271; Holiday pt 2, villa
15.30 Mereka tiba. Panas dan nyeri di sekitar pinggang seakan menjalar pada seluruh tubuh karena terlalu lama duduk. Tadi, selepas mampir dari supermarket, Jeno dengan sukarela menawarkan diri untuk bergantian menyetir, karena melihat kondisi Shaka yang tidak memungkinkan jika harus lanjut mengemudi, matanya sudah terus-terusan berair menahan beratnya kantuk selama hampir lima jam.
Suara kicauan burung dan aroma segar pepohonan, menyambut ketujuh orang dengan raut wajah lelah masing-masing yang telah menghabiskan waktu setengah hari di dalam mobil. Setengah dari mereka lari berhamburan memasuki villa, meninggalkan seluruh barang bawaan di bagasi, buru-buru mencari alas yang empuk untuk merebahkan badan.
Gistara, orang pertama yang memasuki villa, kecepatan larinya langsung bertambah begitu melihat sofa empuk di tengah ruangan, “Badan gueee, akhirnya bisa direbahin.”
Disusul Shaka dan Naresh, ikut mencari spot kosong untuk meluruskan badan. Shaka yang baru saja terlelap kurang dari dua jam, seakan tidurnya belum cukup. Lelaki itu langsung merebahkan badan di atas sofa panjang, meraih bantal lalu memeluknya di atas dada dengan posisi terlentang, membuat setengah wajahnya tertutup dan hanya menampakkan alis dan matanya yang terpejam.
“Ah anjir Shaka tempat gue,” protes Naresh yang sama-sama mengincar sofa panjang, tidak digubris sama sekali oleh Shaka. “Gi, geser dong, pindah kek kemana sekalian, mau rebahan gue cape.”
Gistara yang belum ada tiga menit menikmati kenyamanan sofa empuk, langsung meluruskan seluruh badannya, menutupi seluruh spot kosong agar tidak ada siapapun yang mempersempit tempatnya.
“Emang lo doang yang cape!” “Ah elah geser dikit, sok-sok cape lo kayak nyetir aja.” ujar Naresh sambil memaksakan diri duduk di ujung sofa, merebut tempat. “Lah lo juga sadar diri, lo tidur aja yang paling lama kayak orang mati.” balas Gistara, seraya mengencangkan badannya agar tidak tergeser.
“Apa sih lu bedua ribut banget, kasian cowo gue lagi tidur. Dia noh yang cape.” Diandra menyembul dari balik pintu, membawa beberapa plastik belanjaan melewati dua orang yang tengah memperebutkan sofa, pergi menuju dapur untuk menaruh bahan-bahan mentah di dalam kulkas.
Di luar villa, masih ada Jeno, Ozzie, dan Zella yang dengan sukarela mengurus barang-barang bawaan yang ditinggal teman-temannya. Membawanya masuk tanpa banyak protes.
“Nih, kurang baik apa gue.” Ozzie menggeletakkan beberapa tas ransel di atas karpet. Disusul Jeno, yang berjalan setengah lari, menjatuhkan tas dengan sedikit melempar tidak sengaja, sebelum lari menuju kamar mandi.
“Jeno kurang ajar tas gue, maen lempar-lempar aja.” teriak Naresh. “Lo bersyukur udah di bawain.” timpal Zella yang langsung merebahkan badan di sebelah Gistara. “Ayo kumpul, kita bagi kamar.”
Villa berdesain minimal interior itu memiliki dua lantai. Ada satu kamar utama di lantai atas, dan dua kamar di bawah. View ruang utama bersekat jendela kaca dengan pintu geser di tengahnya, mengarah langsung menuju kolam renang, disuguhi pemandangan beberapa pohon rindang yang terlihat dari dalam villa. Udara di sana terasa dingin menyejukkan walau matahari di luar masih terik. Kicauan burung yang masih belum berhenti bersiul saling bersahutan, semakin menguatkan suasana asri yang tidak bisa ditemui dalam padatnya hiruk pikuk ibu kota.
