278; Broken


Audine kembali melanjutkan kegiatan merias wajah setelah mengirim pesan terakhir pada Ocean, cukup berat bagi Audine membiarkan Ocean pergi sendiri dengan seluruh perasaan takut dan gelisah yang menghantuinya semalaman, bahkan Ocean nyaris tidak tidur tadi malam. Lelaki itu benar-benar membutuhkannya saat ini.

Sesekali matanya mengecek ke arah ruang tengah, memantau Carissa yang tengah berbaring anteng sambil menyedot botol susu yang tinggal setengah, matanya fokus tidak teralih dari series Barney di layar televisi. Audine kembali mengecek jam, kali ini sambil mengeringkan rambut panjangnya yang masih basah. Dua puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda orang rumahnya pulang.

Selang beberapa menit kemudian, dua suara motor terdengar datang bersamaan. Itu ayah, mama, dan Nala. Dengan sigap Audine berlari membukakan pintu dengan rambut acak-acakan yang masih setengah kering.

“Loh, kok barengan? Kak Nala bentar doang urusannya?” tanya Audine yang hanya dibalas dengan anggukkan samar oleh Nala.

“Ya udah, aku siap-siap lagi ya, udah telat banget. Itu Carissa ada di ruang tv lagi minum susu.”

“Lo mau kemana? hari minggu gini pagi-pagi amat.” tanya Nala tiba-tiba.

“Nemenin Ocean photoshoot.”

Nala membulatkan mulutnya sebagai respon oh tanpa suara. Audine mengangguk kecil pada orang tuanya, sebelum kembali berlari menuju kamar, siap-siap.

“Audine sarapan dulu dek, nanti sakit lagi perutnya!” teriak mama hingga ke dalam rumah. “Aku udah makan roti tadi!” sahut Audine dengan suara yang semakin samar karena perempuan itu telah kembali masuk ke dalam kamarnya.

Nala yang melihat interaksi tersebut memutar bola matanya, antara respon malas dan iri yang selalu melihat Audine mendapatkan perhatian lebih, menurutnya.

45 menit hampir berlalu, Audine telah rapi, terlihat manis dengan balutan long dress bermotif floral berwarna navy, tak lupa kardigan krem panjang andalannya. Audine meraih ponselnya, menelpon Ocean yang mungkin telah sampai di lokasi tujuan, pantai.

Tidak ada jawaban, sepertinya lelaki itu telah mulai melangsungkan sesi photoshoot, pikirnya. Audine mulai bergerak cepat. Kini ia memasukkan beberapa cemilan ringan kesukaan Ocean yang ia beli tadi malam ke dalam tote bag. Tak lupa satu buket bunga matahari yang telah ia siapkan khusus untuk Ocean pada hari ini.

Audine tiba-tiba tersenyum, mengingat keberanian lelakinya yang akhirnya mau mencoba untuk melawan rasa trauma terhadap laut. Dan lagi, semua itu berkat buku gambar anak-anak pemberiannya.

Senyum itu perlahan menghilang saat telinganya menangkap percakapan orang-orang di luar yang menembus dinding kamar.

“Ayah ngapain ambil pinjemin lagi dari bank? katanya kemarin cicilannya udah gede.” tanya Nala dengan nada yang tidak mengenakkan.

“Ini udah hasil hitung-hitungan kak, ayah ambil pinjeman ini buat nutup utang yang lama.” Ayah menjawab dengan sangat tenang.

“Tapi pinjeman yang sekarang perasaan nominalnya lebih gede dari yang sebelumnya? kok bisa berani amat.” tanya Nala lagi, entah apa tujuannya.

Kali ini mama yang menjawab, sambil menuntun Carissa ke teras depan. “Iya, tapi untuk tagihan perbulannya, yang sekarang jadi lebih berkurang, jadi ngga terlalu berat kayak sebelumnya.”

“Audine tuh, suruh bantuin, jangan dipake pacaran doang duit gajinya.” ucap Nala datar, namun terdengar menusuk.

Audine yang menguping dari balik pintu kamarnya hanya bisa terkekeh sarkas. Membiarkan Nala berspekulasi sepuasnya karena Audine sudah tidak mau lagi masuk ke dalam perdebatan dengan kakak perempuannya. “Pacaran mulu katanya.”

Tak mau berlama-lama lagi, Audine keluar dari bilik kamarnya, karena waktu terus bergerak, perempuan itu mulai gelisah karena Ocean tak kunjung memberi kabar hingga sekarang. Apa lelaki itu berhasil kembali berkenalan dengan pantai?

Audine meraih kunci mobil, ia memutuskan untuk tetap menyetir sendiri. Dengan dua totted bag dan satu buket bunga, Audine melangkah terburu-buru, langkahnya terhenti di depan teras, yang kini hanya tersisa Nala.

Belum selesai, nyatanya Nala masih belum juga puas melampiaskan isi kepalanya langsung pada Audine.

“Manja amat cowo lo minta temenin sampe harus ribet-ribet lo bawain bunga, emang effort dia ke lo juga sebanding?”

Audine hanya tersenyum, lalu menghampiri Nala untuk mencium tangan, “Gue ber—“

“Sini dulu lah ngobrol! lo jarang ketemu gue juga, ngga sopan banget ada gue lo malah pergi.” Nala menarik Audine hingga jatuh terduduk di kursi sebelahnya.

“Gue udah telat kak, lo mau ngomong apa?”

