You betrayed me, Kaina.
“Pulangnya aku jemput?” Shaka terduduk di atas motor sambil memandang perempuan yang baru saja turun dari boncengannya. “Ga usah, biasa aku minta jemput supirku. Udah sana kamu pulang nanti aku ga fokus.” “Sana masuk dulu, baru aku jalan.”
Lelaki itu membalas lambaian tangan perempuannya dengan senyum yang terhalang pada balik helm sehingga hanya menampakkan kedua matanya yang menyipit, sampai perempuan itu benar-benar menghilang dari balik pintu, barulah ia menancap gas meninggalkan area cafe, pergi menuju studio band yang kehadirannya sudah ditunggu oleh ketiga temannya yang sudah sampai lebih dulu. Kini usia hubungan Shaka dan Kaina sudah hampir memasuki tahun ketiga. Berawal dari satu gugus semasa ospek, pertemanan diantara vokalis utama band sekolah dan wakil ketua osis itu terus berlanjut sampai akhirnya menjadi pasangan yang nyaris dikenali oleh satu sekolah.
Kaina memiliki wajah yang kecil, hidung mancung dan bibir yang tipis. Di kedua pipinya ada lesung pipit yang selalu muncul saat dia tersenyum. Ia cantik, ditambah kepribadiannya yang pandai bergaul membuatnya semakin populer. Shaka merasa beruntung mengenal Kaina sebagai pacar pertamanya.
Tiap pulang sekolah, Shaka selalu menemani Kaina mengurus tugas-tugas dan rapat organisasi yang biasanya baru selesai hingga larut petang, dengan inhaler yang selalu sedia di dalam sakunya. Kaina memiliki asma, pernah sekali kejadian asmanya kambuh hingga mengharuskan dirinya dilarikan ke IGD karena anak itu lupa membawa inhaler sebagai benda paling penting yang seharusnya dia bawa kemanapun. Selepas kejadian itu, Shaka tidak pernah sekalipun membiarkan Kaina berkegiatan sendiri, tanpa meninggalkan inhaler yang ia beli sebagai cadangan kalau perempuan itu lupa lagi, demi mengantisipasi kejadian terulang.
Malam ini, malam minggu yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Alih-alih berpacaran seperti pasangan pada umumnya, Shaka kembali melihat perempuannya dengan apron barista berwarna coklat. Kaina mengambil kerja paruh waktu di sebuah cafe yang hanya perlu ia lalukan seminggu dua kali setiap weekend. Shaka sendiri tidak mengerti kenapa Kaina tiba-tiba mengambil kerja paruh waktu, karena jika dilihat dari background keluarganya, Kaina jauh dari seseorang yang membutuhkan uang tambahan.
Kalau kalian mengira Shaka tidak mau menemani Kaina, itu salah. Seringkali Shaka memaksa perempuannya agar mau ia temani selama kerja, tapi selalu berakhir dengan penolakan, katanya “kalo kamu disini yang ada aku bukannya kerja nanti malah pacaran tau, mana bisa fokuuus.” Akhirnya Shaka mengalah asal dengan syarat, ia yang mengantar jemput setiap minggunya. Namun, memasuki bulan ketiga perempuan itu bekerja, Shaka semakin jarang mengantar jemput Kaina karena ia mempunyai supir pribadi sekarang.
“Ka, udah mau jam sepuluh, ga jemput Kaina?” Tanya Jeno. “Engga, dia dijemput supirnya.” “Pengen gue ledekin apa gunanya punya pacar kalo ga malem mingguan, tapi di sekolah kerjaannya juga mojok mulu di kantin.” Tutur Naresh dengan segelas ice americano di tangannya.
Celetukan itu hanya direspon dengan tawa oleh Shaka, itulah alasan mengapa dia tidak terlalu mempermasalahkan perihal malam minggunya yang tidak seperti pasangan-pasangan lain. Shaka dan Kaina hampir selalu bersamaan setiap waktu, dengan Kaina yang saat ini mengambil kerja paruh waktu sama sekali tidak menganggu intensitas waktu diantara keduanya. Shaka percaya pada Kaina.
Matanya dari tadi bolak balik mengecek ponsel menunggu kabar dari Kaina. Sudah memasuki jam sebelas malam, biasanya perempuan itu sudah mengirimi foto dengan berbalut piyama tidur, atau selfie di dalam mobil memberi kabar kalau ia sudah pulang. Namun, malam itu belum ada kabar apapun dari Kaina. Shaka khawatir karena beberapa pesan terakhirnya bahkan belum dibaca sama sekali. Teringat kalau ia menyimpan nomor supir pribadinya yang ia ambil secara diam-diam dari kontak Kaina, Shaka menghubungi supir itu.
“Halo pak, Kaina udah dijemput belum ya? Harusnya dia udah pulang dari cafe dari setengah jam yang lalu.”
Tanya Shaka dengan nada bicara yang terdengar khawatir, napasnya semakin terdengar gusar setelah ia mendengar jawaban dari ujung sambungan telpon disana.
“Loh kirain nak Shaka yang jemput? Tadi bilang ke saya katanya ngga usah jemput, soalnya bareng nak Shaka.”
