207; Turning page


Pada awal tahun 2011, Ryan O’Neal membeli tiga series film Twilight lalu menontonnya untuk pertama kali. Melakukan sedikit riset tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam cerita. It was obvious that the wedding would be up next, cause the entire twilight saga is all about love. So, he decided to write a love song.

Kini lagu tersebut dikenal dengan judul Turning Page, dan berhasil mengisi soundtrack dari film the twilight saga: breaking dawn – part 1.

Audine’s all-time-fav song.

Lagu itu terputar tanpa henti, menyapa seluruh pasangan manis di antara warna-warni bunga yang menari pada hembusan angin, dan tangan-tangan yang saling bertaut mencari kehangatan di dalam genggaman. Atmosfer yang dimiliki toko bunga hari ini terasa seperti adegan-adegan di dalam film romance, berbagai pasangan datang silih berganti, pulang dengan satu buket bunga bersama garis lengkung yang terlukis di atas bibir.

Semesta seakan tahu, kalau ada hati yang jauh lebih berbunga-bunga, terjebak di antara seluruh pasangan yang ada di sana.

Hujan turun tepat setelah Audine melambaikan tangan pada pelanggan terakhir di ujung jam kerjanya. Senyum itu masih di sana, sambil memandang pasangan yang berjalan di bawah payung, mereka tertawa-tawa saling merangkul, menghindari cipratan air dari langit. Perempuan itu tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua tangan, berteriak di antara derasnya hujan dan gemuruh petir, berisik, tapi tidak lebih berisik dari degupan jantung Audine yang berdetak jauh lebih ricuh di dalam dadanya.

Akhirnya, perempuan itu bisa melepaskan semua kupu-kupu yang dari tadi terjebak di sekujur tubuhnya.

Belum, Audine belum menjawab pertanyaan Ocean. Tapi tiap lima menit sekali, Audine bolak-balik membuka ruang obrolan, hanya untuk membaca satu kalimat “Au, jadian yuk?”, satu kalimat sederhana yang seolah seperti candaan, namun ada perasaan tulus yang tersirat di dalamnya. Audine kembali menutup wajah tanpa bisa menutupi senyum sumringah yang jelas terpampang.

“Kak, kenapa sih dari tadi? kok kayaknya salting banget,” tanya Acel, menyuarakan seluruh rasa penasaran yang ia pendam dari pagi. “Sakit ngga pundaknya ketiban ember?”

“Loh, kamu mau ke mana?” tanya Audine balik mengalihkan topik, setelah melihat Acel dengan balutan mantel rapi.

“Ya, mau pulang? Kakak emang ngga mau pulang? Udah aman semua kok, ngga ada yang harus diberesin lagi.”

“Kan masih ujan?” tanya Audine seperti orang linglung, padahal sudah jelas ia melihat Acel membawa satu buah payung dan kunci mobil di tangannya.

Acel terkekeh, “Kan aku bawa mobil, nih, bawa payung juga. Kakak ngga pulang?”

“Kamu aja duluan.”

“Loh? Beneran? Emang ngga takut ujan-ujan sendiri di sini?”

“Aku malah takut kalo nyetir lagi ujan, aku mau tunggu reda dulu di sini.”

Acel mengangguk paham, “Oke kalo gitu hati-hati ya kak, jendelanya udah aku tutup juga biar angin ngga masuk. Aku duluan.”

“Kamu yang hati-hati, awas jangan ngebut!”

Audine mengantar perempuan berusia sembilan belas tahun itu sampai ke depan pintu, menunggunya hingga benar-benar sampai ke dalam mobil, sekaligus memastikan kecepatan yang akan ia lajukan. Seperti orang tua yang memantau anak gadisnya.

Tepat setelah mobil Acel menghilang semakin menjauh dari pandangan, ada mobil lain yang bergerak mendekat menembus derasnya hujan. Mobil itu berhenti di depan toko bunga miliknya. Tidak sulit bagi Audine untuk mengenali siapa pemilik mobil BMW hitam yang saat ini terparkir di sebrang jalan.

