296; All of the stars
Mereka tiba di restoran bernuansa Eropa, melewati tiap-tiap furnitur kayu yang disusun secara cantik, dan lampu-lampu chandelier mini yang tergantung di tiap meja. Dua orang itu berjalan menuju balkon di mana suasananya jauh lebih tenang. Disambut hangat oleh cahaya kota di bawah sana, dan hamparan bintang di atas langit, mereka berkelip bagaikan peri yang menari-nari memberikan keajaiban pada malam yang penuh memori.
Shaka, dengan balutan suit berwarna abu-abu dan rambut yang ia style brushed on top, sehingga menampakkan seluruh jidatnya, terlihat manly dan sangat tampan, persis seperti duplikat Abian semasa muda dulu.
Lelaki itu menggandeng tangan Diandra, yang terlihat sangat anggun dengan sentuhan dress pemberiannya, rambutnya ia ikat setengah dengan satu jepitan manis bermanik-manik mutiara cantik, terjepit pada ikatan rambut panjangnya. Diandra membawa satu bucket bunga lily putih yang tadi siang ia beli.
“Bener kan kata aku,” celetuk Shaka tiba-tiba, seraya menarik kursi untuk Diandra duduki. “Apa?” Diandra menoleh, membeku merasakan deru napas Shaka yang mendekat di antara telinga dan lehernya, sebelum lelaki itu berbisik, “Kamu cantik.”
Ini bukan pertama kalinya Shaka memuji Diandra, bahkan sudah ribuan kali ia mengucapkan kata cantik kepadanya. Tapi malam itu, tidak seperti biasanya. Ada aliran listrik yang seakan menjalar di seluruh tubuh Diandra begitu suara Shaka masuk melewati kedua telinganya, lidahnya terasa kelu, ia menggigit bibir mati-matian menahan senyum.
“Diem.” jawabnya singkat salah tingkah, lalu duduk sambil menarik dasi yang dikenakan Shaka, hingga terlihat berkerut tidak rapi. “Ih, Ara! Benerin!” “No, punishment.” “Dih, aku ngapain emang?!” tanya Shaka tidak terima, masih berdiri di sebelah Diandra dengan bibir mengerucut. Diandra terkekeh, “Please sit in your chair, sir.” Lelaki itu mengalah, pergi menuju kursinya, berjalan menunduk sambil merapikan dasinya sendiri.
“Ini kamu yang pilih tempatnya?” tanya Diandra setelah mereka sudah sama-sama duduk di kursi masing-masing, saling berhadapan. “Iya, bagus kan?” “Baguuus! aku speechless dulu tadi lima detik pas liat ke bawah, banyak lampu-lampu, terus liat ke atas banyak bintang! Aku ngga mau pulang kita yang lama dong disini.” Diandra berbicara dengan napas tersengal, perempuan itu memang selalu berbicara tanpa jeda mengambil napas kalau sedang antusias. “Kita kayak lagi di Paris tau hahaha.”
Shaka mendengarkannya dengan raut wajah berseri, menyuarakan tawa kecilnya di sepanjang Diandra berbicara dengan antusiasnya yang menggebu. Seraya mengangguk pada pelayan yang membawa satu karaf anggur dan menuangkannya ke dalam gelas. Anggur yang mengkilap ditimpa cahaya lilin, rasa hangat mengalir dari kerongkongan begitu diteguk, menyembuhkan tulang belulang yang kedinginan dari sapaan angin malam.
“Jangan banyak-banyak.” ucap Shaka memperingatkan, begitu melihat Diandra menghabiskan setengah gelas dalam sekali teguk, “Kamu ngga terlalu bisa minum.” Lalu meraih satu gelas wine di tangan Diandra, dan meneguk sisanya hingga habis.
Alunan melodi dari piano mulai mengisi keheningan malam dengan teduh begitu hidangan tiba. Mengalunkan salah satu lagu pilihan Diandra, through the arbor, yang sepertinya belum disadari oleh gadis itu. Dirinya sekarang sibuk memotong daging steak di atas piring.
“Kalo ayah sama bunda anniv, kita tuh jarang bikin acara di luar kayak gini, paling sesekali aja,” ujar Diandra seraya menyuap hidangannya, “Aku biasanya lebih makan-makan terus masak yang aneh-aneh gitu di rumah, eh, maksudnya aneh tuh bukan makanan yang biasa dimasak sehari-hari, ya makanan yang rada mewah lah bahasa lebay-nya.”
Walau matanya tertuju pada potongan daging di atas piringnya, Shaka memasang telinganya baik-baik terhadap celotehan Diandra, sesekali memberi anggukan di tiap jeda bicaranya, memberi tanda bahwa ia sedang mendengarkan.
