sannflowers


Toko bunga yang telah berdiri selama hampir enam tahun, tanpa adanya perubahan dekorasi dan warna cat selain warna pink salmon yang berkali-kali dicat ulang setiap tahunnya karena bercak-bercak dinding yang menguning. Sepeda dengan keranjang anyam berisi bunga dan papan tulis kecil yang dicoret oleh kapur putih bertulis Fairy Blossom itu masih ada di sana, bersandar pada susunan flower box dan jejeran ember kaleng berisi warna-warni bunga bersama harum segar semerbak.

Tidak ada yang berubah sampai hari ini, kecuali, adanya penampakkan meja dan kursi yang kini bisa tertangkap oleh mata. Mengisi penuh sudut ruang dengan jutaan air mata dan peluh keringat yang tidak berhenti menetes pada tiap tahunnya.

Tiga jam yang lalu, saat sang mentari bangun dari tidurnya, mulai bergerak meninggi mencapai titik tengah bumi. Wanita dengan dress satin putih dengan kilau manik-manik yang melingkari pinggang rampingnya, berdiri anggun di belakang garis pita dengan warna pink salmon senada dengan cat bangunan penuh bunga. Menangkap puluhan pasang mata yang melempar haru perasaan bangga dan kilat flash kamera yang mengarah kepadanya. Audine dengan senang hati menerima binar mata orang-orang di depan dengan mata berkaca, dan lengkung sabit yang terlukis manis di atas bibir merah mudanya.

Toko bunga yang menjadi saksi akan segala rasa sakit dan lelah atas umur emas Audine. Satu-satunya tempat penampung detak jantung yang pernah nyaris mati terbunuh oleh kejamnya keadaan pahit. Kini, bangunan penuh bunga itu menjadi satu-satunya saksi setia atas detak baru yang berdegup semakin hidup, menutup segala rasa sakit yang akan selamanya tersimpan sebagai memori.

Lelaki yang empat tahun lalu datang membawa dua kotak pizza dengan lelehan keju tidak biasa yang membuat siapa pun hampir muntah, juga lelaki yang empat tahun lalu datang menerobos derasnya hujan membawa satu makalah tipis berjudul descriptive text dengan satu gambar boneka salju di tengahnya.

The one who will be by her side, until her flowers bloom.

Adalah salah satu kalimat yang tertulis pada paragraf deskripsi di bawah potret dirinya. Dan hari ini, tepat di tahun keempat. Lelaki itu berhasil membuktikan kalimatnya.

Ocean dengan segala keunikan dan sejuta cara ajaibnya, dengan setia menyaksikan satu bunga teratai tumbuh mekar, berjuang keluar dari dalam lumpur gelap nan menghisapnya kembali ke dasar yang gelap. Selama hampir 1460 hari terlewati, bunga teratai itu akhirnya mekar sepenuhnya. Tumbuh semakin cantik pada mahkotanya, semakin bersinar. Dan bunga teratai itu kini berdiri kokoh di sampingnya.

The goodness of suffering is real. Audine, you are the prettiest lotus that i’ve ever seen in my life. Now, let me be a swamp to keep you alive.

“Now?” tanya Ocean dengan suara lembut mengayomi, seraya menuntun sebelah tangan Audine yang siap menarik tuas gunting, memutus tali pita.

Audine menoleh, mengunci tatap di dalam manik mata keteduhan milik lelakinya. Menarik napas lalu menghembuskannya dengan seluruh perasaan siap. Begitu juga dengan Ocean, lelaki itu dengan senang hati sama-sama menarik napas dengan ketukan yang sama dengan Audine demi mengurangi rasa gugup perempuannya. Keduanya terkekeh, saling melempar senyum bahagia di antara pasang mata yang menyorot, seakan pemandangan dua sejoli itu mampu menghangatkan hati bagi siapa pun yang melihatnya.

“Now.” jawab Audine.

Pita terputus, bersamaan dengan ricuh suara tepuk tangan dan teriakkan dari para kerabat yang sama-sama menjadi saksi hidup akan perjuangan Audine selama ini. Bloomy Lotus Tea House, resmi dibuka.

Terlihat Ghea yang tidak berhenti menangis semenjak Audine mengucap pidato singkat, hingga gumpalan maskaranya meleber di bawah mata. Aidan yang hari ini lebih banyak diam karena terlalu menampung perasaan bangga dan bahagia yang menyeruak di dalam dadanya hingga tidak bisa mengucap sepatah kata.

Ada juga gerak tangan antusias yang melambai-lambai milik Nala dan Carissa di atas gendongannya yang tertangkap dari dalam kerumunan. Dan di barisan paling depan, ada oma dengan kursi rodanya, karena umur yang semakin sepuh, tidak bisa lama-lama berdiri. Bersama Aliesha yang menjaga di belakangnya sambil memberi rangkulan di atas bahu oma dengan mata berkaca-kaca, melempar perasaan bangga pada kedua kakak tersayang. Oma, wanita pecinta teh sekaligus pencetus ide utama atas kedai teh milik Audine, akhirnya bisa menemukan memori nostalgianya kembali.

Dan jangan lupakan, support system nomor satu yang tidak pernah sekali pun meninggalkan Audine pada titik terapuhnya. Dua malaikat yang telah melahirkan satu peri kecil yang tumbuh dalam perasaan takut, yang kini peri kecilnya kian tumbuh menjadi seorang dewi cantik dengan sosok yang kuat. Berdiri kokoh di atas jiwa yang rapuh, merentangkan kedua sayapnya.

Dua malaikat itu, ayah dan mama, mereka saling merangkul menyaksikan peri kecilnya di depan sana dengan derai air mata bahagia.

Begitu juga Audine yang tidak bisa lagi membendung genangan air mata terhadap pemandangan hangat dari berpasang-pasang binar haru yang seakan memeluknya lewat sorot mata. Sebelum perempuan itu tersadar, kalau ada sesuatu yang lebih hangat di dalam genggaman tangan penuh ukiran cantik di atas kulit. Jari-jari Ocean yang bertaut.

“Kamu tau, kenapa kedai teh ini aku kasih nama Bloomy Lotus?” Audine bertanya dengan suara mengecil, terdengar samar-samar karena tertutup sorak dukungan dari orang-orang di depan, sehingga membuat Ocean harus menunduk, mendekatkan telinganya ke depan wajah Audine.

Lelaki itu menggeleng, “Kenapa?”

“Kamu selalu mengibaratkanku sebagai bunga teratai yang tumbuh mekar dari dalam lumpur. But don't you realize that i’m not the only lotus flower that struggling from the mud?” sambung Audine kepada sepasang mata penuh tanda tanya. “I never struggle alone without you here by my side. Ocean, you are the one who made this lotus bloom.”

Audine memiringkan badannya menghadap Ocean, dan mengambil satu langkah lebih dekat sehingga menyisakan sedikit jarak di antara keduanya, membuat sorakkan-sorakkan itu membisu, dan menarik hantaman flash paparazzi semakin silau menghantam cahayanya.

Tanpa aba-aba, Audine mengecup singkat pipi Ocean di depan puluhan pasang mata dan media tanpa perasaan sungkan, membuat lelaki itu membelalakkan matanya kaget. Dan membuat sorak suara itu kembali bersuara lebih ricuh dari sebelumnya, kali ini diselingi siulan-siulan yang membuat telinga Ocean memerah, ia mengigit bibir bawahnya menahan senyum.

Audine membalas sorot mata terkejut di depannya dengan senyum yang manis, seraya menyambung kalimatnya.

“I’m not the lotus, but we. We are the lotus in the mud.”


Audine menelungkupkan wajah di atas meja, dengan tangan terlipat yang menenggelamkan wajahnya yang sembab dan kacau. Meja kerja sangat bersih hari itu, bahkan terhitung sejak satu minggu terakhir. Tidak ada potongan-potongan daun dan tangkai bunga yang berserakkan di atas meja. Karena tidak adanya pesanan buket yang masuk atau pun pengunjung yang datang untuk sekedar melihat berkaleng-kaleng bunga tertata.

Hanya ada tiga sampai empat pelanggan yang datang selama beberapa hari terakhir ini. Setidaknya, ada empat tangkai bunga (bukan buket) yang berhasil terjual tiap harinya, dan terbebas dari layu dan mati sia-sia.

Sejak seminggu yang lalu juga, Audine memberhentikan sementara ketiga pekerjanya, yang biasa Audine beri gaji harian. Karena Audine belum bisa menurunkan gaji dari semenjak awal bulan ini, akibat kurangnya pemasukan. Sehingga hanya menyisakan dirinya dan Acel, yang selama tujuh hari terakhir ini menghabiskan waktunya di jalanan, dengan membuka florist stan kecil-kecilan, yang tidak membuahkan hasil sedikit pun.

Tiap sudut ruang yang biasanya nyaris penuh dengan barisan ember kaleng berisi warna-warni bunga berjejer, kini kaleng-kaleng tersebut mulai kosong satu-persatu. Mereka semua mati.

Audine terisak tanpa suara, hanya terlihat bahunya yang naik turun dan terdengar suara napasnya yang tersengal. Ujung lengan kardigannya basah karena air mata yang tak kunjung henti.

Ocean menggeser kursinya lebih dekat. Lelaki itu ada di sana dan mendengarkan Audine menangis selama hampir satu jam lebih tanpa mengucapkan sepatah kata. Jantungnya terasa sakit, hingga ikut membungkam seluruh kata untuk terucap.

Audine adalah tipikal orang yang sangat jarang mengeluarkan air mata terhadap permasalahan yang ada, kecuali tentang Nala. Biasanya, perempuan itu hanya sekedar mengeluh, itu pun sambil diselingi tawa sepanjang bercerita karena Audine selalu bilang, aku ngga mau terlarut sama masalahku, aku ngga mau dia yang menang, jadi aku harus lawan rasa sedihku supaya aku tetep bahagia dan baik-baik aja. Wanita yang kuat.

Tapi kali ini, rasa sakit itu berhasil mengalahkannya. Ia sudah lelah untuk merasa sakit, dan ia terlalu lelah untuk menjadi kuat.

Setelah hampir sembilan puluh menit tangisan itu menggema di dalam ruangan, Ocean memberanikan diri untuk mendekat.

“Au,” katanya sambil mengusap pucuk kepala Audine. “Udahan yuk nangisnya, capek.”

Audine mengangkat wajahnya yang tampak sangat kacau. Matanya bengkak karena terlalu lama menangis, hingga warna mukanya ikut memerah. Helai-helai rambut panjangnya teracak tidak karuan menutupi sebagian wajahnya. Audine menatap Ocean dengan sorot mata kosong dan napas terisak.

Ocean menggeser lagi kursinya sehingga hanya menyisakan jarak tipis di antara keduanya. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Ocean menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Audine, menyelipkannya ke belakang telinga, lalu menyeka air mata Audine yang masih turun deras.

Audine tiba-tiba menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya, menahan isakkan.

“Kenapa, hmm?” tanya Ocean dengan suara yang sangat hangat memasuki ruang telinga. Kini sebelah tangannya pindah, menangkup sebelah pipi Audine seraya mengelusnya dengan ibu jari dengan lembut.

Perempuan itu kembali menyuarakan tangisnya.

“Aku.. ngga mau.. liat ke depan...” ujar Audine terputus-putus karena isakan yang tidak bisa dikontrol.

Ocean melemparkan tanya lewat sorot mata teduhnya.

“Kaleng-kalengnya.. kosong Ocean… Kalo aku angkat wajahku, aku bisa liat ember kaleng tanpa bunga di sana. Aku.. ngga mau.” sambung perempuan itu, masih dengan tangisnya.

“Kalo gitu, jangan liat ke belakang, look at me instead. Aku kan ngga akan ilang kayak bunga-bunga di dalem ember kaleng. I’ll always be here with you, until the bucket is filled back with a pretty flowers.”

Tidak menjawab, tangis Audine yang hampir mereda justru kembali meledak. Dengan sigap Ocean menarik Audine ke dalam pelukannya, membiarkan perempuan itu menangis, menumpahkan air mata di atas dadanya.

Ocean memejamkan mata, seolah menikmati isak tangis perempuannya yang semakin terasa menusuk-nusuk dadanya. Sungguh sangat sulit baginya, melihat senyum Audine hilang terbunuh secara perlahan oleh keadaan.

Lelaki itu menaruh dagunya di atas kepala Audine, sehingga memudahkannya untuk menciumi pucuk kepala Audine sesekali. Dan kini ia membiarkan kecupan hangat itu beberapa detik di atas kening Audine, sambil memejamkan mata, dengan senang hati ia seakan ikut menerima rasa sakit yang diberi oleh Audine.

“Udah ya, nanti suara kamu abis sayang.” Ocean menenangkan. “Nanti tenggorokannya sakit, dadanya sakit, matanya sakit, kamunya juga ikut sakit.”

Audine masih terisak tidak peduli.

“Tagihan ayah kamu bulan ini, nanti aku bantu. Untuk ember-ember kaleng yang kosong juga kamu jangan khawatir, aku janji, besok atau lusa, ruangan ini akan penuh sama warna-warni bunga seperti biasa.” sambung Ocean sambil mengusap-usap punggung Audine.

Seketika Audine langsung mengangkat kepalanya dalam hitungan detik, begitu pula dengan Ocean. Secepat kilat lelaki itu langsung menariknya kembali ke dalam dekapannya. Ocean sudah tahu pasti, seolah bisa menebak kata-kata apa yang akan terucap dari mulut Audine kapan pun Ocean berniat untuk membantunya secara materi.

