUKA LO DOANG SEREM TAPI TAKUT FILM HORROR.” “ENGGAK! Siapa yang bilang!” “Oke abis ini kita nonton film setan ngga mau tau, cause i prefer scary movies.” “Aneh, rock paper scissors shoot!

Shaka tiba-tiba mengeluarkan gunting tanpa aba-aba, mengalahkan kertas yang reflek dikeluarkan Diandra dengan ekspresi bertanya-tanya.

“I win, so we gonna watch happy movies after this.” “Aneeeeh.”

Satu persatu tumpukan stako mulai menghilang dari susunan, membuat susunan itu semakin miring kehilangan keseimbangan. Beberapa toping pizza yang mereka beli lewat delivery berceceran di atas karpet setelah digunakan sebagai senjata lempar-melempar terhadap respon jawaban yang dirasa mengecewakan. Shaka memandang perempuan di depannya dengan rambut yang ia ikat menggunakan style messy bun, sebelah wajahnya terpantul oleh cahaya lampu yang menyorot makes everything else that made the darkness look beautiful. Tatapannya tenggelam pada gadis itu.

“Ra, i have special question for you.” Diandra tidak memberikan respon apapun, seolah tidak ada orang lain di ruangan itu selain dirinya dan susunan uno stacko yang ia geluti dari tadi.

“Ra.” Shaka dengan jahilnya menyenggol susunan uno dengan sengaja, yang secara tidak langsung menghentikan permainan. “Ih Shakaaa! ok i’m listen. Apa?” “Is there anything you’ve wanted to do, but need help with?”

Diandra memutar bola matanya dengan kening yang mengernyit tanda orang sedang berpikir sebelum ia merebahkan badan di karpet empuk itu.

“Gue sambil tiduran ya boleh ngga? Pegel.” “Eh, sakit ga kepalanya itu ga pake bantal. Sini disini aja Ra.” Shaka menggeser posisinya lebih dekat dengan Diandra, menunjuk sebelah pahanya dengan kedua alis terangkat dengan maksud, perempuan itu bisa menyandarkan kepalanya disana, “come here, it’s okay.”

Suhu ruangan yang sejuk, aroma sandalwood yang menyeruak dari dalam diffuser semakin menghidupkan atmosfer diantara keduanya. Lantunan musik instrumental dari André Gagnon menjadi latar belakang suara bagi dua orang yang sedang mencari kenyamanan pada langit malam. Jari-jarinya menyisir lembut rambut perempuan yang saat ini tengah memejamkan mata di dalam pangkuannya.

“Ada, there’s a lot. Banyak banget yang mau gue coba, tapi semuanya cuma wacana doang.” “Why?” “My thoughts, i just can’t control them, gue terlalu kebanyakan mikir gimana gimananya even sebelum memulai, salah satunya, i wanna sing. Eh, ini gue boleh langsung cerita?” “Go on.”

“Kemarin Gigi ngajak gue buat nyanyi di cafe kakaknya, kalo dibilang pengen, jelas gue pengen. Gue merasa suara gue oke kok, gue penasaran sama respon orang-orang pas nanti denger suara gue, bakal pada suka ngga ya? Tapi, gimana ya kalo mereka ternyata ngga suka, gimana kalo ternyata suara gue ngga selayak itu buat di denger, mereka bakal ngatain gue ngga..”

“Ra, sorry bisa bangun dulu sebentar?” Lelaki itu terbangun mengambil salah satu gitar akustik yang tergantung. “They‘re gonna like your voice, let’s prove it.”

Tidak tau apa yang sedang direncanakan oleh Shaka, Diandra hanya mengikuti titahnya mencari lirik dan memilih lagu sambil memperhatikan partner di sebelahnya yang sibuk mengotak-atik senar gitar.

10000 hours?” tanya Diandra. “Oooh turns out you really fit the situation, dont you?” “Apaaan??” “Engga, ok sing.”

Selagi fokusnya tertuju pada layar ponsel, Shaka diam-diam menyalakan fitur instagram live dari akunnya. Menyorotkan kamera yang ia sembunyikan dari balik gitar, tepat pada Diandra yang sebentar lagi akan memamerkan suaranya.

“Do you love the rain, does it make you dance, when you're drunk with your friends at a party. What’s your favorite song, does it make you smile, do you think of me.”

“When you close your eyes, tell me, what are you dreamin', everything, i wanna know it all.”

Mereka bernyanyi saling menyahut pada tiap-tiap lirik yang menggambarkan suasana hati keduanya, atau mungkin, satu diantaranya. Shaka yang notabennya menjadi teman duet Diandra, alih-alih bernyanyi dia justru hanya mengiringi musik sambil tatap matanya tidak lepas dari gadis itu. Diam-diam tersenyum dan membuang muka, “If they don't like your voice, they're lying, Ra. I’m here and i already in love with you.”

Sesekali matanya mengecek views dan kolom komentar yang mulai diisi oleh pujian-pujian pada suara itu. She, did it.

“I'd spend ten thousand hours and ten thousand more. Oh, if that's what it takes to learn that sweet heart of yours. And i might never get there, but i’m gonna try, if it's ten thousand hours or the rest of my life, I’m gonna love you.”

“Good job, Ra you did it! You got 135 views and wanna see the comment?”


Comment section

“Baguuus.” “Eh shaka itu siapa kenapa baru dikenalin.” “Sopan bgt suaranya plis.” “Request lagu dong.” “Kurang lama durasinya.”


“SHAKA LO NGAPAIN?!” Diandra merebut paksa ponsel itu dan mematikan live yang masih berlangsung. Wajahnya panik. “Hey hey hahaha it’s okay Ra, did something bad happen to you? Engga kan? It’s okaaaay.”

