153; Arion cafe night
Arion cafe night memiliki eksterior yang menawan dengan nuansa pink pastel, bangunan kafe yang terlihat simpel namun dalamnya cukup luas dan mempunyai banyak spot menarik untuk berfoto. Bangunan itu terdiri dari dua lantai, area bawah dengan suasana cozy yang tenang dan rooftop dengan panggung kecil dimana para pengunjung dapat menikmati live musik. Kafe yang dikelola langsung oleh kakak laki-laki Gistara itu cukup ramai dengan mayoritas pengunjungnya anak-anak muda, walau notabennya baru melangsungkan opening dua minggu yang lalu.
Diandra bisa merasakan dirinya menciut setelah mendapati jumlah pengunjung kafe disana. Raut wajahnya mulai berubah. Padahal sepanjang perjalanan tadi, perempuan itu tidak henti-hentinya menyebut dirinya keren setelah berani mengambil tawaran bernyanyi di kafe. Shaka sampai berkali-kali menyuruhnya diam demi menjaga pita suaranya yang terlalu semangat melakukan carpool karaoke tanpa henti. Dan keantusiasan itu seolah hilang begitu saja.
“Shaka, kok rame banget.” Tangannya reflek menarik ujung jaket Shaka yang berjalan di sebelahnya. Lelaki itu menoleh dengan senyum hangat yang menenangkan sebelum tangannya meraih tangan Diandra. “Remember what i said on the phone? Rilex, ngga apa-apa. Yuk.”
Keduanya berjalan memasuki kafe, melewati beberapa pengunjung dengan aroma kopi dan minuman manis lainnya yang bercampur menjadi satu, menyeruak ke dalam indra penciuman.
“Ara, Shaka sini naik!” Dua orang itu menangkap sosok familiar dari atas rooftop yang pemandangannya bisa terlihat dari bawah. Itu Gistara dan Zella.
“Idiiiih gokil artis gue, kirain mau kabur lo Ra ngga jadi dateng.” Ledek Gistara. “Ngga kabur, tapi nih, tangannya udah kayak es batu.” Shaka menjawab sambil mengangkat sebelah tangannya yang tengah menggandeng tangan Diandra. “ANJIR PAMER APA GIMANA?!” “Lepas kali lepas, aman lo berdua di kafe ngga lagi nyebrang.” “Sumpah Gi, lambe lo sebelas dua belas banget sama Naresh najis.” “Lo berdua tuh pacaran ngga sih?” Tanya Zella.
Keduanya saling melirik, seolah saling menunjuk siapa yang harus menjawab pertanyaan itu. Hubungan Shaka dan Diandra memang mampu memberi pertanyaan bagi siapapun yang berada di antaranya. Perilaku masing-masing yang terlihat tidak mungkin jika disebut sebagai teman, namun belum mencapai level dimana keduanya bisa disebut sebagai sepasang kekasih. (u pada cape ga sie)
“Partner duetnya Ara mana?” Shaka mengalihkan pembicaraan. “Oh iya, mana ya tadi si Hesa ke toilet ngga balik-balik.” “Tuh anaknya.”
Lelaki dengan setelan jeans itu melambaikan tangan dari arah tangga, melempar senyuman yang menampilkan barisan gigi-giginya yang rapi. Perawakannya sangat tinggi, membuat siapapun yang ada di sebelahnya terlihat mungil, begitupun dengan Shaka, hampir 10 cm jarak yang terpaut diantara keduanya.
“Hai, sorry lama nunggunya ya?” Hesa menyapa sambil mengulurkan tangan pada Diandra dan Shaka. “Hesa. Udah lama Ra?” “Engga engga santai, baru aja dateng.” “Gimana? Mau langsung naik?” “LOH SEKARANG BANGET?” Diandra memekik bersamaan dengan getaran pada matanya. “Hahaha engga, kita kenalan sama panggung aja, sekalian nyesuain nada.”