“Iya, iya, aku tahu kamu bisa, kamu hebat, kamu bisa sendiri.” tutur Ocean cepat, tanpa mendengar penolakan Audine yang ribuan kali selalu terulang dengan kalimat yang sama.

Aku bisa sendiri Ocean, ini urusan aku.

“Tapi, aku yang ngga mau ngebiarin kamu sendiri.” sambung Ocean. “Kamu inget janji aku waktu pertama nembak kamu, untuk selalu nemenin kamu, until you bloom your own flowers? Dan hari ini, aku ada untuk itu, bahkan sampe seterusnya. Aku ngga mungkin ninggalin kamu sendirian, Au.”

Audine diam dalam bungkamnya. Kini isaknya mulai berhenti, walau air mata masih sesekali jatuh membasahi kaus Ocean.

Bak anak kecil manis yang menurut, mendengarkan nasehat orang tua dengan khidmat. Audine mendengarkan kalimat-kalimat hangat dari Ocean yang menjelajahi ruang telinganya, menyender di atas dada bidangnya, sambil satu jari telunjuknya memainkan kalung yang dikenakan Ocean. Sedikit demi sedikit hati dan perasaannya mulai kembali menghangat.

Mungkin ini memang waktunya ia meminta tolong, dan menerima seluruh bantuan orang-orang baik di sekelilingnya tanpa mengkhawatirkan apakah dia kembali menjadi beban untuk orang lain.

Ocean mengecup kening Audine sekali lagi. Berhasil menarik garis lengkung di atas bibir Audine yang kini terlukis dengan sempurna.

“Minta tolong itu ngga bikin kamu terlihat lemah, Au, apalagi memberi beban pada orang lain. Justru, dengan kamu minta tolong itu malah menunjukkan kalo kamu sedang berusaha untuk mencari jalan keluar, kamu berusaha untuk survive. Kamu ngga ninggalin masalah-masalah kamu, kan? Itu artinya, kamu tanggung jawab sama semua permasalahan yang ada. Jadi, jangan merasa bersalah untuk minta bantuan, ya?”


Pukul 4.30 dini hari. Mantel, karpet, dan selimut. Dua orang itu duduk terhampar di atas pasir. Tidak ada warna biru berkilau dari hamparan laut di depan, semuanya gelap. Hanya ada suara debur ombak dan wangi air laut yang terhirup menemani pagi hari sambil menunggu sang mentari bangun dari tidur lelapnya di bawah laut.

Penerangan sangat minim, hanya ada sinar lampu dari kamar-kamar hotel yang menyala di belakang sana. Pantai yang mereka kunjungi kali ini, berdekatan dengan hotel, atau ini memang pantai buatan milik hotel? Entahlah. Yang pasti, laut di depan bukanlah suatu pemandangan palsu. Selama ada samudra di sampingnya, laut akan tetap menjadi laut.

Pada jam empat pagi, keadaan pantai terasa jauh lebih tenang. Karena orang gila mana yang mau gelap-gelapan melihat hamparan laut hitam nan gelap pada dini hari.

Kecuali Ocean dan Audine.

Bukan karena ketidaksengajaan atau iseng semata Ocean mengajak Audine mengunjungi pantai sepagi ini, tapi, karena lelaki itu ingin mengejar matahari terbit. Ocean percaya, akan selalu banyak keajaiban di tiap harinya, dan keajaiban baru itu, akan dimulai setelah sang mentari terbit.

The beauty of new beginning, we gonna find at the sunrise.

Ocean mengeluarkan ipad dari dalam tas Audine, lalu satu jari telunjuknya menelusuri email masuk. Ratusan bahkan nyaris menyentuh empat digit email dengan judul zero o’clock dari Audine yang tidak pernah sekali pun ia hapus dari kotak masuknya, sejak empat tahun lalu. Audine membuka matanya kaget.

“Gila! Itu udah nyaris tiga ribu email ngga pernah kamu hapusin?” seru Audine dengan mata membulat.

“Engga, kenapa harus dihapus, semua hari-hari kamu kan ada di sini.” jawab lelaki itu tanpa menoleh ke arah Audine, jarinya terus bergulir di atas layar, menjelajahi pesan masuk yang sepertinya tidak akan pernah bertemu ujungnya karena terlalu banyak.

“Kan bisa kamu save filenya. Kamu taro flashdisk, atau di aku juga ada dokumennya, bareng sama zero o’clock punya kamu.”

“Ya emang udah aku save semua, masa iya file-file kamu aku diemin.”

“Terus kenapa ngga kamu hapusin dari inbox kalo udah di save? Kamu sama aja kayak ngoleksi sampah tau. Sini aku hapusin!”

“Ih, ngga mau!” Ocean menarik cepat ipad yang hampir direbut Audine, “Ngga mau hapus, sayang.”

“Kamu nambah-nambahin beban bumi tau ngga? Tumpukkan inbox email tuh bisa mempengaruhi bumi tau. Lapisan bumi udah makin tipis, kamu harus mengurangi pemanasan global!”

“Apa hubungannya?”

“Ningkatin emisi karbon bumi dan bisa mempengaruhi perubahan iklim. Semakin kamu numpuk pesan, energi yang dikeluarin sama mesin penyimpanan juga semakin besar, jadi polusi yang keluar juga otomatis makin banyak, hihhhh, kamu ngga kasian apa sama bumi!”

Ocean menaikkan kedua alisnya seraya membulatkan mulut tanpa suara, “Wow, aku baru tau? Kok kamu pinter?”

“Jangan wow wow doang, hapus! Mentang-mentang namanya laut, pedulinya sama laut doang.”

Ocean mengerucutkan bibir sembari mengangguk-angguk bagaikan anak kecil yang dinasehati, “Iya aku hapus. Ya udah, aku print aja ya, jadiin makalah lagi.”

“EH JANGAN!” Audine memprotes cepat.

“KENAPA LAGI?” rajuk Ocean sambil menatap balik tatap Audine.

“Itu banyak banget ya, halo? Kalo kamu print bisa ngabisin berapa lembar? Kamu sama aja buang-buang pohon! Bumi juga udah makin gundul, kamu jangan nambah-nambah.”

“Ih ya udah ah!” Kini layar itu ia keluarkan dari kotak email, jarinya beralih menuju youtube, lalu memutar recent video yang sepertinya belum selesai ia tonton tadi malam. Mr. Bean.

“Kamu ngapain nonton Mr. Bean?!”

“Apa?! Mau protes juga Mr. Bean bisa menambah populasi orang bloon yang ada di bumi?!” jawab Ocean sewot.

Audine tertawa sangat geli, melihat mimik wajah Ocean yang merajuk gemas seperti anak beruang. Ditambah selimut yang membuntali seluruh badannya sehingga hanya menyisakan kepala dengan rambut jamur yang menggunduk. Pipinya terlihat menggembung dari samping.

“Ih, kenapa kamu ngambek, bola ubi?!” ledek Audine. Ocean tidak peduli, tetap fokus pada satu episode Mr. Bean yang terputar.

“Iya oke maaf, aku harus ngapain biar ngga ngambek lagi?” rayu Audine.

“Cium.”

“Oke.” Audine menggeser tubuhnya mendekat, lalu mengecup singkat pipi Ocean. Membuat lelaki itu merapatkan bibir menahan senyum salah tingkah.

“Udah, sekarang masih ngambek ngga?” tanya Audine lagi.

“Oke, sekarang aku mau hapusin email!” Ocean mematikan video youtube yang terputar begitu saja, lalu kembali menuju email untuk menghapus pesan sampah sesuai perintah Audine. Perempuan itu kembali tertawa.

“You really haven't changed at all. Masih kayak anak bayi.”

Jam 5.10 pagi. Warna jingga secara perlahan mulai mengisi gelap langit hitam. Satu titik cahaya dari ujung laut mulai samar terbangun dari tidurnya walau masih malu-malu. Udara dingin mulai menghangat

sedikit demi sedikit, tapi Ocean justru semakin mempersempit jarak yang ada. Lelaki itu menarik Audine lebih mendekat, lalu merangkul dan membawanya ke dalam satu selimut yang sama.

Audine menyandarkan kepalanya di atas dada Ocean, bersama wangi manis akuatik dari tubuh Ocean yang tidak pernah bosan ia hirup. Perempuan itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, sehingga beberapa kali pucuk kepalanya terbentur oleh dagu Ocean.

“Au ngapain sih? Ngga bisa diem?” tanya lelaki itu heran, sembari menahan kepala Audine dengan sebelah tangan.

Audine menaik-naikkan dahi, seraya menunjuk-nunjuk keningnya dengan satu jari telunjuk, “Gantian.”

Ocean terkekeh, ia mengangguk seakan paham pada sinyal yang barusan ia dapat.

Dengan lembut, Ocean menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi dahi perempuannya, lalu mengecup halus kening Audine, “Oke, lunas.”

Audine tersenyum puas.

Kini tatap keduanya jatuh pada tumpukkan email di dalam layar.

“You did well, Au.” ucap Ocean tiba-tiba.

“Apa? Aku ngapain?”

“Ada hampir tiga ribu email yang masuk, itu artinya, ada tiga ribu masalah yang udah berhasil kamu lewatin. Hebat, kamu hebat banget. I’m proud of you.”

Audine menggeleng, “Engga lah. Tiga ribu email itu kan ngga semuanya berisi masalah, banyak juga yang isinya nyeritain hari-hari bahagia, atau achievement yang aku dapetin selama hampir empat tahun ini.”

“Then you have worked hard for these four years. Hebat, kamu jauh lebih hebat. And i’m more proud of you.” Ocean meyakini, lalu mengecup kening Audine sekali lagi.

“Bukan cuma aku, but we. We already worked hard for these past four years. You doing good, Ocean!”

Ocean tersenyum, “I wish, i could met you sooner.”

Pukul 5.20 pagi. Sinar jingga mulai semakin terang dari ujung laut, siap menampakkan dirinya dari bawah sana. Ocean menarik napasnya dalam, lalu mengangguk seolah memberi isyarat pada hamparan laut luas di depan, ini saatnya.

“Remember the last zero o’clock that you sent?” tanya Ocean pada Audine yang mulai menguap.

Audine berdeham, “Of course! I sent you my dream tea house, kayaknya selama setengah tahun ini aku ngomongin ini terus ya.” Perempuan itu tertawa sarkas pada dirinya sendiri, “Tapi kayaknya, aku mau ganti aja deh, designnya ngga jadi kayak gitu.” ucapnya tiba-tiba, membuat Ocean menaikkan sebelah alis, karena semua design interior sudah ia siapkan sesuai email terakhir yang dikirim Audine.

“Kenapa? Kamu nemu design lain yang lebih kamu pengen?” tanya Ocean berusaha tenang.

Audine menggeleng, “Bukan, aku suka banget sama yang itu. Kayak tea partynya strawberry shortcakes! Kamu tau ngga?” katanya diselingi tawa, “Tapi, kayaknya itu terlalu tinggi buat aku. Budgetku ngga akan cukup buat menuhin kedai teh dengan furnitur cantik yang bahkan design interiornya aja ngga bisa sembarang milih. Nanti yang ada, kedai tehnya malah ngga jadi terlaksana kalo aku terlalu mengikuti keinginanku yang terlalu tinggi. Jadi, aku realistis aja.”

“I will make it realistic then.”

Ocean membuka satu file dokumen berisi final result dari hasil meeting-nya dengan desainer berupa design interior, furnitur, konsep bernuansa pink vintage bagaikan putri negeri dongeng, telah matang ia siapkan sendiri selama enam bulan terakhir, dan siap direalisasikan mulai bulan depan.

Semuanya benar-benar sesuai keinginan Audine, bahkan jauh lebih sempurna. Hingga mata perempuan itu terbelalak, bahkan Audine sendiri tidak pernah sekali pun berbicara tentang strawberry shortcakes. Binar matanya berkelip sumringah bersama garis lengkung yang hampir tertarik pada bibir.

Namun keantusiasan itu seketika memadam, bukan bermaksud untuk tidak menghargai usaha Ocean, tapi karena, Audine kecewa sebab Ocean tidak menghargai keputusan yang telah ia nyatakan berkali-kali. Untuk tidak membantunya secara financial.

“Bentar, ini maksudnya gimana?” tanya Audine, setenang mungkin demi mengkontrol nada bicaranya agar tidak terdengar menyinggung.

“Au, your tea shop has been set up. We can start changing all the settings on the next month.” ujar Ocean dengan antusias.

Audine menggeleng sambil berusaha tersenyum, “Ocean, but i already told you—“

“Tapi aku mau. Aku yang mau bantu kamu.” jawab lelaki itu kekeh, dalam satu kalimat.

Audine menaruh sebelah tangannya di atas punggung tangan Ocean, menatap sorot matanya lekat-lekat dengan penuh keteduhan. Berusaha menyembunyikan kekecewaan.

“Engga kayak gini caranya, Ocean. Aku tau kok, kamu mau bantu aku, aku juga seneng, seneng banget kamu mau bantuin aku. Kamu bisa bantu aku mikirin konsep, kamu bisa bantu aku cari-cari furnitur nanti, dan kamu juga bisa bantu aku by being a support system tiap aku nangis tengah malem.” Audine menjeda kalimatnya. “Tapi, ngga dengan tiba-tiba kamu udah urus semuanya sendiri. Ya, walau emang semuanya udah sesuai sama keinginan aku. Tapi, aku ngga mau pake uang kamu buat kepentingan usahaku. Karena ini emang urusanku, Ocean.”