“Terus, tiap hari h, pasti aku sama Kak Theo udah di-booking dari jauh-jauh hari biar tetep di rumah, ngga boleh ada acara pergi-pergi.” sambungnya lagi sambil tertawa. “Tapi ya udah sih gitu doang, ngga ada yang seru.”
“Seru, kumpul sama keluarga tuh asik tau ra, walau emang ngga ada kegiatan yang gimana-gimana. Cause they are home, you always feel safe with them.” balas Shaka. “Ngga semua orang punya waktu quality time sama keluarga, so, selama kamu punya itu, you should cherish the moment.”
Diandra mengangguk setuju.
“Kalo kamu? ada cerita apa? aku mau denger dong!” tanya Diandra lagi, setelah menyuap suapan terakhirnya.
Setelah sama-sama mengosongkan piringnya, Shaka mengeluarkan handycam dari balik saku jasnya, yang berisikan satu memori lama yang belum sempat ia tunjukkan pada Diandra hari itu.
“I brought a memories here, belum pernah aku liatin ke kamu. Mau liat?” “Mau!”
Shaka menaruh handycam itu tepat di tengah-tengah meja, di posisikan secara menyerong agar keduanya sama-sama bisa menyaksikan. Bersamaan dengan piano kedua yang teralun, meet again by Gianluca Podio.
Ruangan dengan cat berwarna putih, diisi dengan suara monitor yang seolah menjadi latar suara utama pada satu video yang terputar di dalam sana. Ruangan putih bersih itu terasa suci dan hangat, sebelum menampakkan satu tabung oksigen dan tiang infus, yang selang-selangnya tersambung ke dalam tubuh seorang wanita yang rambutnya sudah sangat menipis, tengah terduduk setengah berbaring di atas kasur.
Claudia, mulai kehilangan rambut tebalnya, rambut yang sering dimainkan Shaka sebelum lelaki itu tertidur. Tangan cantiknya, sekarang harus ditusuk oleh beberapa jarum yang mengalirkan zat-zat kimia ke dalam tubuhnya, membuatnya lemah tidak berdaya, bahkan untuk mengangkat satu buah palet lukis.
Perempuan itu memegang satu buah kue ulang tahun, dibantu oleh Abian, dengan lilin berangka lima belas terpasang di atasnya.
“Shaka, selamat ulang tahun sayang.”
Sambutnya dengan suara parau, begitu melihat Shaka tiba dari balik pintu. Menyambut anak satu-satunya dengan balutan seragam putih abu-abu, yang baru ia kenakan sekitar dua minggu.
“Mama, ini masih bulan maret, ulang tahunku masih tiga bulan lagi.” Shaka menghampirinya, dengan raut wajah bingung.
“Iya mama tau, mama mau ngucapin lebih cepet. Kan mama mau jadi orang pertama yang ngasih selamat ke Shaka,” Claudia mengusap-usap rambut Shaka, yang berdiri di sebelah kasurnya dengan tas yang bahkan masih tergantung di punggungnya. “Anak mama, udah remaja, makin ganteng.” Kini tangannya pindah mengelus sebelah pipi anak lelakinya.
“Shaka, janji sama mama, harus bahagia terus ya?”
Air mata itu, mengalir dari dua bola mata berwarna coklat milik Shaka, lelaki itu seolah tahu kemana arah pembicaraan Claudia mengalir. Shaka menggeleng sebelum menjatuhkan diri ke dalam pelukan Claudia, memeluknya erat, seakan perpisahan di antaranya sudah di depan mata.
“Jangan nangis,” Claudia cepat-cepat menyeka air matanya sendiri di balik punggung Shaka, tidak mau menunjukkan tangisnya di depan anak kesayangannya. “We’re celebrating your birthday now, harus seneng, ngga boleh sedih!”
Shaka menarik tubuhnya dari dalam dekapan sang mama, dengan mata yang sembab, kedua pipinya dilewati air mata yang terus menetes hingga membasahi kerah bajunya.
“We don’t have to celebrate it now, karena bulan juni nanti, mama akan ada di samping aku, ngerayain ulang tahun di tanggal yang tepat.”
Shaka menjeda kalimatnya, dengan suara terisak. Abian di sisi lain kasur, diam-diam ikut menahan isakannya, air matanya terus menetes, namun cepat-cepat ia seka.
“Bulan juni, tahun depan, dua tahun lagi, lima tahun lagi, sampai aku dewasa, sampai seterusnya. Mama akan terus sama aku, mama ngga akan pergi kemana-mana.” sambungnya, “Engga! aku ngga mau. Mama pokonya ngga akan kemana-mana!”
Tangisnya pecah sejadi-jadinya, hingga suaranya nyaris tidak terdengar jelas. Shaka kembali menjatuhkan diri ke dalam rengkuhan Claudia, yang kini sama-sama sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya.