Ocean dengan setelan celana cargo hijau army dan hoodie berwarna hitam menyembul dari dalam mobil, membawa dua kotak pizza dan dua cup kopi hangat. Seolah kembali memutar memori pertama keduanya di tempat yang sama, sangat de javu.

“Au, aduh ini pizzanya nanti keujanan!” ujarnya setengah berteriak dari sebrang jalan, masih dalam posisi duduk di dalam mobil dengan pintu setengah terbuka.

Jarak di antara tempat parkir dan florist cukup jauh, sehingga harus membuat Ocean berlari menerobos hujan jika mau menghampiri Audine.

“Lo tunggu di sana, bentar gue ambil payung!” balas Audine sebelum lari ke dalam untuk mengambil payung.

Perempuan itu berjalan di bawah payung berwarna biru, sambil meringis menahan dingin menerima hantaman angin yang menusuk tulang, demi menghampiri Ocean di sebrang jalan. Setelah sampai, Ocean langsung mengambil alih payung dan memberikan dua kotak pizza dan kopi pada Audine.

“Nih pegang, tangan gue cuma dua.” suruh Ocean.

Mereka berdua kini berada di bawah payung yang sama, berhadapan dengan jarak yang sangat tipis, sama-sama melindungi diri dari derasnya hujan.

“Tangan gue juga cuma dua, kenapa ngga satu-satu aja megangnya,” protes Audine.

“Ngga bisa, gue megang payung.”

“Lah ini kan ada tangan sebelah lagi?”

Tanpa aba-aba, Ocean menarik Audine lebih dekat hingga menempel pada tubuhnya, mempersempit jarak hingga sama sekali tidak ada celah yang tersisa. Sebelum lelaki itu melingkarkan sebelah tangannya mengelilingi pinggang Audine, mendekapnya erat seakan memberikan perempuan itu perlindungan penuh dari hujan yang jatuh.

“Sebelahnya lagi buat megangin lo, lo mau kebasahan? Ini payungnya kecil.” Ocean menjawab dengan suara yang rendah, tepat di depan telinganya.

Seluruh tubuh Audine seakan membeku, jantungnya kembali berdetak tidak karuan di dalam sana. Mati-matian ia menggigit bibir menahan senyum. Di bawah derasnya hujan yang dingin, mereka berjalan di antara ributnya butiran-butiran air yang jatuh menghantam bumi. Saling memberi perlindungan di bawah payung yang sama.

Begitu sampai di depan pintu, alunan lagu yang sama masih terputar, menyambut hangat dua orang itu tepat setelah lirik “your love is my turning page, where only the sweetest words remain, every kiss is a cursive line, every touch is a redefining phrase”.

“Mau sampe kapan repeat lagu ini terus? Udah empat jam.” sindir Ocean setelah sama-sama melepas rangkulan, memberi jarak.

Audine memutar bola matanya, lalu membuang napas pasrah. “Dasar, spotify stalker!”

“Jadi, gimana? masih mau menikmati momen sebagai temen?” tanya Ocean tiba-tiba, “Atau mau ganti sekarang?”

Tanpa menyuarakan sepatah kata, Audine mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaketnya, lalu mengarahkan layar ponsel ke depan Ocean, memperlihatkan lockscreen yang sama dari pertama kali lelaki itu tidak sengaja menemui potret dirinya di sana. Ocean menatapnya bingung, namun ada senyum tertahan yang bahkan sama sekali tidak bisa ia sembunyikan.

“Lockscreennya masih sama, masih foto lo, engga gue ganti.” ujar Audine, kini ia menurunkan ponselnya, ibu jarinya berselancar di atas layar menuju galeri foto, lalu kembali menunjukkan satu album yang hanya dipenuhi oleh potret milik Ocean. “Gue juga punya satu album, isinya foto-foto lo doang. Do i look obvious now?”

Ocean hanya merespon dengan sorot matanya, terlihat jelas ada pertanyaan yang terjebak di dalam binarnya. Lidahnya seakan kelu.

