sannflowers


Audine kembali melanjutkan kegiatan merias wajah setelah mengirim pesan terakhir pada Ocean, cukup berat bagi Audine membiarkan Ocean pergi sendiri dengan seluruh perasaan takut dan gelisah yang menghantuinya semalaman, bahkan Ocean nyaris tidak tidur tadi malam. Lelaki itu benar-benar membutuhkannya saat ini.

Sesekali matanya mengecek ke arah ruang tengah, memantau Carissa yang tengah berbaring anteng sambil menyedot botol susu yang tinggal setengah, matanya fokus tidak teralih dari series Barney di layar televisi. Audine kembali mengecek jam, kali ini sambil mengeringkan rambut panjangnya yang masih basah. Dua puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda orang rumahnya pulang.

Selang beberapa menit kemudian, dua suara motor terdengar datang bersamaan. Itu ayah, mama, dan Nala. Dengan sigap Audine berlari membukakan pintu dengan rambut acak-acakan yang masih setengah kering.

“Loh, kok barengan? Kak Nala bentar doang urusannya?” tanya Audine yang hanya dibalas dengan anggukkan samar oleh Nala.

“Ya udah, aku siap-siap lagi ya, udah telat banget. Itu Carissa ada di ruang tv lagi minum susu.”

“Lo mau kemana? hari minggu gini pagi-pagi amat.” tanya Nala tiba-tiba.

“Nemenin Ocean photoshoot.”

Nala membulatkan mulutnya sebagai respon oh tanpa suara. Audine mengangguk kecil pada orang tuanya, sebelum kembali berlari menuju kamar, siap-siap.

“Audine sarapan dulu dek, nanti sakit lagi perutnya!” teriak mama hingga ke dalam rumah. “Aku udah makan roti tadi!” sahut Audine dengan suara yang semakin samar karena perempuan itu telah kembali masuk ke dalam kamarnya.

Nala yang melihat interaksi tersebut memutar bola matanya, antara respon malas dan iri yang selalu melihat Audine mendapatkan perhatian lebih, menurutnya.

45 menit hampir berlalu, Audine telah rapi, terlihat manis dengan balutan long dress bermotif floral berwarna navy, tak lupa kardigan krem panjang andalannya. Audine meraih ponselnya, menelpon Ocean yang mungkin telah sampai di lokasi tujuan, pantai.

Tidak ada jawaban, sepertinya lelaki itu telah mulai melangsungkan sesi photoshoot, pikirnya. Audine mulai bergerak cepat. Kini ia memasukkan beberapa cemilan ringan kesukaan Ocean yang ia beli tadi malam ke dalam tote bag. Tak lupa satu buket bunga matahari yang telah ia siapkan khusus untuk Ocean pada hari ini.

Audine tiba-tiba tersenyum, mengingat keberanian lelakinya yang akhirnya mau mencoba untuk melawan rasa trauma terhadap laut. Dan lagi, semua itu berkat buku gambar anak-anak pemberiannya.

Senyum itu perlahan menghilang saat telinganya menangkap percakapan orang-orang di luar yang menembus dinding kamar.

“Ayah ngapain ambil pinjemin lagi dari bank? katanya kemarin cicilannya udah gede.” tanya Nala dengan nada yang tidak mengenakkan.

“Ini udah hasil hitung-hitungan kak, ayah ambil pinjeman ini buat nutup utang yang lama.” Ayah menjawab dengan sangat tenang.

“Tapi pinjeman yang sekarang perasaan nominalnya lebih gede dari yang sebelumnya? kok bisa berani amat.” tanya Nala lagi, entah apa tujuannya.

Kali ini mama yang menjawab, sambil menuntun Carissa ke teras depan. “Iya, tapi untuk tagihan perbulannya, yang sekarang jadi lebih berkurang, jadi ngga terlalu berat kayak sebelumnya.”

“Audine tuh, suruh bantuin, jangan dipake pacaran doang duit gajinya.” ucap Nala datar, namun terdengar menusuk.

Audine yang menguping dari balik pintu kamarnya hanya bisa terkekeh sarkas. Membiarkan Nala berspekulasi sepuasnya karena Audine sudah tidak mau lagi masuk ke dalam perdebatan dengan kakak perempuannya. “Pacaran mulu katanya.”

Tak mau berlama-lama lagi, Audine keluar dari bilik kamarnya, karena waktu terus bergerak, perempuan itu mulai gelisah karena Ocean tak kunjung memberi kabar hingga sekarang. Apa lelaki itu berhasil kembali berkenalan dengan pantai?

Audine meraih kunci mobil, ia memutuskan untuk tetap menyetir sendiri. Dengan dua totted bag dan satu buket bunga, Audine melangkah terburu-buru, langkahnya terhenti di depan teras, yang kini hanya tersisa Nala.

Belum selesai, nyatanya Nala masih belum juga puas melampiaskan isi kepalanya langsung pada Audine.

“Manja amat cowo lo minta temenin sampe harus ribet-ribet lo bawain bunga, emang effort dia ke lo juga sebanding?”

Audine hanya tersenyum, lalu menghampiri Nala untuk mencium tangan, “Gue ber—“

“Sini dulu lah ngobrol! lo jarang ketemu gue juga, ngga sopan banget ada gue lo malah pergi.” Nala menarik Audine hingga jatuh terduduk di kursi sebelahnya.

“Gue udah telat kak, lo mau ngomong apa?”

“Bantuin ayah, jangan egois duit lo dipake buat seneng-seneng sendiri terus. Lo ngga kasian liat ayah sampe harus ambil pinjeman lagi dari bank?” sahut Nala. “Ke cowo lo aja bisa segininya bela-belain, lo pernah ngga ke ayah kayak gini?”

Audine diam tidak merespon, menahan kuat-kuat emosinya, meredam percikan api amarah yang mulai naik.

“Cowo lo kan model, pasti gajinya lumayan, lo manfaatinlah dikit. Seengganya, masa dia ngga mau bantuin cewenya lagi kesusahan, keenakkan amat.”

“Lo kenapa deh? kok ngga nyambung jadi bawa-bawa cowo gue?” jawab Audine cepat, tidak terima. “Lo juga jangan ngaco kak, enak banget lo bilang manfaatin manfaatin, minta duit. Itu bukan keharusannya dia buat nolong gue secara financial, dia bukan suami gue.”

Audine memejamkan mata, seraya menarik napasnya dalam-dalam, lalu menyambung kembali ucapannya. “Lagian, lo tau apa sih kak? lo tau dari mana gue ngga pernah berusaha bantu ayah? lo pernah liat gue belanja ini itu, seneng-seneng sendiri, atau bentar-bentar post tas baru? perasaan itu isi story lo tiap saat deh, bukan gue.”

“Lo jangan kurang ajar, gue kakak lo.”

Audine tertawa menyindir, “Tiap debat sama lo, perlawanan lo gitu mulu, ngga ada variasinya banget. Emang lagian lo ngga nyadar siapa yang sebenernya kurang ajar di sini?”

Jujur, kata-kata tersebut sangat berat untuk ia suarakan. Hatinya terasa sakit, harapannya terhadap kalimat-kalimat hangat yang diutarakan Nala, hanya selalu berakhir sebagai harapan. Entah sampai kapan Audine harus kehilangan sosok Nala yang ia kenal.

“Lo nahan gue sekarang, beneran pengen ngobrol sama gue, atau cuma mau ngelampiasin emosi lo ke gue doang?” sambung perempuan itu lagi.

“Audine kok belum berangkat? udah mau jam sepuluh, lumayan jauh loh nanti macet.” suruh mama yang menyembul dari balik pintu.

Lalu disusul ayah, kembali duduk pada salah satu kursi teras sambil membawa secangkir kopi dan beberapa berkas di dalam map. Kedatangan mama dan ayah seolah tahu bahwa ada pantikan api yang perlu dipadamkan sebelum membakar seluruh isi rumah.

“Nih, rincian pinjeman ayah yang baru.” Ayah menunjukkan satu lembar kartas berisi rincian-rincian nominal ke depan Nala dan Audine.

“Maaf ya Nala, Audine, ayah harus ambil pinjeman baru lagi, ngga habis-habis.” sambung ayah dengan suara yang mulai mengecil, terasa ada helaan napas gusar di dalamnya. “Yah.. sekarang mau gimana lagi kak, adek. Dari mana ayah bisa dapet uang segitu banyak buat nutup tagihan. Paling caranya selalu gini, gali lobang tutup lobang. Tapi seengganya, setelah cicilan yang kemarin ketutup, sekarang tagihan perbulan kita jadi lebih ringan. Ayah yakin bisa selalu kebayar sekarang.”

Tiba-tiba, tanpa satupun orang menyangka, satu kalimat yang tidak pernah Audine sangka akan bisa sejauh ini keluar dari mulut satu-satunya kakak yang dimilikinya. Kalimat yang tidak pernah ia tahu berhasil menusuk tepat pada jantungnya, mematikan seluruh perasaan rindu yang selama ini ia pendam.

“Jual aja nih anak perawan, kawinin sama yang kaya.”

Hening. Suasana menegang, tidak ada satupun orang di sana yang membuka suara, tidak ada sedikitpun respon terdengar. Selain gundukkan air mata yang menggelinang di dalam tiap pasang mata milik tiga orang di depan Nala.

“Nala.. kamu bicara apa barusan, nak?” tanya Ayah dengan suara bergetar, dan sorot mata kecewa. “Kamu kenapa bisa sekasar itu sama Audine? kamu ngga tau kalo selama ini adekmu yang bayar semua tagihan? Audine yang nanggung semua pengeluaran? Nala, adekmu salah apa..”

Mama yang dari tadi berdiri di depan pintu, kini telah masuk lebih dulu tanpa mengeluarkan sepatah kata. Hanya ada derai air mata dan gelengan kecewa yang ditangkap oleh mata sebelum mama menghilang dari ambang pintu.

Audine masih diam mematung tanpa reaksi, seakan seluruh tubuhnya baru saja terhantam sambaran petir. Ia menggigit bibir bawahnya seraya meremat kain bajunya hingga kusut. Menahan getaran pada bahunya agar tangisnya tidak meledak.

Perempuan itu bangun dari duduknya, menahan kuat-kuat air matanya sambil menatap lurus, hanya tertuju memandang ayah. Audine meraih tangan sang ayah, lalu menciumnya tanpa sedikitpun menoleh ke arah Nala.

“Ayah, aku berangkat..”

Hancur. Hubungan Audine dan Nala resmi hancur pada hari itu. Tidak ada lagi kerinduan yang tersimpan untuk Nala, tidak ada lagi pengharapan yang selalu ia tuturkan lewat doa untuk berharap Nala benar-benar kembali. Hatinya resmi dihancurkan oleh satu-satunya kakak yang ia miliki.

“Jual aja anak perawan”, satu kalimat yang akan selalu Audine ingat, menjadi kalimat terakhir dari Nala sekaligus awal dari perpisahan.


“Au jangan lari-lari, buku gambarnya ngga akan kabur!”

Ocean berlari kecil, tertinggal sambil memegang satu gelas dum-dum yang tinggal setengah milik Audine. Perempuan yang telah melangkah jauh lebih dulu di depannya itu dari tadi rusuh, berlari kesana-kemari menjelajahi sudut ruang yang lenggang. Tanggal tua, kondisi mall termasuk sepi hari ini. Kapanpun mereka melewati sudut yang sepi pengunjung, Audine akan tiba-tiba menghilang, berlari meninggalkan Ocean, mengitari ruang seolah mall adalah milik dirinya sendiri.

Perempuan itu sampai lebih dulu di depan Gramedia, sambil mengayun-ayunkan tangannya ke arah Ocean yang tertinggal, memberi sinyal untuk bergerak cepat.

Ocean menjewer pelan ujung telinga Audine, memasang tampang sok seram, seperti bapak-bapak galak yang memarahi anaknya.

“Nakal, ngapain lari-lari ntar ilang!” ujar Ocean, nada bicaranya ketus, mengambil peran penuh bapak-bapak galak dengan serius.

“Sakit!” balas Audine, sambil menarik tangan Ocean dari telinganya. “Lebay banget. Di dunia ini tuh ada alat bernama smartphone, yang difungsikan untuk berkomunikasi antar jarak. Kalo aku ilang tinggal telponlah!”

“Hp aku kan di tas kamu, aku telpon kamu pake apa? minjem hp mba-mba gramed?” jawab Ocean tak mau kalah.

“Ada pusat informasi! kamu samperin mba-mbanya, terus sebutin ciri-ciri aku!”

“Dih, ngapain niat amat, kamu aku tinggalin aja!”

Audine tertawa meledek, “Tinggalin aja, kan kunci motor kamu juga di tas aku.”

“Ya udah sana kamu cari aja deh buku gambar sendiri!”

“Kok gitu?!”

Dua orang itu berdebat di depan pintu masuk, hingga menarik perhatian security di depan sana yang kini mulai melemparkan tatapan sinisnya, karena nada suara mereka yang semakin meninggi. Audine sadar akan tatapan itu, reflek ia merapatkan bibir Ocean dengan mencapit ujung bibirnya, menjadikan tampilannya seperti donal bebek dengan bibir yang maju.