Kini Abianpun telah ikut masuk ke dalam rangkulan itu, mereka menangis bersama-sama. Sudah cukup untuk berpura-pura kuat. Tangisan haru menggema memenuhi seisi ruangan, terdengar menyakitkan di dalam memori yang terputar.
Sudah waktunya, Claudia tidak mampu lagi memberikan Shaka kata-kata manis yang berisikan kebohongan bahwa ia akan selalu terus ada di sampingnya. Takdir telah di atur sebagaimana rapinya, menyakitkan, tapi waktu tidak akan pernah mau peduli. Jika memang harus berpisah, maka berpisah.
“Shaka.. i’m sorry, i can’t promise you..”
Satu alasan kuat mengapa Shaka tidak pernah menunjukkan video itu kepada siapapun, karena, terlalu menyakitkan baginya untuk kembali mengingat memori terakhir di mana dunianya masih utuh. Setelah hari itu, seminggu kemudian, Claudia menghembuskan napas terakhirnya, di tempat yang sama di mana memori terakhir tercipta.
Cepat-cepat Diandra mengusap air mata Shaka yang dari tadi terus menetes sepanjang durasi, perempuan itu menahan pecah tangisnya kuat-kuat, kalau ia ikut menangis. Siapa yang akan jadi penguat bagi Shaka? pikirnya.
“Kalo aja aku tau, itu adalah tujuh hari terakhir yang aku punya sebelum aku ngga bisa liat mama lagi, aku bakal peluk mama lebih lama.” ujar Shaka pada helaan napasnya yang berat.
Diandra meraih tangan Shaka, menautkan jari-jarinya di sana. Ia mengusap-usap punggung tangan Shaka dengan satu jari jempolnya. Sambil tersenyum hangat, Diandra berbicara dengan sangat hati-hati.
“Kamu inget permintaan terakhir mama? untuk terus bahagia?” tanya Diandra, pada Shaka yang dari tadi menunduk, sambil memandangi handycam di sebelah genggaman tangannya.
“Aku jahat kalo nyuruh kamu untuk berhenti sedih, untuk berhenti inget hal apapun tentang mama. Kamu boleh kangen beliau kapanpun, kamu boleh nangis selama yang kamu mau, tapi, cukup jadiin itu sebagai luapan emosi kamu, ya?” sambung Diandra, sekarang tangannya mengelus pipi Shaka, kembali menyeka air matanya. “Jangan jadiin rasa sedih itu untuk bikin hati kamu semakin berat untuk ikhlas. Aku tau ini berat banget, ngga gampang, tapi, coba sekarang kamu liat ke atas.”
Shaka reflek mendongak ke atas langit, menatap hamparan bintang yang dari tadi menyaksikannya.
“Mama ngga bisa janji untuk selalu ada di samping kamu dengan wujudnya yang nyata, tapi, mama ngga bohong waktu bilang dia akan selalu terus ada buat kamu. She is up there, ada mama di antara bintang-bintang itu.” ucap Diandra.
Perempuan itu bangun dari kursinya, menghampiri Shaka yang langsung menghantamkan tubuhnya ke dalam pelukan Diandra, ia melingkarkan tangannya erat-erat pada pinggang perempuan itu. Lalu memecahkan tangisnya di sana. Diandra tidak mengeluarkan sepatah kata apapun, ia hanya membiarkan Shaka menangis di dalam dekapannya, sambil mengusap-usap rambutnya, sesekali menciumi pucuk kepalanya.
Alunan piano yang masih terus terputar, semakin mendramatisir momen di malam itu. Di antara terangnya cahaya yang di berikan langit malam, ada kegelapan tersimpan pada diri Shaka.
Setelah getaran pada bahu lelaki itu mulai berhenti, suara tangisnya tidak lagi terdengar. Diandra mulai kembali berbicara.
“Did you forget about our plan tonight? we celebrate your parents wedding anniversary, harus seneng-seneng, ngga boleh sedih!” kata Diandra, masih dalam posisi memeluk Shaka.
“We should make a happy memories for them,” Diandra melepas pelukannya, lalu menangkup kedua pipi Shaka yang masih lembab karena aliran air mata. “Smile!” Lelaki itu terkekeh, dengan senyum sarkas yang seakan menyindir dirinya sendiri, “You’re right, apa sih kok aku menye-menye banget hari ini, ngga keren.” Shaka mulai bisa tertawa, sambil mengusap sisa air matanya.
Diandra mengelus sekilas kepala Shaka sebelum berjalan kembali menuju kursinya, langkahnya berhenti disaat telinganya menangkap satu melodi familiar yang teralun dari pianis di sudut ruangan.
“Flowing colors?” Diandra menoleh kembali pada Shaka yang tengah tersenyum teduh kepadanya, “Wait, aku baru ngeh, kayaknya piano yang dari tadi dimainin, semuanya lagu dari aku ya? list yang tadi siang kamu minta?”