Shaka menaruh gitarnya lalu berpindah duduk mendekati Diandra yang saat ini tengah menunduk tak bersuara, entah apa maksud ekspresinya saat ini.

“Ra, can i hug you?”

Lelaki itu menarik Diandra ke dalam pelukannya, mengusap helai rambut panjangnya yang terurai.

“Congrats, now you have successfully performed in front of peoples. Ngga ada apa-apa kan, Ra? Keren, you did it! Mulai sekarang ngga perlu lagi takut untuk share cover-coveran lo ya, liat, semuanya pada nungguin lo nyanyi, ngga ada yang bilang suara lo jelek apalagi ngatain yang enggak-enggak. Lo keren Ra, hebat.”

“Nyanyi di cafe nanti juga ga ada bedanya kayak sekarang, just focus on the song and they’ll focus on your performance.”

Shaka merasakan kerah bajunya basah, is she crying?

“Ra, loh kok nangis? Maaf, gue lancang ya ngga izin dulu buat live tadi? Ra, i’m sorry..” Shaka melepas pelukannya lalu menyeka air mata yang mengalir pada pipi gadis itu. Menatapnya dengan tatapan khawatir. Namun, Diandra justru membalas kekhawatiran itu dengan senyuman.

“Gigi pernah bilang sama gue, kalo pintu keluar itu ga akan pernah kebuka kalo gue ga berusaha buat nyari kuncinya. And now, it seems i’ve found the key.”

Diandra menjeda kalimatnya, sambil menatap lekat-lekat manik mata lelaki di depannya,

“It’s you, Shaka.”


Bangunan berdesain minimal interior yang sebagian dindingnya dilapisi oleh marmer putih bercorak abstrak, dipadu dengan lantai kayu dengan pencahayaan yang minimalis pada tiap sudut ruangan memberikan kesan hangat yang terasa sangat nyaman bagi siapapun yang berada di dalam rumah itu. Dibagian ruang tamunya, ada sebuah floral painting yang terlukis pada kanvas berukuran sedang, terpajang tepat di atas sebuah pot berisi satu ikat bunga lily yang menemaninya. Aku memandangi lukisan itu, ada perasaan bahagia yang terpancar. Sepertinya, si pelukis ingin menyebarkan kebahagiaan lewat lukisannya.

“A cheerful spray of wildflowers dance across this canvas, she said. Katanya, biar bunga lilynya ga sendirian. Mama suka banget sama bunga lily.” “Ini lily asli?” “Engga, waktu itu iya, sekarang udah diganti. Gue kadang seminggu dua kali pulang kesini, Papa juga kerja di luar kota, biasanya baru bisa pulang sebulan sekali. Kalo bunganya asli, kasian nanti dia mati, ga ada yang urus.” “Beliau pasti orang yang tulus dan anggun, i can see that pure heart from this lily.” “Exactly, and she’s so beautiful.” “I know that too. Kalo yang ini, i can see through your eyes.”

Lelaki itu terkesiap menoleh kepadaku, tatap matanya seolah menyorotkan suatu keheranan, seperti ada pertanyaan yang ikut terjebak diantara sorot mata itu. “How do you know, Ra?”

“K-kenapa? Salah ngomong ya gue? Eh atau, is there something on my face?” Buru-buru aku mengecek kondisi wajahku dari pantulan layar ponsel yang aku genggam.

“Hahaha apa sih ga ada apa-apa.” Ia menurunkan ponsel itu, sehingga berhasil membuat sorot mata kami berpapasan. Shaka diam sejenak seperti orang yang tengah mengamati sesuatu. “Cantik. Ayo, let’s move to the main room.”

Kami berjalan menuju tempat yang menjadi tujuan utama pada hari ini, dengan posisi tangan yang saling menggenggam. Iya, lelaki itu mengenggam tanganku.

Ruang itu terletak di lantai dua rumah ini. Kami menaiki satu-persatu anak tangga yang dilindungi kaca bening sebagai pembatas pada sisi tangganya.

“Ready?” “I’ve never been this ready!”

Ruangan dengan pintu bercat putih di ujung lantai itu terbuka, menampilkan segudang mahakarya sang peri lukis. Jejeran kanvas dengan lukisan-lukisannya tersusun rapi, botol-botol cat dengan nyaris semua warna yang ada berdampingan dengan puluhan kuas dan palet yang masih menyisakan cat kering pada masing-masing alat yang saat ini sudah tak pernah lagi disentuh oleh pemiliknya.

“Shaka, inget art gallery yang kemarin kita datengin?” “Iya, kenapa?” “There’s nothing compared to your mom’s studio. Ini, cantik banget astagaaa! INDAH BANGET.” “You like it?” “More than like it. I love to be here! Omg, thank you for inviting me Ka.”

Shaka merespon segala keantusiasanku dengan senyuman. Senyum yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Matanya seperti menyorotkan perasaan bahagia yang saat ini sedang menguasai hatinya, itupun kalau aku tidak salah mengartikan.

“Jangan ilang lagi ya senyumnya, i like your smile.”

Ia menarikku pada kursi kayu di samping jendela, dengan sebuah kanvas kosong di depannya lalu mengalungkan painting apron pada tengkukku.

“Let’s make some gift for her.” “Gift?” “Yup, hari ini Mama ulang tahun. That’s why you are here.” “LOH? BENERAN? AAAA MAMA HAPPY BIRTHDAY YA AMPUN MAKASIH UDAH BIKIN LUKISAN LUKISAN YANG CANTIK! “Eh bentar gue sok kenal banget anjir manggil Mama, oke.. Tante selamat ulang tahun!!”