Sssh, kita diliatin satpam, kamu jangan berisik.” ucap Audine tidak tahu diri.

Ocean membelalakkan kedua matanya tanda protes tidak terima, bibirnya masih dalam cubitan tangan Audine, sehingga lelaki itu hanya mampu mengeluarkan gumaman-gumaman tidak jelas yang sebenarnya bisa diartikan sebagai umpatan tersirat.

“Ayo anak ganteng, kita cari buku gambar.”

Kini Audine melepas capitan tangannya dari bibir Ocean, lalu menepuk-nepuk pucuk kepalanya sebelum berjalan masuk, kembali meninggalkan Ocean di depan pintu.

“Au orgil!”

Aroma Gramedia yang selalu terasa khas, ratusan warna-warni buku berjajar rapi menyambut keduanya. Sejuk. Sejuk suhu ruangan berpadu sejuk kedamaian yang seolah menguar dari dalam buku-buku yang ada.

Lelaki itu menyusul Audine, buru-buru meraih bahunya, lalu memutar tubuh perempuan itu ke arah deretan rak berisi alat-alat tulis. Karena Audine sok tahu, berjalan menelusuri rak-rak buku dengan percaya diri, mencari buku gambar di antara deretan buku-buku psikologi.

“Tuh, di sana kalo kamu mau nyari buku gambar, bukan ke sini.” katanya, seraya memutar badan Audine. “Ngga pernah ke gramed sih, jadi ngga tau.”

Audine memutar bola matanya, berdecak sebal. Ia menginjak sebelah kaki Ocean sebelum melengos pergi ke deretan alat tulis, meninggalkan Ocean, lagi.

Ocean tertawa, “Aku di sini, ya, kamu bisa kan nyari sendiri?” dan hanya dibalas oleh Audine yang mengacungkan ibu jarinya tanpa menoleh.

Audine mengitari tiap rak berisi buku gambar dengan pola-pola yang sudah tersedia di tiap lembarnya. Lebih tepatnya, buku mewarnai. Perempuan itu mengambil dua coloring book dengan tema yang sama, laut.

Sorot matanya tertuju pada bermacam animasi hewan-hewan laut yang tercetak di depan covernya, sebelum tatapan itu pindah pada Ocean di ujung sana, tengah berjongkok, fokus membaca sinopsis pada belakang buku di genggaman tangannya.

Audine menghampiri Ocean seraya membawa dua coloring book bersamanya.

“Ocean.” panggil Audine.

“Au, liat deh, The Things You Can See Only When You Slow Down!” sahut Ocean yang lebih antusias menyebut judul pada satu buku di tangannya, “How to be calm and mindful in a fast-paced world, buku self-improvement. Kayaknya bagus buat dibaca sama orang-orang yang punya banyak kesibukan.”

“Kamu mau beli?” tanya perempuan itu. Ocean mengangguk. “Udah ketemu buku gambarnya?” Ocean balik bertanya.

Audine ikut berjongkok, menyamai posisinya dengan Ocean. Lalu menyodorkan dua coloring book dengan cover berbeda. Gurita, penyu, bintang laut yang tersenyum, sangat colorfull, dan satunya lagi bergambar ikan hiu dengan topi bajak laut.

“Kamu suka yang mana?” tanya Audine.

Ocean diam sejenak, masih berusaha mencerna apa maksud dari tujuan Audine yang tiba-tiba membeli dua coloring book untuk anak-anak.

Mungkin untuk Carissa, pikirnya.

“Yang ini.” jawab Ocean seraya menunjuk coloring book bersampul gurita dan bintang laut.

“Kenapa?”

“Yang satunya lagi serem, aku ngga suka hiu.”

Audine terkekeh, “Okey, i’ll choose this one.”

“Lagian, buat Carissa gambarnya lebih cocok yang ini,” ujar Ocean tiba-tiba, sambil mengambil satu coloring book yang telah dipilih, “Dari pada yang hiu, hiiii, liat tuh, mukanya udah galak, nanti Carissa takut!”

“Siapa yang bilang buat Carissa?” Audine tertawa, “Orang aku beli buat kamu.”

“Buat aku?” balas Ocean, sambil mengernyitkan dahi. “Buat apa?”

Audine sedikit bergerak mendekat, meraih punggung tangan milik Ocean, dan menaruh telapak tangannya di atas sana.

“I know, you’re still dealing with your trauma. I can see the fear in your eyes, tapi, aku juga bisa ngeliat, kalo ada sorot mata yang mengharapkan perlawanan yang kamu sendiripun berharap, kamu bisa melawan, to deal with your trauma.” ucap Audine seraya mengelus-elus punggung tangan Ocean dengan satu jari telunjuknya.

“Aku ngga ngerti gimana cara yang bener untuk ngebantu kamu supaya bisa keluar dari rasa takut, tapi, mungkin aku bisa bantu kamu dengan caraku sendiri. Atau seenggaknya, ngebantu kamu untuk sedikit lebih baik, dan ngga survive sendirian.” sambungnya.

Audine mengangkat satu coloring book bertema laut ke hadapan Ocean.

“Liat! ada gurita, penyu, bintang laut, ubur-ubur, kuda laut, mereka semua lucu kan?” kata perempuan itu lagi, “Anggap hewan-hewan lucu ini yang akan kamu temuin di sana. Kayak yang kamu bilang waktu itu, kamu berenang bareng sama ikan-ikan yang lucu. No shark, no godzilla, no dragon sea. Ngga akan ada lagi penghuni laut yang bakal jahat sama kamu.“

Kini Audine menangkup kedua pipi Ocean dengan jarak yang dekat, menatap sorot mata yang menyimpan satu ketakutan itu dengan lembut.

“Ocean, kamu lebih besar dari semua yang ada di lautan, karena kamu samudranya. There will be no sea that can hurt the ocean itself. Ayo kita pelan-pelan kenalan lagi sama laut! aku di sini, i’ll go with you.”


Benar kata Ghea, seisi kamar apartment Ocean hampir semua di dominasi oleh warna gelap. Bukan hitam, tapi cenderung abu-abu jika diperhatikan lebih seksama. Wangi akuatik pada perpaduan aroma manis yang segar dari citrus dan rosemary, menguar di dalam ruangan. Wangi khas milik Ocean.

“Ini wangi dari kamar kamu apa wangi dari badan kamu, ya?”

Tanya Audine pada posisi terkunci di dalam dekapan Ocean, sudah hampir 45 menit berlalu perempuan itu tenggelam di dalam pelukannya. Sesekali memejamkan mata, merasakan kehangatan dari aromanya sambil menikmati rasa nyaman pada usapan tangan Ocean di atas punggungnya.

8 PM. After work. Tidak ada sleeping at last yang terputar seperti biasanya, hanya ada suara percakapan dari tokoh-tokoh sinetron pada layar televisi yang menyala, hanya menyala, tidak ditonton. Karena dua orang itu asik berkemul di dalam selimut yang sama.

Audine menarik kepalanya sejenak, menengadahkan kepala dan mengendus aroma pada udara, lalu kembali menghirup aroma manis di antara leher lelaki itu dalam-dalam.

Ocean terkekeh, “Au ngapain, sih?”

“Wanginya sama. Kamu beli parfum dipake buat nyemprot ruangan juga kah?”

Ocean kembali menarik Audine ke dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggungnya, lalu menaruh dagunya di atas pucuk kepala Audine, “Udah diem, gitu doang diribetin, kayak anak kecil.”

Audine mendengus, perempuan itu melemparkan pukulan kecil pada bahu Ocean, “Ini kita beneran mau begini doang apa sampe subuh?”

Tidak ada jawaban.

“Atau respon gitu? masa kamu ngga butuh respon dari aku? saran? masa kamu ngga butuh saran? ya kaliii!” tanyanya sekali lagi, bawel.

“Engga.” jawab Ocean, singkat. Tangannya masih mengusap-ngusap rambut Audine dengan mata terpejam.

“Terus gimana? udah kamu jawab belum? kamu jangan diem aja dong aku takut kamu kesambet setan keju.”

Bohong jika Ocean tidak membutuhkan saran, atau setidaknya teman bicara untuk menumpahkan seluruh rasa cemasnya. Tapi, bukan Ocean kalau tidak batu. Menurutnya, Audine jauh lebih butuh sosok pendengar saat ini. Ia tidak mau membebankan rasa takutnya pada Audine, dan membuat perempuan itu semakin menaruh banyak pikiran.

Mereka biasa bertukar cerita tiap jam dua belas malam, dan tidak selalu. Juga, bukan berarti harus menunggu hingga jam dua belas malam dulu baru boleh meluapkan emosi dan berbagi cerita. Ya pokoknya sepengennya mereka aja dah pada pengen kirim-kirim email kapan.

“Sssh, bawel! kan aku cuma minta peluk, harusnya aku yang banyak omong.” jawab Ocean, masih dalam posisi yang sama. “Sekarang, kamu gimana? kemarin sempet ketemu Kak Nala?”

Kini keduanya sama-sama mengubah posisi. Ocean melepas pelukannya, lalu memindahkan kepala Audine ke atas lengannya, dan kembali menyisiri rambut Audine dengan jarinya, membuat perempuan itu nyaman untuk bercerita.

“Engga,” Audine menggeleng, “Kemarin aku sampe rumah jam enam, Carissa udah dijemput. Aku juga ngga nanya apa-apa ke mama, dan mama juga ngga cerita apa-apa, udah pada capek kali ya?” perempuan itu tertawa sarkas, “Lagian, selama situasinya masih kayak gini, aku ngga mau ketemu Kak Nala.”

“Kayak gini gimana?” tanya Ocean, seraya menggeser tubuhnya untuk meraih remote, mematikan televisi, sambil sebelah tangannya yang tadi ia gunakan untuk menyisiri rambut Audine, ia gunakan untuk menahan kepala Audine agar tidak ikut tergeser.

“Ya gini, canggung. Makin sini, aku makin ngerasa hubunganku sama Kak Nala makin jauh. Entah perasaan aja atau gimana, tapi aku ngerasanya, Kak Nala semakin menghindar dari aku. Jangankan ketemu, aku chat juga, balesnya gitu. Hati aku sakit sendiri jadinya tiap liat Kak Nala, dia keliatan banget ngga mau ngomong sama aku.” sambung Audine, berbicara tanpa menatap mata Ocean. “Aku ngga tau salah aku apa, aku ngga tau kenapa dia bisa sekesel itu tiap liat aku. Kak Nala yang aku kenal, udah ilang dari lama.”

Terdengar helaan napas Audine yang semakin memberat, Ocean masih diam tidak merespon, hanya mengusap-usap helai rambutnya, sesekali pindah mengelus pipi Audine lembut dengan ibu jarinya, menunggu perempuan itu berbicara hingga benar-benar menyuarakan isi kepalanya.

“Ocean, aku kangen banget sama Kak Nala, aku kangen gimana rasanya punya kakak,” suaranya mulai bergetar, “Aku juga kangen liat Kak Nala seneng, sekarang, ngga ada yang bisa aku temuin dari mata dia selain amarah.” Satu tetes air mata akhirnya jatuh di atas lengan Ocean.

“Ocean, aku salah apa sama Kak Nala? Kak Nala sekarang udah ngga sayang lagi ya sama aku?”

Ocean menggeleng seraya tersenyum teduh ke arah Audine, “Engga,” lalu mencium kening Audine dengan lembut, “Kamu ngga salah.”

Lelaki itu meraih ponsel pada nakas di samping kasurnya, membuka galeri dan menunjukkan satu foto perempuan berumur tujuh tahun berbalut baju kodok berwarna pink, rambutnya terurai panjang dengan bandana berwarna senada.

“You know her, but we don’t talk much about her. Namanya, Aliesha Arabelle, we used to call her, Alie.” ujar Ocean. “Cantik, ya? sekarang umurnya udah lima belas tahun, dan masih cantik, ngga berubah. Tapi sekarang dia jauh banget, di Jepang, ikut papa sama mama.”

“Aku jarang banget berantem sama Alie, maksudnya, berantem beneran!” Audine tiba-tiba terkekeh mendengar perubahan suara Ocean yang mulai antusias seperti anak kecil.

“Yah, selain emang aku yang disuruh ngalah mulu, bentar-bentar, kakak, jangan jail sama adeknya!” Ocean mengikuti gaya bicara mama. “Tau ngga, Au, padahal aku baru ngumpet di belakang tembok, Alienya juga masih jauh masih di dalem kulkas, eh, maksudnya, di depan kulkas lagi ngambil es krim!”

Audine tertawa, sambil mencubit gemas pipi Ocean yang terlihat menggembul. “Kamu ngapain ngumpet di belakang tembok?”

“Mau aku kagetin!” jawab Ocean, nadanya sedikit meninggi, terdengar seperti anak kecil yang merajuk. “Tapi ngga jadi! kan keburu diomelin sama mama!” lalu keduanya tertawa, memecah keheningan di antara suara gemuruh angin AC yang dari tadi terdengar seolah menjadi background suara.

