270; Holiday pt 1, on the road
“Oh kalian udah di lobby? Mau ke atas dulu apa gimana?” tanya Diandra, sambil memainkan sendok di atas mangkuk berisi sereal dan susu coklat. “Lo masih lama ngga?” balas Gistara dari ujung sambungan telepon. “Lagi sarapan dikit lagi.” “Ya udah nanggung gue sama yang lain nunggu di bawah aja, sekalian nunggu Naresh, tinggal dia.” “Ok, bentar kok abis ini langsung turun.”
Pagi yang cerah, sinar matahari pagi menembus lapisan kaca jendela, memberikan kehangatan di awal hari yang menyenangkan, semoga.
“Yuk turun, udah semua kan?” Diandra mendorong mangkuk setengah kosong, menjauh beberapa senti di atas meja. “Abisin dulu.” jawab Shaka seraya mengunyah roti bakar, tangan kirinya memegang ponsel, asyik berselancar di social media. “Udah, tinggal dikit.” “Justru karena tinggal dikit, abisin, sayang.” “Kamu sayang ke aku apa sayang ke serealnya?” goda Diandra. Shaka terkekeh, ia bangun dari duduknya sambil membawa piring dan gelas kotor, “Dua-duanya,” lalu mendekatkan kembali mangkuk berisi sereal pada Diandra.
Diandra ikut tertawa, matanya mengikuti gerak Shaka yang berjalan pergi menuju dapur, menaruh alat makan di dalam kitchen sink.
“Langsung dicuci, kita mau ninggalin apart dua hari, jangan sampe ada cucian piring.” ujar Diandra dari meja makan. “Kamu udah belum? biar sekalian.” tanya Shaka. “Udah.” jawab Diandra.
Shaka kembali menghampiri Diandra, mengambil mangkuk kosong miliknya. “Eh, ngga usah ini aku aja yang cuci,” tangannya menahan mangkuk yang hampir diraih Shaka. “Bawel,” Shaka melepas pegangan Diandra dari sisi mangkuk, “Itu air putihnya minum jangan lupa,” lalu kembali pergi ke dapur.
Sambil menunggu Shaka mencuci piring, Diandra kembali mengecek isi tas mereka, memastikan kalau tidak ada barang penting yang tertinggal. Menutup gorden, mematikan lampu, dan mencabut beberapa colokan listrik. Kondisi kamar sudah benar-benar rapi dan aman untuk ditinggal.
“Yuk.” ajak Shaka, sambil mengelap tangannya yang basah menggunakan tissue. “Kamu mau ke kamar mandi dulu ngga? takut kebelet di jalan.” “Engga nanti aja, kan kita mau ke supermarket dulu lagian.” jawab Shaka.
Keadaan lorong apartment sangat sepi, masih terlalu pagi untuk orang-orang bangun dan beraktivitas di hari libur. Shaka dan Diandra berjalan berdampingan menuju lift, sesekali membungkuk, menyapa beberapa cleaning service dengan senyum ramahnya.
“Kamu ganteng.” celetuk Diandra tiba-tiba, selepas pintu lift menutup. “Apa?” Shaka menoleh dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Ini,” Diandra menarik-narik ujung jaket kulit hitam yang dikenakan Shaka. “Aku biasa liat kamu pake jaket jeans mulu,” ucapnya antusias, “Sekalinya ganti style kenapa jadi ganteng banget?!” “Udah ganteng dari sononya mau pake apa juga ya ganteng aja.” Jawab lelaki itu percaya diri, sambil menonjolkan lidah dari dalam pipinya lalu senyum menyeringai.
Mereka tertawa, gemanya memenuhi seisi lift yang hanya dinaiki oleh mereka berdua, “Bener juga, mau apaansih tapi kamu beneran ganteng.”
Jam 08.15, dua orang yang baru keluar dari lift itu langsung disambut oleh pemandangan teman-temannya yang tengah duduk bergerombol di atas sofa berbentuk setengah lingkaran di pojok lobby, memposisikan badan setengah berbaring, saling menyandar dengan mata yang masih mengantuk.