Ocean melirik ke arah cakrawala di depan. Tubuh sang mentari mulai menyembul dari ujung permukaan laut. Langit semakin membiru, memantulkan kerlap kerlip cahaya di atas air pada gelombang ombak yang mengayun.

“Tapi, karena kamu udah ngelakuin semuanya, it’s okay. I’m appreciate you, makasih banyak Ocean. Dan, aku anggap ini sebagai utang, ya? Karena sekali lagi, i’m not your first priority.” sambung perempuan itu lagi.

Alih-alih menyangkal atau pun tersinggung dengan penolakan Audine yang tersuara secara tersirat, Ocean justru jatuh ke dalam tatap itu. Manik mata penuh bintang, dengan sebelah wajah yang terpantul oleh cahaya jingga. Ocean jatuh untuk yang kesekian kalinya kepada wanita di depannya.

Audine, perempuan yang tanpa disangka hadir di hidupnya lewat satu tragedi konyol. Bahkan, sebelah sandal rose gold milik Audine yang empat tahun lalu tertinggal pada kali pertama pertemuannya, masih Ocean simpan sampai sekarang. Dua bunga matahari pemberian Audine pada pertemuan keduanya yang kini jelas telah mati membusuk. Dua kelopaknya ia keringkan, lalu ia masukkan ke dalam figura kaca.

Tidak ada alasan lain bagi Ocean untuk tidak menjadikan Audine sebagai salah satu prioritas utama di dalam hidupnya.

Perempuan yang berhasil membawa perubahan besar sekaligus bukti bahwa the miracles inside the struggle is real. Audine adalah bukti dari keajaiban itu sendiri.

Tepat pukul enam pagi. Sang mentari kini telah terbit seutuhnya. Menyambut hari baru di antara luas laut biru dan suara ombak yang seakan memanggil. Laut dengan berjuta makna bagi samudra. Di sinilah memori gelap itu tercipta, lantas di sini jugalah memori bahagia menuju lembaran hidup baru harus tercipta.

Another turning page.

“Bangun yuk, kita ke depan, sunrisenya udah keluar.”

Ocean mengulurkan tangan, menuntun Audine dari duduknya, lalu berjalan mendekati air di mana debur ombak mampu menjangkau keduanya.

“Au, kamu kenapa selalu nolak kalo aku mau bantu kamu, financially?” tanya Ocean seraya menyelipkan helai rambut ke belakang telinga Audine.

Audine tersenyum pada hamparan laut lepas. “Hidup aku bukan prioritas dan kewajiban kamu, Ocean.”

Ocean diam dalam hitungan detik, kembali mengambil napas dari udara segar beraroma laut. Sebelum akhirnya mengucap,

“Kalo gitu, can i make you to be my top priority?”

Ocean mengeluarkan satu kotak berbentuk octagon dengan balutan kain beludru berwarna salmon, yang di atasnya terdapat bordiran cantik mengukir satu huruf A dari dalam saku mantelnya.

Audine tersontak, ia memiringkan badan menghadap Ocean sekaligus reflek menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan mata yang membulat.

“Ocean, don’t tell—“

Belum sempat Audine melanjutkan kalimat, Ocean tiba-tiba bersimpuh dengan tulus di hadapannya, sembari membuka ring box, menampakkan satu cincin emas berwarna rose gold dengan satu permata cantik di atasnya.

Lelaki itu tersenyum teduh menatap binar mata Audine, yang kini menutup mulutnya dengan kedua tangan, berdiri kaku mematung, menahan cekatan napas dalam diam.

Ocean menjulurkan ring box berisi cincin, dengan mantel coklat yang ujung bajunya kini basah karena menjangkau deru ombak yang menghampiri.

“Kamu tau, aku suka banget sama laut. Laut dan keindahannya, laut dengan sejuta memori di dalamnya. Di tempat ini aku merasakan rasa takut yang luar biasa, selama hampir delapan tahun aku meninggalkan laut, and you are the one and only person who brings the ocean back home to the sea.”

Audine menitikkan air matanya, memandang hangat lelaki yang kini bersimpuh di hadapannya bersama seluruh lautan biru. Di atas pasir putih dan cahaya jingga yang semakin meninggi menuju cakrawala.

Keajaiban pada matahari terbit, dan kini Ocean adalah bukti dari keajaiban itu sendiri bagi hidup Audine.

Ocean menyambung kalimatnya dengan nada bicara yang sangat tenang, mengendalikan seluruh gemuruh di dalam dada yang meronta keluar.

“Now, the sea must also be a witness to my feelings that fall so deep, too deep, deeper than the ocean itself. I can’t swim out Au, cause i’ve been drowning in you.”

Ocean menarik napas panjang seraya memejamkan mata, sebelum mengucap kalimat terakhir.

“Au, will you marry me?”

Air mata Audine tumpah sepenuhnya, air mata murni yang menetes jatuh di atas suci laut biru. Tidak pernah sedikit pun Audine terpikir kalau Ocean akan melamarnya di antara buih laut yang berkejaran pada deru ombak sang samudra.

Lelaki yang empat tahun lalu mati-matian keluar dari rasa takut. Laut yang pernah menyakiti, kini dengan tulus lelaki itu memaafkan dan membiarkan laut menjadi saksi akan keajaiban baru yang tercipta.

Audine membalas senyum itu dengan mata yang berkaca-kaca, menatap manik beribu bintang yang berkelip hanya kepadanya.

Perempuan itu mengangguk tanpa keraguan.

“I won’t let you drown, let’s dive together, Ocean.” Audine menjeda kalimatnya, ia menarik napas sekali lagi dengan keyakinan penuh.

Lalu tersenyum dengan bahagia, “Yes, i will.”


Setelah menempuh jarak kurang lebih dua jam, karena macet, Audine tiba di salah satu fashion store brand favoritnya. Sebagian koleksi dress yang dimiliki Audine, hampir delapan puluh persen semuanya terangkut dari Serein. Keadaan store yang terletak di dalam mall itu cukup ramai, selain karena antusias customer yang masih tinggi karena toko offline baru dibuka satu minggu yang lalu, jam lima sore adalah waktu di mana jam ramai pengunjung mall mulai membludak.

Audine terlihat cantik hari itu, walau biasanya memang selalu cantik (menurut Ocean). Dengan setelan long dress katun berwarna krem dan motif bunga-bunga kecil hitam yang berjarak renggang satu sama lain di sekitar kain, dengan panjang lengan tiga per empat. Kini ia tidak lagi memerlukan kardigan panjang yang selalu menenggelamkan seluruh lengannya.

Semenjak Ocean berdamai dengan bekas luka di atas perutnya, dan berani mengakui dengan tulus bahwa ada ukiran cantik di atas kulitnya, Audine sadar, bahwa ia juga tak seharusnya terus-terusan benci dengan deretan luka dan satu benjolan mungil di atas punggung tangannya.

Tangan yang cantik. Tangan yang mampu mengikat bertangkai-tangkai bunga berisikan jutaan perasaan manis dan bahagia di dalamnya. Tangan yang mampu menghasilkan berbuket-buket bunga cantik untuk orang-orang tersayang. Tidak seharusnya Audine menyembunyikan tangan indah itu.

Because, perfect imperfectness. Akan selalu ada kesempurnaan di dalam ketidaksempurnaan.

Audine berjalan menuju spot dengan deretan blouse warna-warni tergantung di satu sudutnya. Dari kejauhan, perempuan itu telah menangkap satu blouse berwarna bata yang terpasang elegan pada manequin. Blouse bermodel crop, dengan bagian bahu yang merenggang, sekilas seperti model sabrina sehingga akan menampakan lekukan tulang selangka bagi siapapun yang mengenakannya. Ada bulatan-bulatan manis yang seolah menyerupai kancing pada bagian tengah, dan kedua lengan balon yang menurutnya akan terlihat sangat manis jika dikenakan oleh Aliesha.

Menepati janjinya, Audine mengambil satu blouse berwarna bata dan satu crop top coklat bergambar satu muka beruang lucu di tengahnya untuk Aliesha.

“Eh, ini L ya dua-duanya?” gumamnya pada diri sendiri setelah melihat data size di atas tag label.

Aliesha memiliki tubuh yang tinggi, namun badannya sangat kecil dan ramping. Cukup sulit mencari ukuran pakaian yang pas pada proporsi tubuhnya, karena akan selalu terjebak di antara pilihan: size kecil yang pas pada badannya, namun panjang pakaian kependekkan jika dikenakan atau size lebih besar dengan panjang yang cukup, namun lingkar badan yang kebesaran.

Audine melambaikan tangannya pada seorang pramuniaga di ujung ruang dekat meja kasir, berniat meminta tolong untuk mencarikannya size yang lebih kecil. Audine mengangguk ketika seorang perempuan berkucir kuda dengan kaus polo putih itu menangkap panggilannya, walau tidak terlihat jelas raut mukanya karena penglihatan Audine sedikit tidak baik, perempuan itu tetap mengangguk ramah.

Sambil menunggu pramuniaga tiba, Audine kembali memutar badan, mencari-cari ulang tiap sela gantungan baju yang tergantung rapi, kalau-kalu ada size incarannya yang terlewat oleh tangkapan mata.

“Halo kak, ada yang bisa dibantu?” Suara itu menghentikan pencariannya dalam hitungan detik.

Suara itu, suara perempuan yang terasa sangat familiar, namun asing ditemui lagi oleh telinganya. Suara perempuan yang hampir satu tahun lebih tidak pernah lagi ia dengar. Suara yang Audine rindukan.

Dengan percaya diri akan suara siapa yang ia dengar, Audine memutar badan seraya memanggil, “Kak Nala?”

Nala tersontak melihat siapa perempuan di depannya. Alih-alih membalas manik mata sumringah milik Audine yang mulai berkelip basah karena kilau air mata yang mulai mengepung, tatap ramah Nala langsung meredup, berubah menjadi sorot mata kosong yang tidak bisa diartikan.

Nala dengan balutan celana jeans abu-abu dan kaus putih berlogo Serein, rambutnya dikuncir kuda dengan anak-anak rambut yang mulai keluar berantakan. Badannya jauh lebih kurus dari kali terakhir Nala datang ke rumah.

Semenjak pertengkaran terakhir keduanya, Nala hanya datang ke rumah sekitar satu sampai dua kali dalam setahun. Tidak ada lagi yang mengungkit kesalahan akan ucapannya yang menyakiti hati adiknya. Pintu terbuka dengan sangat luas, semua menyambut kedatangan Nala seolah tidak ada konflik yang terjadi di antara mereka.

Lagi dan lagi, tidak ada satu pun anggota keluarga yang membedakan Nala seperti apa yang ada di pikirannya selama ini. Begitu pun dengan Audine, yang berpuluh-puluh kali hatinya dipatahkan oleh kakak perempuannya. Rasa sayang itu, sama sekali tidak pernah pudar.

Namun semenjak dua tahun terakhir, Nala tidak pernah lagi pulang ke rumah. Bahkan perempuan itu kabarnya telah pindah, semakin lari menjauh dari rumah.

Audine menahan air matanya kuat-kuat, begitu pun dengan Nala. Ramai atmosfer dari pengunjung seolah sepi bagaikan langit di antara gemuruh petir. Dua pasang mata yang saling mengunci, saling menyimpan sakit bercampur rindu, tanpa ada sepatah kata terucap.

Audine berjalan semakin mendekat, lalu meraih sebelah tangan Nala yang lekukan tulangnya terasa menonjol ketika bersentuhan dengan tangannya. Audine menggenggam tangan itu, tangan perempuan yang tanpa pernah sedikit pun ia berpikir, kalau ternyata masih ada kesempatan untuk Audine mengenggam tangan milik kakak perempuan satu-satunya.

Audine mengusap tangan Nala lembut, bersama tetes air mata yang tidak bisa lagi ia bendung.

“Kak.. jangan telat makan ya.” ujar Audine dengan suara mengecil.

Nala hanya diam, masih menatap Audine lurus dengan mata yang mulai memerah. Nala menggigit bibir bawahnya, menahan getaran tangis yang siap meledak, sambil membiarkan adiknya mengenggam tangannya.

Karena jauh dari dalam lubuk hatinya, sesungguhnya Nala sama-sama merindukan Audine. Sangat.

“Kak, it’s been a long time. Aku bahkan ngga berani menghitung, semakin aku menghitung berapa tahun terlewat, semakin aku sadar kalo..”

Audine memutus kalimatnya karena tangis mulai meledak, genggaman Audine semakin kencang hingga menciptakan cetakan merah di atas putih kulit Nala. Perempuan itu berbicara menunduk, tanpa sedikit pun menatap Nala karena takut akan hanya ada api kemarahan di dalam manik mata yang selama ini ia rindukan.

Karena sejujurnya, Audine rela menahan rindu hingga berpuluh-puluh tahun dari pada ia harus kembali melihat sorot amarah dari dalam mata Nala. Merasakan perasaan benci dari tatap mata Nala itu lebih menyakitkan dibanding rasa rindu hingga akhir hayat.

Audine menarik napas panjang demi mengatur deru napasnya sebelum melanjutkan kalimat, “Kalo kita bener-bener udah semakin jauh..”