“Oke, balik lagi. Selain emang aku yang harus ngalah, Alie emang anaknya manis banget, dia jarang marah kalo aku godain, anaknya iya-iya aja. Makanya aku ngeri banget dia ikut ke Jepang.”

“Kenapa?”

“Takut di tengah jalan ada yang nawarin dia jadi donal bebek disneyland, dia iya-iya aja.”

Audine kembali tertawa, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Genangan air mata yang dari tadi menetes, sekarang telah mengering. Awan hitam yang ada dalam dirinya mulai kembali cerah secara perlahan hanya dengan mendengar Ocean bercerita.

“Kamu coba sehari aja jangan random, ngga bisa, ya?” ledek Audine pada ujung tawanya.

“Now, the point is, aku ngga bisa ngubah Kak Nala jadi seperti dulu, kayak yang kamu maksud. Aku ngga bisa membolak-balikkan hati Kak Nala, ya, aku bukan Tuhan, aku mah pacar kamu,” sambung Ocean, kembali diselingi kekehan Audine. “But, maybe i can bring you another sisters.”

“Alie tuh sering tiba-tiba nyeletuk, kenapa sih aku ngga punya kakak cewe, kayaknya kalo kakakku cewek, pasti lebih satu frekuensi deh ngga akan nyebelin, kurang ajar ngga, Au? aku dibilang nyebelin secara tersirat,” Ocean menjeda kalimatnya, “Nah, jadi sekarang adil, kan? Alie dapet kakak baru, kamu juga dapet adik baru.”

Audine menoleh, menatap Ocean bingung, “Maksudnya?”

“Au, mungkin Alie ngga akan bisa ngobatin rasa kangen kamu untuk dapet kasih sayang dari seorang kakak, tapi seenggaknya, Alie bisa ngasih kamu rasa sayang baru, rasa sayang dari seorang adik untuk kakaknya.” sambung Ocean seraya kembali menyisiri lambut Audine dengan lembut, “You can claimed her as your younger sisters now. Nanti aku kenalin sama Alie, ya. Trust me, she’s gonna love you.”

Terakhir, Ocean kembali menarik Audine ke dalam pelukannya lagi, lalu mencium pucuk kepalanya.

“Don’t worry, Au. Kalo kamu butuh perhatian dari seorang kakak, i’m here. I can be your boyfriend and your older brother at the same time, don’t worry.”


Pada awal tahun 2011, Ryan O’Neal membeli tiga series film Twilight lalu menontonnya untuk pertama kali. Melakukan sedikit riset tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam cerita. It was obvious that the wedding would be up next, cause the entire twilight saga is all about love. So, he decided to write a love song.

Kini lagu tersebut dikenal dengan judul Turning Page, dan berhasil mengisi soundtrack dari film the twilight saga: breaking dawn – part 1.

Audine’s all-time-fav song.

Lagu itu terputar tanpa henti, menyapa seluruh pasangan manis di antara warna-warni bunga yang menari pada hembusan angin, dan tangan-tangan yang saling bertaut mencari kehangatan di dalam genggaman. Atmosfer yang dimiliki toko bunga hari ini terasa seperti adegan-adegan di dalam film romance, berbagai pasangan datang silih berganti, pulang dengan satu buket bunga bersama garis lengkung yang terlukis di atas bibir.

Semesta seakan tahu, kalau ada hati yang jauh lebih berbunga-bunga, terjebak di antara seluruh pasangan yang ada di sana.

Hujan turun tepat setelah Audine melambaikan tangan pada pelanggan terakhir di ujung jam kerjanya. Senyum itu masih di sana, sambil memandang pasangan yang berjalan di bawah payung, mereka tertawa-tawa saling merangkul, menghindari cipratan air dari langit. Perempuan itu tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangan, berteriak di antara derasnya hujan dan gemuruh petir, berisik, tapi tidak lebih berisik dari degupan jantung Audine yang berdetak jauh lebih ricuh di dalam dadanya.

Akhirnya, perempuan itu bisa melepaskan semua kupu-kupu yang dari tadi terjebak di sekujur tubuhnya.

Belum, Audine belum menjawab pertanyaan Ocean. Tapi tiap lima menit sekali, Audine bolak-balik membuka ruang obrolan, hanya untuk membaca satu kalimat “Au, jadian yuk?”, satu kalimat sederhana yang seolah seperti candaan, namun ada perasaan tulus yang tersirat di dalamnya. Audine kembali menutup wajah tanpa bisa menutupi senyum sumringah yang jelas terpampang.

“Kak, kenapa sih dari tadi? kok kayaknya salting banget,” tanya Acel, menyuarakan seluruh rasa penasaran yang ia pendam dari pagi. “Sakit ngga pundaknya ketiban ember?”

“Loh, kamu mau ke mana?” tanya Audine balik mengalihkan topik, setelah melihat Acel dengan balutan mantel rapi.

“Ya, mau pulang? Kakak emang ngga mau pulang? Udah aman semua kok, ngga ada yang harus diberesin lagi.”

“Kan masih ujan?” tanya Audine seperti orang linglung, padahal sudah jelas ia melihat Acel membawa satu buah payung dan kunci mobil di tangannya.

Acel terkekeh, “Kan aku bawa mobil, nih, bawa payung juga. Kakak ngga pulang?”

“Kamu aja duluan.”

“Loh? Beneran? Emang ngga takut ujan-ujan sendiri di sini?”

“Aku malah takut kalo nyetir lagi ujan, aku mau tunggu reda dulu di sini.”

Acel mengangguk paham, “Oke kalo gitu hati-hati ya kak, jendelanya udah aku tutup juga biar angin ngga masuk. Aku duluan.”

“Kamu yang hati-hati, awas jangan ngebut!”

Audine mengantar perempuan berusia sembilan belas tahun itu sampai ke depan pintu, menunggunya hingga benar-benar sampai ke dalam mobil, sekaligus memastikan kecepatan yang akan ia lajukan. Seperti orang tua yang memantau anak gadisnya.

Tepat setelah mobil Acel menghilang semakin menjauh dari pandangan, ada mobil lain yang bergerak mendekat menembus derasnya hujan. Mobil itu berhenti di depan toko bunga miliknya. Tidak sulit bagi Audine untuk mengenali siapa pemilik mobil BMW hitam yang saat ini terparkir di sebrang jalan.

Ocean dengan setelan celana cargo hijau army dan hoodie berwarna hitam menyembul dari dalam mobil, membawa dua kotak pizza dan dua cup kopi hangat. Seolah kembali memutar memori pertama keduanya di tempat yang sama, sangat de javu.

“Au, aduh ini pizzanya nanti keujanan!” ujarnya setengah berteriak dari sebrang jalan, masih dalam posisi duduk di dalam mobil dengan pintu setengah terbuka.

Jarak di antara tempat parkir dan florist cukup jauh, sehingga harus membuat Ocean berlari menerobos hujan jika mau menghampiri Audine.

“Lo tunggu di sana, bentar gue ambil payung!” balas Audine sebelum lari ke dalam untuk mengambil payung.

Perempuan itu berjalan di bawah payung berwarna biru, sambil meringis menahan dingin menerima hantaman angin yang menusuk tulang, demi menghampiri Ocean di sebrang jalan. Setelah sampai, Ocean langsung mengambil alih payung dan memberikan dua kotak pizza dan kopi pada Audine.

“Nih pegang, tangan gue cuma dua.” suruh Ocean.

Mereka berdua kini berada di bawah payung yang sama, berhadapan dengan jarak yang sangat tipis, sama-sama melindungi diri dari derasnya hujan.

“Tangan gue juga cuma dua, kenapa ngga satu-satu aja megangnya,” protes Audine.

“Ngga bisa, gue megang payung.”

“Lah ini kan ada tangan sebelah lagi?”

Tanpa aba-aba, Ocean menarik Audine lebih dekat hingga menempel pada tubuhnya, mempersempit jarak hingga sama sekali tidak ada celah yang tersisa. Sebelum lelaki itu melingkarkan sebelah tangannya mengelilingi pinggang Audine, mendekapnya erat seakan memberikan perempuan itu perlindungan penuh dari hujan yang jatuh.

“Sebelahnya lagi buat megangin lo, lo mau kebasahan? Ini payungnya kecil.” Ocean menjawab dengan suara yang rendah, tepat di depan telinganya.

Seluruh tubuh Audine seakan membeku, jantungnya kembali berdetak tidak karuan di dalam sana. Mati-matian ia menggigit bibir menahan senyum. Di bawah derasnya hujan yang dingin, mereka berjalan di antara ributnya butiran-butiran air yang jatuh menghantam bumi. Saling memberi perlindungan di bawah payung yang sama.

Begitu sampai di depan pintu, alunan lagu yang sama masih terputar, menyambut hangat dua orang itu tepat setelah lirik “your love is my turning page, where only the sweetest words remain, every kiss is a cursive line, every touch is a redefining phrase”.

“Mau sampe kapan repeat lagu ini terus? Udah empat jam.” sindir Ocean setelah sama-sama melepas rangkulan, memberi jarak.

Audine memutar bola matanya, lalu membuang napas pasrah. “Dasar, spotify stalker!”

“Jadi, gimana? masih mau menikmati momen sebagai temen?” tanya Ocean tiba-tiba, “Atau mau ganti sekarang?”

Tanpa menyuarakan sepatah kata, Audine mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaketnya, lalu mengarahkan layar ponsel ke depan Ocean, memperlihatkan lockscreen yang sama dari pertama kali lelaki itu tidak sengaja menemui potret dirinya di sana. Ocean menatapnya bingung, namun ada senyum tertahan yang bahkan sama sekali tidak bisa ia sembunyikan.

“Lockscreennya masih sama, masih foto lo, engga gue ganti.” ujar Audine, kini ia menurunkan ponselnya, ibu jarinya berselancar di atas layar menuju galeri foto, lalu kembali menunjukkan satu album yang hanya dipenuhi oleh potret milik Ocean. “Gue juga punya satu album, isinya foto-foto lo doang. Do i look obvious now?”

Ocean hanya merespon dengan sorot matanya, terlihat jelas ada pertanyaan yang terjebak di dalam binarnya. Lidahnya seakan kelu.

“Gue ngga mungkin sampe koleksi foto lo segini banyak kalo, i don’t have a crush on you,” sambung Audine, “Sekarang lo masih mau mikir gue nemu foto lo ngga sengaja dari pinterest? I’m not that ridiculous, Ocean Abelvan.” Lalu perempuan itu tertawa. “Jadi kalo lo nanya jawaban, kayaknya ini udah cukup menjawab. This is my answer.”

Kini, gantian Ocean yang merasakan wajahnya memanas. Ada smirk tipis dan lidah yang ia tonjolkan jahil dari dalam pipinya, he looks attractive every time he does that tongue thing, dan terakhir mengusap wajahnya yang mulai merah. Menahan salah tingkah dan puluhan kupu-kupu yang sekarang ikut terjebak di dalam dadanya agar tidak berterbangan.

Lelaki itu mengeluarkan sesuatu yang ia selipkan di dalam hoodienya. Terlihat seperti sebuah buku tipis dengan sampul berwarna biru.

“Kalo gitu, ayo sekarang nilai dulu.”

Ocean menyodorkan lembaran-lembaran descriptive text yang telah ia print dan dijilid menyerupai makalah tugas, lengkap dengan kolom nilai di akhir halaman.

“OCEAN? SERIOUSLY?” Audine tertawa geli, seraya menggeleng tidak percaya pada cara yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Ocean terlalu unik, setiap hal yang ia lakukan selalu berhasil memberi Audine kejutan-kejutan baru yang tak terduga.

“Kan udah dijawab, ngapain lagi?”

“Ih ayo dong Au! Biar lembur begadang gue ngga sia-sia!”

Audine tertawa tanpa henti. Bukan sepenuhnya tertawa karena lucu, tapi tertawa demi menutupi rasa salah tingkah.

Perempuan itu meraih makalah dan pulpen dari atas meja. Memberinya nilai A dengan lima tanda plus yang ia penuhi hingga menyebrangi kolom.

“Oke, sudah saya acc ya tugasnya. No revisi, no ngulang!” ujar Audine seraya menyodorkan kembali makalah pada Ocean.

Ocean ikut tertawa, “Udah buat ibu aja, makalah saya banyak, numpuk bekas revisian skripsi, saya enek.”

Di tahun 2021, turning page kembali mengisi soundtrack pada kisah kecil dengan halaman-halaman kosong yang siap ditulis dengan cerita-cerita sederhana milik Ocean dan Audine. Di antara lagu yang masih mengalun, keduanya saling melempar tatap, saling berbagi tawa, dengan degup jantung yang berdetak kencang saling bersahutan. Menyambut perasaan baru yang terlukis mulai hari ini.

“Thanks a lot, Au. Maaf kalo emang caranya konyol. Tapi, apa yang gue tulis di sini, gue ngga boong, i really mean it for staying by your side until you bloom your own flowers with your own colors. So, let me protect you as your boyfriend now.”

“Promise?”

