350; Aliesha Arabelle
Bandara Soekarno-Hatta, bukan hal aneh lagi jika parkirnya selalu penuh. Sudah dua puluh menit mereka terjebak pada arus padatnya mobil menuju pintu masuk. Sambil sesekali mengecek jam, sudah hampir jam delapan, itu artinya Aliesha telah menunggu kedatangan mereka selama satu jam sendirian.
Langit senja telah berubah menjadi gelap, langit malam yang sepi tanpa cahaya bintang, hanya ada bulan dengan cahayanya yang meredup, tersapu oleh gumpalan awan halus. Malam yang mendung.
Berkali-kali dering telpon dan spam chat dari Aliesha tidak berhenti masuk bahkan sejak keduanya baru memulai perjalanan. Aliesha, satu-satunya adik perempuan kesayangan yang dimiliki Ocean, tujuh tahun jarak terpaut di antaranya.
Papa melanjutkan bisnis serta dipindah tugaskan ke Jepang saat Ocean baru saja menerima pengumuman lolos tes universitas. Maka dari itu, Ocean memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia, sementara Aliesha dan kedua orang tuanya pergi ke Jepang.
Kini Aliesha memutuskan untuk pulang ke Indonesia setelah selesai menamatkan sekolahnya, dan memilih untuk melanjutkan pendidikan di Indonesia sekaligus melepas rindu pada kakak laki-lakinya.
“Kakak, kenapa kakak ngga ikut!”
Aliesha berumur sepuluh tahun merengek dengan matanya yang basah, bolak-balik membuntuti Ocean yang sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.
“Pokoknya aku ngga mau pergi kalo Kak Elvan ngga ikut!” rajuk perempuan itu lagi seraya menghempaskan diri ke atas sofa.
Tumpukan tas dan koper telah memenuhi setengah isi ruang tengah, alat-alat furnitur kini rapi tertutup oleh kain putih. Keadaan rumah itu telah siap ditinggalkan penghuninya, termasuk Ocean.
Orang tuanya sengaja menyewakan satu kamar apartment di dalam gedung yang sama dengan Dareen, karena sesungguhnya, kedua orang tuanya tidak cukup tega untuk meninggalkan Ocean sendiri walau usianya telah terhitung dewasa.
Aliesha semakin mengencangkan tangisnya begitu melihat Ocean dengan santainya melengos pura-pura tidak peduli di depannya sambil menggeret satu koper besar ke dalam kamar.
“KAKAK, KAMU KENAPA NGGA RESPON AKU?!”
“Kakak, samperin dulu itu adeknya, jail banget kebiasaan!” Suara Mama terdengar dari sudut lain ruangan.
Ocean tertawa, lelaki itu mengintip sekilas dari dalam kamar, menyaksikan Aliesha yang tengah menangis sambil menelungkupkan badan. Sebelum akhirnya lelaki itu mengalah tidak tega, dan berlari keluar, lalu ikut menjatuhkan badan di samping Aliesha.
“Apa sih, anak kecil! Kamu berangkat aja belum udah heboh!” ledek Ocean sembari mengacak-acak rambut adiknya.
“Kakak, ayo ikut ke Jepang, nanti aku main sama siapa..” Aliesha memiringkan wajahnya yang merah, tepat berpapasan pada wajah Ocean yang sama-sama berbaring tengkurap di sampingnya.
“Alie, kamu tuh anak baik, banyak yang mau temenan sama kamu, jangan takut.” Ocean menaruh sebelah tangannya di atas kepala Aliesha.
“Ngga mau, aku maunya main sama kakakku!”
“Loh, kita masih bisa main tauuu, siapa yang bilang engga? Nanti kita main get rich deh tiap malem, aku janji!”
“Ngga mau, aku maunya kamu ikut!” Aliesha kembali memalingkan wajah dan menenggelamkannya di atas bantal.
Ocean bangun dari tidurnya, lalu duduk tepat di samping Alie seraya mengusap-usap rambutnya dengan penuh kasih sayang.