Nala memallingkan wajah, tak gentar dalam diamnya, masih bungkam tanpa bersuara.

“Kak Nala, aku minta maaf. Sekarang kakak udah bisa pulang kok, karena aku udah ngga tinggal di rumah sekarang. Jadi, Kak Nala ngga akan marah-marah lagi sama mama dan ayah gara-gara aku.” Audine mengangkat wajahnya, matanya masih penuh dengan air mata, namun kali ini emosinya sudah jauh lebih stabil. “Pulang ya, kak? Ayah sama mama kangen banget sama Kak Nala.”

Dengan satu hentakan kasar, Nala menarik tangannya dari dalam genggaman Audine, hingga membuat tangan Audine terlempar di udara, lagi-lagi membuat Audine tersontak akan hal tidak terduga. Dadanya kembali sakit.

Nala pergi berlari meninggalkan Audine tanpa sepatah kata, tanpa sedikit pun menatap balik binar mata tulus dari adiknya. Nala lagi-lagi meninggalkan Audine yang diam mematung seorang diri.

Namun tanpa seorang pun tahu, kalah ada air mata yang jatuh lebih deras, bahkan lebih deras dari Audine. Nala berlari ke dalam ruangan kecil di belakang pintu kasir sambil menutup mulutnya.

Lalu sosoknya menghilang dari pandangan mata.

Audine mendudukkan diri pada satu kursi kotak di depan lemari dengan bertumpuk-tumpuk kaus di sampingnya. Sambil menggenggam tangannya sendiri, lalu mengusap-usap punggung tangannya, Audine tersenyum.

“At least, i can hold your hand for the whole two minutes, kak. Even this gonna be our last two minutes.”

Selama hampir dua puluh menit, Audine terdiam di tempat yang sama hanya untuk mengembalikan emosinya. Sesekali menoleh ke belakang, berharap kakaknya kembali datang menghampirinya. Berulang-ulang ia mengambil napas teratur sambil memutar playlist zero o’clock dari sepasang airpod yang masih selalu ia dengarkan sejak hampir empat tahun lalu tanpa bosan.

Setidaknya, playlist itu mampu menghangatkan hatinya, sama hangatnya dengan si pembuat playlist.

Audine bangun dari duduknya, tak lupa membawa dua baju untuk Aliesha. Perempuan itu pergi menuju kasir dengan mata yang masih terlihat sembab. Audine mengangguk pada penjaga kasir sembari memaksakan senyumnya.

Hari itu, pertemuan tidak terduga terjadi di tempat yang juga tidak terduga. Perang dingin di antara Audine dan Nala belum mencair, tapi setidaknya, ada perasaan rindu yang berhasil terobati, walau rindu itu tak kunjung berbalas.

Jika boleh Audine meminta, ia ingin setidaknya diberi kesempatan satu kali lagi, untuk bisa memeluk Nala, dan mendengar suara Nala memanggil namanya.

Seseorang menepuk pundaknya dari belakang saat Audine melangkah meninggalkan store. Audine menoleh dengan sorot mata bertanya.

Belum sempat Audine membuka suara, satu perempuan dengan baju dan rambut yang sama seperti Nala itu tiba-tiba menyodorkan sebuah amplop putih, yang bisa ditangkap dengan pasti kalau itu adalah sepucuk surat.

“Dari Nala.”


Bandara Soekarno-Hatta, bukan hal aneh lagi jika parkirnya selalu penuh. Sudah dua puluh menit mereka terjebak pada arus padatnya mobil menuju pintu masuk. Sambil sesekali mengecek jam, sudah hampir jam delapan, itu artinya Aliesha telah menunggu kedatangan mereka selama satu jam sendirian.

Langit senja telah berubah menjadi gelap, langit malam yang sepi tanpa cahaya bintang, hanya ada bulan dengan cahayanya yang meredup, tersapu oleh gumpalan awan halus. Malam yang mendung.

Berkali-kali dering telpon dan spam chat dari Aliesha tidak berhenti masuk bahkan sejak keduanya baru memulai perjalanan. Aliesha, satu-satunya adik perempuan kesayangan yang dimiliki Ocean, tujuh tahun jarak terpaut di antaranya.

Papa melanjutkan bisnis serta dipindah tugaskan ke Jepang saat Ocean baru saja menerima pengumuman lolos tes universitas. Maka dari itu, Ocean memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia, sementara Aliesha dan kedua orang tuanya pergi ke Jepang.

Kini Aliesha memutuskan untuk pulang ke Indonesia setelah selesai menamatkan sekolahnya, dan memilih untuk melanjutkan pendidikan di Indonesia sekaligus melepas rindu pada kakak laki-lakinya.

“Kakak, kenapa kakak ngga ikut!”

Aliesha berumur sepuluh tahun merengek dengan matanya yang basah, bolak-balik membuntuti Ocean yang sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.

“Pokoknya aku ngga mau pergi kalo Kak Elvan ngga ikut!” rajuk perempuan itu lagi seraya menghempaskan diri ke atas sofa.

Tumpukan tas dan koper telah memenuhi setengah isi ruang tengah, alat-alat furnitur kini rapi tertutup oleh kain putih. Keadaan rumah itu telah siap ditinggalkan penghuninya, termasuk Ocean.

Orang tuanya sengaja menyewakan satu kamar apartment di dalam gedung yang sama dengan Dareen, karena sesungguhnya, kedua orang tuanya tidak cukup tega untuk meninggalkan Ocean sendiri walau usianya telah terhitung dewasa.

Aliesha semakin mengencangkan tangisnya begitu melihat Ocean dengan santainya melengos pura-pura tidak peduli di depannya sambil menggeret satu koper besar ke dalam kamar.

“KAKAK, KAMU KENAPA NGGA RESPON AKU?!”

“Kakak, samperin dulu itu adeknya, jail banget kebiasaan!” Suara Mama terdengar dari sudut lain ruangan.

Ocean tertawa, lelaki itu mengintip sekilas dari dalam kamar, menyaksikan Aliesha yang tengah menangis sambil menelungkupkan badan. Sebelum akhirnya lelaki itu mengalah tidak tega, dan berlari keluar, lalu ikut menjatuhkan badan di samping Aliesha.

“Apa sih, anak kecil! Kamu berangkat aja belum udah heboh!” ledek Ocean sembari mengacak-acak rambut adiknya.

“Kakak, ayo ikut ke Jepang, nanti aku main sama siapa..” Aliesha memiringkan wajahnya yang merah, tepat berpapasan pada wajah Ocean yang sama-sama berbaring tengkurap di sampingnya.

“Alie, kamu tuh anak baik, banyak yang mau temenan sama kamu, jangan takut.” Ocean menaruh sebelah tangannya di atas kepala Aliesha.

“Ngga mau, aku maunya main sama kakakku!”

“Loh, kita masih bisa main tauuu, siapa yang bilang engga? Nanti kita main get rich deh tiap malem, aku janji!”

“Ngga mau, aku maunya kamu ikut!” Aliesha kembali memalingkan wajah dan menenggelamkannya di atas bantal.

Ocean bangun dari tidurnya, lalu duduk tepat di samping Alie seraya mengusap-usap rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Alie, aku harus kuliah, jadi aku ngga bisa ikut. Tapi aku janji, nanti tiap liburan, aku bakal nyamperin kamu, mama, sama papa ke Jepang. Kamu juga bisa telpon aku tiap malem kok, nanti kamu ceritain semua yang kamu alamin di hari itu supaya aku tau kamu di sana ngapain aja.“

Aliesha mengangkat kepalanya lagi, “Tapi, tetep aja kamunya ngga ada. Aku sendirian.”

Ocean menggeleng seraya tersenyum, “Ngga Alie, kamu ngga akan sendirian karena aku bakal terus mantau kamu dari sini, lewat cerita-cerita kamu di tiap harinya.”

Mereka berdua berjalan setengah berlari menuju pintu kedatangan terminal 3, masih menggunakan pakaian formal yang sama dari acara pernikahan Aidan, kecuali Audine, karena perempuan itu sempat pulang lebih dulu. Tidak ada lagi pesan masuk dari Aliesha sejak empat puluh menit terakhir. Ocean mulai khawatir.

“Au, coba telpon lagi, tanyain Alie di mana.” suruh Ocean dengan napas tersengal begitu sampai di pintu kedatangan, dan tidak menemukan Aliesha di kursi menapun.

“Ngga aktif, aku telpon ke nomor biasa juga ngga aktif. Kamu tenang dulu ya, jangan panik. Kita cari pelan-pelan.”

Ocean melepas jas hitam yang dikenakannya lalu menggantungkannya pada sebelah lengan, menyisakan kaus putih polos yang melapisi badannya.

Keduanya berpisah menghampiri tiap barisan kursi yang ada, sebagian kursi telah kosong, hingga barisan itu kembali lagi terisi, tetap tidak ada sosok Aliesha yang terduduk di salah satunya.

Mereka kembali bertemu pada titik awal, Audine bisa menangkap ekspresi panik dari Ocean walau setengah wajahnya terhalang oleh masker.

Audine mendekat, lalu menuntun Ocean untuk duduk di satu kursi di sebelahnya.

“Duduk dulu, kamu tegang banget, mau minum?”

Ocean menggeleng, “Gimana aku ngga panik, Au, adik aku ilang.”

Hush, kamu ngga boleh ngomong sembarangan! Alie ngga ilang, mungkin Alie lagi jalan-jalan karena dia bosen nungguin kita kelamaan, pasti bentar lagi dia balik kok.”

Audine menenangkan Ocean sembari mengusap-usap bahunya, walau sebenarnya ia sama-sama panik karena tidak bisa menemukan Aliesha. Tapi Audine menahan emosinya agar tidak terlihat, demi menjaga Ocean agar lelaki itu tidak semakin panik.

“Ah, ngga aktif!” desah Ocean setelah mendengar sambungan telpon yang lagi-lagi terputus. “Atau kita ke pusat informasi aja, ya? Tapi aku ngga tau Au, Alie pake baju apa, nanti gimana kita ngasih keterangan?” Kini Ocean mengacak-acak rambutnya frustasi.

Audine terkekeh, “Alie bukan anak balita yang ilang di mall, sayang. Alie udah dewasa, dia udah ngerti kalo ada perintah yang nyuruh dia untuk dateng ke pusat informasi.”

“Maksudnya?” Ocean mengangkat kepalanya, mengunci tatap pada binar mata Audine yang penuh keteduhan. Lelaki itu akan selalu kehilangan konsentrasi kapan pun ia merasa panik.

“Kita ngga perlu sebutin detail ciri-ciri Alie, kamu sebutin aja namanya. Kan nanti Alie denger, dia tau kalo dicariin, terus dia dateng sendiri deh nyamperin kamu.”

Dengan sigap lelaki itu langsung bangun dari duduknya, menarik sebelah tangan Audine untuk segera menuju ke pusat informasi.

Tiba-tiba, suara perempuan yang sangat familiar terdengar nyaring menembus lalu lalang roda koper yang terseret di penjuru lantai bandara.

“KAKAK!”

Aliesha dengan balutan crop jacket dan joger pants serba hitam berlari sambil mendorong troli kopernya, menghampiri Ocean dan Audine yang masih memandanginya dengan raut wajah kaget bercampur lega. Ocean langsung menubrukkan badannya begitu Aliesha tiba di depannya. Audine tersenyum haru dari belakang.

“ASTAGA ALIE KAMU DARI MANA AKU PANIK BANGET! BISA NGGA SIH DIEM AJA NGGA USAH RUSUH KEMANA-MANA!” protes Ocean menggebu, sambil memeluk Aliesha erat hingga seluruh wajahnya terbenam di dalam rengkuhan Ocean.

Aliesha menarik paksa tubuhnya, lalu memukul dada kakak laki-lakinya itu cukup keras.

“KAMU GILA YA, EMANG AKU NGGA LAPER NUNGGUIN KAMU HAMPIR DUA JAM! AKU ABIS DARI KFC NGGA USAH SOK PALING TERSAKITI!”

Sst, berisik! Malu-maluin.”

Aliesha berdecak sebal, sebelum tatapnya bertemu dengan Audine yang tengah menyaksikan keributan di antara kakak beradik yang telah berpisah sekian lama.

Manik mata Aliesha kembali berkelip sumringah, akhirnya setelah tiga tahun, ia bisa bertemu langung dengan Audine yang bahkan telah ia anggap sama berharganya dengan Ocean.

“Kak Au!” Aliesha berlari menghampiri Audine, kini perempuan itu yang memeluknya sangat erat, tinggi keduanya sama. “Finally, it’s the first time we met! Kakaaaak i miss you a lot!”

Audine membalas pelukan Aliesha yang sangat terasa hangat hingga menyentuh hatinya, mengusap rambutnya dengan kasih sayang penuh seorang kakak. “Finally.. we can meet in person, God, i miss you too Alie!”

Ocean tersenyum memandangi dua perinya yang berhasil bertemu saling melepas rindu. Akhirnya, Ocean benar-benar memenuhi janjinya, untuk memberikan Audine kasih sayang baru yang telah lama ditinggalkan oleh Nala.

“Aku?” Ocean membuka suara sembari jalan mendekat menghampiri Audine dan Aliesha, “Kok ngga ada yang bilang i miss you ke aku?”

“Gak.”

“Males.”

Jawab kedua perempuan itu bersamaan.