Ocean berjalan mendekat menghampiri Audine, sorot matanya teduh. Senyum itu, senyum yang akan selalu terlempar hanya kepadanya. Lelaki itu mengacungkan satu jari kelingkingnya, lalu menautkannya pada kelingking mungil Audine yang jauh lebih kecil dari jarinya.

“Gue ngga mau janji. I’ll show it.”

Audine kembali terkekeh seraya melepaskan tautan kelingkingnya dari kelingking Ocean. “Apa sih, kayak anak SD abis berantem!”

“Ya kan katanya step by step,” jawab Ocean, “Sekarang kelingking dulu, terus baru nanti satu telapak tangan.”

“Aneh, kan lo udah pernah megang tangan gue juga pas di JAC.”

“Beda, Au! Yang kemarin itu judulnya bukan bener-bener pegangan tangan.”

“Ya, tetep aneh, ada-ada aja.”

“Aneh apanya?”

“Baru tau kalo skinship bisa step by step.”

“Ya boleh kalo mau langsung,” balas Ocean dengan ekspresi datar, sangat polos. “Mau langsung ciuman?”

“SINTING! PULANG LO SEKARANG!”


Mereka berdua tiba di akuarium raksasa yang letaknya berada di dalam mall. Pemandangan ramai pasar swalayan dengan berbagai macam brand yang terpampang di tiap sudutnya, seketika terganti oleh cahaya biru redup yang cenderung gelap bagaikan sinyal menuju rute bawah laut, tak lupa miniatur-miniatur terumbu karang dan ikan hiu yang tergantung di atas langit-langit, seakan membawa suasana bawah laut ke atas daratan. Dingin dan sejuk.

Ocean terus melangkah menuju pintu masuk sambil menggenggam dua tiket di tangannya, berjalan terburu-buru meninggalkan Audine dengan jarak yang cukup jauh di belakang, sehingga membuat perempuan itu harus berlari kecil untuk menyamai langkahnya.

“Ocean tungguinnn! kenapa sih buru-buru banget?”

Bukannya memperlambat langkahnya, Ocean malah menarik lengan Audine, menyuruhnya untuk ikut bergerak cepat. “Ayo kita harus buru-buru Au, sebelum si larva merah sama kuning dateng!”

Audine tertawa, lalu balik menahan tangan Ocean untuk berhenti. “Larva merah larva kuning siapa?” “Keenan sama Edwin.” “Kenapa kok larva? HAHAHA.” “Lo suka nonton larva ngga sih? yang di RCTI.” “Suka, lucu tau tapi mereka kayak orang bloon, kerjaannya berantem doang rebutan roti.” “Emang.” Audine menaikkan alis tanda bertanya. “Keenan sama Edwin kalo digabung kayak larva, bloon.”

Perempuan itu menggeleng dengan sisa tawanya yang masih bersuara, “Ya udah, tapi ngga boleh gitu seengganya kita temuin dulu, ayo kita tungguin mereka, kan kita udah janjian.” Ocean memajukan bibir bawahnya tidak sadar, lalu mengangguk pasrah. Audine kembali tertawa.

Selang dua belas menit kemudian, dua lelaki dengan tinggi yang nyaris sepantar melambaikan tangan ke arah mereka sambil cengengesan entah karena apa. Audine langsung mengenalinya, tidak sulit menangkap dua sosok familiar yang salah satunya bahkan cukup sering ia lihat di televisi. “Kayaknya lebih cocok lo manggil mereka Upin Ipin deh.” Celetuk Audine tiba-tiba.

“Hai apa kabar es?” Keenan melemparkan high-five begitu sampai. “Es?” tanya Ocean dengan dahi mengernyit. “Cees! lu ngga tau gue sama Audine udah cees? ya ngga Din?” jawab Keenan seraya menaruh tangannya di atas bahu Audine, merangkul.

Audine yang bisa dibilang satu server dengan manusia seperti Keenanpun hanya bisa geleng-geleng melihat tingkahnya, energinya seolah langsung diserap habis, ia hanya tertawa bingung sambil menggaruk-garuk pucuk kepalanya yang tidak gatal.

Ocean yang tidak terima langsung menepis tangan Keenan dan melemparnya cukup kasar dari atas bahu Audine, lalu menarik perempuan itu mendekat hingga tidak ada jarak di antara keduanya.

“Jangan sok asik, udah ya, awas lo berdua ngikut-ngikut.”

“Dih terus apa gunanya kita janjian?” ucap Edwin.

“Gue janji sama Audine doang bukan sama lo berdua.”

Edwin menahan tangan Ocean, “Gue ikut lo berdua aja deh, please, janji gue ngga ganggu!”

“Terus gue sendiri gitu? ngga ada ngga ada enak aja lu! orang mau berduaan lu ganggu aja si.” respon Keenan tidak terima, sambil menarik kembali Edwin ke arahnya, “Ayo Edwin sayang katanya kamu mau jadi kura-kura ninja bareng aku.” “NGGA MAU LO FREAK BANGET ANJING!“

Ocean dan Audine berjalan meninggalkan dua orang aneh di belakangnya, sambil melambaikan tangan meledek seraya tertawa geli.

“Dadah, ntar ketemu lagi di dalem aja ya selamat menjadi kura kura ninja bersama burok.”


“Au sini lo mau ngasih makan siapa ngumpet dipojokkan gitu?”

Audine dari tadi rusuh menjauhi dua otter yang ukurannya bahkan masih kecil-kecil, sangat menggemaskan, ia berlari hingga ke sudut kaca kandang membiarkan Ocean memberi makan hewan itu sendiri.

“Ngga mau! dia rusuh banget dari tadi naik-naik, gue takut digigit.”

“Ngga apa-apa kak, mereka ngga akan mungkin nyerang selama ngga dalam keadaan terancam.” ujar salah satu petugas safari.

“Tuh, sini Au, ngga apa-apa ada gue.”

Ocean mengulurkan tangannya dari kejauhan, sebelah tangannya lagi sibuk menyuapi ikan-ikan kecil pada tiga otter yang menghampirinya. Audine berjalan mendekat, sambil menarik ujung bajunya hingga menutupi seluruh punggung tangannya.

“Nih suapin, yang ini dari tadi rakus banget.” ucap Ocean seraya menyodorkan sekaleng ikan kecil, dan melepas sebelah sarung tangannya, memakaikannya pada tangan Audine.

Audine menyodorkan ikan kecil itu dengan posisi tubuh bersembunyi di belakang Ocean, hanya mengulurkan tangan memanjang antara takut dan tidak ikhlas, membuat hewan itu justru kesulitan menerima suapan. Satu otter bergerak agresif mengambil ikan dari tangan Audine, hingga satu jarinya terkait pada kardigan rajut miliknya. Perempuan itu reflek berteriak dan memeluk tubuh Ocean dari belakang.

“OCEAN OCEAN TUH KAN DIA NAIK! OCEAN!”

Lelaki itu tertawa, membiarkan Audine memukuli punggungnya dengan kepala yang ia tenggelamkan di antara bahu bidangnya.

“Ocean please gue takut digigit!” “No no it’s okay Au,” katanya sambil mengambil satu otter yang tersangkut di kardigan milik Audine, “Lo kalo kayak gitu malah bikin mereka ngga nyaman, nanti digigit beneran. Nih, liat ngga apa-apa kan dia anteng?” “Coba pegang.” “Ngga mau!” “Elus doang Au,” Ocean meraih tangan Audine lalu meletakkannya di atas bulu halus hewan mungil itu, “Bener kan? it’s okay, mereka baik.” “Iya iya, udah iya baik, ayo kita liat ikan sekarang.” “Kenapa sih kok lo takut banget kayaknya?” “Pas kecil, pelipis gue pernah dicakar kucing itu nyaris kena mata, lukanya dalem banget, jadi sampe sekarang gue ngga berani megang-megang binatang.”

Mereka meninggalkan area otter, menuju berbagai akuarium dengan berbagai jenis ikan kecil berwarna-warni berenang di dalamnya. Berbeda dari otter tadi, Audine kali ini berubah menjadi anak kecil yang kegirangan, berlari kesana kemari menghampiri tiap akuarium, mengetuk-ngetuk pelan kacanya demi mencari perhatian pada ikan nemo lalu mengajaknya berbicara.

“Hai nemo! tadi aku ketemu penyu di sana, tapi aku lupa ngga nanya umurnya, coba kita tanya Ocean.”

Perempuan itu menoleh pada Ocean yang berdiri di belakangnya, “Ocean tau ngga penyu yang tadi kira-kira umurnya berapa?” Ocean terkekeh, sambil menaruh satu telunjuknya di kepala seolah berpikir, “Hmm, 45 tahun?” Audine mengangguk, lalu kembali berbicara pada nemo di dalam akuarium, “Yah payah nemo, ternyata umurnya ngga lebih tua dari penyu yang pernah ketemu sama ayah kamu!”

Ocean semakin tidak bisa menahan tawanya, antara heran dan gemas, dia tidak tahu kalau nyatanya Audine can easily getting excited with a little thing. Padahal lelaki itu sempat takut Audine akan bosan diajak ke tempat seperti ini. Ternyata responnya sangat di luar ekspektasi, dan Ocean menyukai itu. Diam-diam ia mengeluarkan ponselnya, merekam dan memotret segala tingkah Audine tanpa perempuan itu sadari.

“Au, now you look like Anne from green gables.”

Kini mereka berjalan di bawah terowongan dengan ikan-ikan besar yang berenang di atasnya, pantulan cahaya biru dari dalam akuarium memberikan suasana bawah laut yang menenangkan, tapi tidak jika sambil membayangkan bagaimana jadinya jika kaca terowongan itu pecah, lalu ikan-ikan besar itu menggila di antara manusia di bawah.

“Ocean, bayangin deh kalo akuariumnya pecah, terus kita ketiban ikan pari,” ujar Audine random, “Terus pas kita mau lari, tiba-tiba kita dihadang ikan hiu. Panik, kita muter arah, eh di belakang ternyata ada buaya ter-“

“Di sini ngga ada buaya Au.” jawab Ocean, memotong imajinasi Audine sambil terkekeh.

“Ih ya namanya juga imajinasi, udah gue jabarin tuh kerangka ceritanya, lo tinggal bayangin doang ngga usah protes.”

Tanpa sadar, Audine berjalan sendiri meninggalkan Ocean beberapa langkah di belakangnya, terlalu asik menikmati pemandangan dalam air di sekelilingnya. Matanya berbinar. Ada sorot keantusiasan di dalam sana, suasana hari ini seakan meluluhkan seluruh rasa lelah pada hari-hari Audine yang terasa berat.

Ocean menahan langkah perempuan itu saat tidak terasa mereka telah sampai di ujung terowongan.

“Mau kemana? jawab pertanyaannya aja belum.” “Oh iya, Shark!” “Ayo kita ke tengah lagi, samperin hiunya.”

Mereka kembali berjalan ke tengah-tengah terowongan, berdiri di depan kaca akuarium menyambut belasan ikan hiu yang berlalu-lalang dengan tenang, mereka semua terlihat jinak tanpa menampakkan barisan giginya yang tajam.

“So, shark vs human, who would win?” “Shark.” jawab Audine percaya diri. “Kenapa? kok yakin banget?”

Audine menengadahkan kepalanya, menyaksikan ikan hiu yang berenang bebas sambil mengatur jawabannya di dalam kepala.

“Realistis sih, kalo lo lagi berenang, atau diving di laut, terus ngga sengaja ketemu hiu dan lo diserang. Dari tenaga aja manusia udah pasti kalah. Gigitan hiu itu besarnya sampe 330 pon, ngalahin manusia yang bahkan cuma nyampe setengahnya. Belom lagi kalo ternyata lo ketemunya sama megalodon yang bisa sampe 40000 psi, hiii takut!” “Megalodon udah punah.” balas Ocean cepat. “Ya udah intinya tetep hiu yang menang!”

Ocean terkekeh, lelaki itu reflek menyelipkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah Audine ke belakang telinganya.

“Tapi faktanya, jumlah hiu yang mati di tangan manusia itu jauh lebih banyak dibanding jumlah manusia yang mati oleh hiu,” Ocean menjeda kalimatnya, “Lo tau ngga Au, perkiraan jumlah manusia yang mati oleh hiu itu pertahun hanya 6-8 orang. Sedangkan hiu yang mati di tangan manusia bisa mencapai 100 juta ekor pertahun. Gila kan?”

Audine sedikit tersontak, cukup kaget akan fakta yang baru Ocean sampaikan.

“Wow.. gue baru tau, itu, mereka emang sengaja dibunuh?” “Iya, mereka sengaja diburu untung kepentingan pribadi manusia. Diambil siripnya, livernya, egois ya? padahal mereka cuma mau berenang dengan bebas.”

Ocean, seakan bukan tanpa alasan nama tersebut diberikan padanya. Kepekaannya terhadap alam dan laut, berhasil merepresentasikan arti samudra yang sesungguhnya, mengalir di dalam jiwanya.