“Lama banget lo berdua udah kayak nungguin penganten baru.” sindir Naresh, wajahnya masih terlihat bengkak efek bangun tidur. “Sadar diri, lo aja baru dateng lima belas detik yang lalu.” ujar Jeno tidak terima. “Pantesan anjir muka lo jelek banget, lo ngga mandi ya?” kali ini Diandra ikut memojokkan Naresh. “Kagak hehehehe.” jawab Naresh, cengengesan.
“DIH DEMI APA LO JOROK BANGET, SANA AH JANGAN DEKET-DEKET GUE!” Zella yang sedang tenangnya menyandarkan tubuh pada sofa dengan mata setengah terpejam, sontak terduduk menatap Naresh dengan ekspresi bergidik, mendorong lelaki itu hingga nyaris jatuh dari ujung kursi.
“Heh santai aja kali mba, emang lo dari tadi duduk sebelah gue mencium aroma-aroma busuk?!” bela Naresh, ia berbicara dengan satu tarikan napas sambil memajukan bibir. “Bodo amat lo jorok!” balas Zella, mendorong Naresh sekali lagi. “Udah ayo jalan, masih banyak drama dan keributan lain yang menanti, mari siapkan seluruh energi.” ucap Gistara seraya bangun dari duduknya.
Mereka semua berjalan menuju basement parkir. Tadinya atas usul tidak tahu diri stres bajingannya Naresh, iya meminta untuk semuanya tunggu di lobby dan membiarkan Shaka mengambil mobil sendiri, “Kita tunggu di sini ye, ntar tinggal naek dari sini, males basement jauh.” Yang langsung mendapat keplakan dari Shaka, “Lo pikir gue supir?”
Barang-barang disusun rapi di dalam bagasi. Gitar, tas, bola sepak dan sebagian barang lain yang sekiranya tidak terlalu makan tempat disimpan di bawah kursi masing-masing agar tidak terlalu menghabiskan ruang untuk menyimpan plastik-plastik belanjaan nantinya. Kondisi di dalam mobil terlihat penuh, namun tetap nyaman.
“Ozzie udah minum antimo belum? kamu kan mabok darat laut dan udara.” ledek Naresh, sambil menyanyikan lirik lagu pada iklan obat.
Ozzie yang notabennya duduk di belakang, memudahkan tangannya untuk meraih bagasi, mengambil bola lalu melemparnya tepat mengenai belakang kepala Naresh, yang duduk di samping kursi pengemudi.
“Goblog sia!” Naresh melempar kembali bola ke belakang.
“Lo ngapain di situ?” tanya Shaka, melirik tajam ke arah Naresh. “Ya duduk? Lo liat gue kayang?” “Ya ngapain duduk di situ? Ra, sini pindah ke depan.” Shaka menoleh ke arah Diandra yang duduk di kursi tengah, di antara Gistara dan Zella. “Apa sih ngga usah lebay Mahesa El Shaka, lo sama Ara cuma beda duduk sejengkal doang!” protes Naresh. “Ih udah ayo berangkat! Sumpah pusing banget belom apa-apa udah rusuh.” ujar Diandra seraya menepuk-nepuk pucuk kepala Shaka dari belakang.
Mobil keluar dari gedung apartment, melenggang melewati arus lalu lintas yang masih lancar. Pemandangan gedung-gedung tinggi menghiasi kota, dengan sentuhan langit biru bergunduk awan putih cantik di atas sana seolah merepresentasikan hari yang baik. Diandra mengeluarkan dua bungkus roti sobek dari dalam tas, jaga-jaga kalau teman-temannya belum sempat sarapan.
“Roti nih, ada yang belum sarapan ngga?” “Gue gue!” Gistara meraih cepat satu bungkus roti dari tangan Diandra. “Gi, mau dong.” Jeno mencolek bahu perempuan itu dari belakang, mengesampingkan gitar yang dari tadi ia mainkan. “Res, mau ngga?” Diandra menyodorkan roti ke depan Naresh. “Ngga mau takut pengen boker.”