“Shaka bangunin dulu ngga?” jeda Zella, setelah Diandra dan Jeno tiba. “Ngga usah lah ya kasian, biarin aja.” sambungnya lagi, menjawab pertanyaan sendiri.
“Ini kita ngga liat dulu kamarnya?” tanya Jeno. “Nanti kita bagi dulu, soalnya ini udah fix nih,” jawab Zella, “gue cewe bertiga di atas, kalian cowo-cowo di bawah ya. Tuh, ada dua kamar, terserah mau sekamar sama siapanya atur sendiri.”
“Kok lo curang di kamar utama? kan paling gede?!” protes Naresh. “Kita bertiga, ber-ti-ga.” balas Diandra, menekankan kata bertiga. “Kamar atas satu kasur doang, king size. Lo berdua dapet single bed tapi satu orang satu.” sambung Zella mempertegas detail.
Gistara bangun dari duduknya, yang langsung diambil alih oleh Naresh. “Gue bertiga ke atas naro tas.” ujarnya seraya meraih tas, disusul oleh Diandra dan Zella.
“Cepetan lo berdua mau sekamar sama siapa, gue gampang sisanya.” ucap Naresh.
Shaka masih tertidur pulas seakan kericuhan yang dari tadi terjadi hanya angin lewat.
“Gue juga bebas.” balas Jeno. “Bebas-bebas semua ngga akan kelar-kelar, cepetan.” sambung Ozzie dengan tas yang telah ia sampirkan di sebelah pundaknya, siap-siap menuju kamar. “Udah ayo res lo sama gue.” “Ya udah berarti lo sama Shaka ya.” ujar Naresh, tidak berpindah dari posisinya, terbaring di atas sofa. “Zi nitip tas!” “Kaki lo masih ada dua. Bangun. Ngga ada kerjanya lo dari tadi.” jawab Ozzie tidak peduli, lalu berjalan menuju kamar.
17.00 Setelah dirasa seluruh energi kembali terisi, berbagai macam aktivitas dan segala kebisingan mulai terdengar di setiap sudut villa.
“Yang duluan sampe ujung dapet kamar sebelah tv.” ucap Naresh, posisi kakinya ia naikkan sebelah, bertumpu pada ujung ubin kolam, siap mendorong tubuhnya untuk berenang hingga ujung.
Di sebelahnya ada Jeno, tengah menyunggingkan smirk-nya dengan percaya diri seakan tahu siapa juaranya, seraya mengibas rambutnya yang basah. Dan Gistara yang ikut stanby di ujung kolam dengan kaki setengah tercebur sambil menikmati semangkuk salad buah, menjadi wasit.
Setelah pembagian kamar, laki-laki itu protes perihal posisi kasur yang menurutnya tidak strategis hanya karena tidak menghadap jendela. Katanya, kamar sebelah lebih aesthetic. Alasan tidak masuk akal yang tidak dipedulikan oleh siapapun.
Suara gebyuran air dari dalam kolam terdengar hingga ke dapur, menyapa Diandra dan Zella, sedang memasak satu panci ramen untuk dimakan bersama sebelum makan berat nanti malam. Sambil mengobrol dan memutar musik, tidak terganggu sama sekali dengan kericuhan di kolam renang.
Dan satu manusia yang lebih tidak peduli dengan kerusuhan teman-temannya, Ozzie. Setelah membereskan barang dan membersihkan badan, lelaki itu langsung berleyeh-leyeh di atas sofa, dengan tv menyala tapi tidak dilirik sama sekali. Berkali-kali disindir, “Tidur mah di rumah aja.” Namun bukan Ozzie kalau tidak menyahut, “Healing mah nyantailah leha-leha, kok banyak tingkah, ya makin capek.”
