204; Stuck in the traffic
Pukul tujuh malam di hari Senin, bukan tanpa alasan Diandra ogah-ogahan mengiyakan permintaan Theo, berada di jam kerumunan di mana orang-orang pulang beraktivitas membuat mereka berdua terjebak di dalam mobil tanpa bergerak sama sekali.
“Bener kan, kita belum ada setengah jalan aja udah ngga gerak sama sekali, ini sih nyampe rumah tengah malem.”
Diandra mendengus seraya menatap barisan mobil di depannya dengan raut wajah kesal. Tangannya dari tadi bolak balik menekan-nekan tombol pada radio, mengganti tiap lagu yang bahkan belum terputar sampai reff.
“Jangan diganti-ganti muluuu!” Shaka dengan cepat meraih tangan Diandra, lalu membawa tangan itu ke dalam genggaman di atas pahanya. “Aku pegangin, tangan kamu ngga mau diem.”
“Aku bete tau, bukan bete macet-macetan sama kamunya. Tapi mikirin kita mau nyampe jam berapa coba?”
Shaka memiringkan badannya berhadapan pada Diandra, mendengarkan ocehan perempuannya sambil sebelah tangannya mengelus-ngelus tangan manis itu. Diandra mengoceh tanpa henti dengan bibir yang mengerucut, terlihat menggemaskan bagi Shaka.
“Mau coklat ngga? itu ada di belakang.” “Lah kamu bawa cemilan?” sorot matanya langsung berubah antusias. “Bawa, aku tau bakal macet jadi tadi sebelum jemput kamu aku mampir dulu beli jajanan.” “Bukan bilang dari tadiiii!”
Diandra mengambil satu plastik berwarna putih pada jok belakang mobil yang berisikan cemilan-cemilan ringan kesukaannya.
“Silverqueen, kitkat, tao kae noi, chitato.. OMG ICHITAN MY LOVE KENAPA CUMA SATU?!” “Eh enak aja ichitan punya aku ya, kamu kan ngga suka katanya kayak permen alpenlibel diblender!” protes Shaka. “Yang nyuruh aku suka ichitan siapa?” balas Diandra tak mau kalah. “Aku.” “Ya udaaah bagi dua!”
Tiga puluh lima menit berlalu, dua orang itu masih terjebak di jalan yang sama. Laju mobilnya hanya bisa bergerak merayap tiap lima menit sekali, arus lalu lintas belum cukup melenggang. Sambil meneguk ichitan yang tersisa setengah botol, Shaka menyodorkan ponselnya pada Diandra yang dari tadi tidak berhenti mengunyah.
“Ra buka spotify aku, aku punya playlist baru.”
“Sini.” Diandra meraih ponsel dan mencari playlist baru yang dimaksud, sebelah tangannya masih memegang satu bungkus chitato.
“Stuck in the traffic?”
Shaka mengangguk.
“Jangan bilang ini kamu bikin playlistnya barusan juga? prepare banget anjirrrr.”
Lelaki itu terkekeh, tangan kirinya kini meraih pucuk kepala Diandra, mengusap lembut tiap helai rambutnya.
“Soalnya aku tau kamu pasti bete, so i need to prepare everything well for you.”
🎶 Everything i didn’t say – 5 Second of summer
Whoa, whoa, oh, oh Whoa, whoa, oh, oh This is everything i didn’t say
Wait, don't tell me Heaven is a place on earth I wish i could rewind all the times that i didn't Show you what you're really worth (What you're really worth)
“Okay, check check welcome to the stuck in the traffic series with Shaka and Diandra.”
Shaka tiba-tiba bertingkah seolah ia adalah pemandu wisata dadakan pada tur travel dengan botol kosong di tangannya yang ia jadikan mic ala-ala. Diandra yang terkejut namun tidak heran, karena, ya.. Shaka memang kadang serandom itu. Hanya orang-orang beruntung yang bisa bertemu sisi humornya.
“Mba Diandra, tolong kacamata di dalam dashboard.”
Telepatinya seakan tersambung pada orang yang sama-sama memiliki selera humor dengan satu frekuensi. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Diandra mengambil dua kacamata hitam dari dalam sana.
“Okay, make some noiseeee!”
Diandra ikut mengambil botol di sampingnya, lengkap dengan kacamata hitam yang kini telah terpasang pada masing-masing mata dua orang random di dalam mobil.
“Taking every breath away, with all the mistakes i made, from all the letters that i saved. This is everything i didn’t say.”
“I wish i could’ve made you stay, and i’m the only one to blame, i know that it’s a little too late..”
