Pukul 4.30 dini hari.
Mantel, karpet, dan selimut. Dua orang itu duduk terhampar di atas pasir. Tidak ada warna biru berkilau dari hamparan laut di depan, semuanya gelap. Hanya ada suara debur ombak dan wangi air laut yang terhirup menemani pagi hari sambil menunggu sang mentari bangun dari tidur lelapnya di bawah laut.
Penerangan sangat minim, hanya ada sinar lampu dari kamar-kamar hotel yang menyala di belakang sana. Pantai yang mereka kunjungi kali ini, berdekatan dengan hotel, atau ini memang pantai buatan milik hotel? Entahlah. Yang pasti, laut di depan bukanlah suatu pemandangan palsu. Selama ada samudra di sampingnya, laut akan tetap menjadi laut.
Pada jam empat pagi, keadaan pantai terasa jauh lebih tenang. Karena orang gila mana yang mau gelap-gelapan melihat hamparan laut hitam nan gelap pada dini hari.
Kecuali Ocean dan Audine.
Bukan karena ketidaksengajaan atau iseng semata Ocean mengajak Audine mengunjungi pantai sepagi ini, tapi, karena lelaki itu ingin mengejar matahari terbit. Ocean percaya, akan selalu banyak keajaiban di tiap harinya, dan keajaiban baru itu, akan dimulai setelah sang mentari terbit.
The beauty of new beginning, we gonna find at the sunrise.
Ocean mengeluarkan ipad dari dalam tas Audine, lalu satu jari telunjuknya menelusuri email masuk. Ratusan bahkan nyaris menyentuh empat digit email dengan judul zero o’clock dari Audine yang tidak pernah sekali pun ia hapus dari kotak masuknya, sejak empat tahun lalu. Audine membuka matanya kaget.
“Gila! Itu udah nyaris tiga ribu email ngga pernah kamu hapusin?” seru Audine dengan mata membulat.
“Engga, kenapa harus dihapus, semua hari-hari kamu kan ada di sini.” jawab lelaki itu tanpa menoleh ke arah Audine, jarinya terus bergulir di atas layar, menjelajahi pesan masuk yang sepertinya tidak akan pernah bertemu ujungnya karena terlalu banyak.
“Kan bisa kamu save filenya. Kamu taro flashdisk, atau di aku juga ada dokumennya, bareng sama zero o’clock punya kamu.”
“Ya emang udah aku save semua, masa iya file-file kamu aku diemin.”
“Terus kenapa ngga kamu hapusin dari inbox kalo udah di save? Kamu sama aja kayak ngoleksi sampah tau. Sini aku hapusin!”
“Ih, ngga mau!” Ocean menarik cepat ipad yang hampir direbut Audine, “Ngga mau hapus, sayang.”
“Kamu nambah-nambahin beban bumi tau ngga? Tumpukkan inbox email tuh bisa mempengaruhi bumi tau. Lapisan bumi udah makin tipis, kamu harus mengurangi pemanasan global!”
“Apa hubungannya?”
“Ningkatin emisi karbon bumi dan bisa mempengaruhi perubahan iklim. Semakin kamu numpuk pesan, energi yang dikeluarin sama mesin penyimpanan juga semakin besar, jadi polusi yang keluar juga otomatis makin banyak, hihhhh, kamu ngga kasian apa sama bumi!”
Ocean menaikkan kedua alisnya seraya membulatkan mulut tanpa suara, “Wow, aku baru tau? Kok kamu pinter?”
“Jangan wow wow doang, hapus! Mentang-mentang namanya laut, pedulinya sama laut doang.”
Ocean mengerucutkan bibir sembari mengangguk-angguk bagaikan anak kecil yang dinasehati, “Iya aku hapus. Ya udah, aku print aja ya, jadiin makalah lagi.”
“EH JANGAN!” Audine memprotes cepat.
“KENAPA LAGI?” rajuk Ocean sambil menatap balik tatap Audine.
“Itu banyak banget ya, halo? Kalo kamu print bisa ngabisin berapa lembar? Kamu sama aja buang-buang pohon! Bumi juga udah makin gundul, kamu jangan nambah-nambah.”
“Ih ya udah ah!” Kini layar itu ia keluarkan dari kotak email, jarinya beralih menuju youtube, lalu memutar recent video yang sepertinya belum selesai ia tonton tadi malam.
Mr. Bean.
