22; What’s going on inside my brain


Gadis itu memutar bola matanya. “Hah apaan, sih? Lu kata asik kali?”.

Pesan terakhir dari Shaka ia biarkan begitu saja, setelah membutuhkan waktu satu hari untuk membalas pesan tersebut.

Malu, Diandra perlu mengumpulkan nyali untuk membalas pesan dari seseorang yang mungkin saja akan menjadi bahan olok-olokan karena kecerobohannya. Moodnya sudah terlalu hancur pasca tragedi salah akun yang sudah hampir 24 jam berlalu, hampir seharian penuh Diandra tidak berhenti merutuki diri sendiri. Kesal, malu, overthinking.

“Haaah.. malu banget, gue udah kayak cewek gatel kebelet viral.”

Beruntung hari ini ia tidak ada jadwal pergi ke kampus, setidaknya ia bisa menghindar dari Naresh, Jeno, dan Ozzie yang sudah pasti akan menjadikannya sasaran empuk untuk ‘dibully’. Setidaknya untuk satu hari.

Mereka semua beda fakultas, kalau saja bukan karena ospek, mungkin Diandra tidak akan mempunyai teman lain selain Zella dan Gigi. Diandra sering kali merasa energinya selalu cepat terkuras habis jika berada di dalam situasi yang terlalu banyak manusia di dalamnya, apalagi kalau mayoritas isinya bukan orang-orang yang ia kenal atau tidak satu frekuensi dengannya.

Jadi, jelas Diandra tidak pernah memusingkan perihal jumlah teman-temannya yang bahkan bisa dihitung jari.

Seharian ini, ia terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang akan terjadi di kampus besok, memikirkan akan semenyebalkan apa celotehan-celotehan yang akan ia dapat nantinya. Padahal, kalau dia lupa, ia tidak se-famous itu di lingkungan kampus. Tak jarang mahasiswa disana tidak menyadari eksistensinya sebagai salah satu mahasiswa Neo.

“Itu siapa? Oh anak psikologi”.

Jangankan seluruh wilayah kampus, bisa dikenal sesama mahasiswa satu prodi saja sudah termasuk achievement untuk seorang Diandra Adelion, si manusia anti sosial.


“Ayo kita beli es krim, plis gue perlu ngademin otak. STATISTIKA ANJINGGG”. Terik matahari pada siang itu menjadi perpaduan yang sempurna untuk mampu membakar seluruh emosi tiga mahasiswi psikologi yang baru saja dipertemukan dengan kuis dadakan.

“Lo tau ngga sih? Kesalahan terbesar gue selain tweet gue diangkat base adalah mengira bahwa masuk psikologi gue akan terlepas dari yang namanya itung-itungan.”

Diandra menghela napas frustasi dengan sebelah tangan yang bertengger di samping pelipis, menghalangi sorot cahaya matahari yang dengan senang hati menyapa wajahnya.

“Ya tapi masalah tweet emang lo kelewat bego si.” Gistara yang dari tadi menyumpal kedua telinganya dengan airpod akhirnya tertarik untuk merespon ocehan Diandra tanpa menoleh sedikitpun.

Diandra is the truth definition of ‘jagoan kandang’. Terlihat irit bicara namun bisa bertransformasi menjadi komentator bola dadakan pada ia yang dianggap nyaman di dekatnya.

“Ra bacot banget anjing, diem dululah gue mau ngerekam presentasi”. Begitulah keseharian geng papan karambol yang hampir setiap hari berkumpul di apartkos Jeno untuk menumpang wifi gratis, sekaligus mendengar ocehan Diandra yang selalu berhasil menjadi salah satu alasan terdistraknya beberapa makalah tugas yang sudah dikejar deadline.

Ngomong-ngomong, segala ketakutan yang seharian kemarin menguasai isi kepala Diandra, tidak satupun dari segala kekhawatirannya yang benar-benar terjadi di hari ini. Ia hanya melewati setiap sudut kampus, seolah dirinya bukan si pemilik akun radelion yang dua hari lalu sempat membuat ramai base social media kampusnya. Namun, tak sedikit juga matanya berpapasan dengan sorot mata lain yang seakan-akan mengintimidasi, “Eh ini Diandra yang Shaka itu bukan sih?”.

“OIIIIIIII ARTIS TWITTERKU”.

Belum 10 menit Diandra mengeluarkan keluh kesah pada kuis dadakan dan panasnya cuaca hari ini, Naresh, Ozzie, dan Jeno sudah siap menambah kadar emosi Diandra yang sudah mengepul, siap untuk diledakkan kapan saja. Bahkan tatapan sinis Diandra yang bisa diartikan sebagai sinyal amarah juga tak lagi mempan untuk membuat mereka bertiga berhenti menggoda.

“Idih, galak banget. Jangan galak-galaklah lu kayak mau makan orang.” Goda Naresh. Diandra berjalan sambil menggandeng masing-masing tangan Gistara dan Zella, berusaha tidak memperdulikan ketiga temannya demi tukang es krim di ujung jalan.

“Ssst, diem gue lagi baik hati ngga mau marah-marah.”

“Boong anjir, lu kagak liat gue sampe nyumpel kuping pake airpod. Si Zella nyampe nenggak minum berkali-kali, lu yang bacot kita yang aus.”

“HAHAHAHA ayo Ra ikut nge-band, bebas dah lu bisa teriak teriak pake mic.” Sahut Jeno.

“Tadinya gue mau mogok ngomong sama kalian satu minggu tapi ajakan kalian menyenangkan.”

“Berak banget, ya udah ayo cabut.”

“GUE GA MAU NYANYI TAPI NOOO GANTIAN DULU YA GUE MAU GEBUK-GEBUK DRUM!”