Lelaki disebelahku hanya menggeleng dengan garis mata yang hampir menghilang karena gelak tawanya yang cukup kuat. Dan aku, menikmati itu. Ada pribadi lain yang ia sembunyikan, pribadi yang hangat dan menyenangkan, yang mungkin telah lama hilang, lalu mulai muncul kembali secara perlahan.

“HAHAHA just call her ‘mom’ Ra, she gonna like it.”

Aku meraih kuas dan palet kayu yang terletak di samping kanvas berukir kelopak bunga lily dengan inisial CA di ujungnya.

“CA?” “Claudia Ashalina, her name.” “It sounds familiar, but that’s one of the most prettiest name that i heard.”


11 Aug 2007, 22.30PM Flashback scene

“You ready?” “YES!” “Let’s go! Take your apron.”

Derap kaki itu terdengar antusias menuruni anak tangga, melangkah dengan hati-hati sambil tangan mungilnya mencari tumpuan pada orang yang berjalan di depannya, Shaka kecil meremas ujung kaos milik sang Papa. Tepat jam 12 malam nanti adalah hari ulang tahun Mama. Anak laki-laki itu asyik merengek dari kemarin, katanya, “Papa, ayo kita bikin kejutan buat Mama!” Dengan bermodalkan buku-buku resep milik Mama dan sedikit bantuan dari google, dua lelaki itu siap bertempur di dalam dapur.

“Kocok 2 buah telur menggunakan mixer dengan kecepatan sedang selama 20 detik.” “Aku aku! Aku aja sini yang pake mixernya!” “Haha ok but let me finish the recipe first.”

Shaka fokus mendengarkan tuturan sang Papa yang matanya dari tadi tidak berpindah dari balik lembar buku resep. Mulutnya tidak berhenti mengunyah, sebab tangannya beberapa kali menyelinap meraih permen coklat dan remahan biskuit di atas meja.

“Shaka jangan dimakanin terus dong nanti cupcakenya ga cantik kalo kamu makanin terus topingnya.” “Oh hahaha iya nanti Mama nangis ya kalo cupcakenya botak.”

Lelaki itu tertawa sambil tangannya mengacak pelan rambut anak semata wayangnya yang saat ini ikut tersenyum manis kepadanya. Binar matanya cantik, bersinar bagaikan ada kerlipan bintang di dalamnya.

“Mata kamu mirip banget sama Mama. Kalo nanti Shaka udah gede terus mulai naksir sama cewe, kedipin aja cewenya biar dia naksir!” “Hihhhh Mama dulu suka ngedipin Papa ya makanya Papa naksir?” “Kalo itu, emang Mama yang kelewat cantik.”

Aroma manis mulai menyeruak masuk ke dalam indra penciuman, bunyi oven yang berdenting menandakan bahwa kue buatan dua lelaki itu segera siap disajikan. Dengan sisa-sisa tepung yang masih berserakan di atas meja, serta beberapa potongan biskuit yang jatuh ke lantai, kondisi dapur saat ini masih cukup terlihat manusiawi.

“Not bad. Shaka, high five!”

Shaka bersorak girang melihat 7 buah cupcake vanilla buatannya dan sang Papa mengembang dengan sempurna. Lalu memindahkan satu-persatu kue pada cooling rack dengan hati-hati. Dan menghiasnya secantik mungkin.

“Hayo, ga cukup kan topingnya kamu makanin terus dari tadi.” “Sst, bukan Shaka namanya kalo ga punya ide.”

Anak laki-laki itu pergi meninggalkan dapur dan kembali dengan membawa sebuah palet lukis di tangannya.

“Ini, aku ambil dari ruang lukis Mama, aku cuci dulu sebentar.”

Lelaki itu hanya mengangguk, memperhatikan anak laki-lakinya yang dari tadi sibuk sendiri. Shaka menyusun ketujuh cupcake pada ujung sisi palet membentuk huruf C, lalu mengisi bagian atasnya dengan whip cream warna-warni seolah menyerupai cat di atas palet lukis.

“PAPA LOOK! IT’S DONE!” “Wow wowww i already can see your mom’s smile right now. Good job little bear.” “Should we wake her up now?” “Cmon, 10 minutes left.”

Mereka berdua bergegas naik menuju kamar sang Mama, siap memamerkan ketujuh cupcake buatannya, lengkap dengan lilin-lilin kecil yang sudah menyala.

Pintu kamar terbuka, menampilkan seorang wanita dengan gaun tidur berwarna khaki yang tengah tertidur dengan tenang. Rambut panjang hitamnya terurai halus, bulu matanya yang lentik terpampang manis pada kedua matanya yang terpejam. Pelan-pelan Papa dan Shaka menghampiri Mama.

Happy birthday to you, happy birthday to you.” “Happy birthday happy birthday, happy birthday to you.” “Selamat ulang tahun Mama!” “Waaah apa ini hahaha did you guys made it?”

Wanita itu terbangun dengan senyum sumringah di bibirnya, menyambut dua lelaki kesayangannya ke dalam pelukannya.

“Lucu banget ini siapa yang inisiatif ditaro di atas palet kayak gini?” “Aku dong! Aku yang nyusun kuenya, aku yang punya ide, akuuu.” “Padahal kalo ga ada Papa juga kuenya ga akan jadi.” “Tapi tetep aja kalo bukan karena aku yang ngajakin Papa pasti Papa ga akan inisiatif. Wle.

Gelak tawa ketiganya terdengar menyusuri ruangan, dengan masing-masing tangan yang saling merangkul satu sama lain.