“Kamu ngapain nonton Mr. Bean?!”
“Apa?! Mau protes juga Mr. Bean bisa menambah populasi orang bloon yang ada di bumi?!” jawab Ocean sewot.
Audine tertawa sangat geli, melihat mimik wajah Ocean yang merajuk gemas seperti anak beruang. Ditambah selimut yang membuntali seluruh badannya sehingga hanya menyisakan kepala dengan rambut jamur yang menggunduk. Pipinya terlihat menggembung dari samping.
“Ih, kenapa kamu ngambek, bola ubi?!” ledek Audine. Ocean tidak peduli, tetap fokus pada satu episode Mr. Bean yang terputar.
“Iya oke maaf, aku harus ngapain biar ngga ngambek lagi?” rayu Audine.
“Cium.”
“Oke.” Audine menggeser tubuhnya mendekat, lalu mengecup singkat pipi Ocean. Membuat lelaki itu merapatkan bibir menahan senyum salah tingkah.
“Udah, sekarang masih ngambek ngga?” tanya Audine lagi.
“Oke, sekarang aku mau hapusin email!” Ocean mematikan video youtube yang terputar begitu saja, lalu kembali menuju email untuk menghapus pesan sampah sesuai perintah Audine. Perempuan itu kembali tertawa.
“You really haven't changed at all. Masih kayak anak bayi.”
Jam 5.10 pagi.
Warna jingga secara perlahan mulai mengisi gelap langit hitam. Satu titik cahaya dari ujung laut mulai samar terbangun dari tidurnya walau masih malu-malu. Udara dingin mulai menghangat
sedikit demi sedikit, tapi Ocean justru semakin mempersempit jarak yang ada. Lelaki itu menarik Audine lebih mendekat, lalu merangkul dan membawanya ke dalam satu selimut yang sama.
Audine menyandarkan kepalanya di atas dada Ocean, bersama wangi manis akuatik dari tubuh Ocean yang tidak pernah bosan ia hirup. Perempuan itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, sehingga beberapa kali pucuk kepalanya terbentur oleh dagu Ocean.
“Au ngapain sih? Ngga bisa diem?” tanya lelaki itu heran, sembari menahan kepala Audine dengan sebelah tangan.
Audine menaik-naikkan dahi, seraya menunjuk-nunjuk keningnya dengan satu jari telunjuk, “Gantian.”
Ocean terkekeh, ia mengangguk seakan paham pada sinyal yang barusan ia dapat.
Dengan lembut, Ocean menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi dahi perempuannya, lalu mengecup halus kening Audine, “Oke, lunas.”
Audine tersenyum puas.
Kini tatap keduanya jatuh pada tumpukkan email di dalam layar.
“You did well, Au.” ucap Ocean tiba-tiba.
“Apa? Aku ngapain?”
“Ada hampir tiga ribu email yang masuk, itu artinya, ada tiga ribu masalah yang udah berhasil kamu lewatin. Hebat, kamu hebat banget. I’m proud of you.”
Audine menggeleng, “Engga lah. Tiga ribu email itu kan ngga semuanya berisi masalah, banyak juga yang isinya nyeritain hari-hari bahagia, atau achievement yang aku dapetin selama hampir empat tahun ini.”
“Then you have worked hard for these four years. Hebat, kamu jauh lebih hebat. And i’m more proud of you.” Ocean meyakini, lalu mengecup kening Audine sekali lagi.
“Bukan cuma aku, but we. We already worked hard for these past four years. You doing good, Ocean!”
Ocean tersenyum, “I wish, i could met you sooner.”
Pukul 5.20 pagi.
Sinar jingga mulai semakin terang dari ujung laut, siap menampakkan dirinya dari bawah sana. Ocean menarik napasnya dalam, lalu mengangguk seolah memberi isyarat pada hamparan laut luas di depan, ini saatnya.
“Remember the last zero o’clock that you sent?” tanya Ocean pada Audine yang mulai menguap.
Audine berdeham, “Of course! I sent you my dream tea house, kayaknya selama setengah tahun ini aku ngomongin ini terus ya.” Perempuan itu tertawa sarkas pada dirinya sendiri, “Tapi kayaknya, aku mau ganti aja deh, designnya ngga jadi kayak gitu.” ucapnya tiba-tiba, membuat Ocean menaikkan sebelah alis, karena semua design interior sudah ia siapkan sesuai email terakhir yang dikirim Audine.