Sorot matanya seketika berubah menjadi dingin, ia memutus telpon dan langsung meraih jaket jeans dan helmnya secara kasar, lalu pergi meninggalkan studio. “Gue cabut, ada yang ngga beres.”
Shaka melajukan motor dengan kecepatan yang cukup tinggi, menerobos dinginnya angin malam melewati jalanan yang sepi karena hari sudah semakin larut. Hanya Kaina yang ada dipikirannya saat ini, kemana dia? kenapa dia harus bohong? Segudang pertanyaan yang mengepul telah menguasai sebagian emosinya.
Cafe sudah tutup dari jam sepuluh lalu, hanya ada tiga orang pria di dalamnya dengan sebagian lampu yang sudah mati tengah merapikan sisa-sisa gelas disana. Shaka memasuki cafe dengan gusar sambil menenteng helm yang ia kenakan.
“Permisi, cafenya udah close dari tadi ya mas?” Tanya Shaka. “Iya maaf kak, kita udah close dari satu jam yang lalu. Sebelumnya ada yang bisa dibantu kak?” Ucap salah satu barista itu. “Saya mau nyari Kaina, dia kerja paruh waktu disini udah hampir tiga bulan, harusnya dia udah pulang dari tadi tapi belum ada kabar. Masnya kenal ga ya?” “Oalah Kaina yang pacarnya mas Rafi? Mereka udah pulang dari tadi, memang belum lama, mungkin masih di jalan.” “Mas Rafi?”
Shaka mengernyitkan dahi dengan sorot mata yang bertanya-tanya, sepertinya bukan Kaina-nya yang dimaksud.
“Iya, mas Rafi anak yang punya cafe ini kak, dia suka ngisi live musik disini. Dan udah sebulan ini mereka juga selalu pulang bareng, kayaknya sih emang pacaran.”
Belum percaya dengan apa yang dibicarakan oleh barista itu, Shaka menunjukkan foto Kaina dari dalam dompetnya demi menghindari kesalahpahaman.
“Kaina yang ini?” “Iya kak bener, eh maaf ini kakak siapanya Kaina ya kalo boleh tau?”
Shaka memejamkan matanya dengan helaan napas yang terdengar kasar, kedua tangannya terkepal di bawah sana. Lalu ada senyuman yang muncul bersamaan dengan jawaban yang ia beri.
”Dia adik saya. Kalo gitu, makasih banyak ya mas.”
Shaka meninggalkan cafe dengan senyum yang masih tersimpul, sebelum akhirnya ia mengeluarkan tawa sarkas terhadap kenyataan pahit yang baru saja terungkap. Emosinya tercampur, sedih, heran, bahkan masih ada sedikit keraguan kalau yang dibicarakan barista tadi itu bukan benar-benar Kaina-nya. Shaka tidak mau menerima pernyataan itu mentah-mentah sebelum ada bukti yang ia lihat sendiri. Karena ia percaya, Kaina is not a traitor.
Setelah menenggak beberapa teguk air minum dari botol air mineral yang ia bawa, emosinya mulai terkontrol, setelah berkali-kali ia mencoba menanamkan pikiran positif kalau barista itu pasti salah paham.
Ia berjalan menuju parkiran, namun langkahnya terhenti pada satu mobil berwarna putih dengan lampu yang menyala di dalamnya. Terlihat jelas siluet itu menampilkan pemandangan dua orang yang tengah bercumbu di bawah lampu mobil, “dasar anak muda.” Tawanya terlempar sebelum akhirnya ia merasakan ada hal janggal disana. Bayangan itu, bayangan yang terlihat familiar baginya. Bayangan orang yang selalu berada disampingnya selama hampir tiga tahun. Orang yang ia khawatirkan karena belum juga memberi kabar kalau dia sudah pulang. Bayangan itu milik perempuannya, itu Kaina.
Dengan degupan jantung yang tak beraturan, mata yang berusaha mati-matian menahan uraian air mata. Shaka menghampirinya. Suara ketukan kaca pada mobil itu berhasil menghentikan aktivitas orang di dalamnya dengan reflek keduanya yang terkejut. Lebih terkejut lagi disaat perempuan itu sadar, siapa yang mengetuk kaca itu.
“Shaka?!” Kaina membuka setengah kaca mobil dengan sorot mata ketakutan dan panik yang menjadi satu. “No it’s okay, i just making sure that you came home safely, and now i know. Aku pulang.”
Shaka meninggalkan keduanya diikuti dengan langkah Kaina yang menyusul.
“No! Shaka aku bisa jelasin.” Air mata perempuan itu jatuh membasahi pipinya. Shaka membalik badan, mendekat menghampiri Kaina lalu menyeka air mata yang mengalir melewati kedua lesung pipit perempuan itu. “Engga usah, aku udah ngerti, yang aku liat barusan udah lebih dari jawaban.”
Shaka tersenyum, jarinya mengelus bibir tipis Kaina. “Now these lips, aren’t mine anymore. Go with him, Kaina. I let you go.”
Tangannya merogoh saku jaket yang ia kenakan, mengambil satu inhaler yang tidak pernah lepas dari dalam sakunya.
“Ini, kasih ke cowo itu, bilang kalo kamu sering lupa bawa inhaler hahaha. Jangan lupa lagi ya.”