“Alie, aku harus kuliah, jadi aku ngga bisa ikut. Tapi aku janji, nanti tiap liburan, aku bakal nyamperin kamu, mama, sama papa ke Jepang. Kamu juga bisa telpon aku tiap malem kok, nanti kamu ceritain semua yang kamu alamin di hari itu supaya aku tau kamu di sana ngapain aja.“
Aliesha mengangkat kepalanya lagi, “Tapi, tetep aja kamunya ngga ada. Aku sendirian.”
Ocean menggeleng seraya tersenyum, “Ngga Alie, kamu ngga akan sendirian karena aku bakal terus mantau kamu dari sini, lewat cerita-cerita kamu di tiap harinya.”
Mereka berdua berjalan setengah berlari menuju pintu kedatangan terminal 3, masih menggunakan pakaian formal yang sama dari acara pernikahan Aidan, kecuali Audine, karena perempuan itu sempat pulang lebih dulu. Tidak ada lagi pesan masuk dari Aliesha sejak empat puluh menit terakhir. Ocean mulai khawatir.
“Au, coba telpon lagi, tanyain Alie di mana.” suruh Ocean dengan napas tersengal begitu sampai di pintu kedatangan, dan tidak menemukan Aliesha di kursi menapun.
“Ngga aktif, aku telpon ke nomor biasa juga ngga aktif. Kamu tenang dulu ya, jangan panik. Kita cari pelan-pelan.”
Ocean melepas jas hitam yang dikenakannya lalu menggantungkannya pada sebelah lengan, menyisakan kaus putih polos yang melapisi badannya.
Keduanya berpisah menghampiri tiap barisan kursi yang ada, sebagian kursi telah kosong, hingga barisan itu kembali lagi terisi, tetap tidak ada sosok Aliesha yang terduduk di salah satunya.
Mereka kembali bertemu pada titik awal, Audine bisa menangkap ekspresi panik dari Ocean walau setengah wajahnya terhalang oleh masker.
Audine mendekat, lalu menuntun Ocean untuk duduk di satu kursi di sebelahnya.
“Duduk dulu, kamu tegang banget, mau minum?”
Ocean menggeleng, “Gimana aku ngga panik, Au, adik aku ilang.”
“Hush, kamu ngga boleh ngomong sembarangan! Alie ngga ilang, mungkin Alie lagi jalan-jalan karena dia bosen nungguin kita kelamaan, pasti bentar lagi dia balik kok.”
Audine menenangkan Ocean sembari mengusap-usap bahunya, walau sebenarnya ia sama-sama panik karena tidak bisa menemukan Aliesha. Tapi Audine menahan emosinya agar tidak terlihat, demi menjaga Ocean agar lelaki itu tidak semakin panik.
“Ah, ngga aktif!” desah Ocean setelah mendengar sambungan telpon yang lagi-lagi terputus. “Atau kita ke pusat informasi aja, ya? Tapi aku ngga tau Au, Alie pake baju apa, nanti gimana kita ngasih keterangan?” Kini Ocean mengacak-acak rambutnya frustasi.
Audine terkekeh, “Alie bukan anak balita yang ilang di mall, sayang. Alie udah dewasa, dia udah ngerti kalo ada perintah yang nyuruh dia untuk dateng ke pusat informasi.”
“Maksudnya?” Ocean mengangkat kepalanya, mengunci tatap pada binar mata Audine yang penuh keteduhan. Lelaki itu akan selalu kehilangan konsentrasi kapan pun ia merasa panik.
“Kita ngga perlu sebutin detail ciri-ciri Alie, kamu sebutin aja namanya. Kan nanti Alie denger, dia tau kalo dicariin, terus dia dateng sendiri deh nyamperin kamu.”
Dengan sigap lelaki itu langsung bangun dari duduknya, menarik sebelah tangan Audine untuk segera menuju ke pusat informasi.
Tiba-tiba, suara perempuan yang sangat familiar terdengar nyaring menembus lalu lalang roda koper yang terseret di penjuru lantai bandara.
“KAKAK!”
Aliesha dengan balutan crop jacket dan joger pants serba hitam berlari sambil mendorong troli kopernya, menghampiri Ocean dan Audine yang masih memandanginya dengan raut wajah kaget bercampur lega. Ocean langsung menubrukkan badannya begitu Aliesha tiba di depannya. Audine tersenyum haru dari belakang.
