79; Claudia Ashalina
Bangunan berdesain minimal interior yang sebagian dindingnya dilapisi oleh marmer putih bercorak abstrak, dipadu dengan lantai kayu dengan pencahayaan yang minimalis pada tiap sudut ruangan memberikan kesan hangat yang terasa sangat nyaman bagi siapapun yang berada di dalam rumah itu. Dibagian ruang tamunya, ada sebuah floral painting yang terlukis pada kanvas berukuran sedang, terpajang tepat di atas sebuah pot berisi satu ikat bunga lily yang menemaninya. Aku memandangi lukisan itu, ada perasaan bahagia yang terpancar. Sepertinya, si pelukis ingin menyebarkan kebahagiaan lewat lukisannya.
“A cheerful spray of wildflowers dance across this canvas, she said. Katanya, biar bunga lilynya ga sendirian. Mama suka banget sama bunga lily.” “Ini lily asli?” “Engga, waktu itu iya, sekarang udah diganti. Gue kadang seminggu dua kali pulang kesini, Papa juga kerja di luar kota, biasanya baru bisa pulang sebulan sekali. Kalo bunganya asli, kasian nanti dia mati, ga ada yang urus.” “Beliau pasti orang yang tulus dan anggun, i can see that pure heart from this lily.” “Exactly, and she’s so beautiful.” “I know that too. Kalo yang ini, i can see through your eyes.”
Lelaki itu terkesiap menoleh kepadaku, tatap matanya seolah menyorotkan suatu keheranan, seperti ada pertanyaan yang ikut terjebak diantara sorot mata itu. “How do you know, Ra?”
“K-kenapa? Salah ngomong ya gue? Eh atau, is there something on my face?” Buru-buru aku mengecek kondisi wajahku dari pantulan layar ponsel yang aku genggam.
“Hahaha apa sih ga ada apa-apa.” Ia menurunkan ponsel itu, sehingga berhasil membuat sorot mata kami berpapasan. Shaka diam sejenak seperti orang yang tengah mengamati sesuatu. “Cantik. Ayo, let’s move to the main room.”
Kami berjalan menuju tempat yang menjadi tujuan utama pada hari ini, dengan posisi tangan yang saling menggenggam. Iya, lelaki itu mengenggam tanganku.
Ruang itu terletak di lantai dua rumah ini. Kami menaiki satu-persatu anak tangga yang dilindungi kaca bening sebagai pembatas pada sisi tangganya.
“Ready?” “I’ve never been this ready!”
Ruangan dengan pintu bercat putih di ujung lantai itu terbuka, menampilkan segudang mahakarya sang peri lukis. Jejeran kanvas dengan lukisan-lukisannya tersusun rapi, botol-botol cat dengan nyaris semua warna yang ada berdampingan dengan puluhan kuas dan palet yang masih menyisakan cat kering pada masing-masing alat yang saat ini sudah tak pernah lagi disentuh oleh pemiliknya.
“Shaka, inget art gallery yang kemarin kita datengin?” “Iya, kenapa?” “There’s nothing compared to your mom’s studio. Ini, cantik banget astagaaa! INDAH BANGET.” “You like it?” “More than like it. I love to be here! Omg, thank you for inviting me Ka.”
Shaka merespon segala keantusiasanku dengan senyuman. Senyum yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Matanya seperti menyorotkan perasaan bahagia yang saat ini sedang menguasai hatinya, itupun kalau aku tidak salah mengartikan.
“Jangan ilang lagi ya senyumnya, i like your smile.”
Ia menarikku pada kursi kayu di samping jendela, dengan sebuah kanvas kosong di depannya lalu mengalungkan painting apron pada tengkukku.
“Let’s make some gift for her.” “Gift?” “Yup, hari ini Mama ulang tahun. That’s why you are here.” “LOH? BENERAN? AAAA MAMA HAPPY BIRTHDAY YA AMPUN MAKASIH UDAH BIKIN LUKISAN LUKISAN YANG CANTIK! “Eh bentar gue sok kenal banget anjir manggil Mama, oke.. Tante selamat ulang tahun!!”
Lelaki disebelahku hanya menggeleng dengan garis mata yang hampir menghilang karena gelak tawanya yang cukup kuat. Dan aku, menikmati itu. Ada pribadi lain yang ia sembunyikan, pribadi yang hangat dan menyenangkan, yang mungkin telah lama hilang, lalu mulai muncul kembali secara perlahan.
“HAHAHA just call her ‘mom’ Ra, she gonna like it.”
Aku meraih kuas dan palet kayu yang terletak di samping kanvas berukir kelopak bunga lily dengan inisial CA di ujungnya.
“CA?” “Claudia Ashalina, her name.” “It sounds familiar, but that’s one of the most prettiest name that i heard.”