Ocean tertawa lalu menarik keduanya ke dalam pelukannya, “Yea, finally. We’re together now.”

“Ayo pulaaang! Aku ngga betah banget pengen buru-buru mandi, gerah banget Indonesia.” celetuk Aliesha setelah ketiganya telah lepas dari pelukan.

“Dih, keren lo begitu?” Ocean menyatukan alisnya.

“Tuh kan, kamu gitu banget sama aku dari tadi bukannya disayang-sayang udah tiga tahun nggaa ketemu aku malah diomelin mulu, udah sono, aku sama Kak Au aja!” Aliesha menarik lengan Audine lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Ocean.

“Kok baju kalian sama, sih?! Kalian janjian?”

Dua perempuan itu berhenti, saling melempar pandang. Tanpa sengaja, ternyata ketiganya baru sadar kalau hari ini Audine sama-sama mengenakan jaket dan jogger pants senada, persis mirip dengan outfit yang dikenakan Aliesha, hanya saja warnanya berbeda. Audine mengenakan setelan berwarna abu-abu.

“Aduh, iya! Ternyata aku emang jodohnya sama Alie.” jawab Audine dengan lirikan mata meledek ke arah Ocean.

“Oke kakak, ayo kita lanjut jalan, kita biarin aja lelaki itu di sana. Kamu punya aku sekarang!”

“Kenapa aku ngga di ajak terus?” tanya Ocean memelas.

“Kakak, kan kamu udah sering, gantian dong!” jawab Aliesha menoleh sekali lagi, sebelum berjalan pergi sambil menggandeng Audine yang dari tadi hanya bisa tertawa.

“Eh, ini koper kamu bawa!” seru Ocean.

“Sama kamulah, biar tangannya ngga sepi, aku baik kasih kamu koper biar bisa digandeng.”

Ocean mendengus sembari berjalan malas meraih troli penuh tiga koper milik Aliesha.

“Awas kalian aku tabrak!”

“Kabuuuuur!”


Malam sudah semakin larut ketika keduanya keluar dari bioskop, bahkan lebih tepatnya, larut menuju pagi. Mereka berdua sengaja mengambil sesi film di jam tengah malam karena menghindari kerubungan orang-orang yang terlalu ramai.

Persis seperti apa yang Ocean cemaskan pada tiga tahun lalu, di saat publik benar-benar mengenalnya, privasinya seolah terenggut, ia tidak bisa lagi keluar bebas tanpa diikuti orang-orang dengan todongan kamera membuntuti waktu pribadinya. Dan jangan lupakan topi dan masker hitam yang sudah menjadi gaya ciri khas Ocean sekarang.

“Oke, kamu bisa lepas masker kamu sekarang.” ucap Audine setelah mereka keluar dari dalam mall yang seluruh sudutnya sudah gelap seperti rumah hantu.

Persis di depan mall, ada jalanan kecil memanjang yang suasananya hampir mirip dengan taman kota. Sepanjang jalannya diisi dengan distro dan restoran-restoran berbangun minimalis, juga toko kue yang semuanya kini telah tutup. Hanya tersisa satu coffee shop di tengah-tengah barisan toko yang buka selama 24 jam. Aroma kopi dari dalam kafe menyeruak menembus dinginnya udara jam dua dini hari. Memberi kesan menenangkan pada heningnya ibu kota pada malam sebelum pagi.

Ocean melepas masker yang ia fungsikan untuk menutupi eksistensi dirinya agar tidak dikenali publik, lalu ia lipat asal sebelum dimasukkan ke dalam saku jaket. Tidak ada siapa-siapa lagi sekarang, selain dirinya dan perempuan di sebelahnya yang tengah memakan popcorn sisa di bioskop tadi.

Mereka memutuskan untuk jalan-jalan malam sebelum pulang, seolah tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada. Karena kini, waktu berdua di antara mereka menjadi sangat sedikit.

Kesibukkan masing-masing yang tiada henti terkadang mampu membuat keduanya berharap untuk bisa kembali ke tahun-tahun sebelumnya. Di mana Ocean masih bisa menemui Audine setiap hari karena schedule yang masih manusiawi. Hari di mana Ocean masih bisa pergi bebas layaknya manusia normal tanpa perlu takut diawasi lensa kamera dan kejaran penggemar. Tidak aneh kalau keduanya lebih sering menghabiskan waktu di apartment karena lebih bebas dan aman.

Toko bunga Audine sudah sangat berprogres sekarang. Wanita itu kini telah mempunyai dua cabang baru yang terletak di Bandung dan Karawang, tidak terlalu besar, tapi keduanya beroperasi dengan sangat baik. Dan setiap seminggu sekali, Audine akan pergi mengecek tiap cabang yang terkelola. Bahkan saat ini, ia tengah mengurusi lembar-lembar persetujuan sebelum menandatangani kontrak kerjasama dengan salah satu wedding organizer yang cukup besar di ibu kota.

“I love the atmospher of late night Jakarta.” tutur Ocean seraya meraih sebelah tangan Audine, memasukkannya ke dalam genggaman erat.

“Iya! Tenang banget, sepi, kamu udah bisa sekarang kalo mau roll depan di tengah jalan, ngga akan ada paparazzi.” balas Audine dengan mulut yang masih mengunyah pada sisa popcorn terakhir. Lalu membuang wadah kosong ke tempat sampah yang terlewati di sebelahnya. “Eh, apa kita kalo jalan-jalan jam segini aja ya? Nanti judulnya, late night Jakarta session with Ocean and Audine!” sambung perempuan itu.

“Kayak Abel sama Emina dong? Terus jalan-jalan ke kanal Molenvliet?” Ocean tertawa, mengingat salah satu judul novel. “Engga ah! Ocean Audine harus punya ciri khas sendiri!” katanya lagi.

Audine memajukan bibir, “Tapi serius deh aku mau nanya, kamu kadang suka kangen ngga sih? Sama hari-hari kamu sebelum beneran jadi public figure yang kayaknya, sekarang hampir semua deh ngga ada yang ngga tau kamu.”

“Iyalaaah!” jawab Ocean cepat, “Kamu tau sendiri, aku dulu ngga mau banget yang namanya dikenal orang, jadi populer. Diatur ngga boleh post ini itu aja aku kesel apalagi sekarang, aku ngga sengaja nyebut nama merek, ngga nyampe satu menit aku udah ditelpon.”

“So, how do you feel with your current life?” tanya Audine lagi, kini keduanya duduk di satu kursi panjang beralas keramik. Ada bunga-bunga bougainvillea di atas sandarannya.

“Umm,” Ocean berdeham cukup panjang, “ya ngga gimana-gimana sih, maksudnya, ya aku harus apa selain cuma bisa menjalani hidup yang sekarang? Emang dibanding dulu, sekarang banyak ngga enaknya, aku jadi ngga bebas, jarang ketemu kamu, jarang telponan sama Alie sampe tiap malem dia marah-marah mau ngobrol, tapi aku masih ada schedule.”

“Iya! Sampe aku hafal, kalo tiap malem ada chat dari Alie, pasti openingnya misuh-misuh sebel sama kamu dulu.” balas perempuan itu sembari tertawa, memecah keheningan malam.

Ocean ikut terkekeh, ia menyenderkan kepala Audine ke atas bahunya dengan lembut.

“Tapi itu kalo liat ngga enaknya doang. Kalo aku liat dari sudut pandang lain, selain ngga enaknya yang makin banyak, ya enaknya juga sama makin banyak.” kata Ocean melanjutkan pembicaraan. “Orang-orang sekarang kenal aku sebagai Ocean yang baik, can handle his trauma, againts his insecurities, mereka melihat aku sebagai orang yang positif, ya, walaupun aku ngga positif-postif amat juga aslinya. Tapi seengganya, aku seneng mereka kenal aku sebagai Ocean yang hebat, di saat dulu aku payahnya minta ampun. Coba kalo mereka kenal akunya dari dulu, aku bakal ngerasa bersalah karena mereka ketipu sama aku yang sebenernya ngga ada keren dan hebatnya sama sekali, kasian mereka nanti mengidolakan orang yang salah.”

Lelaki itu berbicara dengan tenang sambil menyisiri rambut Audine yang berada di atas bahunya.

“Dan yang paling penting, aku ngga perlu lagi muncul dengan palsu di depan publik. Sekarang semua udah tau kalo aku punya bekas luka, kalo aku punya kekurangan, aku ngga perlu nutup-nutupin lagi Au, dunia udah baik sama aku sekarang!”

Audine menengadahkan kepalanya, lalu mengelus sebelah pipi Ocean dengan senyum yang terlempar dengan manis, “You grow a lot.”

“Kamu sendiri? How do you feel with your current life being Mrs. CEO of Fairy Blossom?” ledek Ocean.

Audine reflek menyikut perut Ocean, membuat lelaki itu meringis seraya terkekeh, “Shut up.”

“Ya sama sih aku juga, ngga gimana-gimana. Bedanya sekarang tiap hari aku di depan layar, pusing, ngurusin data ini itu. Enakan dulu gunting-guntingin bunga!”

Ocean tertawa, “Ya geret aja komputernya ke luar sambil liatin yang bikin buket, jangan di dalem ruangan mulu biar ngga sumpek.”

“But now i’m no longer burdened with debt, aku seneng banget liat ayah sama mama udah ngga perlu khawatir lagi tiap tanggal delapan belas.”

“You work so hard.” balas Ocean sebelum menjatuhkan kecupannya di atas kening Audine.

“Terus, oh iya, aku juga udah mulai nabung buat buka kedai teh! Ya pasti bakal masih jauh banget sih, tapi aku udah mulai pertimbangin saran oma. Soalnya kalian bahas mulu tiap saat, kan aku juga ke-trigger? Lama-lama mikir, oke juga idenya.”

“Penawaran aku juga masih sama, kalo aku masih mau bantuin kamu mo—“

“Ssst!” Audine memotong ucapan Ocean sembari membekap mulutnya, “Aku bisa sendiri, i’m not your first priorities. Jadi, kamu bantu support aku aja, ngga perlu ikut-ikutan bantu financial, itu kan urusanku!” jawab Audine terdengar seperti rengekkan anak-anak.

Dingin angin malam mulai semakin menusuk menembus lapisan pakaian, lalu lalang kendaraan semakin berkurang jumlahnya. Atmosfer ibu kota semakin terasa tenang dan damai.

“Berarti sekarang, problem-ku tinggal satu. Yang aku sendiri ngga tau bisa terselesaikan atau engga.”

“Apa?”

“Kak Nala.” Audine menghela napasnya pasrah. “Semenjak hari itu, Kak Nala udah ngga pernah lagi dateng ke rumah, paling setahun cuma dua kali. Walau secara kontak, kita semua masih berkontak sama Kak Nala. Kak Nala ngga pernah minta maaf yang beneran minta maaf sama aku, tapi kita tetep get in contact, ya walaupun ngga sering. Cuma ya, feel-nya bener-bener jadi ngga jelas, aku sama Kak Nala kayak udah sekedar aliran darah doang yang oh oke, lo adek gue, lo kakak gue, tapi secara kontak batin, kita udah ngga punya nyawa. Bahkan aku udah ngga mengharapkan lagi Kak Nala balik kayak dulu, kalo bukan dia yang chat duluan juga aku ngga pernah chat, aku udah trauma, takut sakit hati lagi. Jadi ya udah terserah dia aja.”

Kini sebelah tangan yang dari tadi Ocean gunakan untuk menyisiri rambut Audine, kembali pindah meraih kepalan tangan perempuan itu yang mulai terasa dingin diterpa cuaca dini hari.

“Au, kadang emang ngga semuanya apa yang kita semogakan bener-bener dikabuli. Ada kalanya kita ngga bisa terus-terusan berharap kalo akan ada jawaban yang baik di kemudian hari yang akan datang. Kadang kita harus mau menganggap tidak sebagai jawaban. Jadi, walau kamu belum bisa berhasil damai sama Kak Nala, seenggaknya kamu udah berhasil damai dengan keadaan. Hebat, you are the one of the strongest person i know.”

Ocean menjeda kalimatnya.

“Kita lewatin sama-sama ya. Aku selalu di sini, nemenin kamu, ngga pernah kemana-mana.”


Thalassophobia adalah jenis fobia spesifik yang melibatkan rasa takut yang terus-menerus dan intens terhadap perairan luas dan dalam seperti lautan dan samudra. Entahlah, apakah itu sebutan yang tepat untuk lelaki bernama samudra yang saat ini berdiri di samping Audine. Tadi malam, Ocean tiba-tiba terbangun dari lelapnya, merenung seorang diri di antara detak jarum jam yang menemani sunyi dini hari.

Mimpi itu datang lagi. Rasa takutnya pada air terus mengejar hingga ke daratan, tak peduli sekeras apa lelaki itu berusaha lari dari memori gelap, tak peduli berapa tahun sudah terlewati, tak peduli sebesar apa usahanya untuk melupakan, memori itu akan selalu ada di sana. Memori itu, setelah hampir delapan tahun akhirnya ia mengakui, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa terhapus.

Ada dua kategori di dalam kenangan: kenangan indah dan kenangan menyakitkan. Manusia akan selalu berusaha menulis cerita-cerita indah untuk simpanan memori pada hari tua. Semua berlomba mencari hari-hari penuh keberuntungan demi memperbanyak kisah bahagia sampai lupa, bahwa pengalaman pahit pun termasuk ke dalam bagian dari cerita.