“Mama, do you see that C on the palette?” “Yes, does this have any meaning? “Of courseee! C are stands for Claudia, it’s you!”

Wanita itu tertegun sejenak, sebelum ia menarik kembali Shaka ke dalam pelukannya, menciumi ujung kepala anak lelaki satu-satunya dengan mata yang berkaca-kaca. “Thank you, it’s means a lot for me. I love you Shaka. I love you Papa.”

“Ayo sekarang kita sama-sama buat make a wish. Mama berdoa, Papa berdoa, Shaka juga berdoa. Nanti kita tiup lilinnya bareng-bareng.”

Suara gemuruh langit terdengar disaat ketiganya tengah memejamkan mata, saling mengucap doa di dalam hati. Bahkan, di hari yang istimewa ini langitpun seakan siap mendengarkan segala keinginan yang disampaikan.

“Tuhan, aku cuma pengen Mama bisa bareng-bareng terus sama aku dan Papa untuk waktu yaaang panjang, aku pengen terus dicium Mama tiap bangun tidur, aku pengen terus dimasakin Mama, aku pengen terus liat lukisan-lukisan Mama semakin banyak sampe ga ada tempat lagi. Amin. Aku sayang Mama.”


Semilir angin masuk melewati kaca mobil yang kubuka setengah, mengguncang tiap-tiap helai rambut yang terurai. Sejuk, aku sangat menyukai atmosfer pada malam hari. Suasana kota yang masih terlihat sibuk, namun tidak menutupi perasaan tenang yang menyeruak ke dalam jiwa. Begitupun dengan orang di sebelah kananku, tatap matanya menatap lurus pada jalanan, serta kedua tangan yang tidak berpindah dari tuas setir. Shaka terlihat sangat tenang. Aku baru sadar kalau memandang wajahnya sedekat ini, ternyata sama tenangnya dengan sejuk atmosfer malam yang selalu aku cari.

“Ra, ini kalo lo yang nyetir kayaknya kita bakal nabrak bentar lagi.” “Apaan? Kenapa?” “Lo ngeliatin gue mulu.”

Ia yang awas matanya fokus pada jalanan, ternyata sadar akan adanya sorot mata lain yang menjadikannya fokus utama pada malam itu. Aku menggigit bibir menahan senyum, pura-pura membetulkan posisi sabuk pengaman demi mengalihkan tuturannya, yang seperti menangkap basah sorot mata yang secara tidak sadar menatapnya selama hampir setengah perjalanan.

“Ka, sepi banget gue nyalain musik ya.” “Hih padahal lo sendiri tadi yang minta jangan nyalain musik biar atmosfernya ga keganggu.” “Ya-iya kan itu tadi, sekarang beda lagi. Sepi juga kita kayak orang lagi berantem.” “Iyaaa ya udah, terserah lo aja yang milih lagu sana.” “Hmmm apa ya, ini? Tau ga?”

🎵The simple things – Michael Carreon

And it's the simple things you do, i just can't get enough of you, it’s that perfume that you wear and the way you do your hair, that i love so much.

“You know this song?” “Yup! And is the best pick for this time, good job, Ra.”

I love you, words i never say, friends make fun but i tell you every day, anyway, lately you've been getting me home safely.

Wake up, love the coffee that you make me. Ask me how my night was, I like us, it's so easy.

Tatapan itu lagi, ia balik mengamatiku yang tengah bersenandung mengikuti alunan lagu. Rasanya kedua mata itu seperti memindai. Lalu terasa jari-jari tangannya mulai mendekati ujung pelipisku. Menyelipkan tiap helai rambut ke belakang telingaku yang mulai acak-acakkan diterpa angin.

“Ra, gue tutup ya jendelanya, rambut lo nanti berantakan.”


“Jam berapa sekarang?” Tanya Shaka.

Aku mengulurkan pergelangan tangan ke arahnya. “Nih, jam 7.25, kita telat ga sih?”

“Ya engga dong Ra, openingnya emang jam 7, tapi kan kita bukan lagi sekolah yang dateng lebih dari jam segitu terus ga boleh masuk.” “Nyebelin banget, perumpamaan gue juga ga se-bloon itu kali??” “Yuk, turun.”

Kami memasuki ruangan yang tiap sudutnya di dominasi oleh warna putih, tiap-tiap lukisan yang tertempel pada dinding semakin memberikan kesan elegan yang sangat menenangkan bagi tiap pasang mata yang memandang. Di bagian tengah ruangan, ada deretan patung-patung kecil yang terbuat dari keramik, berjejer manis dengan nama-nama di atasnya yang bisa dipastikan sebagai artis dari karya-karya tersebut.

Jumlah pengunjung yang hadir juga cukup ramai, mulai dari anak muda yang hanya sekedar ingin memenuhi rasa penasarannya, hingga orang-orang tua berpenampilan classy dengan tampang-tampang pecinta seni. Aku sendiri bahkan tidak mengerti apa-apa tentang seni. Aku hanya menikmati tiap karya yang ada sebagai orang yang sekedar ingin memanjakan mata. Tapi aku selalu senang datang ke tempat seperti ini, aku suka suasananya. Aroma-aroma cat pada tiap lukisan yang terhirup segar olehku, semakin membuatku jatuh cinta pada atmosfer di dalamnya.

“Setiap ada art gallery yang baru buka, pasti gue selalu dateng. Gue seneng ada disini”. Shaka membuka suara setelah dari tadi diam terfokus menikmati karya-karya yang ada.

