23; first met


Studio berdesain cozy, dengan balutan karpet dan busa kedap suara berwarna coklat dan putih tulang ditiap sisi dindingnya, mempunyai ukuran yang cukup luas untuk hanya diisi oleh mereka berempat. Alat-alat musik yang tersusun rapi dengan jarak-jarak kecil, seolah siap menanti untuk disentuh oleh tangan-tangan emas para calon musisi.

Keempat orang yang tidak memiliki background di dunia musik, namun cukup mempunyai bakat musik yang tak kalah keren dari mereka yang terlahir murni dengan aliran darah seni. Jeno, Naresh, Ozzie, dan Diandra memang cukup sering menghabiskan waktu di studio musik untuk mengisi waktu luang disela hektik tugas kuliah.

Tak kalah dari Jeno, Naresh, dan Ozzie yang sudah memiliki title anak band dari semasa SMA, Diandra sendiri mempunyai suara yang terbilang merdu untuk ia yang notabennya bukan berprofesi sebagai penyanyi. Beberapa kali ia sempat menjadi perwakilan solo vokal untuk mewakili kelasnya pada acara-acara di sekolahnya dulu, walau harus dibantu dengan paksaan.

Kalau kata Jeno, “Aneh lo, punya bakat ngga pernah mau ditunjukin. Gimana orang-orang mau tau kalo lo ternyata punya potensi di suatu bidang. Malu malu aja terus sampe nyesel sendiri!”

“Res, tumben lo megang bass? Yang main gitar siapa?”. Tanya Diandra. “Vokal.” “Gue? Lah gue ngga bisa main gitar ngaco.” “Ye bukan elu, tuh nengok pintu tuh orangnya baru dateng.”

Daun pintu terbuka, menampakkan sosok lelaki dengan setelan hitam-hitam. Ripped jeans, paduan kaos polos dan juga jaket jeansnya seakan memancarkan pesona yang mampu membuat siapapun yang melihatnya tahu, kalau si pemilik tengah menyembunyikan visual yang tampan dibalik masker yang saat ini menutupi setengah wajahnya. Geez, everyone, Shaka’s here!

“Halo, sorry sorry, tadi gue ke apart dulu bentar ada yang ketinggalan.” “Gapapa, lo ganteng soalnya jadi dimaafin. Ya ngga Ra?”. Goda Naresh sembari menyikut kecil lengan Diandra.

Diandra mematung menyaksikan sosok yang selama dua hari ini ia coba hindari, nafasnya seakan tercekat, ia meneguk liur menahan perasaan malu yang saat ini masih ia rasakan.

“Ra? Kenapa? Masih takut sama gue? Gue kesini mau ikut nge-band kok, ngga mau makan orang hahaha”.

Ketawanya renyah, surprisingly, Shaka berbicara dengan intonasi lembut. Tipe tone suaranya yang tidak bisa dibilang berat, ataupun terlalu ringan. Suara yang memberikan efek calm pada tiap pasang telinga yang mendengarnya, tapi justru membuat Diandra semakin gugup.

“Eh e-engga kok! Kaget aja, soalnya anak-anak ngga bilang ada lo juga.” “Kalo bilang-bilang lo ngga akan mau ikut. Udah santai aja, sih? Sekalian nambah temen anjir lu kagak bosen apa temen lu itu itu mulu”.

Ozzie yang dari tadi menarikan jari-jarinya di atas tuts keyboardpun ikut gemas menyaksikan Diandra yang warna wajahnya saat ini sudah hampir menyerupai buah tomat. Sang pemeran utama hanya bisa mengeskpresikan emosinya dengan senyum pasrah, sesekali tatap matanya melirik ketiga temannya seakan bersuara,

Mati lu abis ini.

“Ra, mau nyanyi duluan?” “Eh? Engga Ka, lo aja silahkan, udah lama juga kan lo ngga ikut nge-band.” “Atau, mau duet aja?” “ENGGAK ENGGAK! Gue.. e.. tenggorokan gue sakit.”

DUM DUM BANG DUM TAS!

Suara drum terdengar berisik tak beraturan, jelas sekali bukan dimainkan dengan ketukan yang benar.

“EYYY ngobrolnya ntar ajalah di chat, ini jam sewanya keburu abis gue lempar stik drum lu bedua.”

Kicauan terakhir Jeno hanya ditimpali dengan tawa canggung oleh keduanya. Tanpa sadar, kalau sorot mata sang pria diam-diam terhanyut pada satu-satunya gadis yang pipinya tengah memerah saat ini. Shaka melempar senyum terakhirnya dengan sebelah alis yang terangkat, sebelum akhirnya tangannya meraih mic,

“Oke, gue nyanyi ya Ra.”