“Kenapa? Kamu nemu design lain yang lebih kamu pengen?” tanya Ocean berusaha tenang.
Audine menggeleng, “Bukan, aku suka banget sama yang itu. Kayak tea partynya strawberry shortcakes! Kamu tau ngga?” katanya diselingi tawa, “Tapi, kayaknya itu terlalu tinggi buat aku. Budgetku ngga akan cukup buat menuhin kedai teh dengan furnitur cantik yang bahkan design interiornya aja ngga bisa sembarang milih. Nanti yang ada, kedai tehnya malah ngga jadi terlaksana kalo aku terlalu mengikuti keinginanku yang terlalu tinggi. Jadi, aku realistis aja.”
“I will make it realistic then.”
Ocean membuka satu file dokumen berisi final result dari hasil meeting-nya dengan desainer berupa design interior, furnitur, konsep bernuansa pink vintage bagaikan putri negeri dongeng, telah matang ia siapkan sendiri selama enam bulan terakhir, dan siap direalisasikan mulai bulan depan.
Semuanya benar-benar sesuai keinginan Audine, bahkan jauh lebih sempurna. Hingga mata perempuan itu terbelalak, bahkan Audine sendiri tidak pernah sekali pun berbicara tentang strawberry shortcakes. Binar matanya berkelip sumringah bersama garis lengkung yang hampir tertarik pada bibir.
Namun keantusiasan itu seketika memadam, bukan bermaksud untuk tidak menghargai usaha Ocean, tapi karena, Audine kecewa sebab Ocean tidak menghargai keputusan yang telah ia nyatakan berkali-kali. Untuk tidak membantunya secara financial.
“Bentar, ini maksudnya gimana?” tanya Audine, setenang mungkin demi mengkontrol nada bicaranya agar tidak terdengar menyinggung.
“Au, your tea shop has been set up. We can start changing all the settings on the next month.” ujar Ocean dengan antusias.
Audine menggeleng sambil berusaha tersenyum, “Ocean, but i already told you—“
“Tapi aku mau. Aku yang mau bantu kamu.” jawab lelaki itu kekeh, dalam satu kalimat.
Audine menaruh sebelah tangannya di atas punggung tangan Ocean, menatap sorot matanya lekat-lekat dengan penuh keteduhan. Berusaha menyembunyikan kekecewaan.
“Engga kayak gini caranya, Ocean. Aku tau kok, kamu mau bantu aku, aku juga seneng, seneng banget kamu mau bantuin aku. Kamu bisa bantu aku mikirin konsep, kamu bisa bantu aku cari-cari furnitur nanti, dan kamu juga bisa bantu aku by being a support system tiap aku nangis tengah malem.” Audine menjeda kalimatnya. “Tapi, ngga dengan tiba-tiba kamu udah urus semuanya sendiri. Ya, walau emang semuanya udah sesuai sama keinginan aku. Tapi, aku ngga mau pake uang kamu buat kepentingan usahaku. Karena ini emang urusanku, Ocean.”
Ocean melirik ke arah cakrawala di depan. Tubuh sang mentari mulai menyembul dari ujung permukaan laut. Langit semakin membiru, memantulkan kerlap kerlip cahaya di atas air pada gelombang ombak yang mengayun.
“Tapi, karena kamu udah ngelakuin semuanya, it’s okay. I’m appreciate you, makasih banyak Ocean. Dan, aku anggap ini sebagai utang, ya? Karena sekali lagi, i’m not your first priority.” sambung perempuan itu lagi.
Alih-alih menyangkal atau pun tersinggung dengan penolakan Audine yang tersuara secara tersirat, Ocean justru jatuh ke dalam tatap itu. Manik mata penuh bintang, dengan sebelah wajah yang terpantul oleh cahaya jingga. Ocean jatuh untuk yang kesekian kalinya kepada wanita di depannya.
Audine, perempuan yang tanpa disangka hadir di hidupnya lewat satu tragedi konyol. Bahkan, sebelah sandal rose gold milik Audine yang empat tahun lalu tertinggal pada kali pertama pertemuannya, masih Ocean simpan sampai sekarang. Dua bunga matahari pemberian Audine pada pertemuan keduanya yang kini jelas telah mati membusuk. Dua kelopaknya ia keringkan, lalu ia masukkan ke dalam figura kaca.