“Lo suka banget sama seni ya?” “Not really. Dibanding karyanya sendiri, kayanya gue lebih menikmati atmosfernya. Suasananya ngingetin gue sama rumah”. Aku tidak menjawab, hanya diam memperhatikan orang yang tatap matanya tidak berpindah dari lukisan yang terpampang tepat di depannya saat ini.

“Dulu, Mama hobi banget ngelukis. Sampe kita harus bikin satu ruangan baru buat naro lukisan-lukisan yang dia bikin. Dia bilang, melukis itu bukan soal apa yang digambar, tapi tentang perasaan yang ikut tergambar”.

Helaan napasnya terdengar memberat.

“Lo pernah ga Ra, cuma natap kosong suatu lukisan, tapi tiba-tiba ada emosi lain yang ikut lo rasain. Entah perasaan yang tiba-tiba bikin lo emosional, atau bahagia? Padahal lo ga tau filosofi apa yang ada di gambar itu.” “Pernah.” “Nah, itu yang dimaksud dengan perasaan yang ikut tergambar.” “Do you currently miss your home?“ “Always. But, i've already lost my home too, Ra.”

Suaranya mulai terdengar bergetar, manik mata yang menyorotkan keantusiasan itu sekarang berubah menjadi kelabu.

“She has been passed away since 4 years ago, and three months before my 15th birthday.”

Aku melirik pria di sebelahku, ada senyum yang tergambar pada bibir itu, tapi, kenapa rasanya sangat menyakitkan. Senyum yang sangat manis, namun ada sendu yang tersimpan di dalamnya.

Aku bergerak mendekatinya, hingga hanya menyisakan sedikit jarak diantara aku dengannya. Aku meraih tangan itu, menautkan jari-jariku pada telapak tangannya yang terasa hangat.

“Ka, no one can replace her. Tapi, kapanpun lo kangen suasana rumah, kemanapun lo pengen pergi ke tempat yang bisa ngasih sedikit suasana rumah. I’ll go with you. Let's be a support system for each other.”


Denting jarum jam yang berdetak, kini sudah hampir bergerak memasuki waktu tengah malam, menjadi satu-satunya suara yang menemani sunyi pada malam itu. Dentingan jam yang menjadi latar belakang suara bagi kegelisahan Diandra, karena ini adalah kali pertamanya ia berbincang, hanya berdua, dengan seorang lelaki asing. Yang bahkan umur perkenalan mereka belum genap satu minggu. Momen berdua pertamanya yang baru saja mereka alami tadi siang, seakan tidak memiliki pengaruh besar bagi Diandra untuk beradaptasi, sifat gugupnya benar-benar melebihi batas.

“Ra, kenapa diem aja? Tadi di chat bawel banget. Sorenya juga heboh ketawa-tawa. Sekarang malah diem?”

Dari awal kedatangannya, Shaka selalu berhasil memimpin percakapan serta menjaga suasana antara dirinya dengan Diandra dari keadaan canggung.

“Ayo jangan diem aja, gue tau dari tadi lo pasti nahan-nahan kan pengen ngata-ngatain? Tuh liat Raaa, sukurin domba punya gue gede-gede semua!”

Diandra masih diam, hanya sesekali terdengar suara tawanya yang seperti ditahan.

“Ra, katanya, kalo kita on mic pas lagi main hago tapi kitanya ga ngomong, nanti di-banned loh ga bisa main hago lagi”. “HAH MASAAA?”

Akhirnya di usahanya yang ke sekian, Shaka berhasil mengelabui gadis itu sambil diam-diam menahan gelak tawanya kuat-kuat.

“Iyaa! Emang lo ga baca apa di terms of servicenya? Ada undang-undang hago, nanti kena denda 250 ribu, hiiiiii.” “YA UDAH IYA INI GUE NGOMONG! HALO HAGO BISA DENGER SUARA AKU KAN? NIH NGOMONG NIH JANGAN BANNED AKUNKU.”

Pada singkapan selimutnya, Shaka hanya mampu berteriak dalam keheningan. Tidak sanggup menahan betapa gemasnya gadis di ujung sambungan teleponnya, pipinya memerah, senyumnya merekah. Entah terlalu polos atau bodoh, tapi Diandra benar-benar terlihat sangat percaya oleh akal-akalan Shaka. Saat ini, Diandra benar-benar tidak berhenti berbicara. Dan Shaka, sangat menikmati itu.

“Shakaaa jangan ketawa terus, mending ganti game, gue sebel hago pilih kasih.” “Hahahahaha kenapa lagi Raaa, pilih kasih kenapa?” “Kenapa domba lo gede-gede semua, yang gue engga? Kayanya hago beneran ngedeteksi akun gue..” “Oke oke hahaha stop gue ngalah! Oke kita ganti game.”

Permainan masih berlangsung, semakin sengit dan semakin menyenangkan, Diandra semakin bisa beradaptasi dengan kehadiran Shaka. Ia memposisikan dirinya tengkurap di atas kasur, dengan balutan piyama bermotif beruang coklat, matanya dari tadi fokus pada layar ponsel dengan dua jari telunjuknya yang bergerak antusias menekan-nekan icon game di atas layar.

“Wait Ra, btw, where did you get that geneveive on your nickname?” “Oh, it’s the one of characters from barbie in the 12 dancing princesses! Gapapa sih, i just in love with her.” “Kayaknya gue tau, yang 12 barbie terus dia nari-nari di atas karpet bunga, terus dia masuk ke negeri ajaib gitu bukan sih? Ga tau deng itu tempat apa pokonya ada serbuk-serbuk emasnya.” “IH SHAKA LO NONTON JUGA?!” “Haha not really, but i'm a bit familiar with it.” “HIIII LUCU BANGET SHAKA TAU BARBIE.”