Tidak ada yang salah dari memori menyakitkan, pahit atau manis, semua memori yang tercipta akan selalu menjadi bagian dalam cerita hidup yang penuh warna.

“Au, waktu itu, kenapa kamu ngasih aku buku mewarnai tema laut?” tanya lelaki itu tanpa menoleh ke arah Audine, sorot matanya lurus teralih pada hamparan biru kristal di depan sana.

“Untuk bantu kamu, supaya pelan-pelan kenal lagi sama laut.. Umm, maksudku, aku mau bantu kamu pake caraku sendiri.” jawab Audine yang justru menatap wajah lelakinya dengan khawatir. “Ocean, you don’t have to force yourself for this fast, ngga apa-apa, ngga harus se—“

“I’ve been running too long,” balas Ocean, memotong kalimat Audine yang belum usai, “aku baru sadar, kalo sebenernya selama ini aku bukan berusaha, tapi aku kabur. Aku ngga pernah sekali pun mencoba untuk menghadapi. Sekarang udah waktunya. Udah cukup aku menuruti rasa takutku, aku mau..” Lelaki itu menjeda kalimatnya untuk menghela napas penuh keyakinan.

“Aku mau damai dengan laut.” sambungnya, seraya menoleh ke arah Audine dengan sorot mata penuh permohonan. “Bantu aku, ya? Bantu aku kenal lagi sama laut, tapi kali ini, bukan lagi lewat buku mewarnai. Bantu aku untuk benar-benar bertemu dengan laut.”

Audine membalas tatap Ocean dengan binar mata penuh kekaguman, menatap mata lelaki itu lekat-lekat untuk memastikan apa yang barusan ia dengar itu benar tersuarakan dari mulutnya. Audine bisa dengan cepat menangkap perasaan yakin yang menggebu keluar dari sorot mata Ocean.

Perempuan itu menjulurkan tangannya dengan senyum manis yang memberi keteduhan, “I’ll always here for helping you, and i’ll always be here, waiting for this day.”

Riak ombak perlahan membasahi kaki saat keduanya menjejakkan langkah di atas lembutnya pasir putih. Selangkah demi selangkah, semakin tertangkap oleh mata debur dan buih ombak yang tampak saling berkejaran menuju pantai, seakan berlari dari tengah laut biru, luas tanpa batas menuju samudra yang sekian lama dirindukan oleh lautnya.

Ocean bergerak mundur dengan langkah yang besar menjauhi air begitu sentuhan ombak yang kuat menghantam kakinya. Melepas genggaman tangan Audine secepat kilat dengan rahang yang mengeras, lelaki itu mengepalkan kedua tangannya di bawah sana.

Dengan sigap Audine kembali menghampiri Ocean, lalu meraih sebelah tangannya yang mengepal sangat kuat. Dengan sangat lembut, Audine menepuk-nepuk punggung tangan Ocean seraya membantunya mengatur napas.

“It’s okay, pelan-pelan, now take your breath.”

Dipandu oleh Audine, Ocean mengatur helaan napasnya yang mulai terengah, itu terlihat dari gerak bahunya yang bergerak naik dan turun pada tempo yang cukup cepat. Audine mulai merasakan tangan Ocean yang berubah menjadi dingin.

Perempuan itu kini menaruh sebelah tangannya yang lain di atas dada Ocean, mengusap-ngusapnya dengan halus. Mencoba untuk menenangkan degup jantung yang berdetak kencang hingga terasa di dalam tangannya.

“Bisa Ocean, kamu bisa.” ujar Audine seraya ikut menarik dan membuang napas seirama bersama Ocean.

Dengan sekuat tenaga Ocean mengerahkan seluruh keberanian yang ada di dalam dirinya dengan keyakinan penuh, lelaki itu menarik napas dalam sekali lagi sambil memejamkan mata.

Ocean menurunkan sebelah tangan Audine yang masih tersimpan di atas dadanya, lalu menoleh seraya berkata dengan penuh percaya diri.

“I’m ready.” Secara bersamaan, lelaki itu juga melepas genggaman Audine dari telapak tangannya, “Au, i know you trust me. I’m gonna walk by myself.” Lalu melempar senyumnya sebelum berjalan menghampiri air.

Debur ombak kembali menyentuh kakinya saat lelaki itu melangkah sedikit demi sedikit hingga benar-benar menghampiri air. Sembari memejamkan mata, merasakan hembusan angin laut yang menyapa wajahnya, Ocean memutar memori pertama saat pertama kali dirinya jatuh cinta pada lautan.

Anak lelaki di dalam putaran memori itu berlari antusias menuju air dengan binar matanya yang berkelip, tidak ada sedikit pun ketakutan di dalam sana. Yang ia tahu, anak lelaki itu jatuh cinta dengan laut. Ocean kembali membuka mata, kini pandang matanya hangat menyorot pada cakrawala nun jauh di depan.

Ocean menurunkan dirinya, berjongkok menangkap air laut dengan tangannya yang terbuka. Ia membiarkan segenang air biru di atas telapak tangannya, lalu menghirup aroma khas itu dalam-dalam, merasakan aroma laut di antara sorot senja yang sebentar lagi tenggelam di ujung lautan.

The ocean is back.

Lelaki itu bangun dari jongkoknya, dengan sumringah ia memutar badan, ia melambaikan tangan ke arah Audine yang menyaksikan keajaiban baru di depan sana dengan segenang air di dalam kelopak mata. Ocean tampak sangat indah, berdiri di antara hamparan laut dan langit jingga di belakang, tiap helai rambutnya menari-nari di antara hembusan angin sejuk. Lelaki itu tersenyum tulus, tanpa ada lagi raut takut yang terlukis pada wajahnya.

Hari ini, sang samudra yang telah lama menghilang, kini telah kembali pulang pada lautnya.

Tanpa hitungan detik, Audine berlari menabrakkan dirinya ke dalam pelukan Ocean, membuat lelaki itu hampir kehilangan keseimbangan jika tidak cepat-cepat menangkap punggung wanitanya.

“You made it, Ocean.. kamu berhasil, you’ve already fought your fear!” ujar Audine dengan luapan emosi penuh haru.

“You made it too, Audine, you saved me from my own fear.”

Audine menumpahkan air matanya di antara ceruk leher Ocean, menangis cukup dramatis dengan ocehan yang samar terdengar oleh telinga. Ocean terkekeh seraya mengecup pucuk kepala Audine.

Di sela-sela peluk keduanya, Ocean kembali teringat akan satu hal lain yang belum ia selesaikan. Lelaki itu tiba-tiba melepas pelukannya, lalu merogoh ponsel pada saku celananya dan memberikannya pada Audine.

“Can you take me a picture?”

Audine meraih ponsel sambil kembali tersenyum bangga, masih ada basah air mata di dalam kelopaknya. “Sure.”

Namun tiba-tiba, Ocean membuka sweater navy-nya sekaligus kaus putih polos yang membaluti tubuhnya, lalu melemparnya ke atas pasir. Kembali menampakkan bekas luka memanjang di antara enam kotak otot perut yang terbentuk di atas perut ratanya.

Audine tersontak, ia membulatkan kedua matanya dengan penuh tanda tanya.

“Ocean, kamu..”

Ocean tersenyum seraya mengangguk, “Buat apa aku damai sama laut kalo aku belum bisa damai sama bekas lukaku?”

Perempuan itu masih menganga, masih belum bisa mencerna apa maksud dari ucapan Ocean.

“Di tempat ini luka ini lahir, dan di tempat ini juga aku harus mengakui semuanya. Luka ini ada bukan tanpa alasan,” Ocean menampakkan seringai tipis disela ucapannya, “Aku sering bilang kalo, there’s still a miracle here in my scar, tapi aku sendiri juga yang ngga pernah mau mengakui. Lucu ya?”

Ocean memejamkan mata, lalu menghela napasnya sekali lagi dengan lebih bersungguh-sungguh, sebelum menyambung satu kalimat terakhir, “Now, it’s time for me to admit the beautiful carving on my skin.”

Hari ini, anak lelaki yang begitu mencintai laut kini telah tumbuh menjadi pria dewasa, who grows by the magic created in the vastness of the ocean. Anak lelaki itu kembali setelah melewati tahun-tahun menyakitkan, dihantui oleh perasaan takut yang luar biasa akan lautnya.

Sampai kapan pun, the ocean will always be bigger than the sea. Dan anak lelaki itu berhasil membuktikannya pada hari ini. Berdiri di atas pasir putih, dengan riuk ombak yang berkali-kali datang menghampiri.

Lelaki itu dengan tulus memaafkan perih kejahatan yang dilakukan oleh sang laut.

“I’ll post it on my instagram.” ucap Ocean percaya diri, seraya memandang hasil foto dengan ukiran di atas perutnya yang tergambar jelas.

Audine kembali terkejut, “Kamu beneran? Aduh, bentar, sumpah, aku beneran ngga tau harus bereaksi apa dari tadi, tapi— Eh kok jadi aku yang heboh, oke maaf, TAPI.. kamu serius?”

“Hari ini, aku resmi berdamai dengan laut.” jawab Ocean seraya mengelus sebelah pipi Audine dengan ibu jarinya lembut.

“Dan mulai hari ini juga, i finally can watch the sunset in the most beautiful place with the person i love the most.” sambung lelaki itu.

“It’s you, Audine.”


“Here we are.” ujar Ocean tepat setelah memarkirkan mobilnya.

“Au, ayo turun.” ajaknya sembari menoleh ke arah Audine yang masih menganga, memperhatikan sekeliling dengan sorot mata takut.

“Ini kita di mana, sih? gelap banget, ngga mau turun aku takut.”

Ocean terkekeh, “Emang kamu belum pernah ke sini?” tanyanya. Audine menggeleng. “You’ll see a thousand light later.”

Perempuan itu mengernyit, “Thousand light dari mana, it’s really dark in here!”

Ocean keluar dari mobil, meninggalkan Audine dengan ekspresi bertanya. Ia berjalan menuju sisi lain pintu tempat Audine duduk, lalu membukanya seraya mengulurkan tangan pada perempuannya. “Hold my hand, and i’ll make sure you gonna be safe.”

Mereka turun, Audine menatapi pemandangan di sekelilingnya yang sebagian besar di dominasi oleh pepohonan yang bahkan samar ditangkap oleh mata, karena hari semakin gelap. Pencahayaan cukup minim, tapi tidak jika menengadahkan kepala ke atas langit. Taburan bintang mengisi penuh hamparan langit, mengisi gelapnya malam bagai sapaan dari dewi langit yang seolah tau seluruh rahasia sang bumi.

Sorot mata takut itu pelan-pelan menghilang, digantikan oleh binar mata sumringah yang kerlipannya tidak kalah cantik dari bintang di langit. Perempuan itu sumringah dengan mulut yang terbuka, lalu tersenyum pada semesta. Tanpa tahu kalau ada sorot mata lain yang telah lebih dulu jatuh kepadanya.

“Audine, you are the whole universe itself. You shine brighter than the stars in the sky.”

Ocean diam-diam tersenyum memandangi semesta di depannya.

Ocean berjalan menuju bagasi mobil, geraknya tidak dihiraukan oleh Audine karena perempuan itu terlalu fokus pada pemandangan di atas. Lelaki itu mengambil satu tote bag coklat, yang entah apa isinya, terlihat ringan bahkan seperti tidak ada barang apapun di dalamnya. Ocean kembali menghampiri Audine.

“Udah kali, sisain dulu kagetnya buat di atas.” ucap Ocean memecah kekaguman Audine.

“Loh, kita masih harus jalan lagi? ke atas mana? aku kira tujuannya di sini? eh, itu apa?” tanya Audine tanpa jeda, setelah tatapnya menangkap tote bag coklat di genggaman Ocean.

Ocean tiba-tiba menarik Audine mendekat, hingga bahu perempuan itu bertubrukan pada dadanya. Mereka berdiri saling berhadapan, sebelum lelaki itu mendaratkan kecupannya di atas pucuk kepala Audine.

Ocean tiba-tiba tertawa sembari mengacak rambut Audine asal.

“Kamu baweeel! aku kangen denger kamu bawel.”

Audine mendengus seraya mendorong lelaki itu menjauh, “Ngga jelas, yang tiba-tiba ngediemin satu minggu siapa, ya? halo? yang ilang siapa yang kangen siapa.”

Ocean tertawa lagi, “Kamu yang ngga jelas! masa kita quality time di parkiran, ayo kita ke atas!”

“Ke atas atas mulu atas mana, sih? bentar, apa kamu tidak mau minta maaf, baginda?” sindir Audine.

Sssh, shut up, kamu ngomong mulu nanti beruangnya bangun.. di pohon-pohon itu banyak beruang.” balas Ocean dengan suara mengecil hingga nyaris terdengar berbisik, seolah mereka sedang menjalani misi bertahan hidup di tengah hutan. “Ayo sekarang kamu pegang tanganku, biar beruangnya ngga jadi makan kamu.”

“Dih, emang kamu siapa?!” ucapnya dengan suara meninggi. Membuat Ocean kembali menaruh satu jari telunjuk di depan bibir, menyuruhnya memelankan suara.

Audine reflek ikut menaruh satu jari telunjuknya ke depan bibir, “Oke, sssh, emang kamu siapa? apa ngaruhnya?” ulang perempuan itu lagi dengan suara berbisik sesuai perintah.

