60; Art Gallery Date
Semilir angin masuk melewati kaca mobil yang kubuka setengah, mengguncang tiap-tiap helai rambut yang terurai. Sejuk, aku sangat menyukai atmosfer pada malam hari. Suasana kota yang masih terlihat sibuk, namun tidak menutupi perasaan tenang yang menyeruak ke dalam jiwa. Begitupun dengan orang di sebelah kananku, tatap matanya menatap lurus pada jalanan, serta kedua tangan yang tidak berpindah dari tuas setir. Shaka terlihat sangat tenang. Aku baru sadar kalau memandang wajahnya sedekat ini, ternyata sama tenangnya dengan sejuk atmosfer malam yang selalu aku cari.
“Ra, ini kalo lo yang nyetir kayaknya kita bakal nabrak bentar lagi.” “Apaan? Kenapa?” “Lo ngeliatin gue mulu.”
Ia yang awas matanya fokus pada jalanan, ternyata sadar akan adanya sorot mata lain yang menjadikannya fokus utama pada malam itu. Aku menggigit bibir menahan senyum, pura-pura membetulkan posisi sabuk pengaman demi mengalihkan tuturannya, yang seperti menangkap basah sorot mata yang secara tidak sadar menatapnya selama hampir setengah perjalanan.
“Ka, sepi banget gue nyalain musik ya.” “Hih padahal lo sendiri tadi yang minta jangan nyalain musik biar atmosfernya ga keganggu.” “Ya-iya kan itu tadi, sekarang beda lagi. Sepi juga kita kayak orang lagi berantem.” “Iyaaa ya udah, terserah lo aja yang milih lagu sana.” “Hmmm apa ya, ini? Tau ga?”
🎵The simple things – Michael Carreon
“And it's the simple things you do, i just can't get enough of you, it’s that perfume that you wear and the way you do your hair, that i love so much.”
“You know this song?” “Yup! And is the best pick for this time, good job, Ra.”
“I love you, words i never say, friends make fun but i tell you every day, anyway, lately you've been getting me home safely.“
“Wake up, love the coffee that you make me. Ask me how my night was, I like us, it's so easy.”
Tatapan itu lagi, ia balik mengamatiku yang tengah bersenandung mengikuti alunan lagu. Rasanya kedua mata itu seperti memindai. Lalu terasa jari-jari tangannya mulai mendekati ujung pelipisku. Menyelipkan tiap helai rambut ke belakang telingaku yang mulai acak-acakkan diterpa angin.
“Ra, gue tutup ya jendelanya, rambut lo nanti berantakan.”
“Jam berapa sekarang?” Tanya Shaka.
Aku mengulurkan pergelangan tangan ke arahnya. “Nih, jam 7.25, kita telat ga sih?”
“Ya engga dong Ra, openingnya emang jam 7, tapi kan kita bukan lagi sekolah yang dateng lebih dari jam segitu terus ga boleh masuk.” “Nyebelin banget, perumpamaan gue juga ga se-bloon itu kali??” “Yuk, turun.”
Kami memasuki ruangan yang tiap sudutnya di dominasi oleh warna putih, tiap-tiap lukisan yang tertempel pada dinding semakin memberikan kesan elegan yang sangat menenangkan bagi tiap pasang mata yang memandang. Di bagian tengah ruangan, ada deretan patung-patung kecil yang terbuat dari keramik, berjejer manis dengan nama-nama di atasnya yang bisa dipastikan sebagai artis dari karya-karya tersebut.
Jumlah pengunjung yang hadir juga cukup ramai, mulai dari anak muda yang hanya sekedar ingin memenuhi rasa penasarannya, hingga orang-orang tua berpenampilan classy dengan tampang-tampang pecinta seni. Aku sendiri bahkan tidak mengerti apa-apa tentang seni. Aku hanya menikmati tiap karya yang ada sebagai orang yang sekedar ingin memanjakan mata. Tapi aku selalu senang datang ke tempat seperti ini, aku suka suasananya. Aroma-aroma cat pada tiap lukisan yang terhirup segar olehku, semakin membuatku jatuh cinta pada atmosfer di dalamnya.
“Setiap ada art gallery yang baru buka, pasti gue selalu dateng. Gue seneng ada disini”. Shaka membuka suara setelah dari tadi diam terfokus menikmati karya-karya yang ada.
“Lo suka banget sama seni ya?” “Not really. Dibanding karyanya sendiri, kayanya gue lebih menikmati atmosfernya. Suasananya ngingetin gue sama rumah”. Aku tidak menjawab, hanya diam memperhatikan orang yang tatap matanya tidak berpindah dari lukisan yang terpampang tepat di depannya saat ini.
“Dulu, Mama hobi banget ngelukis. Sampe kita harus bikin satu ruangan baru buat naro lukisan-lukisan yang dia bikin. Dia bilang, melukis itu bukan soal apa yang digambar, tapi tentang perasaan yang ikut tergambar”.
Helaan napasnya terdengar memberat.
“Lo pernah ga Ra, cuma natap kosong suatu lukisan, tapi tiba-tiba ada emosi lain yang ikut lo rasain. Entah perasaan yang tiba-tiba bikin lo emosional, atau bahagia? Padahal lo ga tau filosofi apa yang ada di gambar itu.” “Pernah.” “Nah, itu yang dimaksud dengan perasaan yang ikut tergambar.” “Do you currently miss your home?“ “Always. But, i've already lost my home too, Ra.”
Suaranya mulai terdengar bergetar, manik mata yang menyorotkan keantusiasan itu sekarang berubah menjadi kelabu.
“She has been passed away since 4 years ago, and three months before my 15th birthday.”
Aku melirik pria di sebelahku, ada senyum yang tergambar pada bibir itu, tapi, kenapa rasanya sangat menyakitkan. Senyum yang sangat manis, namun ada sendu yang tersimpan di dalamnya.
Aku bergerak mendekatinya, hingga hanya menyisakan sedikit jarak diantara aku dengannya. Aku meraih tangan itu, menautkan jari-jariku pada telapak tangannya yang terasa hangat.
“Ka, no one can replace her. Tapi, kapanpun lo kangen suasana rumah, kemanapun lo pengen pergi ke tempat yang bisa ngasih sedikit suasana rumah. I’ll go with you. Let's be a support system for each other.”