“Jadi, siapa yang lebih jahat?” tanya Ocean sekali lagi. “Us,” Audine membuang napasnya kasar, lalu kembali menengadah ke arah ikan-ikan hiu di atas sana, “We’re sorry shark, swim as far as you want, you deserve to be free.”

Suhu udara semakin terasa dingin di dalam sana, beberapa orang mulai bergerak pergi menuju sudut lain yang belum dijelajahi. Hanya tersisa mereka berdua di lorong terowongan.

“Tapi, apa yang lo jawab pertama juga ngga salah.” ucap Ocean, “Lo bener Au, kalo perbandingannya satu banding satu, hiu pasti menang. Jangankan yang segede gini, anak hiu yang ukurannya ngga nyampe 100cm aja bisa bikin gue koma sampe empat hari.”

Audine sontak menoleh ke arah Ocean, ada sorot mata yang meminta penjelasan apa maksud dari ucapannya. Koma? Siapa?

“Maksudnya?”

Ocean tersenyum, lalu menarik ujung kaos yang dikenakannya, hingga berhasil menampakkan bekas luka jaitan memanjang yang terlukis di atas perutnya. Audine meringis, tangannya spontan langsung menyentuh bekas lukanya sendiri di atas punggung tangannya, kembali menutupinya dengan kardigan.

“Gue suka banget sama pantai, sampe orang tua gue sering panik sendiri takut gue kebawa ombak, saking berenang kejauhan.” Lelaki itu terkekeh disela-sela ucapannya. “Waktu itu umur gue masih sebelas tahun, dan pertama kalinya gue snorkeling di tengah-tengah laut. Gue seneng banget, gue bisa ngeliat terumbu karang warna-warni, dan ikan-ikan di sana banyak banget Au! terus kita berenang bareng!”

Audine mendengarkan Ocean bercerita tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sorot matanya mengikuti nada bicara Ocean, semakin antusias lelaki itu berbicara, semakin bersinar binaran pada mata Audine. Caranya bercerita, benar-benar seperti anak kecil.

“Hari itu, bikin gue makin cinta sama laut, sama isinya, aromanya, ikan dan binatang lain yang berenang bebas di dalem sana, i’ve falling in love with the sea. Sebelum gue ngerasa ada sesuatu yang nabrakin badannya ke atas perut gue, dan hari itu juga jadi hari yang bikin gue takut sama laut. It’s shark.”

Perempuan itu kembali terkejut seraya membuka mulutnya, lalu menunjuk satu ekor hiu yang berenang dengan sorot matanya, Ocean menggeleng dengan cepat.

“Engga segede itu Au, kalo gitu sih gue udah masuk record 6-8 orang yang dibunuh oleh hiu.”

“It’s baby shark. Kalo lo mengira bayi hiu itu lucu, terus warnanya pink sama biru kayak di lagu, itu boong! koyakannya kuat banget, hampir lima belas menit dia ngga mau lepas dari perut gue, dia nakal banget Au.” sambung Ocean, “He make me lose a lot of blood, dan sekarang malah ninggalin bekas abadi di sini, biar gue inget terus katanya, dia ngga mau dilupain.”

Audine hanya bisa meresponnya dengan senyum, seakan lidahnya kelu, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ocean yang menurutnya sempurna, lelaki yang selalu berhasil membuat perempuan itu kagum akan visualnya. Ternyata memiliki lukisan abadi yang sama, terukir di atas kulitnya.

“It was a scary memories for me, but there’s miracle too.” “Miracle?” tanya Audine tidak mengerti. “Karena kejadian itu, gue jadi tau, ternyata gue masih dibutuhin di dunia ini, makanya Tuhan ngasih kesempatan hidup satu kali lagi buat gue, dan buat lo.”

Ocean meraih pergelangan tangan Audine, lalu menyingkap ujung kardigannya, membuat deretan luka dan bekas luka menonjol di atas punggung tangan Audine terlihat.

“Gue ngga tau apa yang lo alamin waktu itu, tapi yang gue tau, kita sama-sama dapet keajaiban yang sama.”

Ocean mengelus halus bekas luka itu dengan ibu jarinya, “You are perfect in the right eyes, Au. Kalo lo merasa ngga sempurna, seengganya jangan merasa di depan gue. Your hand are pretty in my eyes, ngga perlu ditutupin lagi ya?”


Beberapa hari terakhir ini, hari-hari Audine terasa cukup berat untuk dilewati tiap detiknya. Apalagi untuk kembali menghadapi tanggal 18 pada bulan-bulan selanjutnya. Utang keluarga yang nominalnya cukup besar. Tanggal 18 menjadi tanggal jatuh tempo untuk Audine membayar seluruh tagihan yang ada.

Tiga tahun yang lalu, Ayah memutuskan untuk pensiun dini dari pekerjaannya. Dan membuka usaha toko alat listrik di rumah menggunakan uang pesangon. Ayah juga bisa dibilang seorang freelancer, kadang, Ayah beberapa kali dimintai tolong oleh adiknya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan di perusahaan kecilnya. Atau, Ayah juga seringkali membuka orderan jasa service alat-alat elektronik yang rusak. Skill Ayah tidak main-main, hampir seluruh pekerjaan bisa ia lakukan.

Karena penghasilan tiap bulannya yang tidak pasti, dan nominal cicilan yang cukup besar untuk seseorang yang tidak mempunyai penghasilan tetap, Audine dengan senang hati menjadi tulang punggung. Tapi, tidak semua usaha akan selalu mulus dan berjalan lancar. Hari-hari melelahkan dengan segala ujian yang ada, akan selalu hadir di dalam kehidupan. Memaksa Audine untuk berusaha lebih dua kali lipat dari biasanya.

Perempuan itu sangat pandai menutupi perasaan dan semua rasa sakit yang ada, Audine selalu merasa, semua hal yang terjadi di hidupnya adalah urusannya, ia tidak seharusnya ikut menaruh beban pribadi pada orang lain. Audine akan selalu takut untuk minta tolong, walau langkahnya telah sampai di ujung jurang.

Audine menenteng satu kotak martabak keju pemberian Aidan, melangkahkan kaki memasuki rumah dengan perasaan lega dan senyum yang merekah. Tidak sabar untuk menemui dua orang favoritnya, mengajak mama dan ayah menyantap martabak bersama sambil menonton televisi. Keadaan rumah yang selalu hangat. Seakan ribuan masalah yang ada tidak sedikitpun mengurangi kenyamanan yang tercipta dari dalam rumah.

Wajahnya sumringah sampai ia mendengar suara-suara meninggi dari balik pintu. Itu Nala.

“Halo. Mama, ayah?”

Salamnya disambut oleh debatan-debatan tiga orang di dalam sana yang entah karena apa, semuanya tampak serius, sampai tidak sadar kalau Audine ada di sana.

“Tapi kali ini aku emang perlu untuk kebutuhan, aku perlu motor buat kerja, aku tekor kalo setiap hari disuruh pulang-pergi naik ojek, emang ayah mau nganterin? kan engga.” ucap Nala dengan emosi yang cukup menggebu.

“Kak, cicilan ayah udah gede tiap bulannya, kalo ayah tambah lagi buat ambil cicilan motor kamu, siapa yang mau bayar?” balas mama, dengan nada sehalus mungkin, menghindari ucapan-ucapan Nala yang khawatir akan semakin meninggi, “Kamu belum ada sebulan kerja, progresnya juga belum keliatan.”

“Ma, kan aku udah bilang, aku bayar! aku sekarang udah kerja, aku nanti juga punya gaji, motornya aku yang bayar, aku ga minta kalian beliin! aku cuma minjem kartu kredit ayah buat ambil motor.”

“Nala, tapi gaji kamu belum pasti, kamu belum dikontrak jelas, nanti siapa yang mau bayar kalo ternyata gaji kamu ngga keluar?” tanya ayah, napasnya terdengar memberat, “Terakhir kamu minta beliin hp, janji mau bayar sendiri tiap dapet kiriman uang, tapi ternyata mantan suami kamu ga ngirim-ngirim uang, kamu ngga bisa bayar, akhirnya jadi a-“

“Oh waktu itu ayah ngga ikhlas beliin aku hp?!” sambar Nala memotong ucapan ayah dengan nada yang semakin meninggi.

“Kak lo jangan kurang ajar ya.”

Audine yang dari tadi menyaksikan teriakan-teriakan itu dari lorong pintu, tidak tahan lagi melihat kelakuan Nala yang semakin kurang ajar.

“Lo mikir, kapan ayah pernah pelit sama keluarga kalo ayah punya uang? kondisi financial kita lagi kritis, terus lo mau protes apa? mau marah sama siapa?“ sambung Audine yang kini telah bergabung ke dalam perdebatan itu, “Yang ayah bilang bener kak, Ayah cuma ngambil contoh dari pengalaman sebelumnya. Nominal kecil aja lo ngga bisa bayar, gimana lo nuntut nominal yang lebih gede? siapa yang mau bayar kalo ternyata lo ngga bisa nepatin janji? cicilan sekarang aja udah bikin kepala ayah mau meledak.”

Nala tertawa sarkas sebagai respon ucapan Audine, “Kapan ayah pernah pelit? oh jelas, ayah emang ngga pernah pelit, apalagi sama lo,” Nala menjeda ucapannya, lalu berjalan mendekat, berbicara tepat di depan wajah Audine, “Si anak kesayangan.”

Ada air mata yang menggunduk di dalam mata coklat milik Audine. Emosinya telah berada di ujung tanduk, napasnya naik turun dengan tangan yang mengepal di bawah sana. Reflek, perempuan itu menampar Nala di depan kedua orang tuanya.

“NALA, AUDINE, UDAH CUKUP!” teriak ayah seraya bangun dari duduknya, melerai percekcokan di antara kedua putrinya.

“Nala udah, mau sampe kapan kamu kayak gini?” sambung mama, ada air mata yang ikut menetes bersamaan dengan ucapannya.

Nala kembali tertawa sarkas, lalu bertepuk tangan sekilas, “Keren, aku yang ditampar, tapi Audine yang dibela. See? aku ngga salah kan bilang dia anak kesayangan?”

“Nala.. udah ya.” pinta mama lagi, dengan suara yang bergetar

“Lucu, gimana mama sama ayah bela-belain minjem uang ke bank buat buka florist Audine, sedangkan aku yang cuma minta nominal yang bahkan ngga sampe setengahnya nominal Audine? lucu.”

“Lo jangan mendramatisir keadaan, Ayah sama mama minjem uang untuk ngasih kita modal yang sama, lo lupa pernah buka usaha baju?” balas Audine, “Jangan karena usaha lo gagal, lo bisa seenaknya nyalahin semua orang baik yang ada disekeliling lo.”

“Lo ngga usah nasehatin gue.” jawab Nala seraya meraih tas, melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Langkahnya terhenti saat tangannya meraih gagang pintu, ia memutar badan, kembali mengucap satu kalimat terakhir sebelum ia benar-benar pergi.

“Keputusan aku untuk pergi dari rumah adalah keputusan yang ngga pernah aku sesali.”

Lalu perempuan itu menghilang, beriringan dengan suara pintu yang dibanting cukup keras.

“Nala...” Ayah terduduk lemas pada sofa sambil mengusap-usap dadanya, pas setelah suara pintu terbanting, “Lusa kita ke sorum ya dek, cariin motor buat kakak kamu. Kasian Nala.”

“Engga ayah!” jawab Audine cepat, “Dengerin aku, stop ngasih makan ego buat Kak Nala, sekali ini aja, biarin Kak Nala mikir, biarin Kak Nala berusaha, biarin Kak Nala sadar.”

“Ayah ngerasa bersalah, kenapa Nala bisa sampe mikir ayah ngga sayang sama dia, apa ayah gagal dalam memberi kasih sayang?”

Audine menggeleng, ia tersenyum lalu menaruh tangannya di atas tangan sang Ayah, “Ayah ngga pernah gagal jadi seorang ayah, jadi seorang suami, dan ayah adalah kepala keluarga yang hebat. Ayah selalu hebat buat aku, buat mama, bahkan untuk Kak Nala. Kak Nala cuma perlu waktu untuk sadar dengan kasih sayang yang ada di dalam rumah ini.”

Audine memeluk dan mengecup singkat pipi masing-masing kedua orang tuanya sebelum pergi menuju kamar. Senyum itu masih ada di sana, ia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi sedih sedikitpun di depan mama dan ayah.

Sampai perempuan itu tiba di kamar miliknya, sampai ia merasa tidak ada siapa-siapa di sana. Audine menjatuhkan tubuhnya ke lantai, menyandarkan diri pada daun pintu seraya menutup mulutnya kuat-kuat.

Malam itu, ada air mata yang kembali mengalir lebih deras, dan tangis yang dari tadi ia tahan akhirnya pecah di dalam ruangan ternyamannya. Tangis tanpa suara, yang ia redam sekuat mungkin. Tanpa ada sosok lain yang bisa ia peluk selain tubuhnya sendiri.