Setelah itu, hanya ada gelak tawa yang saling bersahutan, diikuti ocehan-ocehan Diandra pada Shaka yang belum juga kehabisan akal untuk terus melontarkan ledekan. Sampai akhirnya suara menguap dari gadis itu terdengar.

“Ngantuk Ra?” Tanya Shaka. “Lumayan sih, udah mulai ngantuk.” “Ya udah yuk, udahan, lo tidur.” “IHHH MASIH SERU GUE BELUM MENANG-MENANG, GUE BELUM KEBAGIAN MILIH GAME.” “Iya Raaa, besok lagi, sekarang tidur dulu. Mata lo udah berair kan dari tadi, ngantuk.” “Ih keren nebaknya. Ya udah deh. So, can i go now?” “Go on, see you Ra.”

Mic off, keduanya meninggalkan permainan. Shaka masih terdiam mengamati profile sang gadis, hingga status hijaunya berubah menjadi offline, barulah ia ikut keluar dari room chat. Dengan lengkungan senyum di bibirnya yang masih terlukis sempurna. Ia bergumam,

“Thanks Ra, i’ve never smiled this much before.”


Diandra duduk di tepi air mancur kecil yang berada tepat di samping gedung fakultas. Mengamati orang-orang sembari awas matanya diam-diam mencari sosok yang katanya akan tiba sekitar 7 menit lagi. Matahari pada hari ini tidak begitu terik, walau udaranya tetap panas, namun terasa nyaman menghangatkan. Setelah sempat terpikir untuk menolak ajakan Shaka, Diandra akhirnya memberanikan diri untuk mengiyakannya.

Ozzie benar, ia tidak bisa terus-terusan menjalani hari dengan hanya terpaku oleh satu lingkungan. Dunia dan seisinya, terlalu luas untuk tidak dijelajahi. Jutaan sifat manusia, terlalu beragam untuk tidak dikenali.

“Hidup ini hanya sejenak, seperti aktor payah yang berjalan angkuh dan gelisah sepanjang drama, setelah itu lenyap di balik panggung.” -Florence Littauer, from Your Personality Tree.


Diandra’s Pov

Seorang lelaki tiba-tiba berdiri di depanku, dengan sepasang airpod yang saat ini masih terpasang, aku menengadah. Menatap sosok yang setelan bajunya tidak berbeda jauh pada saat pertama kali kita bertemu. Jaket jeans dan kaos putih polos, yang dapat kupastikan itu pasti sudah menjadi fashion andalannya. Hanya saja celana jeans yang ia gunakan tidak bolong-bolong sekarang.

“Kenapa bengong? Yuk”. Suara itu, suara yang belum lama dikenal oleh sepasang telingaku. Hangat. Suara yang menghangatkan.

“Ka, tapi gue ngga bisa minum kopi..” “Hahaha ya udah, ngopi kan cuma istilah lain dari ngajak nongkrong? Lo ga harus minum kopi beneran. Ayo naik”.

Aku tersenyum canggung, meraih pundaknya sebelum aku mendudukkan tubuh di atas motornya. Aku memposisikan tangan di atas pahaku, dan itu cukup membuatku bergidik ngeri karena khawatir akan kecepatan motor yang ia lajukan, posisi motornya cukup tinggi.

“Ngga apa-apa Ra kalo mau pegangan, tapi kalo canggung ga usah. Gue ga akan ngebut”. Shaka yang peka terhadap posisi tidak nyamankupun akhirnya menoleh sambil menaikkan sedikit kaca helmnya.

Is it okay?

Tidak ada jawaban, namun tiba-tiba ia meraih tanganku, lalu menyampirkannya pada kedua sisi pinggangnya.

It’s okay.”

Kami keluar dari area kampus, melewati beberapa pohon disamping sisi jalan sebelum akhirnya arus lalu lintas di sore itu mulai padat. Laju motor kami melambat.

“Gue tiba-tiba pengen tuk tuk cha deh Ka.” “Tuk tuk cha? Thai tea?” “Iya. Itu, liat ngga bajaj di depan? Bajaj tuh kayak tuk tuk ngga sih bentuknya? Gue jadi kepengen tuk tuk cha”. Tidak ada respon untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ada gelak tawa yang terlepas.

“HAHAHA ASTAGA RA! I never know you were this random hahahahaha padahal dari tadi diem aja jadi gue yang takut”.

Aku ikut tertawa, diikuti sepasang mata yang menyaksikan ekspresi tawa yang terpantul pada kaca spion. Ia, manis. Entah mengapa aku merasa nyaman untuk bersikap sebagaimana diriku di depannya, atmosfer yang dia berikan seolah memberiku energi positif.

“Gue juga tiba-tiba pengen nasgor mafia level mematikan”. Ucapnya tak mau kalah. “Kenapa, kenapa?” “Keinget mulutnya Ozzie, pedes.” “Dih hahahahahaha apaan sih sumpah Shaka gariiiing.” “Eh engga itu liat samping bajaj yang tadi, perhatiin motor ketiga dari sisi kanan. Noh, beneran Ozzie.”

Aku mengikuti gerak telunjuknya, benar saja, tepat dibelakang garis zebra cross. Ozzie dengan setelan flanel berwarna kremnya, tengah menatap kosong laju kendaraan di depannya, menunggu warna lampu berubah menjadi hijau.

“Sst, lo diem ya, kita kagetin”. Shaka melajukan sedikit demi sedikit motornya, mencari celah pada tiap-tiap jarak kendaraan yang ada. Saat kami sampai tepat di belakang motor Ozzie, lampu lalu lintas ikut berganti menjadi hijau. Shaka dan jempol tangan kirinya yang sudah stanby di atas tombol klakson. “1..2..”

