114; The night we spend under the city lights


Mereka menaiki lift menuju lantai 26, gedung apartement itu berada di tengah-tengah kota dengan keadaan di sekelilingnya yang sudah pasti ramai, tidak perlu ditanya. Karena berada di pusat kota, atmosfer yang terasa benar-benar hidup, hiruk pikuk ibu kota yang menyuguhi pemandangan gedung-gedung tinggi menjulang, there is nothing prettier than the night that casts a spotlight on the city lights. Untuk seorang Diandra yang sangat menyukai suasana malam, ia jatuh cinta pada pemandangan di sekelilingnya, terlebih dengan eksistensi laki-laki yang ada di sebelahnya saat ini.

“Ini kalo gue yang tinggal disini, gue ngga akan keluar-keluar sih Ka, i can stare at the city lights for all daaay long”. Shaka menyunggingkan senyum miringnya dengan tawa kecil yang terdengar menyombongkan. “Lo belum liat view di kamar gue, palingan ngga mau pulang.”

Kamarnya terletak pada pintu ke lima lantai tersebut dengan nomor 548. Ada dua gitar akustik yang tergantung di sebelah keyboard pada samping meja belajar, beberapa vinyl record bercover Michael Jackson semakin menambah kesan bahwa pemilik kamar ini adalah seorang musisi dibandingkan calon arsitek. Kamar bernuansa abu-abu itu juga memiliki posisi kasur yang mengarah tepat pada jendela kaca dan langsung menampakkan pemandangan kota. Shaka benar, view yang diberikan oleh kamar ini tidak main-main.

“Can i ask you something?” Shaka membalas dengan anggukan. “Lo kayaknya suka banget sama musik, kenapa ngga ambil jurusan musik aja?”

Shaka menepuk-nepuk karpet bulu yang didudukinya, memberi sinyal pada Diandra yang dari tadi tidak melepas fokusnya dari alat-alat musik untuk duduk di sampingnya. Perempuan itu mengangguk dan menghampiri lelaki yang tengah mengeluarkan uno stacko dari dalam kotak.

“Iya gue seneng banget sama musik, tapi musik cuma hobi, buat sekedar seneng-seneng aja.” “Terus kalo arsitek? cita-cita lo dari kapan?” “Sebenernya cita-cita bukan cita-sita sih Ra, hahaha. Gue juga suka gambar, dari kecil gue hobi banget yang namanya nyusun-nyusun lego, terus ya udah, pengen aja jadi arsitek. Gajinya gede.” “Wow oke, alasan yang sangat realistis.” “Ok now, let’s get to know each other based on the numbers that coming out of here.” “Ha gimana?”

Shaka mencubit lembut ujung hidung Diandra, lalu mengeluarkan gulungan-gulungan kecil kertas yang berisi beberapa pertanyaan yang ia buat sendiri tadi siang.

“Jadi, tiap uno kan ada nomor dan warnanya masing. Gue udah nyiapin beberapa pertanyaan berdasarkan nomor-nomor ini. Tiap lo ambil satu, lo cek pertanyaan sesuai nomor dan warna yang lo ambil. Ngerti kan?” “NIAT BANGET???” “Anything for you.”

Diandra tersontak menatapnya dengan tatapan ambigu, seperti sorot mata kaget, bingung, dan heran yang menjadi satu.

“Eh, i-i mean no maksudnya itu, kan gue udah janji mau ngajak main board game, tapi gue ngga punya board game beneran jadi ya udah, gue ini, ngide sendiri, gitu.” Jawabnya gugup.

Tatapan Diandra masih disana, masih menatap heran laki-laki yang dari tadi berbicara sambil menghindari sorot matanya. Itu pertama kali Diandra melihat Shaka gugup. Perlahan-lahan matanya menyipit bersamaan dengan lengkung dibibirnya. “Santai kaliii gugup banget, gue cuma nanya bukan mau makan orang. Wle.”

“Lima biru, which do you prefer- scary movies or happy endings?” “Whats the different? film horror juga banyak yang happy ending.” “Enggalaaah, dimana-mana film horror bikin stres ngga ada bahagia-bahagianya.” “DIH SHAKA PLIS MUKA LO DOANG SEREM TAPI TAKUT FILM HORROR.” “ENGGAK! Siapa yang bilang!” “Oke abis ini kita nonton film setan ngga mau tau, cause i prefer scary movies.” “Aneh, rock paper scissors shoot!

Shaka tiba-tiba mengeluarkan gunting tanpa aba-aba, mengalahkan kertas yang reflek dikeluarkan Diandra dengan ekspresi bertanya-tanya.

“I win, so we gonna watch happy movies after this.” “Aneeeeh.”

Satu persatu tumpukan stako mulai menghilang dari susunan, membuat susunan itu semakin miring kehilangan keseimbangan. Beberapa toping pizza yang mereka beli lewat delivery berceceran di atas karpet setelah digunakan sebagai senjata lempar-melempar terhadap respon jawaban yang dirasa mengecewakan. Shaka memandang perempuan di depannya dengan rambut yang ia ikat menggunakan style messy bun, sebelah wajahnya terpantul oleh cahaya lampu yang menyorot makes everything else that made the darkness look beautiful. Tatapannya tenggelam pada gadis itu.

“Ra, i have special question for you.” Diandra tidak memberikan respon apapun, seolah tidak ada orang lain di ruangan itu selain dirinya dan susunan uno stacko yang ia geluti dari tadi.

“Ra.” Shaka dengan jahilnya menyenggol susunan uno dengan sengaja, yang secara tidak langsung menghentikan permainan. “Ih Shakaaa! ok i’m listen. Apa?” “Is there anything you’ve wanted to do, but need help with?”