“Gue ngga mungkin sampe koleksi foto lo segini banyak kalo, i don’t have a crush on you,” sambung Audine, “Sekarang lo masih mau mikir gue nemu foto lo ngga sengaja dari pinterest? I’m not that ridiculous, Ocean Abelvan.” Lalu perempuan itu tertawa. “Jadi kalo lo nanya jawaban, kayaknya ini udah cukup menjawab. This is my answer.”

Kini, gantian Ocean yang merasakan wajahnya memanas. Ada smirk tipis dan lidah yang ia tonjolkan jahil dari dalam pipinya, he looks attractive every time he does that tongue thing, dan terakhir mengusap wajahnya yang mulai merah. Menahan salah tingkah dan puluhan kupu-kupu yang sekarang ikut terjebak di dalam dadanya agar tidak berterbangan.

Lelaki itu mengeluarkan sesuatu yang ia selipkan di dalam hoodienya. Terlihat seperti sebuah buku tipis dengan sampul berwarna biru.

“Kalo gitu, ayo sekarang nilai dulu.”

Ocean menyodorkan lembaran-lembaran descriptive text yang telah ia print dan dijilid menyerupai makalah tugas, lengkap dengan kolom nilai di akhir halaman.

“OCEAN? SERIOUSLY?” Audine tertawa geli, seraya menggeleng tidak percaya pada cara yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Ocean terlalu unik, setiap hal yang ia lakukan selalu berhasil memberi Audine kejutan-kejutan baru yang tak terduga.

“Kan udah dijawab, ngapain lagi?”

“Ih ayo dong Au! Biar lembur begadang gue ngga sia-sia!”

Audine tertawa tanpa henti. Bukan sepenuhnya tertawa karena lucu, tapi tertawa demi menutupi rasa salah tingkah.

Perempuan itu meraih makalah dan pulpen dari atas meja. Memberinya nilai A dengan lima tanda plus yang ia penuhi hingga menyebrangi kolom.

“Oke, sudah saya acc ya tugasnya. No revisi, no ngulang!” ujar Audine seraya menyodorkan kembali makalah pada Ocean.

Ocean ikut tertawa, “Udah buat ibu aja, makalah saya banyak, numpuk bekas revisian skripsi, saya enek.”

Di tahun 2021, turning page kembali mengisi soundtrack pada kisah kecil dengan halaman-halaman kosong yang siap ditulis dengan cerita-cerita sederhana milik Ocean dan Audine. Di antara lagu yang masih mengalun, keduanya saling melempar tatap, saling berbagi tawa, dengan degup jantung yang berdetak kencang saling bersahutan. Menyambut perasaan baru yang terlukis mulai hari ini.

“Thanks a lot, Au. Maaf kalo emang caranya konyol. Tapi, apa yang gue tulis di sini, gue ngga boong, i really mean it for staying by your side until you bloom your own flowers with your own colors. So, let me protect you as your boyfriend now.”

“Promise?”

Ocean berjalan mendekat menghampiri Audine, sorot matanya teduh. Senyum itu, senyum yang akan selalu terlempar hanya kepadanya. Lelaki itu mengacungkan satu jari kelingkingnya, lalu menautkannya pada kelingking mungil Audine yang jauh lebih kecil dari jarinya.

“Gue ngga mau janji. I’ll show it.”

Audine kembali terkekeh seraya melepaskan tautan kelingkingnya dari kelingking Ocean. “Apa sih, kayak anak SD abis berantem!”

“Ya kan katanya step by step,” jawab Ocean, “Sekarang kelingking dulu, terus baru nanti satu telapak tangan.”

“Aneh, kan lo udah pernah megang tangan gue juga pas di JAC.”

“Beda, Au! Yang kemarin itu judulnya bukan bener-bener pegangan tangan.”

“Ya, tetep aneh, ada-ada aja.”

“Aneh apanya?”

“Baru tau kalo skinship bisa step by step.”

“Ya boleh kalo mau langsung,” balas Ocean dengan ekspresi datar, sangat polos. “Mau langsung ciuman?”

“SINTING! PULANG LO SEKARANG!”