“Aku kan, raja beruang!” jawab Ocean dengan kedua tangan yang ia taruh di kedua sisi pinggang dengan dada membusung, pipinya menggembul.

Audine tertawa, gemas. “Kalo gitu, ngga apa-apa deh, ayo beruang makan aku!”

Mereka berjalan berdampingan, melewati trek menanjak di tengah-tengah ratusan pohon pinus di sekelilingnya. Semakin tinggi mereka berjalan, semakin dingin hembusan angin menusuk hingga ke tulang. Ada uap yang ikut tercipta pada hembusan napas, kapanpun mereka membuka mulut.

Audine menarik kedua ujung lengan pada sweaternya, hingga menenggelamkan seluruh tangannya. Sesekali menggosok kedua telapak tangan agar tercipta gesekan panas yang mengalir pada tubuhnya. Lalu, mengaitkan sebelah tangannya di sela pergelangan lengan Ocean.

Lelaki itu menoleh, merasakan suara terengah pada deru napas lelah dan dingin yang menjadi satu dari perempuan di sampingnya.

Lantas Ocean memindahkan tangan Audine yang mencengkram sebelah lengannya, lalu menautkan jemari Audine pada telapak tangannya, sebelum genggaman itu ia masukkan ke dalam saku jaket yang ia kenakan.

“Sebentar lagi, ya, bentar lagi kita nyampe.” kata lelaki itu sambil kembali mengusap pucuk kepala Audine.

Pemandangan lampu-lampu kota dari bawah bukit langsung tertangkap oleh mata begitu keduanya sampai puncak. Dipadu hamparan bintang di langit yang kerlipannya semakin berkilau cantik menerangi gelapnya malam.

Ratusan cahaya di depan mata yang mampu membuat siapapun seolah terhisap pada galaxy sang semesta.

Di sinilah mereka, berdiri di atas ketinggian 1442 meter di atas permukaan laut, dengan jemari yang saling bertaut memberi kehangatan pada dinginnya hembusan angin.

Bukit Bintang, Bandung.

“Wow.. Ocean it’s pretty!” pekik Audine pada hamparan cahaya di depannya.

“I know, it’s pretty as you.”

Pipinya memerah, Audine menggigit bibir menahan senyum. Ocean benar-benar sangat manis hari ini. Perasaan rindu semakin menyeruak di dalam dada, meronta untuk segera bertemu pada pemiliknya. Karena sesungguhnya, rasa sesak itu masih terjebak di dalam dirinya, walau Ocean telah kembali bersikap manis. Masih ada sorot mata yang meminta penjelasan, dan kata maaf yang belum benar-benar terucap.

“Ocean.” “Au.”

Panggil keduanya secara bersamaan. Ada tatap yang kembali saling bertemu, kini dengan jarak yang semakin dekat.

“Kamu dulu.” suruh Audine, tangannya masih tersimpan pada genggaman di dalam saku jaket Ocean.

Ocean tersenyum menoleh, seraya menyelipkan beberapa helai rambut yang menari-nari ke belakang telinga Audine. Sebelah tangan itu masih memegang tote bag.

Lelaki itu melepas sejenak genggaman tangan keduanya, ia merogoh saku celananya dan mengambil satu airpod case dari salam sana. Mengambil satu airpod, lalu memasangkannya pada sebelah telinga Audine, dan satunya lagi ia pasangkan pada telinganya.

Kini Ocean meraih ponsel, dan memutar satu playlist yang selama satu minggu ini hanya mereka dengarkan seorang diri, menemani hening pada tengah malam yang terasa sepi tanpa sepasang telinga lain yang biasa andil sebagai pendengar.

“We missed a lot our zero o’clock. Sekarang masih jam delapan, but it’s time to zero o’clock.” ucap Ocean setelah satu lagu mulai menyapa ruang telinga.

“Kamu pernah denger ngga, someone said, don’t underestimate the healing powers of these three things. Music, the ocean, stars.” Ocean menjeda kalimatnya, “Lucky you, you have the three of them in the same time. Music, stars, and me, Ocean.”

“Kamu inget? there’s someone who already make you a promise to be your boyfriend and your older brother at the same time. Tapi di hari itu, di saat kakak perempuan kamu jahat sama kamu, dia pergi, si orang yang mengaku sebagai pacar dan kakak laki-laki kamu juga malah ikut pergi. Dia ngga tanggung jawab banget, Au, marahin aja!” sambung lelaki itu lagi sambil menyeringai sarkas pada dirinya sendiri.

Audine tersontak, ia menoleh ke arah Ocean seraya membulatkan bola matanya. “K-kamu, tau?” Ocean tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya, “Oh, i know, Kak Dareen.” ucap Audine lagi.

Tanpa aba-aba, Ocean menarik Audine ke dalam pelukannya, menenggelamkan kepala perempuan itu di atas dadanya, mendekapnya erat sampai perempuan itu kehabisan napas. Audine mengangkat wajahnya sehingga pucuk kepalanya menyembul dari balik pundak Ocean, mengambil oksigen dengan sorot mata yang masih terkejut bingung.

“Au, it must be really hard for you, selama satu minggu ini ngejalanin hari sendiri. Aku minta maaf, maaf aku egois, cuma peduli sama rasa takutku sendiri. Au, i really feel sorry. Aku bener-bener minta maaf.” ucap Ocean dalam satu kalimat, suaranya mengecil.

Ada hangat dari deru napasnya yang terasa sangat dekat menerpa ceruk lehernya.

“Maaf..” dan satu kata terakhir sebelum akhirnya lelaki itu menjatuhkan kepalanya di atas pundak wanitanya. Semakin mengeratkan dekapannya dengan mata yang terpejam, menghirup aroma manis dari tubuh yang selama ini ia rindukan.

Audine menyunggingkan senyum lega dari balik peluknya, satu tetes air mata kini ikut jatuh membasahi jaket beraroma akuatik yang terhirup dari dalam tubuh lelaki itu.

“It’s okay, Ocean. Me too. Aku juga minta maaf, maaf aku ngga dateng waktu itu, aku ngga tanggung jawab, a-“

Sssh, engga engga,” Ocean memotong kalimat Audine, ia menggeleng seraya mengusap belakang kepala perempuannya dengan lembut, “Aku tau, kamu ngga mungkin tanpa alasan ngebiarin aku sendiri hari itu. Dan begonya aku, malah ninggalin kamu sendiri tanpa tau kamu kenapa. You really help me a lot, Au. Kamu liat kan foto aku?” katanya sembari melepas pelukannya, membuat dua orang itu kembali saling berhadapan. “I never thought that i could step my feet on the beach again, walau belum sepenuhnya berhasil. Tapi itu karena kamu, your coloring books!” Ocean kembali menarik Audine ke dalam dekapannya, “Thank you so much, Au.”

Audine terkekeh dengan suara yang terpendam, “Stooop! it’s not a big deal for me. Okay, raja beruang. Now, let’s stop melow-melow! pemandangannya udah cantik, masa kitanya sedih.” ledek Audine seraya berusaha melepas pelukannya, namun tubuhnya kembali ditarik oleh Ocean.

“Diem dulu, dingin.”

“Itu, kamu bawa apa sih? aku mau liat dong.” Audine kembali mengangkat tubuhnya, mencoba meraih tote bag yang Ocean simpan di bawah mereka.

Ocean semakin mengeratkan dekapannya, “Au dieeem, please, 5 minutes.”

“Dih, gila kali!” Audine memukul bahu Ocean, “Ngga mau, lepas!”

“Ngga mau!” Ocean melingkarkan kedua tangannya pada punggung Audine, benar-benar mengunci tubuh mungil perempuan itu di dalam rengkuhannya.

“Ocean, sumpah.. AKU MATI!”

Ocean reflek melepas pelukannya, lalu menaruh tangannya di atas kedua bahu Audine, menatapnya dengan sorot mata panik, “Eh, kenapa, Au? dingin?”

“AKU NGGA BISA NAPAS!”

Ocean tertawa, “Okey okey, maaf, ya udah, dari tadi kamu penasaran kan?” ujarnya seraya meraih tote bag dari atas rumput, dan membawanya ke depan Audine.

Lelaki itu mengeluarkan satu buah lentera kertas dari dalam sana, beserta dua spidol yang satunya lagi ia berikan kepada Audine, “Tulis wish kamu di bagian sana, aku tulis bagianku di sini.”

Audine menerima satu spidol dengan alis yang terangkat, “Ini apa, sih? layangan?”

Ocean kembali tertawa, kali ini gelaknya lebih lepas seakan orang di depannya itu tidak memiliki masalah hidup, “Auuu! ini flying paper lantern, ini lentera, kok layangan! HAHAHA.”

Audine ikut tertawa seraya menggaruk pelipisnya canggung.

“Banyak negara yang sering mengadakan festival lantern, salah satunya Cina. Tujuannya juga macem-macem, tergantung apa eventnya, formal maupun informal. But mostly, tujuan mereka nerbangin lentera biasanya sebagai ritual mengusir energi buruk and beginning a new enlightened path to righteousness.”

Ocean menjeda kalimatnya sembari melebarkan kedua sisi lentera, “Dan sekarang, we’re here, under the sky full of the stars, 1442 meter di atas permukaan laut, di salah satu puncak tinggi paris van java. We will fly our wish, and let’s the sky hear our wish.”

Perempuan itu terdiam kaku, mengagumi satu kalimat manis yang lagi-lagi keluar dari mulut Ocean. Garis lengkung pada bibirnya terlukis, mengarah teduh pada satu-satunya sorot mata yang menatapnya jauh lebih teduh. Ocean membalas senyuman itu dalam hitungan detik.

“You know, Ocean? you are really the most beautiful thing that i could ever had in my life.” ujar Audine dengan suara lembut.

Ocean semakin melebarkan senyumnya, “Sekarang kamu tulis wish kamu, ngga usah kasih tau aku. Cuma kamu, Tuhan, dan langit yang perlu tau.”

Mereka menulis sebait permohonan pada masing-masing sisi lentera kertas, keinginan terdalam yang selama ini terpendam, akhirnya mendapat kesempatan untuk terbang tinggi menuju langit. Langit penuh bintang, dengan jutaan kerlip cahaya yang bersinar pada kilaunya. Only in darkness, we can see the light.

“Ready?”

Kini Ocean telah menyalakan api dari dalam lentera, siap melepasnya, terbang tinggi menuju langit.

“Ready.” jawab Audine seraya mengangguk, lalu melepas lentera secara bersamaan.

Lentera terlepas, terbang meninggi pada sinar benderang yang menerangi perasaan gelap yang ikut dibawa olehnya.

Satu cahaya terbang semakin tinggi menjelajahi malam, membawa harapan yang semoga selalu disetujui oleh sang langit. Tidak ada lagi ketakutan dan kegelapan tercipta setelah ini, cause they have been healed by the night sky full of the stars.


Ocean tiba di salah satu kafe berdesain minimalis yang dekorasinya di dominasi oleh paduan warna krem dan putih yang sangat kalem, dengan suasana homey dan cozy, ditambah ia datang sekitar jam sebelas siang, jam-jam yang masih termasuk pagi untuk ukuran orang menongkrong di kafe. Ocean mengambil spot di sudut ruangan dekat jendela kaca. Sepi. Hanya ada dirinya dan dua pasangan yang duduk cukup jauh, tengah bercakap pada dunianya.

Oh, ada satu perempuan lagi yang menambah jumlah pengunjung kafe hari ini. Perempuan itu membawa satu buket bunga lily, lalu mengambil tempat di sudut lain dekat kaca di tempat Ocean meneguk hot macchiato-nya yang masih berasap, setelah perempuan itu mengambil pesanan. Ia duduk tepat dua meja di depan Ocean.

Ocean menyalakan ipad-nya, membuka perpustakaan digital dan memilih satu judul untuk dibaca, yang sebenarnya sama sekali tidak ia simak. Ia mulai menyumpal kedua telinganya dengan airpod yang tidak pernah lepas dari dalam sakunya.

Sambil sesekali menyesap minumannya, Ocean mengedarkan pandangan pada pemandangan jalan raya di luar jendela. Tidak ada pemandangan asing selain lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki, namun orang-orang itu terlihat gembira: pengamen yang bernyanyi dari mobil ke mobil seraya memetik ukulele, pasangan yang berjalan sambil bergandeng tangan, atau satu anak perempuan yang berjalan setengah lari, tertawa-tawa dengan es krim yang mencair di tangannya.

Ocean pelan-pelan menarik garis lengkung pada bibirnya, seolah ada energi gembira yang tersalur lewat pengambilan sorot matanya. Sambil menghirup aroma kopi menenangkan yang menyeruak di seluruh kafe, sedikit demi sedikit energinya mulai kembali terisi.

Kini pandangannya pindah menjelajahi isi kafe, meja-meja kosong mulai terisi karena waktu mulai memasuki jam istirahat. Antrean di depan kasir mulai memanjang.

Di saat mata itu mengitari isi kafe, tatapannya bertemu pada tatap perempuan di sudut ruang. Perempuan itu mengangguk sebelum beranjak pergi. Meninggalkan satu buket bunga lily yang ia simpan di kursi kosong sebelahnya. Ia pergi dengan santai, melupakan satu barang bawaannya yang masih ada di sana.