Audine menutup jendela, membersihkan meja kerja dari potongan-potongan daun, membereskan tiap sudut florist karena jam kerjanya telah usai, atau lebih tepatnya, mengusaikan jam kerjanya sendiri sebelum waktunya. Audine sengaja menutup florist satu jam lebih cepat, karena mengejar ajakan Ocean. Sebenarnya, bukan masalah jika perempuan itu pergi terlalu sore atau bahkan pulang hingga larut, tapi hari ini, Audine membawa Carissa bersamanya untuk ikut menikmati senja ditemani permen gulali manis yang dijanjikan Ocean.

Carissa, anak perempuan berumur dua tahun lebih lima bulan, satu-satunya keponakan Audine. Pipinya chubby seperti buah peach, kulit putih lobak, dan binaran pada mata berwarna hitamnya berkelip seakan ada bintang yang terjebak di dalamnya. Sudah dua minggu Carissa dititipkan di rumahnya, dari pagi sampai sore setiap weekday.

Semenjak Nala datang pada hari itu, setelah hampir tiga bulan pergi dari rumah menjauhkan diri dari keluarga tanpa sebab yang pasti, perempuan itu tiba-tiba pulang untuk menyampaikan kata maaf yang bahkan tidak sepenuhnya datang dari hati. Alur yang selalu sama, Nala akan berubah menjadi sangat manis kapanpun ia membutuhkan orang-orang disekelilingnya, dan kembali pada sifat aslinya setelah egonya terpenuhi.

Nala memutuskan untuk menikah di umurnya yang ke 21 tahun, dan menjadi single mom setelah tujuh tahun menikah. Jarak usia Audine dan Nala cukup jauh, sebelas tahun jarak terpaut di antara keduanya, dan jarak itu seakan terus bergerak semakin jauh, menjauhkan tali persaudaraan yang terikat pada Audine dan Nala. Semenjak perempuan itu bercerai, Nala tidak pernah berhenti marah pada semesta dan orang-orang di dalamnya, ia merasa hidup yang dimilikinya tidak adil, seakan ia adalah satu-satunya orang yang hidupnya paling menyedihkan di muka bumi.

Kemarahannya semakin menjadi saat Audine lulus kuliah, dan berhasil membangun usahanya sendiri. Ia benci melihat orang lain bahagia di saat hidupnya gagal. Ia benci melihat adiknya menjalani alur yang mulus dan mendapatkan banyak cinta dari sekitar, sedangkan satu persatu orang seolah pergi menjauh meninggalkannya. Tanpa pernah berpikir, kalau justru dirinya sendiri yang membuat orang lain pergi. Nala sendiri yang membuat hubungannya dengan Audine merenggang secara perlahan.

Audine menghentikan kegiatan beres-beresnya saat terasa ada tangan mungil yang menarik-narik ujung kardigannya, menyodorkan satu kotak susu coklat yang telah kosong.

“Yeaaay udah abis, pinter!” Audine berjongkok menyamakan diri dengan Carissa yang hanya setinggi pinggangnya, lalu mencium pipi gembulnya, “Carissa mau ikut ante ngga? ada yang mau beliin kita gulaliii!”

Carissa merespon Audine dengan binaran matanya yang cantik, sambil menjilati sekitaran bibirnya, merasakan sisa susu coklat yang masih ada di sana. Anak perempuan itu belum bisa berbicara, hanya akan ada ocehan-ocehan bayi dengan wangi minyak telon yang menyeruak hangat kapanpun Audine bertatap dengannya.

Suara lonceng pintu menyambut kedatangan seorang lelaki dengan dua buah balon berwarna pink di tangannya. Ocean melambaikan tangan seraya berjalan menghampiri dua perempuan di depannya.

“Hai.” Ocean menyapa Audine, sebelum lelaki itu turut berjongkok menyejajarkan diri dengan Carissa, “Halo Carissa cantik, aku punya balon, mau?”

Lelaki itu menyodorkan satu buah balon sambil tersenyum manis. Tone suaranya tiba-tiba berubah menjadi lebih ringan dan sangat halus saat Ocean berbicara pada Carissa, terdengar seperti bukan suara Ocean yang Audine kenal. Tatap matanya terasa tulus menatap anak perempuan dengan dua jepitan manis di rambutnya, yang saat ini tengah bersembunyi dibalik kaki Audine. Tanpa sadar, Audine ikut tersenyum ke arah Ocean.

“Lo ngapain senyum-senyum? mau balon juga?” ledek Ocean.

“Ih kok nada suara lo langsung berubah lagi ngga kaya tadi pas ngomong ke Carissa!”

Ocean terkekeh seraya bangun dari setengah duduknya, kali ini menyejajarkan diri dengan Audine. Audine yang notabennya hanya setinggi dagu Ocean, membuat lelaki itu lebih mudah untuk menaruh tangannya di atas pucuk kepala Audine.

“Kenapa cantik? mau balon juga? ini aku beli dua, satunya emang buat kamu.” ujar Ocean dengan nada suara yang diminta Audine, tangannya mengusap-usap pucuk kepalanya. Sontak Audine mendorong Ocean sambil bergidik ngeri.

“GELI! AKU KAMUNYA NGGA USAH IKUT DIBAWA! TERUS APALAGI INI TANGAN LO MEGANG-MEGANG!” pekik Audine seraya menjatuhkan pukulan kecil pada bahu Ocean.

“Dih sok-sok geli, muka lo tuh, kayak lobster rebus.”

Hampir tangannya kembali mendaratkan pukulannya, suara tangis Carissa memecahkan keributan di antara dua orang dewasa itu. Ocean dengan sigap menghampiri dan langsung mengambil Carissa ke dalam pelukannya, mendekapnya sambil mengusap-usap punggungnya dengan sangat lembut.

Sssst, Carissa kaget ya?” kini tangannya pindah ke belakang kepala mungil Carissa, mengusap rambutnya halus.

“Au.” Ocean melemparkan tatap matanya kepada Audine, suaranya datar namun terasa mengintimidasi, ada ketegangan di dalamnya.

“Apa? kok lo nyalahin gue?!” ujar Audine tidak terima dengan nada bicara yang kembali meninggi. Lagi-lagi Ocean menaruh jari telunjuknya ke depan bibir, memberi sinyal pada Audine untuk memelankan nada bicaranya.

“Pelan-pelan ngomongnya Au,” balas Ocean dengan nada bicaranya yang sangat gentle, tapi justru Audine bisa merasakan suara itu seakan memarahinya secara tersirat, “Kalo di depan anak kecil ngga boleh teriak-teriak, dia kaget, kasian nanti otaknya bisa ngerekam memori yang bikin dia takut kalo keinget.”

Tangan mungil milik Carissa melingkari leher Ocean, jarinya meremas ujung kerah pada jaket yang dikenakan lelaki itu, “Maaf yaa Carissa, tadi aku sama Ante Dine bikin Carissa takut ya?” perlahan tangisnya mulai mengecil, kini Carissa mulai berani menatap Ocean dengan sisa-sisa air mata yang masih di ada di matanya.

“Halo Carissa, i’m Ocean.” katanya sambil mengulurkan tangan pada Carissa. Anak perempuan itu meraih jari telunjuk Ocean yang ukurannya berkali lipat lebih besar dari tangannya yang mungil, “Ayo ikut aku, let’s buy cotton candy!”


The wheels on the bus go round and round, round and round, round and round. The wheels on the bus go round and round, all through the town.”

Wheels on the bus from Cocomelon yang entah berapa kali telah terulang sepanjang ketiganya menaiki mobil. Begitu tangis Carissa berhenti, Ocean langsung menggendongnya, dan mereka berangkat membeli permen gulali yang menjadi tujuan utama mereka sore ini. Carissa duduk di atas pangkuan Ocean sembari lelaki itu menyetir. Semenjak momen perkenalan keduanya tadi, Carissa tidak mau lepas dari Ocean, seolah ia dapat merasakan kehangatan dari dalam diri lelaki itu.

The doors on the bus go open and shut, open and shut, open and shut. The doors on the bus go open and shut, all through the town.”

Keduanya terus bernyanyi mengikuti lagu, dengan senang hati menjaga mood Carissa agar tetap bagus. Suara anak itu terdengar gemas, seolah ikut bernyanyi bersama mengikuti alunan lagu.

Carissa mulai aktif, berkali-kali ia duduk dan berdiri dengan antusias di atas paha Ocean, membuat pandangannya terhalang.

“Carissa duduk yuk, aku ngga keliatan, nanti kita nabraaak.” ujar Ocean sambil menahan tubuh Carissa dengan sebelah tangannya agar tidak terjatuh.

Audine yang sadar akan tingkah keponakannya, langsung sigap mengambil Carissa dari pangkuan Ocean seraya tertawa melihat pemandangan di sampingnya.

“Gantian sama aku dulu ya, Osen lagi nyetir kita ngga boleh ganggu.” ucap Audine pada Carissa yang dari tadi tidak berhenti mengoceh, kata-katanya belum terdengar jelas.

“Osen?” tanya Ocean sambil mengernyit.

“Om Ocean hahaha, nama lo susah, biar Carissa kenal dulu kita panggil lo Osen mulai hari ini,” Audine menjeda kalimatnya, “Dalam kurung, gue manggil lo Osen kalo ada Carissa doang.”

Ocean terkekeh seraya tangannya mengelus rambut Carissa di atas pangkuan Audine. Ocean sangat suka dengan anak kecil.

“Gue ngga tau kalo lo punya kakak.” ucap Ocean, “Kakak lo sama suaminya tinggal di mana? deket dari rumah?”

“My sister are single mom.”

Ocean menoleh ke arah Audine dengan ekspresi kaget dan perasaan bersalah, “Eh, Au i’m sorry, gue ngga tau.”

Perempuan itu tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, “No, it’s okay. They both got divorced about a year ago, sekarang Kak Nala tinggal sendiri, cuma berdua sama Carissa. Ngga jauh dari rumah.”

“Au i’m sorry if my question seems rude, tapi, kenapa Kak Nala ngga pulang ke rumah aja? bukannya malah lebih nyaman buat Kak Nala sama Carissa supaya ngga ngerasa sendiri?” tanya Ocean lagi, dengan sangat hati-hati.

Audine membuang napasnya kasar, memaksakan senyumnya yang ia lemparkan pada Carissa. Ia menyisiri rambut Carissa lembut dengan jari-jarinya. Anak perempuan itu asik bermain sendiri dengan balon pemberian Ocean.

Ocean yang sadar akan kecanggungan di antara keduanya, kembali menatap Audine dengan sorot mata khawatir.

“Ngga usah di jawab ya, maaf Au, harusnya gue ngga nanya aneh-aneh.”

Audine kembali menggeleng, “Engga Ocean, maaf kalo bikin lo merasa bersalah, it’s totally fine. Tapi bukannya gue ngga mau cerita dan ngga percaya sama lo. It’s just feels, so complicated sampe gue ngga tau harus mulai dari mana.” jawabnya seraya menaikkan kedua bahunya.

Sepanjang Audine berbicara, ia terus menarik-narik ujung lengan kardigannya, berusaha menutupi bekas luka pada punggung tangannya. Ocean sadar akan hal itu, bahkan, dari pertama kali lelaki itu tidak sengaja mengenggam tangannya. Ia tahu kalau mereka mempunyai ketidaksempurnaan yang sama.

“Au, gue dari dulu ngga pernah bisa nyusun kata-kata supaya bikin orang merasa dipeluk dari kalimat yang gue utarain. Gue ngga jago nge-comfort orang pake kata-kata,” ujar Ocean, “But i can comfort you with my ownself.”

Ocean memarkirkan mobil di pinggir jalan, tepat di depan kedai aneka jajanan manis. Lalu, meraih satu lagi balon berwarna pink yang dari tadi tersimpan di kursi belakang.

“Ini, buat lo,” katanya seraya memberikan satu buah balon pada Audine, “I’m not lying, pas tadi gue bilang satu lagi balonnya buat lo.”

“I can’t comfort you with a thousands words, but i can comfort you with a thousands balloons and cotton candy.”

Ocean membuka sabuk pengamannya begitu mobil terparkir dengan sempurna, lalu kembali mengambil Carissa dari pangkuan Audine.

“Ayo sekarang kita turun. Carissa, aunty Au, let’s buy some candies!”


“Kenapa lo senyum-senyum aja, punya cewe lo sekarang?” Dareen menghampiri Ocean, yang tengah senyum-senyum sendiri pada ponselnya. Ia membawa dua botol minuman kaleng dingin di sela-sela break photoshoot keduanya.

“Kepo.” Jawab Ocean, responnya acuh sambil tangannya menerima sodoran soft drink dari Dareen.

Aliran air soda dingin melewati tenggorokannya yang kering, menyelamatkan dahaga setelah berlama-lama menyapa cahaya flash, berpose tanpa jeda.

“Udah liat hasil foto Elle?” tanya Dareen lagi. Ocean mengangguk, tatap matanya terlempar pada layar komputer di depannya, memonitor hasil foto barusan.

“Ganteng nih bang, yang ini,” jarinya menunjuk satu potret dirinya sendiri. “Nanti ambil yang ini aja kalo disuruh milih buat final choose.”