“ASTAGA ALIE KAMU DARI MANA AKU PANIK BANGET! BISA NGGA SIH DIEM AJA NGGA USAH RUSUH KEMANA-MANA!” protes Ocean menggebu, sambil memeluk Aliesha erat hingga seluruh wajahnya terbenam di dalam rengkuhan Ocean.
Aliesha menarik paksa tubuhnya, lalu memukul dada kakak laki-lakinya itu cukup keras.
“KAMU GILA YA, EMANG AKU NGGA LAPER NUNGGUIN KAMU HAMPIR DUA JAM! AKU ABIS DARI KFC NGGA USAH SOK PALING TERSAKITI!”
“Sst, berisik! Malu-maluin.”
Aliesha berdecak sebal, sebelum tatapnya bertemu dengan Audine yang tengah menyaksikan keributan di antara kakak beradik yang telah berpisah sekian lama.
Manik mata Aliesha kembali berkelip sumringah, akhirnya setelah tiga tahun, ia bisa bertemu langung dengan Audine yang bahkan telah ia anggap sama berharganya dengan Ocean.
“Kak Au!” Aliesha berlari menghampiri Audine, kini perempuan itu yang memeluknya sangat erat, tinggi keduanya sama. “Finally, it’s the first time we met! Kakaaaak i miss you a lot!”
Audine membalas pelukan Aliesha yang sangat terasa hangat hingga menyentuh hatinya, mengusap rambutnya dengan kasih sayang penuh seorang kakak. “Finally.. we can meet in person, God, i miss you too Alie!”
Ocean tersenyum memandangi dua perinya yang berhasil bertemu saling melepas rindu. Akhirnya, Ocean benar-benar memenuhi janjinya, untuk memberikan Audine kasih sayang baru yang telah lama ditinggalkan oleh Nala.
“Aku?” Ocean membuka suara sembari jalan mendekat menghampiri Audine dan Aliesha, “Kok ngga ada yang bilang i miss you ke aku?”
“Gak.”
“Males.”
Jawab kedua perempuan itu bersamaan.
Ocean tertawa lalu menarik keduanya ke dalam pelukannya, “Yea, finally. We’re together now.”
“Ayo pulaaang! Aku ngga betah banget pengen buru-buru mandi, gerah banget Indonesia.” celetuk Aliesha setelah ketiganya telah lepas dari pelukan.
“Dih, keren lo begitu?” Ocean menyatukan alisnya.
“Tuh kan, kamu gitu banget sama aku dari tadi bukannya disayang-sayang udah tiga tahun nggaa ketemu aku malah diomelin mulu, udah sono, aku sama Kak Au aja!” Aliesha menarik lengan Audine lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Ocean.
“Kok baju kalian sama, sih?! Kalian janjian?”
Dua perempuan itu berhenti, saling melempar pandang. Tanpa sengaja, ternyata ketiganya baru sadar kalau hari ini Audine sama-sama mengenakan jaket dan jogger pants senada, persis mirip dengan outfit yang dikenakan Aliesha, hanya saja warnanya berbeda. Audine mengenakan setelan berwarna abu-abu.
“Aduh, iya! Ternyata aku emang jodohnya sama Alie.” jawab Audine dengan lirikan mata meledek ke arah Ocean.
“Oke kakak, ayo kita lanjut jalan, kita biarin aja lelaki itu di sana. Kamu punya aku sekarang!”
“Kenapa aku ngga di ajak terus?” tanya Ocean memelas.
“Kakak, kan kamu udah sering, gantian dong!” jawab Aliesha menoleh sekali lagi, sebelum berjalan pergi sambil menggandeng Audine yang dari tadi hanya bisa tertawa.
“Eh, ini koper kamu bawa!” seru Ocean.
“Sama kamulah, biar tangannya ngga sepi, aku baik kasih kamu koper biar bisa digandeng.”
Ocean mendengus sembari berjalan malas meraih troli penuh tiga koper milik Aliesha.
“Awas kalian aku tabrak!”
“Kabuuuuur!”