Ocean mematikan ipad, memasukkannya ke dalam pouch, lalu ikut beranjak pergi, buru-buru menyelamatkan buket sebelum sang pemilik pergi semakin jauh. Namun tatap matanya kembali jatuh pada label tag di atas pita buket, menghentikan geraknya selama beberapa detik. Label tag itu bertuliskan, Fairy Blossom handled by Audine.

Perempuan itu Diandra.

Perasaannya kembali gelisah, dengan separuh gundah yang diisi oleh segunduk perasaan rindu yang tiba-tiba menyeruak di dalam dada.

Lelaki itu mengejar perempuan dengan rambut hitam legamnya yang terurai, untungnya berhenti di trotoar dekat lampu merah persis di depan kafe.

Ocean menghampirinya, lalu menepuk bahu perempuan itu dengan hati-hati, perempuan itu menoleh sambil sedikit terkejut.

“Sorry, ini, buket lo ketinggalan.” ujar Ocean sambil memberikan buket lily putih.

Diandra semakin membulatkan matanya, geraknya terlihat rusuh sambil menghembuskan napas lega, “Ya ampun, makasih banyak! aduh gue ngga tau deh kalo buketnya sampe ilang. Sekali lagi thank you, kak—?” Diandra menghentikan ucapannya seakan menunggu jawaban.

“Elvan.” jawabnya menangkap sinyal dengan baik. Tetap memperkenalkan diri sebagai Elvan.

Lelaki itu tetap tidak suka dipanggil Ocean, ya, pengecualian untuk Audine.

“Thank you, Kak Elvan.” ucap Diandra lagi, ramah.

Percakapan terputus, namun Ocean masih berdiri di situ, seolah masih ada pertanyaan yang terjebak di dalam kepalanya. Diandra yang peka akan gerak canggung Oceanpun kembali menoleh.

“Masih di situ?” tanyanya, “Oh, belum mau pergi ya?”

“Lo sendiri, ngapain panas-panas di trotoar?”

Diandra terkekeh, “Gue nunggu grab.”

Gerak tubuh Ocean kembali bertingkah canggung, matanya mencuri-curi pandang ke arah Diandra yang sebenarnya tertuju ke arah buket. Namun membuat Diandra semakin risih.

“Kak, sorry, it feels so weird, lo emang sengaja masih diem di situ atau gimana?” tanya Diandra lagi dengan nada bicara yang terburu-buru.

“Eh, iya sorry, cuma mau bilang, umm— bunganya bagus.” jawab Ocean terlihat ragu.

“Astaga, gue kira kenapa,” balas Diandra seraya tertawa, mencairkan suasana, “Gue baru beli tadi banget, jadi masih seger, makanya enak diliat.”

“Fairy blossom?”

Diandra kembali tersontak, “Kok tau?” Lalu dibalas oleh sorot mata Ocean yang mengarah pada label tag di atas buket. Diandra mengangguk paham, “Oh iya ya ada namanya. Iya. Ownernya cantik.”

Kini gantian Ocean yang terkekeh, “She is.”

“Lo? kenal?” tanya Diandra heran, sambil memainkan ujung pita pada buket.

“Ngga mungkin gue ngga kenal. She’s my girlfriend.” jawab Ocean dengan sisa tawa kecilnya.

Diandra membulatkan bola matanya, lalu tiba-tiba menepuk tangan sebelum menutup mulutnya dengan telapak tangan, lebay.

“IH KEREN BANGET BISA KAYAK GITU, ITU SIH BUKAN DUNIA YANG SEMPIT TAPI GUE YANG KEREN!” seru Diandra dengan nada suara yang meninggi. “Terus, ini lo mau ke sana sekarang?”

Binaran mata itu tiba-tiba memadam, Ocean menggeleng seraya menampilkan senyum terpaksa.

Bukan hal sulit bagi Diandra untuk menangkap tiap gerak-gerik yang ia terima sebagai respon, karena Diandra adalah representasi dari mahasiswi psikologi yang selalu dianggap bisa meramal.

Perempuan itu kembali mengingat sorot mata yang ia terima dari Audine, lalu menghubungkannya dengan perilaku Ocean yang ia lihat saat ini. Diandra mengangguk samar tanda mengerti.

“Kak, lo tau istilah masuk gua ngga?” tanya Diandra tiba-tiba, memecah lamunan.

“Masuk gua?”

“Gue selalu ngegunain istilah itu kapanpun gue butuh waktu untuk sendiri, ya lebih gampangnya me time. Kalo gue sama partner gue lagi sama-sama di keadaan yang ngga oke, pasti kita sama-sama masuk ke gua masing-masing, saling nenangin diri, dan ngga boleh ada yang ganggu sampe dia keluar gua sendiri.” jawab Diandra, “Tapi, dengan lo dikasih waktu sendiri, bukan berarti lo bisa seenaknya bertapa di dalam gua sampe lupa untuk keluar. Inget, ada orang yang nunggu lo keluar dari dalem sana, jangan biarin dia sendirian, apalagi sampe kelamaan nunggu dan akhirnya mati kedinginan.”

Mati kedinginan. Detak jantungnya langsung berdegup kencang begitu ia mencerna tiap-tiap kata yang terucap dari Diandra. Ocean sangat bisa menangkap apa maksud dari kalimat tersebut.

Seketika bayangan Audine langsung muncul di dalam kepalanya.

Sudah satu minggu ia kabur demi menyembuhkan dirinya sendiri, tanpa sadar kalau ternyata ada orang lain yang ia buat sakit karena proses penyembuhannya. Rahangnya mengeras, Ocean menunduk menatap tanah dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Lelaki itu merasa sangat egois pada wanitanya.

Mobil putih berhenti di depan keduanya, taxi online pesanan Diandra tiba.

Diandra kembali membuka suara seraya menepuk bahu Ocean.

“Kak, grab gue udah dateng, gue duluan ya.” katanya sambil berjalan mendekati mobil.

“Tunggu.” panggil Ocean, menghentikan tangan Diandra yang sudah terjatuh di atas tuas pintu mobil, perempuan itu menoleh.

“Thank you, um-“

“Diandra.”

“Thank you, Diandra. Makasih banyak.”

Diandra tersenyum, “Gue yang harusnya makasih, buket gue ngga jadi ilang. Ya udah, gue duluan ya, Kak.”

Diandra menaiki mobil, meninggalkan Ocean yang masih menunggunya hingga benar-benar menghilang dari pandangan.

Di saat Ocean mulai melangkah pergi, kini Diandra yang balik memanggilnya sembari membuka kaca mobil. Ocean menghentikan langkah seraya menoleh.

“Kak, good luck! she’s waiting for you.”

Ocean mengangguk, “I’ll come to her soon.”


Ocean menangkap hamparan luas berwarna biru kristal dari kejauhan, memandangi sorot sinar matahari yang memantulkan kilau-kilau cahaya dari atas langit, berkelip bagai hujan bintang yang jatuh di tengah laut.

Dareen menepuk sebelah bahu Ocean, membuyarkan lamunannya, “Van, ayo turun.” Katanya lembut sambil tersenyum, berusaha memberi ketenangan pada adik sepupunya.

“Audine?” tatap matanya menyorot gusar menatap Dareen.

“Nanti dateng, lagi di jalan.” jawab Dareen berbohong, padahal ia sendiri belum mendapat kabar apapun dari Audine.

Untuk pertama kalinya setelah hampir delapan tahun, Ocean kembali menginjakkan kaki di atas hamparan empuk pasir putih. Semilir angin menyapa wajahnya, menerpa tiap helai rambut yang menari-nari di antara syahdu dan tenangnya laut. Lelaki itu melangkahkan kakinya, melewati tiap-tiap gundukan istana pasir, semakin mendekat menuju air dengan suara riak ombak yang seakan memanggil.

Kini lelaki itu telah duduk di bawah payung dengan pemandangan dinding batu karang di sampingnya, bersandar pada kursi lipat sambil memejamkan mata, membiarkan para stylish merias wajah dan rambutnya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

“Elvan, you okay?” ucap salah satu stylish. Ocean mengangguk tanpa membuka matanya. Memudahkan dua orang stylish itu untuk saling melempar tatap, berbicara lewat sorot mata, seakan sadar akan perubahan sikap Ocean yang tidak biasanya.

Ocean dikenal sebagai anak yang humble, lugu, dan periang dikalangan staff. Ia tidak pernah segan untuk membuka percakapan lebih dulu terhadap para stylish selama menunggu dirinya selesai dirias. Tapi, tidak dengan hari ini. Badannya bergerak gelisah seolah mencari posisi yang nyaman, kenyataannya, lelaki itu tengah mati-matian melawan rasa takut yang dari tadi meronta keluar dari dalam dirinya, kembali berusaha mengalahkannya keberanian yang susah payah ia bangun.

Ocean masih memejamkan mata dengan satu pasang airpod yang menyumpal telinganya, tidak sadar bahwa kedua stylish itu telah selesai dan pergi meninggalkannya sendiri sejak beberapa menit yang lalu. Sampai terasa tepukan tangan lain, menepuk lembut di atas bahunya.

Lelaki itu tersontak membuka mata, buru-buru menangkap sosok perempuan yang dari tadi ia tunggu kehadirannya.

“Au?”

Bukan, itu bukan Audine.

“Eh sorry, Van, gue ganggu lo tidur ya?” ucap salah satu staff dengan gulungan kertas pada genggamannya. “Yuk sekarang, nanti mataharinya keburu tinggi.”

Ocean meraih ponsel dari dalam sakunya, tidak ada pesan apapun dari Audine. Sudah berjalan hampir lima puluh menit perempuan itu belum juga muncul, apa Audine lupa? pikirnya. Rahangnya mulai mengeras, peluh keringat kembali membasahi kedua telapak tangannya yang terasa dingin. Ocean bangkit dari duduknya, menatap desiran ombak yang bergerak hingga membasahi pasir pada pesisir.

“Van! ayo!” teriak salah satu staff lagi dari dekat air.

Air, panggilan itu menyuruhnya untuk bergerak menghampiri air. Ocean diam mematung, masih di bawah payung yang sama. Langkah kakinya terasa berat. Degup jantungnya kembali berdetak tidak karuan, seakan dapat terdengar bersahutan, beringiran dengan gemuruh ombak. Ocean menarik napas panjangnya, lalu menghembuskan secara berulang, sebelum akhirnya mulai melangkahkan kaki mendekati laut.

Ocean mengepalkan kedua tangannya seraya memasukkannya ke dalam saku celana, menyembunyikan getaran pada jari-jarinya yang mulai terlihat. Lelaki itu mengambil tempat cukup jauh dari air, mulai berpose layaknya profesional. Tidak ada raut wajah takut yang tertangkap kamera. Dareen melengkungkan garis bibirnya dari kejauhan, melempar manik mata teduh pada Ocean dengan perasaan lega.

Berhasil, sang samudra kembali menyapa lautnya.

Tidak, tidak selesai sampai di situ, Ocean kembali diperintahkan untuk lebih mendekat, benar-benar masuk ke dalam air. Orang-orang di sana seakan tidak mempedulikan perjanjian di antaranya, yang telah sepakat untuk tidak membiarkan Ocean masuk ke dalam air.

Kepalanya mulai terasa sakit, hanya ada kegelapan yang bisa ia lihat kapanpun sorot matanya terarah menuju air. Getaran pada tubuhnya semakin bisa ditangkap oleh mata.

Audine, matanya mencari sosok perempuan itu, berharap ada satu-satunya binar mata favorit yang terselip di antara puluhan tatap mata yang mengarah kepadanya. Nihil, tidak ada Audine di sana.

“Van ayo dong! tinggal beberapa shoot lagi, don’t take so much time!” teriakkan itu kembali memanggilnya.

Dengan langkah yang sangat berat, Ocean bergerak semakin dekat menuju air. Kini kakinya mulai merasakan tekstur pasir yang basah, matanya menatap gulungan ombak dari tengah laut yang seolah ingin menariknya kembali ke dalam air.

Putaran memori mengerikan kembali terputar di dalam kepalanya. Gelap, sesak, koyakan dahsyat yang mencabik kulit kembali terasa sakit dan perih di dalam memorinya. Lututnya semakin melemas, hingga kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya.

Ocean menjatuhkan diri, dengan posisi berjongkok, ia meremat dan menarik rambutnya sendiri, memukul-mukul kepalanya berharap memori itu hilang. Badannya bergetar sangat kuat.

Dareen dengan secepat kilat berlari menghampiri Ocean, lalu merengkuh tubuh lelaki itu ke dalam dekapannya. Dareen dapat merasakan guncangan di seluruh tubuh Ocean, bahkan degup jantungnya terdengar sangat kencang seakan mampu melompat keluar dari dalam dadanya.

“Engga kayak gini perjanjiannya, ngga ada lo semua nyuruh dia buat nyentuh air!” pekik Dareen, sorot matanya berapi-api, mengarah tajam pada salah satu staff. “Lo egois!”

“Bang Dareen, udah.” ujar Ocean tiba-tiba dengan suara terengah, “Gue yang salah, gue yang har—“

Sssh,” Dareen kembali menarik Ocean ke dalam rengkuhannya, “Can you stop blaming yourself? lo udah keren, Van, keren banget, thank you udah berani lawan rasa takut lo, lo ngga akan mungkin ada di sini kalo bukan karena usaha keras lo untuk keluar dan ngelawan trauma lo, lo keren.”

Ocean menggeleng, “Maaf, gue kalah lagi.”