“Semuanyaaa?” Shaka menyodorkan botol ke arah mobil-mobil di depannya seolah itu penonton yang tengah menyaksikan konsernya.
“This is everything i didn’t say.”
Whoa, whoa, oh, oh Whoa, whoa, oh, oh This is everything i didn’t say
Pukul setengah sembilan malam, akhirnya arus lalu lintas mulai normal, mereka mulai memasuki pintu tol pertama. Mood keduanya kini sudah sama-sama bagus walau telah menghabiskan waktu selama satu jam di tempat yang sama. Lagu-lagu dari playlist Shaka masih terputar bersamaan dengan dua orang yang bersenandung mengikuti alunan lagu.
“Ya ampun udah mau jam sembilan, Ruby kelamaan ngga ya nunggunya, aku mulai kepikiran.” ujar Diandra.
Ruby adalah anjing betina yang di adopsi oleh Theo sekitar 5 tahun lalu, kakak satu-satunya itu memang sangat mencintai binatang, mulai dari ikan, hamster, kelinci, semua pernah dipelihara oleh Theo, dan Ruby adalah satu-satunya hewan peliharaan yang masih menemaninya hingga saat ini. Berhubung Theo tengah menjalani pendidikannya di Australia, dan tidak memungkinkan untuk membawa hewan peliharaan ke dalam asrama. Ia terpaksa meninggalkan Ruby di rumah.
“Ayah sama bunda ngapain emang ke Bali? ada urusan?” tanya Shaka. “Liburaaan! sumpah gaya banget liburan dadakan aja jauh, aku ngga di ajak.” Shaka tertawa kecil lalu mengelus sebelah pipi Diandra, “nanti kita liburan ya.”
Suara getaran tanda telpon masuk terdengar dari ponsel Diandra, itu Theo.
“Halo?” “Ara, udah berangkat?” “Udah lah dari tadi jam tujuh tapi baru masuk tol, sumpah macet banget Kak Theooo, kasian Ruby kelamaan ngga ya.”
Shaka di sebelahnya fokus pada jalanan, sambil menikmati percakapan diantara kakak beradik itu.
“Ra, jangan marah ya.” “Kenapa?”
Theo menjeda kalimatnya, suara tawanya terdengar dari ujung sambungan.
“Hehehe Ruby udah dijemput orang pet shopnya ternyata hehehehe.”
Diandra diam tanpa ekspresi, memejamkan mata lalu menarik napas dalam-dalam sebelum,
“GUE BILANG JUGA APA TUNGGU DULU SABAR, ITU KAN PET SHOP BUKA 24 JAM NGGA MUNGKIN NGGA RESPON. GUE BILANG JUGA SABAAAR!” suaranya berapi-api, Shaka yang terkejut ikut menatapnya dengan heran.
“Ya udah ih maaf kenapa sih, perginya sama pacar juga ngga kerasa.” “Bukan gitu! aku sama Shaka kejebak macet satu jam, bela-belain ngga makan dulu Kak Theo ngeburu-buru terus sekarang??” “Hehehehehehehehe ya namanya juga panik cinta hidup dan mati.” “Haha hehe haha hehe Ruby mulu diurusin, cari pacar sono! Ya udah aku pulang lagi.”
Diandra memutus sepihak sambungan telponnya, menjatuhkan tubuh pada sandaran kursi dengan helaan napasnya yang kasar.
“Kenapa?” tanya Shaka. “Ngga jelas emang aku punya kakak satu, bener kan Ruby udah diambil sama orang pet shopnya,” ia menjeda kalimatnya, “padahal aku udah bilang, sabar, tunggu respon dulu belum juga ada satu jam padahal udah grasak grusuk banget, tau gitu kan kita makan dulu aja, kesel.”
Shaka lagi-lagi terkekeh mendapati pemandangan Diandra yang berbicara dengan pipi yang menggembul, ia membiarkan Diandra meluapkan seluruh emosinya sebelum ia ikut berbicara.
“Udah marah-marahnya?” tanya Shaka dengan hati-hati. “Engga marah, aku kesel doang. Sia-sia banget kita macet-macetan satu jam tanpa gerak, mana udah setengah jalan.”
Shaka membelokkan mobil ke arah pintu keluar tol, sambil melirik perempuan di sebelahnya yang tengah menatap lurus jalanan dengan tatapan yang masih menyimpan kesal di dalamnya.
Ia menghentikan mobilnya di persimpangan jalan yang banyak diisi oleh aneka kuliner kaki lima.