Diandra memutar bola matanya dengan kening yang mengernyit tanda orang sedang berpikir sebelum ia merebahkan badan di karpet empuk itu.

“Gue sambil tiduran ya boleh ngga? Pegel.” “Eh, sakit ga kepalanya itu ga pake bantal. Sini disini aja Ra.” Shaka menggeser posisinya lebih dekat dengan Diandra, menunjuk sebelah pahanya dengan kedua alis terangkat dengan maksud, perempuan itu bisa menyandarkan kepalanya disana, “come here, it’s okay.”

Suhu ruangan yang sejuk, aroma sandalwood yang menyeruak dari dalam diffuser semakin menghidupkan atmosfer diantara keduanya. Lantunan musik instrumental dari André Gagnon menjadi latar belakang suara bagi dua orang yang sedang mencari kenyamanan pada langit malam. Jari-jarinya menyisir lembut rambut perempuan yang saat ini tengah memejamkan mata di dalam pangkuannya.

“Ada, there’s a lot. Banyak banget yang mau gue coba, tapi semuanya cuma wacana doang.” “Why?” “My thoughts, i just can’t control them, gue terlalu kebanyakan mikir gimana gimananya even sebelum memulai, salah satunya, i wanna sing. Eh, ini gue boleh langsung cerita?” “Go on.”

“Kemarin Gigi ngajak gue buat nyanyi di cafe kakaknya, kalo dibilang pengen, jelas gue pengen. Gue merasa suara gue oke kok, gue penasaran sama respon orang-orang pas nanti denger suara gue, bakal pada suka ngga ya? Tapi, gimana ya kalo mereka ternyata ngga suka, gimana kalo ternyata suara gue ngga selayak itu buat di denger, mereka bakal ngatain gue ngga..”

“Ra, sorry bisa bangun dulu sebentar?” Lelaki itu terbangun mengambil salah satu gitar akustik yang tergantung. “They‘re gonna like your voice, let’s prove it.”

Tidak tau apa yang sedang direncanakan oleh Shaka, Diandra hanya mengikuti titahnya mencari lirik dan memilih lagu sambil memperhatikan partner di sebelahnya yang sibuk mengotak-atik senar gitar.

10000 hours?” tanya Diandra. “Oooh turns out you really fit the situation, dont you?” “Apaaan??” “Engga, ok sing.”

Selagi fokusnya tertuju pada layar ponsel, Shaka diam-diam menyalakan fitur instagram live dari akunnya. Menyorotkan kamera yang ia sembunyikan dari balik gitar, tepat pada Diandra yang sebentar lagi akan memamerkan suaranya.

“Do you love the rain, does it make you dance, when you're drunk with your friends at a party. What’s your favorite song, does it make you smile, do you think of me.”

“When you close your eyes, tell me, what are you dreamin', everything, i wanna know it all.”

Mereka bernyanyi saling menyahut pada tiap-tiap lirik yang menggambarkan suasana hati keduanya, atau mungkin, satu diantaranya. Shaka yang notabennya menjadi teman duet Diandra, alih-alih bernyanyi dia justru hanya mengiringi musik sambil tatap matanya tidak lepas dari gadis itu. Diam-diam tersenyum dan membuang muka, “If they don't like your voice, they're lying, Ra. I’m here and i already in love with you.”

Sesekali matanya mengecek views dan kolom komentar yang mulai diisi oleh pujian-pujian pada suara itu. She, did it.

“I'd spend ten thousand hours and ten thousand more. Oh, if that's what it takes to learn that sweet heart of yours. And i might never get there, but i’m gonna try, if it's ten thousand hours or the rest of my life, I’m gonna love you.”

“Good job, Ra you did it! You got 135 views and wanna see the comment?”


Comment section

“Baguuus.” “Eh shaka itu siapa kenapa baru dikenalin.” “Sopan bgt suaranya plis.” “Request lagu dong.” “Kurang lama durasinya.”


“SHAKA LO NGAPAIN?!” Diandra merebut paksa ponsel itu dan mematikan live yang masih berlangsung. Wajahnya panik. “Hey hey hahaha it’s okay Ra, did something bad happen to you? Engga kan? It’s okaaaay.”

Shaka menaruh gitarnya lalu berpindah duduk mendekati Diandra yang saat ini tengah menunduk tak bersuara, entah apa maksud ekspresinya saat ini.

“Ra, can i hug you?”

Lelaki itu menarik Diandra ke dalam pelukannya, mengusap helai rambut panjangnya yang terurai.

“Congrats, now you have successfully performed in front of peoples. Ngga ada apa-apa kan, Ra? Keren, you did it! Mulai sekarang ngga perlu lagi takut untuk share cover-coveran lo ya, liat, semuanya pada nungguin lo nyanyi, ngga ada yang bilang suara lo jelek apalagi ngatain yang enggak-enggak. Lo keren Ra, hebat.”

“Nyanyi di cafe nanti juga ga ada bedanya kayak sekarang, just focus on the song and they’ll focus on your performance.”

Shaka merasakan kerah bajunya basah, is she crying?

“Ra, loh kok nangis? Maaf, gue lancang ya ngga izin dulu buat live tadi? Ra, i’m sorry..” Shaka melepas pelukannya lalu menyeka air mata yang mengalir pada pipi gadis itu. Menatapnya dengan tatapan khawatir. Namun, Diandra justru membalas kekhawatiran itu dengan senyuman.

“Gigi pernah bilang sama gue, kalo pintu keluar itu ga akan pernah kebuka kalo gue ga berusaha buat nyari kuncinya. And now, it seems i’ve found the key.”

Diandra menjeda kalimatnya, sambil menatap lekat-lekat manik mata lelaki di depannya,

“It’s you, Shaka.”