“Pada kemana?” tanya Shaka dengan mata yang masih setengah terpejam, sambil meregang-regangkan badan dan tangannya, ngulet. “Noh.” tunjuk Ozzie ke arah kolam. “Ara?” “Di dapur sama Zella.” Yang dibalas anggukan oleh Shaka. “Lo ngga nyebur?” “Dingin anjir, gue abis mandi lagian males bilas lagi.” “Ah elu mah emang kaga pernah ada niat.” ucap Shaka seraya bangun dari tidurnya.
Lelaki itu pergi menuju dapur, mengecek Diandra dari balik pintu, memandangi punggung perempuannya yang tengah mengaduk-aduk ramen membelakanginya, sambil bersenandung mengikuti alunan lagu. Shaka tersenyum dari kejauhan, lalu kembali berjalan menuju kamar untuk mengganti pakaian, dan siap-siap ikut menyeburkan diri ke dalam kolam renang.
19.30 “Eh minta apa kek buat ngipasin.”
Ucap Naresh sambil memotong-motong daging di atas panggangan kepada teman-teman di belakangnya, yang tengah duduk bersenandung dengan iringan gitar yang dipetik Shaka.
Naresh memang terlihat tidak berguna, selain mulutnya yang berisik seperti petasan mercon. Tapi, jika urusan masak memasak, dialah orang yang paling diandalkan. Masakannya tidak pernah gagal.
Kini lelaki itu memanggang berpotong-potong daging yang telah dimarinasi, setelah tadi merebus sayur-sayuran pada kuah suki hangat yang sekarang uapnya tampak menari-nari dari dalam panci, menunggu seluruh hidangan untuk siap disantap.
“Kipaaas!” ucap Naresh sekali lagi, lebih menggunakan urat.
“And i would answer all your wishes, if you asked me to.”
Shaka dengan mode jailnya, sekarang pindah berdiri di samping Naresh bersama gitar dipegangannya, menyanyikan bait-bait lirik lebih keras sebagai respon dari suruhan Naresh.
“Ka cariin kertas atau kardus, buat ngipas buruan.” Jawabnya masih santai, sambil membalik-balikkan daging.
“But if you deny me one of your kisses, don't know what i’d do.” lanjut Shaka tidak peduli.
“Jeno, tolong dong ada kipas ngga?”
“Dancing on the kitchen tiles, yes you make my life worthwhile.” Jeno yang ikut-ikutan menjawab dengan lirik lagu.
Lima detik, sepuluh detik...
“AH ANJING, MAKAN DAGING GOSONG YA LU SEMUA GUE NGGA PEDULI SAT!”
Gelak tawa yang pecah mengiringi helaan napas frustasinya. Mereka semua sengaja menghiraukan Naresh bukan karena tidak peduli, melainkan, ya pengen aja biar itu anak ngerasain kali-kali jadi korban jail.
“So i told you with a smile, it’s all about yoOOouuuU.” saut Diandra dengan sisa tawanya, sembari bangun dari duduknya dan mengambil beberapa lembar koran.
(All about you – McFlurry)
Mereka semua duduk mengitari sisi meja, yang ditarik ke luar dari dalam villa ke halaman belakang. Dinginnya malam dipadu oleh kehangatan api unggun memberikan suasana makan malam yang emosional. Menikmati santapan sambil bersenda gurau, diselingi obrolan-obrolan ringan di bawah hamparan bintang yang sangat terlihat jelas di atas langit. It’s a beautiful night.
00.15 Satu persatu dari mereka mulai memasuki kamar masing-masing, karena rasa lelah yang kembali terasa. Mengingat hampir seharian bermacet-macetan di dalam mobil sekaligus jiwa aktif ketujuhnya yang berapi-api melakukan segala kegiatan di villa. Berenang, perang bola, karaoke, bermain board game. Kini hanya tersisa Shaka dan Gistara di lantai bawah, menemani Diandra yang tertidur di pangkuan Shaka dari satu jam yang lalu.
“So, how’s about the dinner?”
Gistara membuka percakapan, memecahkan hening di antaranya.