Kericuhan terdengar dari orang-orang di belakang.
“IH!” “Bangsat gue lagi makan jangan bahas-bahas tai.” “YA NGGA USAH DIPERTEGAS.” “Lu si Naresh ah elah.” “Gue lagi ya anjing gue aja terus.” jawab Naresh kesal.
Shaka diam-diam tertawa, menonton kerusuhan teman-temannya dari pantulan kaca mobil. Shaka memang yang paling jarang menyumbang suara di antara kegaduhan orang-orang itu. Tapi, tawanya selalu paling keras, tertawa hingga mengeluarkan air mata adalah perannya di dalam circle. Humornya memang hancur.
“Jadi belanja dulu ngga?” Shaka memelankan laju mobilnya, siap-siap membelokkan tuas setir pada supermarket di depan. “Makan waktu banget ngga ya? takut macet, apa mau belanja setelah keluar tol aja?” ujar Zella. Shaka mengecek jam di pergelangan tangannya, sudah hampir jam sembilan. “Makin siang arah puncak pasti makin macet, apalagi ini liburan.” “Gas aja Ka, belanja di sono.” ajak Ozzie, setengah matanya tertutup tudung hoodie. “Ya udah gue langsung ke tol nih ya.” balas Shaka yang langsung diiyakan oleh teman-temannya.
Bukannya kembali melajukan mobil dengan kecepatan normal, Shaka malah menghentikan mobilnya di tepi jalan, lalu mengusir Naresh yang sudah nyaris memejamkan mata, masih ngantuk katanya.
“Turun lu, pindah ke belakang.” “Sumpah? lo segitu bencinya sama gue.” rajuk Naresh dengan eskpresi setengah kaget bercampur bingung.
Shaka terkekeh, lalu menoleh ke arah Diandra yang tengah menyaksikan adu mulut dua orang di depan dengan tatapan bingung.
“Ra, sini pindah ke depan.” “Bajingaaaan, lo bucin banget demi tuhan!” ujar Gistara sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ok fine, pertemanan kita cukup sampe sini aja.” balas Naresh seraya keluar dari mobil, dengan raut wajah melow yang dilebih-lebihkan.
Diandra ikut keluar untuk pindah ke sebelah Shaka, diikuti suara tawa teman-teman di belakang sana seolah bahagia melihat Naresh terbully.
“Puas lu berdua, pacaran sono, ciuman-ciuman dah sekalian!” celetuk Naresh begitu kembali memasuki mobil, lalu merebahkan kepalanya di atas bantal leher. Shaka tertawa geli hingga suara tawanya tak terdengar, “Hahaha iya lah, gini kan enak.”
“When i first saw you, from across the room, i could tell that you were curious, oh, yeah.” Ozzie menyanyikan bait tiap bait lirik, mengikuti iringan gitar yang dipetik Jeno, dengan sorot cahaya flash dari ponsel yang di gerakkan ke kanan dan ke kiri oleh Naresh.
“Girl i hope you're sure, what you're looking for, cause i’m not good at making promises.” lirik selanjutnya disambung oleh Shaka, ia bernyanyi menikmati momen, dengan kacamata hitam yang bertengger di tulang hidungnya, tampilan itu berhasil menghipnotis Diandra yang dari tadi tersenyum di sebelahnya, mengagumi visual Shaka.
“GUYS, BARENG-BARENG!” ajak Naresh, setengah berteriak antusias.
“But if you like causing trouble up in hotel rooms, and if you like having secret little rendezvous, if you like to do the things you know that we shouldn't do, Then baby, i’m perfect, Baby, i'm perfect for you.”
“Anjirrrr, gue harus live ig.” ucap Gistara disela-sela lagu, seraya mengeluarkan ponselnya.
“And if you like midnight driving with the windows down, and if you like going places we can't even pronounce, if you like to do whatever you've been dreaming about, Then baby, you're perfect, Baby, you're perfect, So let's start right now.”