Tidak ada jawaban dari Dareen, Ocean yang merasakan kecanggungan pada kakak sepupu sekaligus managernya itu tiba-tiba tersadar, tidak biasanya Dareen menghampirinya di sela-sela break, biasanya lelaki itu hanya membiarkan ia beristirahat dan meninggalkannya sendiri setelah membelikan beberapa cemilan.

“Kok lo tumben masih disini?” tanya Ocean.

“Ya emang kenapa? Takut lo sepi, gue sebagai manager sekaligus abang yang baik hati mau nemenin lah.”

Ocean menyeringai sambil menonjolkan lidah dari dalam mulutnya, tersenyum sarkas, “Freak banget, lo biasanya tiap nyamperin gue pasti mau ngomel.” Jeda lelaki itu. “Kenapa? gue salah lagi?”

“Lo seneng banget berburuk sangka sama gue Van mentang-mentang gue bawel.”

“Ya udah terus kenapa? Mata lo ngga bisa boong, keliatan kayak mau ngomong sesuatu.”

Dareen menggaruk-garuk tengkuknya seraya tertawa canggung yang terdengar dipaksakan.

“Itu, buat cover majalah.”

“Kenapa?”

“Foto Keenan yang dipake,” ujar Dareen dengan ekspresi bersalah.

Dareen tahu, Ocean adalah orang yang sangat perfeksionis. Ia akan selalu melakukan pekerjaannya sesempurna mungkin, kapanpun ada foto atau hasil video iklannya yang tidak lolos, Ocean akan mulai overthinking menyalahkan dirinya sendiri, memikirkan berbagai kesalahan yang telah ia lakukan pada saat pengambilan gambar. Namun siapa sangka, lelaki itu justru malah tertawa melihat kepanikan pada ekspresi wajah Dareen yang menurutnya ini adalah pemandangan langka.

“Kenapa panik gitu sih bang? Terus kenapa kalo foto Keenan yang diambil?” jawab Ocean di sela tawanya.

“Jangan insecure, hasil foto lo bagus, tapi emang sekarang lagi rezekinya Keenan.”

Ocean tertawa lagi, “Lo serem banget kalo gini, mendingan ngomel-ngomel aja deh sumpah.”

Dareen menjambak pelan ujung poni Ocean. “Malah ketawa bocil, gue serius, lo biasanya kalo udah gini langsung insecure satu minggu, makanya gue ngeri bilangnya.”

“Wow, bisa care juga ternyata scooby doo ini.”

“ELVAN!” kali ini Dareen benar-benar menarik rambut Ocean dengan kencang, membuat lelaki itu masuk ke dalam rangkulannya, menguncinya di atas dadanya. “Iya iya ampun, lepas, gue ngga bisa napas!”

“Engga, beneran gue ngga kenapa-kenapa. Keenan kan temen gue juga, kenapa gue harus insecure sama dia, orang foto cover gue aja masih lebih banyak, berarti kan masih kerenan gue,” sambung Ocean percaya diri.

“Syukur deh, bagus, mindset lo harus gitu terus. Pokoknya, if something doesn't match your expectations, bukan berarti lo yang salah, bukan lo yang gagal. Cuma roda kehidupannya yang lagi berputar, ngga mungkin kan kita hidup mulus dan bahagia-bahagia aja?” sahut Dareen.

Ocean mengangguk, “Bener.”

“Iya lah, bijak kan gue?” ucap Dareen percaya diri.

“Bener-bener kayak seminar bareng Mario Teguh.” Ocean meledek, yang kembali mendapat jitakkan dari Dareen.

Btw, kenapa emang foto gue? Kurang oke ya hasilnya?” tanya Ocean.

“No, keren, lo keren banget disitu, but,” Dareen kembali menahan kalimatnya ragu, “your scar.” Sorot mata Dareen terarah pada perut Ocean, seakan menunjuk.

Ocean tersenyum, tatapannya ikut jatuh ke arah perutnya. “Dari awal waktu gue dikasih outfit itu, gue ragu, is it okay? How about my scar? Emang ngga akan keliatan kamera pake baju nyaris transparan gitu?” ujar lelaki itu seraya tangannya mengusap bekas luka memanjang pada perutnya yang terhalang oleh kain baju. “Ngga apa-apa, gue ngerti, i’m living a world that forces me to always look perfect in public.”

“I’m sorry, Van,” ucap Dareen, sambil menjatuhkan tangannya di atas bahu Ocean. “Lo jangan tersinggung ya, gue yang minta maaf wakilin dunia, emang semua yang ada di dunia ini anjing.”

“Baaang, gue bener ngga kenapa-kenapa, gue ngga kesinggung sama sekali,” lagi-lagi lelaki itu tertawa, “walau bekas luka di perut gue ini abadi, dan bikin orang lain mandang gue ngga sempurna, apalagi untuk hidup di dunia entertaint yang dituntut untuk sempurna di depan layar. Tapi gue tetep selalu merasa bersyukur kapanpun gue ngeliat bekas luka ini.”

“Bersyukur?” tanya Dareen, masih belum menangkap maksud pemikiran Ocean.

“Lo inget ngga, gimana gue hampir mati waktu itu?” Ocean kembali mengeluarkan kekehan kecilnya.

“This scar just reminds me, kalo ternyata, gue masih dikasih kesempatan buat idup,” jawab Ocean, memberi jeda pada kalimatnya. “Scary bad memories, but still, there's miracle in them.”


Jam setengah lima sore, cahaya matahari masih terus menyorot terang menembus bingkai jendela yang terbuka, memantulkan kehangatan sinar jingga pada sebelah wajah Audine yang tengah duduk sambil menggunting-gunting akar bunga. Jam kerjanya telah usai semenjak tiga puluh menit yang lalu, namun Audine selalu senang berlama-lama menghabiskan waktu di dalam toko bunga miliknya, terlebih lagi jika moodnya dirasa sedang tidak baik. Wangi-wangi tanaman yang terhirup, selalu terasa segar menyeruak ke dalam dirinya, aroma yang seolah mampu menyaring segala emosi dan membuatnya tereinkarnasi kembali.

Penampilan perempuan itu terlihat sangat manis hari ini, dengan paduan rok plisket putih panjang bermotif bunga-bunga kecil yang cantik, dan kardigan lilac polos yang lengannya kepanjangan, ia biarkan hingga membuatnya tenggelam sampai menutupi setengah telapak tangannya.

Audine memiliki bekas luka yang cukup jelas di kedua punggung tangannya, bahkan di salah satunya meninggalkan benjolan keloid. Saat usianya masih sepuluh tahun, Audine sempat mengalami kecelakaan motor. Karena tinggi badannya yang masih pendek, perempuan itu duduk di depan kala itu, bersama sang Ayah yang mengendarai motor, menemaninya jalan-jalan sore menikmati senja pada satu hari di bulan Juni.

Suatu keadaan membuat pria itu harus menarik rem motornya kasar secara mendadak, demi menghindari seorang lelaki tua yang hendak menyebrang secara tiba-tiba. Dengan secepat kilat motor yang dikendarai keduanya tergelincir, menyeret dua orang di atasnya ke atas aspal yang terasa panas dan perih menghantam kulit. Syukur, tidak ada korban jiwa dan luka berat yang diakibatkan oleh kecelakaan itu.

Sayangnya, peristiwa itu berhasil meninggalkan jejak abadi di atas kedua tangan mungil Audine hingga sekarang, karena menerima tekanan motor dan hantaman dari aspal yang kasar.

Itulah alasan mengapa Audine tidak pernah lepas dari baju berlengan panjang. Untuk menutupi kekurangan pada tangannya.

Kini perempuan itu beranjak dari kursinya, menuju meja kayu dengan susunan laci-laci kotak yang di dalamnya terdapat ember-ember kaleng berisikan aneka ikat bunga bermacam-macam jenis. Warna warni yang tertangkap oleh mata, seakan menyapa siapapun yang melihatnya bahwa ada kebahagiaan yang ikut mekar di dalam sana. Seolah berteriak “Don’t worry, your days will be better after this, fighting!”

Audine meraih satu laci di susunan paling atas, membuatnya harus berjinjit menarik tangannya ke atas sana, berusaha meraih dua tangkai bunga matahari yang masih segar. Sebelah tangan lainnya bertumpu pada sisi meja, menjaga keseimbangan tubuh karena tumpuan pada kakinya semakin mengambang.

“Ini siapa sih yang naro tinggi-tinggi banget, udah tau yang jaga pendek!”

Bukannya tertarik, ember kaleng itu malah semakin terdorong ke dalam, membuat perempuan itu berdecak sebal sambil terus berusaha meraih tangkai bunga.

“Need help?”

Lagi-lagi, suara itu berhasil mengejutkan jantungnya untuk kedua kali. Ocean, entah dari mana dan sejak kapan ia berdiri di belakangnya, sambil membawa dua kotak pizza di tangannya, lelaki itu memandangi punggung Audine tanpa mengeluarkan sepatah kata dari tadi.

“Ocean! lo bisa ngga sih tiap muncul ga ngagetin?!” Pekik perempuan itu seraya memutar badan dengan bola mata yang hampir keluar.

“Lo kapan datengnya lagi, ngga kedengeran tau-tau udah nangkring disini!”

“Gue udah ketok-ketok pintu, lo ngga denger, ya udah gue masuk aja, orang pintunya kebuka.” jawab Ocean dengan raut wajah yang sangat santai, berbanding 180 derajat dari Audine yang kini warna mukanya berubah menjadi semu merah.

“Nih pegang,” suruh Ocean seraya menyodorkan dua kotak pizza, “Yang ini?” lalu meraih satu tangkai bunga matahari yang dari tadi berusaha diraih Audine, reflek perempuan itu mengangguk.

“Berapa? satu? dua?” tanya Ocean sekali lagi. “Satu ember.” jawab Audine singkat.

Bukan Ocean kalo ngga iya-iya aja, lelaki itu betul-betul menurunkan sekaleng bunga matahari, mengangkatnya dengan kedua tangan yang ia posisikan di depan dada, melingkari diameter ember jadi memeluknya. Hingga tangkai-tangkai bunga matahari yang tinggi menutupi seluruh wajahnya.

“Bawa kemana? berat juga ternyata.” ujarnya polos, wajahnya terhalang berikat-ikat tangkai bunga, hanya terlihat pucuk kepalanya yang menyembul.

Audine sontak diam mematung, menggaruk-garuk dahi, dan mulut yang menganga kecil, sambil menggeleng-geleng heran tidak percaya kalau orang yang punya sorot mata mengintimidasi di setiap foto-foto yang terpampang pada billboard itu ternyata menipu. Tingkahnya benar-benar seperti anak berumur delapan tahun yang terjebak pada tubuh orang dewasa.

“OCEAN BECANDAAA KENAPA BENERAN DIAMBIL SAMA EMBER-EMBERNYA!” tukas Audine seraya menyuarakan gelak tawanya. “Hahaha sini,” lalu mengambil alih ember kaleng dari dekapan Ocean, dan menyimpannya ke lantai.

“Ini, gue cuma butuh dua.” lanjut Audine, yang hanya dibalas oleh anggukan oleh Ocean dan gumaman ‘oh’ tanpa suara sehingga hanya menghasilkan bibirnya yang membentuk huruf O. Sangat menggemaskan.

Audine berjalan kembali menuju meja di samping jendela, diikuti Ocean sambil membawa dua kotak pizza yang siap untuk disantap.

“Eh bentar bentar, gue beresin dulu ini banyak daun.” ucap Audine seraya menahan kotak pizza yang hampir diletakkan Ocean.

“Ngga apa-apalah, kan pizzanya di dalem box, ngga gue geletakkin ke meja.” jawab Ocean sambil tetap menaruh dua kotak pizza di atas meja dengan potongan-potongan kecil daun yang berserakan.

“Ini lo beli pizza banyak banget? buat siapa doang?” tanya Audine. “Emang lo melihat ada orang lagi selain gue sama lo?” “Bukan gitu, tapi ini kebanyakan deh, gue ngga makan banyak,” balas Audine lagi sambil memperhatikan Ocean yang tengah membuka ikatan tali pada box, “Oh, lo banyak ya makannya? satu box sendiri?” “Gila aja!” ujar Ocean dengan nada yang sedikit meninggi, “Gue bisa dibawelin Bang Dareen sampe lebaran haji, bentar-bentar awas berat lo naek” sambungnya lagi sambil memajukan bibir mengikuti nada bicara Dareen. “Bang Dareen?” “Kakak sepupu, sekaligus manager terbawel sejagat bumi.”

Baru mulutnya hampir mengeluarkan pertanyaan lain, fokusnya seketika teralih pada pizza dengan toping keju yang sangat tebal hingga toping-toping lainnya tidak terlihat, bahkan nyaris menenggelamkan seluruh bagian roti, hanya ada lelehan keju yang tertangkap mata seakan lelaki itu betul-betul mengorder berlapis-lapis keju, bukan pizza. Tampilan yang mampu membuat siapapun mual membayangkan rasa creamy berlebihan dari keju yang meledak di dalam mulut.

“Sumpah? lo mesen pizza pake keju apa keju dipakein pizza anjir?!” ucap Audine kaget. Ocean terkekeh, seolah sudah biasa mendapatkan respon heran dari orang lain kapanpun ia memesan menu pizza yang sama.