“Udah kita makan yuk, kamu laper makanya gampang emosi. Mau makan apa aku pesenin.” “Kamu juga makan masa aku doang!” ”Ya iyalaaah, siapa yang bilang aku ngga makan.” “Hmm..” Diandra mengernyitkan dahi sambil melihat-lihat gerobak makanan yang berjejer di luar sana. “Aku mau sate padang deh.” “Okay, sebentar ya kamu tunggu disini.”
Selagi menunggu Shaka memesan makanan, Diandra membersihkan bekas bungkusan dan remahan snack yang berserakan di dalam mobil, memasukkannya ke dalam plastik sampah. Matanya menatap keluar, memandangi Shaka dengan hoodie hitamnya yang saat ini tengah mengantre. Warna kulitnya tampak bersinar di bawah sorot keemasan lampu jalan, Diandra merasa tidak enak karena tiada henti-hentinya melampiaskan emosi selama perjalanan.
“Tunggu lima belas menit katanya Ra, ngga apa-apa kan?” Shaka memasuki mobil, membawa dua botol air mineral dingin, “ini kamu minum dulu.”
Sorot mata Diandra tidak berpindah dari laki-laki di sebelahnya, Shaka yang sadar akan hal itu menyadari kalau ada tatapan yang terlempar tengah tertuju ke arahnya.
“Shaka.” panggil Diandra. “Maaf ya, aku ngeselin banget hari ini, dari tadi marah-marah kesannya kayak kesel sama kamu, padahal engga beneran. Maaf yaa.”
Shaka tersontak menoleh ke arahnya, heran mendengar pernyataan Diandra yang tiba-tiba merasa bersalah.
“Ra, sini.” Shaka menepuk-nepuk bahunya. “Apa?” “Nyender.”
Belum sempat Diandra mengiyakan, Shaka menarik perempuan itu ke dalam rangkulannya, menyenderkan kepala Diandra ke atas dadanya.
“Kenapa minta maaf?” tanya Shaka, sambil jari-jarinya menyisiri rambut Diandra. “Aku ngeselin.” “Ngga ada yang bilang kamu ngeselin.” “Ih kamu mah!” Diandra memukul pelan dada Shaka. “Aku tadi manja banget tau, ngeluh macetlah, terus kesel sama Kak Theo marah-marahnya ke kamu, aku ngeselin banget kamu marah dong jangan ngalah teruuus.”
Mendengar penuturan itu, Shaka justru semakin menarik Diandra ke dalam pelukannya, lalu sesekali menciumi pucuk kepalanya.
“Ya emang kamu ngga ngeselin masa aku harus marah?”
Diandra mendongak memandang Shaka dalam jarak yang hanya terpaut 10 cm diantara keduanya.
“Nih dengerin aku, kalo aku jadi kamu juga samalah aku kesel. Di luar kita peduli sama Ruby, tapi ya malem-malem, dadakan, disuruh cek ke rumah yang jaraknya ngga deket, terus tiba-tiba disuruh pulang lagi. Wajar banget, Ra kalo kamu kesel. Jadi, ngga apa-apa.” sambung Shaka.
“Kamu kesel ngga?” “Lumayan.” “Tapi kok ngga keliatan?” “Kalo aku ikutan kesel, nanti dua-duanya jadi api. Yang ada kita malah berantem, aku ngga mau.”
Diandra terdiam mendengar jawaban Shaka. Matanya tidak sedikitpun terlepas dari lelaki yang saat ini tengah memejamkan matanya, sambil mulutnya bersenandung mengikuti alunan lagu yang masih terputar.
Tiba-tiba, Diandra mencium pipi Shaka. Shaka yang terkejut membuka matanya lalu menatap balik tatapan Diandra, ini pertama kalinya Diandra mencium pipinya.
“I love you, you are the first that i don't regret for, Shaka.”
Tanpa sadar jarak diantaranya semakin dekat, dengan posisi Diandra yang sama sekali tidak berpindah dari rangkulannya.
Shaka memajukan wajahnya pada Diandra, ia merasakan hembusan nafas lelaki itu semakin menyapa wajahnya, bersamaan dengan degup jantung keduanya yang terdengar berdetak tidak karuan. Diandra spontan menutup mata ketika ia merasakan hidung Shaka telah menyentuh hidungnya. Tangannya mencengkram kuat hoodie Shaka disaat tangan lelaki itu mulai meraih pipinya.
Namun, pada saat itu juga keduanya spontan melepas rangkulan ketika seseorang mengetuk kaca mobilnya.
“Satenya, mas.”