Tidak ada alasan lain bagi Ocean untuk tidak menjadikan Audine sebagai salah satu prioritas utama di dalam hidupnya.
Perempuan yang berhasil membawa perubahan besar sekaligus bukti bahwa the miracles inside the struggle is real. Audine adalah bukti dari keajaiban itu sendiri.
Tepat pukul enam pagi.
Sang mentari kini telah terbit seutuhnya. Menyambut hari baru di antara luas laut biru dan suara ombak yang seakan memanggil.
Laut dengan berjuta makna bagi samudra.
Di sinilah memori gelap itu tercipta, lantas di sini jugalah memori bahagia menuju lembaran hidup baru harus tercipta.
Another turning page.
“Bangun yuk, kita ke depan, sunrisenya udah keluar.”
Ocean mengulurkan tangan, menuntun Audine dari duduknya, lalu berjalan mendekati air di mana debur ombak mampu menjangkau keduanya.
“Au, kamu kenapa selalu nolak kalo aku mau bantu kamu, financially?” tanya Ocean seraya menyelipkan helai rambut ke belakang telinga Audine.
Audine tersenyum pada hamparan laut lepas. “Hidup aku bukan prioritas dan kewajiban kamu, Ocean.”
Ocean diam dalam hitungan detik, kembali mengambil napas dari udara segar beraroma laut. Sebelum akhirnya mengucap,
“Kalo gitu, can i make you to be my top priority?”
Ocean mengeluarkan satu kotak berbentuk octagon dengan balutan kain beludru berwarna salmon, yang di atasnya terdapat bordiran cantik mengukir satu huruf A dari dalam saku mantelnya.
Audine tersontak, ia memiringkan badan menghadap Ocean sekaligus reflek menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan mata yang membulat.
“Ocean, don’t tell—“
Belum sempat Audine melanjutkan kalimat, Ocean tiba-tiba bersimpuh dengan tulus di hadapannya, sembari membuka ring box, menampakkan satu cincin emas berwarna rose gold dengan satu permata cantik di atasnya.
Lelaki itu tersenyum teduh menatap binar mata Audine, yang kini menutup mulutnya dengan kedua tangan, berdiri kaku mematung, menahan cekatan napas dalam diam.
Ocean menjulurkan ring box berisi cincin, dengan mantel coklat yang ujung bajunya kini basah karena menjangkau deru ombak yang menghampiri.
“Kamu tau, aku suka banget sama laut. Laut dan keindahannya, laut dengan sejuta memori di dalamnya. Di tempat ini aku merasakan rasa takut yang luar biasa, selama hampir delapan tahun aku meninggalkan laut, and you are the one and only person who brings the ocean back home to the sea.”
Audine menitikkan air matanya, memandang hangat lelaki yang kini bersimpuh di hadapannya bersama seluruh lautan biru. Di atas pasir putih dan cahaya jingga yang semakin meninggi menuju cakrawala.
Keajaiban pada matahari terbit, dan kini Ocean adalah bukti dari keajaiban itu sendiri bagi hidup Audine.
Ocean menyambung kalimatnya dengan nada bicara yang sangat tenang, mengendalikan seluruh gemuruh di dalam dada yang meronta keluar.
“Now, the sea must also be a witness to my feelings that fall so deep, too deep, deeper than the ocean itself. I can’t swim out Au, cause i’ve been drowning in you.”
Ocean menarik napas panjang seraya memejamkan mata, sebelum mengucap kalimat terakhir.
“Au, will you marry me?”
Air mata Audine tumpah sepenuhnya, air mata murni yang menetes jatuh di atas suci laut biru. Tidak pernah sedikit pun Audine terpikir kalau Ocean akan melamarnya di antara buih laut yang berkejaran pada deru ombak sang samudra.
Lelaki yang empat tahun lalu mati-matian keluar dari rasa takut.
Laut yang pernah menyakiti, kini dengan tulus lelaki itu memaafkan dan membiarkan laut menjadi saksi akan keajaiban baru yang tercipta.
Audine membalas senyum itu dengan mata yang berkaca-kaca, menatap manik beribu bintang yang berkelip hanya kepadanya.
Perempuan itu mengangguk tanpa keraguan.
“I won’t let you drown, let’s dive together, Ocean.” Audine menjeda kalimatnya, ia menarik napas sekali lagi dengan keyakinan penuh.
Lalu tersenyum dengan bahagia, “Yes, i will.”