Perlahan pemandangan gedung-gedung tinggi mulai tergantikan oleh pohon-pohon dan deretan kebun teh, kepulan kabut mulai muncul. Tak ada yang bersuara lagi di dalam mobil yang kini lajunya mulai melambat, semuanya terlelap setelah usai menyanyikan beberapa lagu dan tragedi rebutan snack yang stoknya terbatas karena belum sempat mampir ke supermarket. Hanya tersisa Shaka dan Diandra yang masih terjaga.
Diandra membuka sedikit kaca mobil, merasakan sejuknya angin dan udara segar yang dimiliki dataran tinggi.
“Enak banget anginnya, aku berasa hidup kembali.” ujar Diandra seraya memejamkan mata, membiarkan angin lembut menerpa wajahnya. “Apalagi kalo kita pilih villa nomer satu, beuh, langsung tereinkarnasi menjadi manusia sungguhan.” sindir Shaka, masih mendebatkan masalah villa. “Hahaha wle, udah kamu kalah suara.”
Mobil berhenti, Diandra sedikit mengeluarkan kepala dari jendela, menyaksikan barisan-barisan mobil di sepanjang jalan yang mulai berhenti tidak ada pergerakkan. Ia menutup kembali kaca jendela, lalu menyandarkan tubuh setengah berbaring pada sandaran kursi, sesekali melirik teman-temannya yang tertidur dalam balutan jaket hangat. Lelaki di sebelahnya sadar akan helaan napas kasar Diandra yang terdengar, Shaka sudah hafal pasti, Diandra sangat membenci macet.
Shaka menurunkan tangannya dari tuas setir, ikut menyandarkan diri sambil menguap, lalu memiringkan badan ke arah Diandra.
“Kamu tidur aja biar ngga bete.” Shaka mengelus-elus pipi Diandra dengan jari telunjuknya. “Engga ah, kasian kamu nyetir sendirian, lagian aku ngga ngantuk.” “Tapi untuk ukuran puncak, ini ngga macet banget tau Ra,” Shaka kembali menginjak pedal gasnya pelan begitu melihat mobil di depannya bergerak maju, sedikit, “Empat jam udah mau keluar tol, termasuk cepet.” “Terus nunggu keluar tolnya ngga cukup satu jam, hhhhhh.” balas Diandra dengan helaan napas gusar, “Eh kamu kenapa deh nyuruh aku pindah?”
Shaka sedikit mengencangkan volume radio, melihat padatnya jalan dicampur udara dingin membuatnya mengantuk. Lagi-lagi lelaki itu menguap.
“Biar semangat.” jawab Shaka, sambil menatap mobil-mobil di depannya yang tidak bergerak sama sekali. “Apaan biar semangat?” “Ya masa macet-macetan gini sebelah aku Naresh,” suaranya sedikit mengeras, “Males bangeeet!” “HAHAHA kamu kayaknya beneran punya dendam ya sama Naresh.” “Liat, kayak orang mati kan dia tidurnya.”
Diandra tertawa, ia menoleh ke arah Naresh yang tertidur dengan airpod menggantung pada telinganya, tidak berubah posisi sama sekali dari pertama kali Diandra mengecek teman-temannya setelah terlelap.
“Tapi adem banget kuping kalo dia tidur, dia anaknya emang bacot gitu dari dulu ya?” “Iya, jaman SMA suka teriak-teriak depan kelas kayak orang gila.” “HAHAHA.” “Terus pas ketauan guru gara-gara berisik kedengeran sampe ujung koridor, yang kena sekelas,” lanjut Shaka, “Padahal biang keroknya dia doang.”
Naresh, entah dari kapan terbangun, rambutnya acak-acakan dengan nyawa yang masih hilang setengah. Tiba-tiba menoyor kepala dua orang di depan, yang dari tadi asyik tertawa-tawa sambil menyebut namanya.
“Gue denger ya, setan.”