Matanya secara otomatis menatap Shaka yang bisa langsung ditangkap oleh lelaki itu kalau ada kekhawatiran di dalam sorot mata Diandra. Shaka membalas dengan anggukan, diikuti gerak bibir yang menyuarakan “it’s okay” tanpa suara.
“Bro, pinjem cewenya bentar ya.” Hesa menepuk pelan bahu Shaka sebelum ia berjalan menuju panggung.
Panggung kecil itu mengarah tepat pada meja dan kursi di depannya yang sudah mulai terisi beberapa, ada dua stand mic dan satu gitar akustik yang siap mengiringi dua orang di atas sana. Diandra merasakan telapak tangannya semakin dingin bercampur keringat. Diikuti tatapan mata para pengunjung yang mulai menaruh fokus padanya.
“Sa, aduh gimana ya, gue minta maaf banget kalo nanti gue nyanyinya kacau atau gimana, sumpah gue deg-degan banget.” Diandra menghampiri Hesa yang sedang sibuk mengotak-atik senar gitar dengan wajah yang sudah hampir terlihat pucat, dan lelaki itu balik menatapnya dengan tawa kecil yang terlepas.
“Lo baru pertama kali ya manggung?” Tanya Hesa. “Pertama kali dalam seumur hidup.” “Muka lo panik banget Ra hahahaha.”
Menyebalkan, Diandra melempar tatapan sinis pada lelaki itu, ia seperti ingin mendorong Hesa dan menarik Shaka ke atas panggung.
“Waktu pertama kali gue tampil di depan publik juga gue kayak lo, semua orang bahkan kayak lo. Wajar kalo sekarang lo deg-degan.”
Hesa menjeda perkataannya.
“Tapi, semakin gue terbiasa ya semakin biasa aja, malah gue semakin pengen lama-lama di atas panggung. Yang berarti, lo juga pasti akan begitu, lo cuma perlu memulai untuk bisa terbiasa.”
“Santai Ra, ada gue, nanti gue cover oke. Tenang aja pokonya manggung perdana lo pasti lancar.”
Waktu memasuki pukul tujuh malam. Hesa mulai meraih mic, lalu menyapa para pengunjung yang benar-benar terlihat sebagai musisi dengan jam terbang tinggi. Detak jantung perempuan itu semakin tidak karuan, matanya dari tadi hanya mengarah ke arah meja yang diisi oleh Shaka dan teman-temannya. Naresh, Jeno, dan Ozzie juga sudah ada di sana, masing-masing menyalakan flash dari ponsel seolah menyerupai cahaya bintang yang menyorot.
“We will fill your night with some sweet songs under the moonlight, so, enjoy!”
Petikan gitar mulai terdengar bersamaan dengan tepukan tangan yang menjadi pembuka untuk penampilan mereka malam ini. Keduanya sama-sama mendekatkan mic pada bibir, siap memamerkan suara emas yang dimiliki.
“Lyin' isn't better than silence, Floatin', but i feel like i’m dyin', Still, no matter where i go At the end of every road You were good to me You were good to me.”
Hesa memulai nyanyiannya, bersamaan dengan getaran mata panik yang masih ada di dalam sana. Shaka dari ujung meja berjalan menuju kursi kosong yang terletak persis di depan panggung, menyemangati Diandra lebih dekat sambil memberi sinyal,
“Ra, two-two-one breathe.”
Diandra menangkap sinyal itu dengan baik. Ia meletakkan tangan di atas dada, dan mulai menarik dan membuang napas dengan ketukan persis seperti yang tadi sore ia lakukan lewat telpon. Lima detik sebelum bagiannya tiba.
“Leavin' isn't better than tryin', Growin', but i'm just growin' tired.”
Suara itu, bakat yang selama ini ia sembunyikan, akhirnya didengar oleh tiap pasang telinga di sana. Diandra menyanyikan lirik pertama dengan mulus, tanpa terlihat panik sama sekali.
“Now i’m worried for my soul, And i'm still scared of growin' old, You were good to me, You were good to me,”
“And i’m so used to letting go But i don't wanna be alone You were good to me You were good to me, yeah, oh”
...