“Gimana apanya?” jawab Shaka, matanya tidak teralih dari ponsel. “Sorry bukannya gue kepo, tapi ngga mungkin kalo dinner biasa lo sampe harus ribet-ribet bikin baju.”
Shaka terkekeh tidak menjawab, lalu menunjukkan sesuatu dari layar ponselnya.
“Nih, gue juga lagi scrolling restoran.” Yang hanya dibalas oleh gelengan kepala oleh Gistara.
“Lo mau bikin acara apa sih?” tanyanya lagi.
“Ngga ada, beneran it’s just a normal dinner.” jawab Shaka menegaskan, “i just celebrate my parents’s wedding anniversary.”
“Oh ya? ada bokap lo juga dong, lagi pulang?”
Shaka terdiam sejenak, menimbang kembali apakah dia perlu menceritakannya pada Gistara atau tidak.
“Nah, itu dia. We usually had a dinner setiap kali ngerayain anniversary, semenjak mama gue ngga ada. Dan kebetulan, papa ngga bisa pulang bulan ini, he feels guilty for that. Terus gue bilang, ya udah i’m gonna celebrate it for them, with Diandra.” jawab Shaka, sambil tangannya mengusap-usap rambut Diandra.
“Terus dress?” tanya Gistara lagi.
“My dad has been missing his wife so much. Itu dress yang dipake mama waktu ngerayain tahun pertama pernikahan mereka, and Diandra will represent her on their 26th anniversary.” Shaka menjeda kalimatnya, lalu tertawa menyadari semua kalimat yang ia katakan, “Hahaha sorry, that’s too much, gue emang suka berlebihan.”
Gistara tertegun, mengagumi tiap kalimat yang keluar dari mulut Shaka sepanjang ia bercerita. Sorot matanya, nada suaranya, semua terdengar tulus, begitu terlihat sebesar apa Shaka mencintai kedua orang tuanya.
“Genius. Ngga, sama sekali ngga berlebihan. Lo tulus banget, i didn’t expect that,” jawabnya, “Jadiin malem itu sebagai tahun ke 26 yang mengesankan. Your parents are waiting for that night, good luck!”
Gistara menepuk pundak Shaka sekilas, sebelum pergi menuju kamarnya. Malam sudah semakin larut.
Shaka yang awalnya tidak yakin pada rencana random yang ia buat, seakan kembali mendapatkan percaya dirinya. Lelaki itu melengkungkan senyum pada kalimat terakhir Gistara, “your parents are waiting for that night”. Hampir setiap malam Shaka merasakan perasaan rindu di dalam suara papa terhadap mama di tiap sambungan telpon. I can’t take her back, what should i do.
Kini sorot matanya jatuh pada Diandra yang dari tadi tertidur dengan tenang di atas pahanya. Sekarang tangannya pindah mengelus pipi gadis itu dengan lembut, lalu meraih telapak tangannya, kulitnya terasa dingin.
“Ra, pindah yuk, jangan tidur disini, dingin.” ujar Shaka, sambil menepuk-nepuk lengan Diandra pelan. “Udah ngga ada siapa-siapa, aku tinggal nih.”
Bukannya terbangun, Diandra malah memeluk lengan Shaka, menahannya untuk tetap disitu.
“Ayo pindaaah, disini dingin ra, ngga ada selimut.” “Ya udah kamu aja.” jawab Diandra dengan mata terpejam. “Nggalah, masa aku ninggalin kamu di luar.” “Bukan kamu yang pindah maksudnya.”
Diandra tiba-tiba menarik Shaka cukup kencang tanpa aba-aba, membuat Shaka tertarik dan ikut terbaring di sebelahnya.
Perempuan itu terbangun sejenak, membetulkan posisinya agar berhadapan dengan Shaka, lalu kembali berbaring seraya melingkarkan tangannya pada pinggang Shaka, tidur menyamping menenggelamkan kepalanya pada dada milik lelaki itu.
“Kamu aja yang jadi selimut.”