Shaka bangun dari duduknya, berjalan satu langkah menghampiri Diandra, “We’re not only make memories for them, but for us too.” Kata Shaka, sembari menyelipkan rambut Diandra di samping telinganya.
“Mama sama papa, they love to dance under the night sky in every year for celebrating they anniversary,” ujarnya lagi, seraya meraih tangan Diandra, “Would you like to represent them, and dance with me?”
Sama seperti Claudia kala itu, Diandra menarik tangannya dari genggaman Shaka, dengan ekspresi panik dan canggungnya.
“Aku ngga bisa nari, i’m not Genevieve.” jawab Diandra. “Me too, i’m not Derek.” balas Shaka, “But doesn’t mean we can move our feet, right? just follow the music ra.”
Diandra masih menatapnya ragu, melihat sekeliling balkon, tidak ada siapa-siapa, hanya mereka berdua di atas sana.
“Can i take your hand?” tanya Shaka sekali lagi, sebelum akhirnya Diandra menjatuhkan tangannya di atas telapak tangan milik Shaka.
Mereka berjalan bergandengan menuju sisi balkon berbatas kaca bening. Pemandangan yang jauh lebih cantik dari ujung sana, seluruh cahaya seakan menyorot bagaikan lampu panggung yang memberikan sinarnya pada dua pemeran utama. Shaka menaruh kedua tangan Diandra di atas pundaknya, lalu melingkarkan tangannya mengelilingi pinggang ramping perempuan itu.
Mereka bergerak pelan, ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan piano. Sambil bertatapan, menangkap masing-masing binaran mata yang terlempar di antara keduanya. Angin sejuk menyapa, menerpa tiap-tiap helai rambut Diandra dan dress panjangnya yang ikut menari di bawah sinar bulan, terlihat indah bagaikan putri di negeri dongeng.
“Do you feel awkward?” tanya Shaka, memecah keheningan.
Diandra menggeleng, perempuan itu melengkungkan garis bibirnya dengan manis. “No, it feels relaxed.” Shaka ikut tersenyum.
“Kamu tau ngga ra, aku dapet dress ini dari mana?” tanya Shaka lagi. “Oh iya, aku belum nanya. Dari mana?” balas Diandra. “Gigi.” Shaka tertawa, karena mendapat jeweran pelan dari Diandra. “Sial, aku dibegoin.” “Hahaha, ngga dibegoin, kan surprise, masa bilang-bilang.”
Diandra menyandarkan kepalanya pada dada bidang milik Shaka, mencari kehangatan di dalam dekapannya. Ia memejamkan mata di antara alunan melodi yang teralun, dan Shaka yang ikut menaruh dagunya di atas kepala Diandra, memeluk punggungnya erat, seakan ada kehangatan dari Claudia yang terjebak di dalam diri Diandra.
“Kamu wangi!” katanya seraya mendongak menatap Shaka.
Shaka menunduk menatap balik manik mata milik Diandra, lengannya masih melingkar erat pada pinggang itu.
“Can i kiss you?” ucap Shaka.
Diandra, menangkup sebelah wajah Shaka, satu jarinya bergerak lembut di atas pipinya, lalu turun ke bibir. Diandra mengusap sekilas bibir Shaka, ia tersenyum, lalu mengangguk.
Perempuan itu memejamkan mata, di saat Shaka mulai menaruh sebelah tangannya di belakang kepala Diandra dan jarak di antara keduanya yang ikut menyempit. Bibirnya semakin dekat, bersamaan dengan jantung yang seolah berhenti berdetak. Aroma maskulin lelaki itu menghipnotisnya tanpa alasan.
Malam yang sunyi, keheningan seakan menghentikan waktu saat Shaka mulai memagutkan bibirnya pada bibir Diandra. Hangat dan lembut. Lututnya seakan melemah setelah ia membiarkan lidah lelaki itu menyelinap ke dalam bibir manis miliknya. Debaran yang semakin kuat, ia hanya bisa fokus pada betapa lembutnya perasaan lelaki itu di dalam sana.
Perasaan hangat dari napas keduanya yang tidak stabil, menjadi penutup bagi satu memori indah yang tercipta pada malam itu. Di bawah sinar bintang, semesta bagai memberikan izin pada dua orang yang mencari kebahagiaan pada satu sama lain, di bawah langit malam yang terang dari sinar-sinarnya.
“Happy wedding anniversary for your parents,” ucap Diandra seraya melepas pagutannya, “I thanks to them, karena telah melahirkan kamu.”
Shaka mengusap dahi Diandra lembut, menyisiri helai rambutnya, lalu menarik Diandra ke dalam pelukannya.
“Thank you for celebrating with me. I love you, so much.”