“Swear i'm different than before, I won't hurt you anymore, 'Cause you were good to me”
Lagu pertama selesai dengan lancar. Senyuman lega pada perempuan itu, bertemu dengan senyum bangga laki-laki yang saat ini tengah mengacungkan dua jempol kepadanya. Sorak ricuh teman-teman dari ujung sana bahkan mampu membuat seisi rooftop menoleh. Diandra berhasil.
Lagu demi lagu berhasil dibawakan dengan baik, Diandra semakin terbiasa dengan atmosfer panggung, ditambah pembawaan Hesa yang mampu menuntun Diandra dengan nyaman. Sampai akhirnya satu-persatu pengunjung mulai meninggalkan kafe, dan keduanya menuruni panggung. Penampilan perdana hari ini selesai.
“Anjingggg keren banget temen gue.” Naresh berlari menghampiri Diandra sambil mengacak-acak rambutnya kasar.
“Gila Ra gue beneran ga ekspek lo bisa se-chill itu. Pecah banget please.” “Apa gue bilang, rugi kan kalo suara lo dipendem sendiri, gas laaah udah lo jadi vokalis gantiin Shaka.” “Ntar gue masukin story biar lo denger sendiri suara lo seenak apa.”
Pujian demi pujian dilontarkan pada Diandra, ada ekspresi sumringah yang jelas tidak bisa disembunyikan sama sekali. Malam ini, menjadi salah satu malam bersejarah bagi Diandra karena untuk pertama kalinya ia berani menunjukkan siapa ia sebenarnya di depan publik.
“Thank youuu! Beneran gue ngga tau mau jawab apa, gila, kalian keren banget bisa ngedukung gue sampe segininya, sampe gue bisa ada di atas panggung kayak tadi. Lo semua lebih keren.” Tutur Diandra.
“Heee engga, ada yang lebih keren,” Gistara melirik ke arah Shaka. “Shaka sih gila lo keren banget sumpah lo pake ilmu apa drastis banget bisa ngubah Diandra?!?!!”
“Hahaha apa sih, engga lah, gue cuma ngedukung doang. Tetep kalo bukan Ara sendiri yang ngelawan rasa takutnya, dia ngga akan bisa nyanyi kayak tadi. Good job, Ra!”
“Oiiiiii tinggal jadian anjir lo bedua cepetan nggak?! Gue kawinin sekarang juga.” Ledek Naresh.
“Eh oh iya bentar, gue nyamperin Hesa dulu.”
Diandra menghampiri Hesa yang masih bersenandung asal di atas panggung.
“Hesa! Tos dulu laaah!” “Hahahaha gimana Ra? Aman kan?” “Aman sumpah aman banget, makasih banyak ya Sa, lo keren banget tadi.” “You’re cooler ra. Jadi, fix ya ngga kapok jadi partner duet gue?” “Fix!”
Malam itu berakhir dengan sempurna. Segala ketakutan dan kepanikan yang Diandra khawatirkan tidak ada satupun hal buruk yang terjadi pada penampilannya. Tidak ada suara fals, tidak ada kecanggungan, semua itu hanya berakhir di dalam kepalanya. Diandra is getting more confident.
“Ra, nih.”
Shaka mengeluarkan satu buah flashdisk tepat perempuan itu memasuki mobilnya.
“Flashdisk? Punya siapa?” “Your gift. Hadiah lo ada disini.” “OHIYAAA LO KAN MAU NGASIH HADIAH YA KATANYA ABIS GUE NYANYI.” “Berisik, happy banget kayaknya.” “HAHAHA iya laaah gue terakhir dapet hadiah kapan ya ngga tau lupa, tahun lalu waktu ulang tahun.” “Ya udah, nanti sampe rumah diliat.” “Okey, besok.”
Jawaban yang hanya mendapatkan respon kernyitan dahi dari lelaki itu.
“Sekarang ngantuuuk, ayo pulaaang!”