116; Stay in memory


Wanita itu mengamati satu-persatu lukisan yang terpampang di sepanjang galeri seni lebih seksama, sambil menenteng hasil lukisan abstrak buatannya yang baru setengah jadi. Mengunjungi tiap galeri ke galeri adalah caranya mencari inspirasi dikala tangan itu terasa kaku untuk menarikan kuas di atas kanvas. Claudia mencintai seni sebagaimana seni adalah jantung baginya. Bakatnya menurun dari sang Ayah sebagai salah satu pemahat patung kayu yang namanya tidak pernah absen dari jajaran-jajaran pengrajin pada tiap museum seni di kota tempat tinggalnya.

“It’s the process of seeing yourself in things that aren’t you. Seni bisa mengeksplor dirimu lebih jauh. Elizabeth bround said, art isn’t always about pretty things, it’s about who we are, what happened to us, and how our lives are affected. Karyamu bisa berbicara, nak.” Begitu kata sang Ayah, dengan secangkir kopi di suatu sore yang tanpa satu orangpun menyangka kalau itu adalah terakhir kalinya ia melihat sang Ayah bergelut pada perkakas pahatnya.

Claudia menikmati tiap lukisan yang ada sambil berkali-kali matanya memandangi kanvas yang ia genggam. Lukisannya cantik, tapi tidak secantik lukisan-lukisan yang terpampang di depannya, begitu katanya.

“Kenapa?” Abian, menyadari raut kekecewaan pada wanita di sebelahnya. “Ternyata lukisanku ngga layak untuk dipamerin.” Keluh Claudia. “Kamu terlalu sering membanggakan karya orang lain, sampai kamu lupa kalau karyamu juga sama layaknya, Claudia.”

Alih-alih mencari inspirasi, Abian seringkali mendapati istrinya kehilangan rasa percaya diri tiap kali mengunjungi galeri seni. Satu jam sebelum mereka berangkat, Claudia selalu mengekspresikan keantusiasan dengan tidak berhenti berceloteh tentang keinginannya melihat salah satu lukisannya terpampang di galeri seni suatu saat nanti. Dan satu jam kemudian juga Abian melihat gumpalan rasa takut dan kekecewaan pada sorot mata perempuan itu.

“Kadang aku suka mikir, lukisan-lukisanku yang hampir memenuhi satu ruangan itu akan berakhir gimana nantinya. Kenapa ya aku kok pede banget kalo lukisanku bisa menghilang satu-persatu dan pindah kesini.” Claudia masih memandangi lukisan setengah jadinya dengan senyum tak bernyawa.

“Clau, kamu inget art class yang kamu datengin waktu di aussie? Lukisanmu paling cantik, bahkan seniman itu nahan lukisan kamu buat dipajang di kelas dia.“ “Kayaknya dia bohong, buktinya kemarin lukisanku ditolak hahaha.”

Dua bulan sebelumnya, ia menyumbangkan salah satu lukisannya untuk pertama kali. Berkonsep relax, unwind, and living your life, bersketsa satu pohon beringin dengan daun-daunnya yang lebat. Dan itu menjadi penolakan pertamanya.

“Kamu baru sekali nyoba, terlalu cepet kalo langsung merasa gagal.” Tutur Abian. “Aku ngga ngerasa gagal, aku hanya, merasa kecil setelah melihat lukisan-lukisan disini. Apa aku bisa?”

Abian memutar tubuhnya ke arah Claudia, meraih pergelangan tangannya dan menatap kedua mata berwarna coklat itu lekat-lekat.

“Bisa, kamu ngga mungkin gagal dan ngga akan pernah gagal. It’s all about win, or learn. Kalo kamu merasa kalah, ayo kita belajar dari kekalahan itu. I’m here, i’m fully supporting you.”

Senyumnya terlukis tepat setelah kata-kata dari Abian melewati ruang telinganya. Pria itu, selalu mempunyai kehangatan yang mampu mencairkan senyum pada wanitanya.

“I love you.” “I couldn’t be more in love, Claudia.”

But, she’s too late.