“Bantuin ayah, jangan egois duit lo dipake buat seneng-seneng sendiri terus. Lo ngga kasian liat ayah sampe harus ambil pinjeman lagi dari bank?” sahut Nala. “Ke cowo lo aja bisa segininya bela-belain, lo pernah ngga ke ayah kayak gini?”

Audine diam tidak merespon, menahan kuat-kuat emosinya, meredam percikan api amarah yang mulai naik.

“Cowo lo kan model, pasti gajinya lumayan, lo manfaatinlah dikit. Seengganya, masa dia ngga mau bantuin cewenya lagi kesusahan, keenakkan amat.”

“Lo kenapa deh? kok ngga nyambung jadi bawa-bawa cowo gue?” jawab Audine cepat, tidak terima. “Lo juga jangan ngaco kak, enak banget lo bilang manfaatin manfaatin, minta duit. Itu bukan keharusannya dia buat nolong gue secara financial, dia bukan suami gue.”

Audine memejamkan mata, seraya menarik napasnya dalam-dalam, lalu menyambung kembali ucapannya. “Lagian, lo tau apa sih kak? lo tau dari mana gue ngga pernah berusaha bantu ayah? lo pernah liat gue belanja ini itu, seneng-seneng sendiri, atau bentar-bentar post tas baru? perasaan itu isi story lo tiap saat deh, bukan gue.”

“Lo jangan kurang ajar, gue kakak lo.”

Audine tertawa menyindir, “Tiap debat sama lo, perlawanan lo gitu mulu, ngga ada variasinya banget. Emang lagian lo ngga nyadar siapa yang sebenernya kurang ajar di sini?”

Jujur, kata-kata tersebut sangat berat untuk ia suarakan. Hatinya terasa sakit, harapannya terhadap kalimat-kalimat hangat yang diutarakan Nala, hanya selalu berakhir sebagai harapan. Entah sampai kapan Audine harus kehilangan sosok Nala yang ia kenal.

“Lo nahan gue sekarang, beneran pengen ngobrol sama gue, atau cuma mau ngelampiasin emosi lo ke gue doang?” sambung perempuan itu lagi.

“Audine kok belum berangkat? udah mau jam sepuluh, lumayan jauh loh nanti macet.” suruh mama yang menyembul dari balik pintu.

Lalu disusul ayah, kembali duduk pada salah satu kursi teras sambil membawa secangkir kopi dan beberapa berkas di dalam map. Kedatangan mama dan ayah seolah tahu bahwa ada pantikan api yang perlu dipadamkan sebelum membakar seluruh isi rumah.

“Nih, rincian pinjeman ayah yang baru.” Ayah menunjukkan satu lembar kartas berisi rincian-rincian nominal ke depan Nala dan Audine.

“Maaf ya Nala, Audine, ayah harus ambil pinjeman baru lagi, ngga habis-habis.” sambung ayah dengan suara yang mulai mengecil, terasa ada helaan napas gusar di dalamnya. “Yah.. sekarang mau gimana lagi kak, adek. Dari mana ayah bisa dapet uang segitu banyak buat nutup tagihan. Paling caranya selalu gini, gali lobang tutup lobang. Tapi seengganya, setelah cicilan yang kemarin ketutup, sekarang tagihan perbulan kita jadi lebih ringan. Ayah yakin bisa selalu kebayar sekarang.”

Tiba-tiba, tanpa satupun orang menyangka, satu kalimat yang tidak pernah Audine sangka akan bisa sejauh ini keluar dari mulut satu-satunya kakak yang dimilikinya. Kalimat yang tidak pernah ia tahu berhasil menusuk tepat pada jantungnya, mematikan seluruh perasaan rindu yang selama ini ia pendam.

“Jual aja nih anak perawan, kawinin sama yang kaya.”

Hening. Suasana menegang, tidak ada satupun orang di sana yang membuka suara, tidak ada sedikitpun respon terdengar. Selain gundukkan air mata yang menggelinang di dalam tiap pasang mata milik tiga orang di depan Nala.

“Nala.. kamu bicara apa barusan, nak?” tanya Ayah dengan suara bergetar, dan sorot mata kecewa. “Kamu kenapa bisa sekasar itu sama Audine? kamu ngga tau kalo selama ini adekmu yang bayar semua tagihan? Audine yang nanggung semua pengeluaran? Nala, adekmu salah apa..”

Mama yang dari tadi berdiri di depan pintu, kini telah masuk lebih dulu tanpa mengeluarkan sepatah kata. Hanya ada derai air mata dan gelengan kecewa yang ditangkap oleh mata sebelum mama menghilang dari ambang pintu.

Audine masih diam mematung tanpa reaksi, seakan seluruh tubuhnya baru saja terhantam sambaran petir. Ia menggigit bibir bawahnya seraya meremat kain bajunya hingga kusut. Menahan getaran pada bahunya agar tangisnya tidak meledak.

Perempuan itu bangun dari duduknya, menahan kuat-kuat air matanya sambil menatap lurus, hanya tertuju memandang ayah. Audine meraih tangan sang ayah, lalu menciumnya tanpa sedikitpun menoleh ke arah Nala.

“Ayah, aku berangkat..”

Hancur. Hubungan Audine dan Nala resmi hancur pada hari itu. Tidak ada lagi kerinduan yang tersimpan untuk Nala, tidak ada lagi pengharapan yang selalu ia tuturkan lewat doa untuk berharap Nala benar-benar kembali. Hatinya resmi dihancurkan oleh satu-satunya kakak yang ia miliki.

“Jual aja anak perawan”, satu kalimat yang akan selalu Audine ingat, menjadi kalimat terakhir dari Nala sekaligus awal dari perpisahan.