31; i like him
Diandra duduk di tepi air mancur kecil yang berada tepat di samping gedung fakultas. Mengamati orang-orang sembari awas matanya diam-diam mencari sosok yang katanya akan tiba sekitar 7 menit lagi. Matahari pada hari ini tidak begitu terik, walau udaranya tetap panas, namun terasa nyaman menghangatkan. Setelah sempat terpikir untuk menolak ajakan Shaka, Diandra akhirnya memberanikan diri untuk mengiyakannya.
Ozzie benar, ia tidak bisa terus-terusan menjalani hari dengan hanya terpaku oleh satu lingkungan. Dunia dan seisinya, terlalu luas untuk tidak dijelajahi. Jutaan sifat manusia, terlalu beragam untuk tidak dikenali.
“Hidup ini hanya sejenak, seperti aktor payah yang berjalan angkuh dan gelisah sepanjang drama, setelah itu lenyap di balik panggung.” -Florence Littauer, from Your Personality Tree.
Diandra’s Pov
Seorang lelaki tiba-tiba berdiri di depanku, dengan sepasang airpod yang saat ini masih terpasang, aku menengadah. Menatap sosok yang setelan bajunya tidak berbeda jauh pada saat pertama kali kita bertemu. Jaket jeans dan kaos putih polos, yang dapat kupastikan itu pasti sudah menjadi fashion andalannya. Hanya saja celana jeans yang ia gunakan tidak bolong-bolong sekarang.
“Kenapa bengong? Yuk”. Suara itu, suara yang belum lama dikenal oleh sepasang telingaku. Hangat. Suara yang menghangatkan.
“Ka, tapi gue ngga bisa minum kopi..” “Hahaha ya udah, ngopi kan cuma istilah lain dari ngajak nongkrong? Lo ga harus minum kopi beneran. Ayo naik”.
Aku tersenyum canggung, meraih pundaknya sebelum aku mendudukkan tubuh di atas motornya. Aku memposisikan tangan di atas pahaku, dan itu cukup membuatku bergidik ngeri karena khawatir akan kecepatan motor yang ia lajukan, posisi motornya cukup tinggi.
“Ngga apa-apa Ra kalo mau pegangan, tapi kalo canggung ga usah. Gue ga akan ngebut”. Shaka yang peka terhadap posisi tidak nyamankupun akhirnya menoleh sambil menaikkan sedikit kaca helmnya.
“Is it okay?”
Tidak ada jawaban, namun tiba-tiba ia meraih tanganku, lalu menyampirkannya pada kedua sisi pinggangnya.
“It’s okay.”
Kami keluar dari area kampus, melewati beberapa pohon disamping sisi jalan sebelum akhirnya arus lalu lintas di sore itu mulai padat. Laju motor kami melambat.
“Gue tiba-tiba pengen tuk tuk cha deh Ka.” “Tuk tuk cha? Thai tea?” “Iya. Itu, liat ngga bajaj di depan? Bajaj tuh kayak tuk tuk ngga sih bentuknya? Gue jadi kepengen tuk tuk cha”. Tidak ada respon untuk beberapa detik, sebelum akhirnya ada gelak tawa yang terlepas.
“HAHAHA ASTAGA RA! I never know you were this random hahahahaha padahal dari tadi diem aja jadi gue yang takut”.
Aku ikut tertawa, diikuti sepasang mata yang menyaksikan ekspresi tawa yang terpantul pada kaca spion. Ia, manis. Entah mengapa aku merasa nyaman untuk bersikap sebagaimana diriku di depannya, atmosfer yang dia berikan seolah memberiku energi positif.
“Gue juga tiba-tiba pengen nasgor mafia level mematikan”. Ucapnya tak mau kalah. “Kenapa, kenapa?” “Keinget mulutnya Ozzie, pedes.” “Dih hahahahahaha apaan sih sumpah Shaka gariiiing.” “Eh engga itu liat samping bajaj yang tadi, perhatiin motor ketiga dari sisi kanan. Noh, beneran Ozzie.”
Aku mengikuti gerak telunjuknya, benar saja, tepat dibelakang garis zebra cross. Ozzie dengan setelan flanel berwarna kremnya, tengah menatap kosong laju kendaraan di depannya, menunggu warna lampu berubah menjadi hijau.
“Sst, lo diem ya, kita kagetin”. Shaka melajukan sedikit demi sedikit motornya, mencari celah pada tiap-tiap jarak kendaraan yang ada. Saat kami sampai tepat di belakang motor Ozzie, lampu lalu lintas ikut berganti menjadi hijau. Shaka dan jempol tangan kirinya yang sudah stanby di atas tombol klakson. “1..2..”
TIIIINNNNNNN!
Ia melajukan motornya tepat di samping kanan Ozzie, dan berhasil membuatnya membelalakan mata, terkejut.
“SHAKA MONYET!”
Sore itu, kami mengawali hari pertama sebagai dua orang yang baru saja saling mengenal, dengan tawa yang tak henti di sepanjang jalan. Siapa yang menyangka kalau orang yang sempat aku beri label galak itu, nyatanya menyimpan banyak tawa dan memiliki pribadi yang menyenangkan dibalik raut wajahnya yang susaaaah sekali diajak senyum. Tidak sulit bagiku untuk menyamakan frekuensi dengannya. I think we have the same sense of humor.
I like him, i mean, as a new friend.