“Iya gue tau respon lo pasti begitu, jangankan lo, mba-mba pizzanya juga kaget,” jawab Ocean seraya menyodorkan satu box lain ke arah Audine, “Gue kalo pesen pizza selalu gini, extra extra extra cheese, hahaha ini enak tau! itu gue pesenin buat lo menu yang paling general, yang semua orang udah pasti suka. Soalnya gue ngga tau lo sukanya apa, ngga apa-apa kan?”

Perempuan itu tersenyum, lalu mengangguk, “Ngga apa-apa gue suka ini, thanks ya, gue makan.”

Disaat Audine hendak meraih satu potong pizza, tiba-tiba Ocean menarik tangannya, perempuan itu merasakan benjolan kecil di punggung tangannya bertemu oleh telapak halus milik Ocean. Lelaki itu mendiamkan tangannya di atas genggamannya beberapa detik seraya tangan lainnya merogoh tas selempang kecil miliknya, mengambil satu botol kecil hand sanitizer. Audine diam-diam menahan napas.

Hangat, ada kehangatan yang ia rasakan di sana.

“Abis megang bunga, kotor, jangan langsung pegang makanan,” Ocean menuangkan beberapa tetes hand sanitizer ke atas telapak tangan Audine, “Udah, sekarang usap-usap, kenain semua sampe kuku, terus ke sela-sela jari, bisa kan?”

“B-bisalah! emang gue lo, anak bayi!” jawab Audine dengan nada tinggi, sambil menarik tangannya dari genggaman Ocean. Terdengar galak yang sebenarnya ia menahan salah tingkah, degup jantungnya bergerak cepat di dalam dadanya.

Lelaki itu tertawa, “Tau dari mana gue kayak bayi?”

Audine menggigit bibir bawahnya menahan senyum, yang jika diledakkan sekarang ia bisa langsung kembali seperti orang kerasukan.

Perempuan itu beranjak dari kursinya sambil membawa dua tangkai bunga matahari, meninggalkan Ocean yang memandangnya dengan tatapan bingung.

“Eh, bentar, lo makan duluan aja, tiga menit, ngga lama.”

Hampir lima menit berlalu, Audine baru kembali, kali ini dua tangkai bunga matahari yang tadi ia ambil telah terikat dalam satu ikatan di dalam buket kecil yang sederhana. Lalu memberikannya pada Ocean.

“Dalam rangka apa? gue ngga lagi wisuda?” ucap Ocean dengan pipi yang menggembung penuh, sambil mengunyah.

“Ngga ada, mau ngasih aja. Lo tau ngga kalo bunga matahari punya makna semangat, kebahagiaan, dan optimisme? hari ini, ada sesuatu yang bikin mood gue kurang bagus, dan itu ngga enaaak banget rasanya. So i hope, there’s a lot of something good in your days, biar lo ngga sering-sering ngerasain bad day kayak gue. Be happy Ocean, semoga energi dari bunga mataharinya nyampe ke lo. Have a great day for every day!” ujar Audine seraya menyodorkan satu buket bunga pada Ocean.

“Eh, i mean Elvan, have a great day! aduh sorry, gue baru ngeh dari tadi gue manggil lo Ocean Ocean terus, so sorry.”

Ocean terkekeh, “Kenapa? kok minta maaf, kan nama gue emang Ocean.”

Ocean meraih satu buket bunga matahari dari genggaman Audine, lalu memandanginya sambil kembali tertawa kecil, kali ini dengan tambahan smirk tipis yang terlihat manis dari bibirnya.

“Me too, there’s something that ruin my mood today, makanya gue kesini. I’m searching something can heal through the flowers here,” sambung Ocean, lalu menjeda kalimatnya, “And there’s you and this sunflowers, thank you for recharging my mood, Audine.”

“And one more, ngga apa-apa, just call me Ocean.”

“Tapi waktu itu gue ngga sengaja denger dari Ghea, katanya lo ngga suka dipanggil Ocean?” balas Audine, seraya menatap balik kedua mata coklat di depannya.

“Dikit lagi suka.”


Serendipity; keberuntungan yang didapat saat seseorang tidak bermaksud untuk mencari. Atau sederhananya, kebetulan yang menyenangkan. Audine, sudah dua kali ia bolak-balik ke kamar mandi sebelum berangkat tadi, tepat setelah membaca pesan terakhir dari Ghea. Entah momen saat ini bisa disebut sebagai serendipity atau malah apes, Audine harus menemui Ocean dengan penampilan yang menurutnya tidak layak dilihat sebagai first impression.

Balutan jeans high waist, dan long sleeve oversized berwarna putih polos yang sangat sederhana, tanpa sedikitpun riasan wajah, sekaligus rambut panjangnya yang ia simpul asal karena mulai lepek akibat dari keringat matahari yang menyorot memasuki jendela selama ia menjaga florist, ditambah perpaduan peluh gugup dan panik yang menjadi satu.

Ia menjatuhkan kepalanya, berbenturan di atas setir mobil yang saat ini telah terparkir di depan rumah Ghea. Memikirkan seribu cara agar dapat mengantarkan buket bunga tanpa harus bertatap langsung dengan yang dimaksud. Rumah bercat putih itu tampak sepi dengan pintu tertutup, ia hanya dapat melihat mobil BMW berwarna hitam terparkir di teras yang ia yakini itu milik Ocean, yang mungkin tengah menunggu kehadirannya sekarang.

Sesekali perempuan itu menghitung jari sambil bergumam “turun, engga, turun, engga, turun, engga.” Ini akan menjadi kali pertamanya ia bertatap langsung dengan seseorang yang selama ini hanya bisa ia temui lewat foto, sekaligus foto orang yang tidak pernah lepas dari tampilan utama layar ponselnya.

Ocean Abelvan, an amateur model yang sebetulnya nggak terkenal-terkenal amat. Wajahnya memang hampir selalu muncul di beberapa iklan minuman soda di televisi, cover majalah, itu belum terhitung tatapan attractive yang seakan mengintimidasi ditiap pose andalannya pada beberapa local brand yang selalu bisa dijumpai kapanpun memasuki mall.

Tapi, not everyone can really notice whose the guy behind an ads. Sama halnya seperti melihat iklan yang sama berulang kali, atau model-model yang seakan tampak familiar karena merasa sering kali dijumpai. Hanya sekedar disitulah Ocean, familiar, dikenal tapi tidak benar-benar dikenal.

Ocean sendiri tidak pernah merasa dirinya populer, apalagi sampai menyebutnya selebriti. Karena sejujurnya, ia juga tidak suka menjadi pusat perhatian. Melihat bagaimana teman-temannya kehilangan privasi, dibuntuti kamera penggemar dan paparazzi kemanapun mereka pergi, berhasil membuat rasa cemasnya bangkit karena sama-sama berada di dalam industri entertaint. Doanya hanya satu, “semoga job gue lancar jaya, tapi gue jangan sampe jadi artis beneran.”

Makanya, tidak heran Aidan berkali-kali meledek Audine karena mengagumi seseorang yang menurutnya, bukan benar-benar seorang bintang. Kalau saja bukan karena ketidaksengajaannya menemukan akun Ocean sebelum tertulisnya website agensi yang saat ini terpampang di bio akunnya, mungkin Audine juga tidak akan sadar siapa lelaki dibalik cover-cover majalah yang seringkali ia jumpai itu.

Tatap matanya sontak terbelalak saat mendengar suara gagang pintu dibuka, menampakkan lelaki dengan setelan kemeja hitam yang digulung hingga siku, dan dua kancing atasnya yang terbuka, memperlihatkan tulang selangkanya yang tajam dan otot lengan yang terlihat pas pada ukuran tubuhnya. Membuat Audine tanpa sadar membuka mulutnya terpana.

“Orgil anjir lu orgillll! cakep banget ga waras aslinya tiga ratus kali lipat dari foto.”

Gumamnya reflek dengan suara kecil, takut terdengar karena jarak dari luar pagar ke dalam rumah tidak jauh. Kulit honey tan milik lelaki itu tampak bersinar disapa cahaya matahari.

“Ini gimana gue nemuinnya brengsek Ghea sepupu lo bentukannya kayak gitu,” tangannya meraih ponsel, mencari kontak Ghea yang sampai saat ini masih dalam keadaan memblokir, “Masih diblock?!”

Napasnya seakan tercekat saat melihat Ocean bergerak mendekat menuju pagar, tepat beberapa meter dari mobilnya terparkir. Audine spontan menunduk, membungkukkan badan menghindar dari pandangan kaca mobil, khawatir kehadirannya terlihat oleh Ocean. Degup jantungnya terdengar kencang, beriringan dengan suara roda pagar yang terdorong.

Samar-samar Audine menangkap percakapan Ocean dengan seseorang pada sambungan telponnya, yang ia yakini itu adalah Ghea.

“Ge udah gue jalan aja ya, udah setengah jam temen lo beneran ngga muncul-muncul.” ucap Ocean dengan nada frustasi.

“Ya gue mau hubungin gimana, gue tau temen lo yang mau kesini aja ngga tau siapa.”

“Gue berangkat deh, ntar buketnya gue beli yang udah jadi aja di florist lain sekalian jalan.”

Mendengar kata setengah jam, Audine terkesiap melirik arloji di pergelangan tangannya, ya, sudah tiga puluh menit ia diam disana membuang-buang waktu tanpa melakukan tujuannya. Rasa bersalah mulai terbesit di dalam benaknya.

“Gila din, lo ga profesional banget.” gerutunya seraya kembali membenturkan jidatnya pelan ke atas setir mobil, lalu memejamkan mata menarik napas, “Oke ayo lo bisa, lo kesini mau nganter buket, lo kerja bukan mau fanmeeting.”

Dengan degup jantung yang masih berdetak tidak karuan lebih cepat dari normalnya, Audine meraih satu buket bunga yang dari tadi ia taruh dengan hati-hati, terikat oleh sabuk pengaman pada kursi di sebelahnya. Sambil menepuk-nepuk dadanya pelan, ia mengambil napas sekali lagi.

“Profesional, profesional, profesional. Lo temuin dia as seller to customer, not as his fans.”

Begitu tangannya menarik tuas pintu mobil, Ocean menghilang dari pandangan. Hanya terdengar suara mesin mobil yang telah menyala dengan pemandangan pagar yang sudah dibuka lebar. Buru-buru Audine keluar, karena itu menjadi kesempatan emasnya untuk menyimpan buket tanpa harus bertatap muka dengan Ocean. Mungkin Ocean sedang mengambil sesuatu di dalam rumah, pikirnya.

Dengan hati-hati ia memasuki teras rumah Ghea, awas matanya berjaga-jaga, khawatir akan kemunculan Ocean yang tiba-tiba di depannya. Audine meletakkan buket bunga di sofa teras, lengkap dengan ucapan selamat yang tertulis pada ikatan pita yang mengelilingi diameter buket. Perempuan itu bergerak mengendap-endap, seperti maling yang takut tertangkap basah.

“Temennya Ghea?”

Satu suara memecah keheningan, membuat badan perempuan itu bergetar sekelibat menerima kejutan. Audine terkinjat memutar badan yang langsung mendapati Ocean yang tengah duduk di dalam mobil, menatap lurus ke arahnya dengan raut wajah polos, “Dari tadi dia disini?!” racaunya dalam hati.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Audine langsung lari terbirit-birit begitu melihat Ocean mulai melangkah mendekat ke arahnya, seraya menarik ikatan rambutnya kasar, mengedepankan tiap helai rambut yang acak-acakan agar menutupi seluruh sisi wajahnya yang telah memerah seperti orang kemasukan lebah, orgil behaviour.

Audine berlari cepat menuju mobilnya, lalu menyalakan mesin dan menancap gas. Tanpa peduli kalau buket bunga buatannya itu perlu dibayar, meninggalkan Ocean yang memandangnya dengan kernyitan dahi sambil menggaruk-garuk tengkuknya, mencoba mencerna pemandangan orang sinting yang baru saja ia lihat.

“Loh, hey! lo belom ambil uangnya!”

Teriak Ocean seraya ikut berlari kecil hingga keluar pagar, menatap buntut mobil Audine yang bergerak pergi semakin menjauh.

“Stres kali itu orang, dipikir gue setan.”

Dengan ekspresi setengah bingung, dan setengahnya lagi tersinggung, lelaki itu kembali memasuki teras. Tidak ada waktu lagi, Ocean mengambil satu buket bunga yang disimpan Audine, siap-siap menuju lokasi tujuan.

Namun langkahnya terhenti pada satu sendal tali berwarna rose gold, yang tergeletak tepat di samping roda mobilnya. Sebelum ia menarik satu kertas yang terikat pada pita buket bertuliskan, Fairy Blossom handled by Audine.

Ada garis lengkung yang tersimpul pada bibirnya secara tidak sadar, lelaki itu terkekeh, lalu kembali melempar pandang pada sendal yang terlepas dari kaki sang pemilik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Audine, ternyata lo beneran kesurupan.”