TIIIINNNNNNN!

Ia melajukan motornya tepat di samping kanan Ozzie, dan berhasil membuatnya membelalakan mata, terkejut.

“SHAKA MONYET!”

Sore itu, kami mengawali hari pertama sebagai dua orang yang baru saja saling mengenal, dengan tawa yang tak henti di sepanjang jalan. Siapa yang menyangka kalau orang yang sempat aku beri label galak itu, nyatanya menyimpan banyak tawa dan memiliki pribadi yang menyenangkan dibalik raut wajahnya yang susaaaah sekali diajak senyum. Tidak sulit bagiku untuk menyamakan frekuensi dengannya. I think we have the same sense of humor.

I like him, i mean, as a new friend.


Studio berdesain cozy, dengan balutan karpet dan busa kedap suara berwarna coklat dan putih tulang ditiap sisi dindingnya, mempunyai ukuran yang cukup luas untuk hanya diisi oleh mereka berempat. Alat-alat musik yang tersusun rapi dengan jarak-jarak kecil, seolah siap menanti untuk disentuh oleh tangan-tangan emas para calon musisi.

Keempat orang yang tidak memiliki background di dunia musik, namun cukup mempunyai bakat musik yang tak kalah keren dari mereka yang terlahir murni dengan aliran darah seni. Jeno, Naresh, Ozzie, dan Diandra memang cukup sering menghabiskan waktu di studio musik untuk mengisi waktu luang disela hektik tugas kuliah.

Tak kalah dari Jeno, Naresh, dan Ozzie yang sudah memiliki title anak band dari semasa SMA, Diandra sendiri mempunyai suara yang terbilang merdu untuk ia yang notabennya bukan berprofesi sebagai penyanyi. Beberapa kali ia sempat menjadi perwakilan solo vokal untuk mewakili kelasnya pada acara-acara di sekolahnya dulu, walau harus dibantu dengan paksaan.

Kalau kata Jeno, “Aneh lo, punya bakat ngga pernah mau ditunjukin. Gimana orang-orang mau tau kalo lo ternyata punya potensi di suatu bidang. Malu malu aja terus sampe nyesel sendiri!”

“Res, tumben lo megang bass? Yang main gitar siapa?”. Tanya Diandra. “Vokal.” “Gue? Lah gue ngga bisa main gitar ngaco.” “Ye bukan elu, tuh nengok pintu tuh orangnya baru dateng.”

Daun pintu terbuka, menampakkan sosok lelaki dengan setelan hitam-hitam. Ripped jeans, paduan kaos polos dan juga jaket jeansnya seakan memancarkan pesona yang mampu membuat siapapun yang melihatnya tahu, kalau si pemilik tengah menyembunyikan visual yang tampan dibalik masker yang saat ini menutupi setengah wajahnya. Geez, everyone, Shaka’s here!

“Halo, sorry sorry, tadi gue ke apart dulu bentar ada yang ketinggalan.” “Gapapa, lo ganteng soalnya jadi dimaafin. Ya ngga Ra?”. Goda Naresh sembari menyikut kecil lengan Diandra.

Diandra mematung menyaksikan sosok yang selama dua hari ini ia coba hindari, nafasnya seakan tercekat, ia meneguk liur menahan perasaan malu yang saat ini masih ia rasakan.

“Ra? Kenapa? Masih takut sama gue? Gue kesini mau ikut nge-band kok, ngga mau makan orang hahaha”.

Ketawanya renyah, surprisingly, Shaka berbicara dengan intonasi lembut. Tipe tone suaranya yang tidak bisa dibilang berat, ataupun terlalu ringan. Suara yang memberikan efek calm pada tiap pasang telinga yang mendengarnya, tapi justru membuat Diandra semakin gugup.

“Eh e-engga kok! Kaget aja, soalnya anak-anak ngga bilang ada lo juga.” “Kalo bilang-bilang lo ngga akan mau ikut. Udah santai aja, sih? Sekalian nambah temen anjir lu kagak bosen apa temen lu itu itu mulu”.

Ozzie yang dari tadi menarikan jari-jarinya di atas tuts keyboardpun ikut gemas menyaksikan Diandra yang warna wajahnya saat ini sudah hampir menyerupai buah tomat. Sang pemeran utama hanya bisa mengeskpresikan emosinya dengan senyum pasrah, sesekali tatap matanya melirik ketiga temannya seakan bersuara,

Mati lu abis ini.

“Ra, mau nyanyi duluan?” “Eh? Engga Ka, lo aja silahkan, udah lama juga kan lo ngga ikut nge-band.” “Atau, mau duet aja?” “ENGGAK ENGGAK! Gue.. e.. tenggorokan gue sakit.”

DUM DUM BANG DUM TAS!

Suara drum terdengar berisik tak beraturan, jelas sekali bukan dimainkan dengan ketukan yang benar.

“EYYY ngobrolnya ntar ajalah di chat, ini jam sewanya keburu abis gue lempar stik drum lu bedua.”

Kicauan terakhir Jeno hanya ditimpali dengan tawa canggung oleh keduanya. Tanpa sadar, kalau sorot mata sang pria diam-diam terhanyut pada satu-satunya gadis yang pipinya tengah memerah saat ini. Shaka melempar senyum terakhirnya dengan sebelah alis yang terangkat, sebelum akhirnya tangannya meraih mic,

“Oke, gue nyanyi ya Ra.”


Gadis itu memutar bola matanya. “Hah apaan, sih? Lu kata asik kali?”.

Pesan terakhir dari Shaka ia biarkan begitu saja, setelah membutuhkan waktu satu hari untuk membalas pesan tersebut.

Malu, Diandra perlu mengumpulkan nyali untuk membalas pesan dari seseorang yang mungkin saja akan menjadi bahan olok-olokan karena kecerobohannya. Moodnya sudah terlalu hancur pasca tragedi salah akun yang sudah hampir 24 jam berlalu, hampir seharian penuh Diandra tidak berhenti merutuki diri sendiri. Kesal, malu, overthinking.

“Haaah.. malu banget, gue udah kayak cewek gatel kebelet viral.”

Beruntung hari ini ia tidak ada jadwal pergi ke kampus, setidaknya ia bisa menghindar dari Naresh, Jeno, dan Ozzie yang sudah pasti akan menjadikannya sasaran empuk untuk ‘dibully’. Setidaknya untuk satu hari.

Mereka semua beda fakultas, kalau saja bukan karena ospek, mungkin Diandra tidak akan mempunyai teman lain selain Zella dan Gigi. Diandra sering kali merasa energinya selalu cepat terkuras habis jika berada di dalam situasi yang terlalu banyak manusia di dalamnya, apalagi kalau mayoritas isinya bukan orang-orang yang ia kenal atau tidak satu frekuensi dengannya.

Jadi, jelas Diandra tidak pernah memusingkan perihal jumlah teman-temannya yang bahkan bisa dihitung jari.

Seharian ini, ia terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang akan terjadi di kampus besok, memikirkan akan semenyebalkan apa celotehan-celotehan yang akan ia dapat nantinya. Padahal, kalau dia lupa, ia tidak se-famous itu di lingkungan kampus. Tak jarang mahasiswa disana tidak menyadari eksistensinya sebagai salah satu mahasiswa Neo.

“Itu siapa? Oh anak psikologi”.

Jangankan seluruh wilayah kampus, bisa dikenal sesama mahasiswa satu prodi saja sudah termasuk achievement untuk seorang Diandra Adelion, si manusia anti sosial.


“Ayo kita beli es krim, plis gue perlu ngademin otak. STATISTIKA ANJINGGG”. Terik matahari pada siang itu menjadi perpaduan yang sempurna untuk mampu membakar seluruh emosi tiga mahasiswi psikologi yang baru saja dipertemukan dengan kuis dadakan.

“Lo tau ngga sih? Kesalahan terbesar gue selain tweet gue diangkat base adalah mengira bahwa masuk psikologi gue akan terlepas dari yang namanya itung-itungan.”

Diandra menghela napas frustasi dengan sebelah tangan yang bertengger di samping pelipis, menghalangi sorot cahaya matahari yang dengan senang hati menyapa wajahnya.

“Ya tapi masalah tweet emang lo kelewat bego si.” Gistara yang dari tadi menyumpal kedua telinganya dengan airpod akhirnya tertarik untuk merespon ocehan Diandra tanpa menoleh sedikitpun.

Diandra is the truth definition of ‘jagoan kandang’. Terlihat irit bicara namun bisa bertransformasi menjadi komentator bola dadakan pada ia yang dianggap nyaman di dekatnya.

“Ra bacot banget anjing, diem dululah gue mau ngerekam presentasi”. Begitulah keseharian geng papan karambol yang hampir setiap hari berkumpul di apartkos Jeno untuk menumpang wifi gratis, sekaligus mendengar ocehan Diandra yang selalu berhasil menjadi salah satu alasan terdistraknya beberapa makalah tugas yang sudah dikejar deadline.

Ngomong-ngomong, segala ketakutan yang seharian kemarin menguasai isi kepala Diandra, tidak satupun dari segala kekhawatirannya yang benar-benar terjadi di hari ini. Ia hanya melewati setiap sudut kampus, seolah dirinya bukan si pemilik akun radelion yang dua hari lalu sempat membuat ramai base social media kampusnya. Namun, tak sedikit juga matanya berpapasan dengan sorot mata lain yang seakan-akan mengintimidasi, “Eh ini Diandra yang Shaka itu bukan sih?”.

“OIIIIIIII ARTIS TWITTERKU”.

Belum 10 menit Diandra mengeluarkan keluh kesah pada kuis dadakan dan panasnya cuaca hari ini, Naresh, Ozzie, dan Jeno sudah siap menambah kadar emosi Diandra yang sudah mengepul, siap untuk diledakkan kapan saja. Bahkan tatapan sinis Diandra yang bisa diartikan sebagai sinyal amarah juga tak lagi mempan untuk membuat mereka bertiga berhenti menggoda.

“Idih, galak banget. Jangan galak-galaklah lu kayak mau makan orang.” Goda Naresh. Diandra berjalan sambil menggandeng masing-masing tangan Gistara dan Zella, berusaha tidak memperdulikan ketiga temannya demi tukang es krim di ujung jalan.

“Ssst, diem gue lagi baik hati ngga mau marah-marah.”

“Boong anjir, lu kagak liat gue sampe nyumpel kuping pake airpod. Si Zella nyampe nenggak minum berkali-kali, lu yang bacot kita yang aus.”

“HAHAHAHA ayo Ra ikut nge-band, bebas dah lu bisa teriak teriak pake mic.” Sahut Jeno.

“Tadinya gue mau mogok ngomong sama kalian satu minggu tapi ajakan kalian menyenangkan.”

“Berak banget, ya udah ayo cabut.”

“GUE GA MAU NYANYI TAPI NOOO GANTIAN DULU YA GUE MAU GEBUK-GEBUK DRUM!”