305; The girl who left her lilies


Ocean tiba di salah satu kafe berdesain minimalis yang dekorasinya di dominasi oleh paduan warna krem dan putih yang sangat kalem, dengan suasana homey dan cozy, ditambah ia datang sekitar jam sebelas siang, jam-jam yang masih termasuk pagi untuk ukuran orang menongkrong di kafe. Ocean mengambil spot di sudut ruangan dekat jendela kaca. Sepi. Hanya ada dirinya dan dua pasangan yang duduk cukup jauh, tengah bercakap pada dunianya.

Oh, ada satu perempuan lagi yang menambah jumlah pengunjung kafe hari ini. Perempuan itu membawa satu buket bunga lily, lalu mengambil tempat di sudut lain dekat kaca di tempat Ocean meneguk hot macchiato-nya yang masih berasap, setelah perempuan itu mengambil pesanan. Ia duduk tepat dua meja di depan Ocean.

Ocean menyalakan ipad-nya, membuka perpustakaan digital dan memilih satu judul untuk dibaca, yang sebenarnya sama sekali tidak ia simak. Ia mulai menyumpal kedua telinganya dengan airpod yang tidak pernah lepas dari dalam sakunya.

Sambil sesekali menyesap minumannya, Ocean mengedarkan pandangan pada pemandangan jalan raya di luar jendela. Tidak ada pemandangan asing selain lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki, namun orang-orang itu terlihat gembira: pengamen yang bernyanyi dari mobil ke mobil seraya memetik ukulele, pasangan yang berjalan sambil bergandeng tangan, atau satu anak perempuan yang berjalan setengah lari, tertawa-tawa dengan es krim yang mencair di tangannya.

Ocean pelan-pelan menarik garis lengkung pada bibirnya, seolah ada energi gembira yang tersalur lewat pengambilan sorot matanya. Sambil menghirup aroma kopi menenangkan yang menyeruak di seluruh kafe, sedikit demi sedikit energinya mulai kembali terisi.

Kini pandangannya pindah menjelajahi isi kafe, meja-meja kosong mulai terisi karena waktu mulai memasuki jam istirahat. Antrean di depan kasir mulai memanjang.

Di saat mata itu mengitari isi kafe, tatapannya bertemu pada tatap perempuan di sudut ruang. Perempuan itu mengangguk sebelum beranjak pergi. Meninggalkan satu buket bunga lily yang ia simpan di kursi kosong sebelahnya. Ia pergi dengan santai, melupakan satu barang bawaannya yang masih ada di sana.

Ocean mematikan ipad, memasukkannya ke dalam pouch, lalu ikut beranjak pergi, buru-buru menyelamatkan buket sebelum sang pemilik pergi semakin jauh. Namun tatap matanya kembali jatuh pada label tag di atas pita buket, menghentikan geraknya selama beberapa detik. Label tag itu bertuliskan, Fairy Blossom handled by Audine.

Perempuan itu Diandra.

Perasaannya kembali gelisah, dengan separuh gundah yang diisi oleh segunduk perasaan rindu yang tiba-tiba menyeruak di dalam dada.

Lelaki itu mengejar perempuan dengan rambut hitam legamnya yang terurai, untungnya berhenti di trotoar dekat lampu merah persis di depan kafe.

Ocean menghampirinya, lalu menepuk bahu perempuan itu dengan hati-hati, perempuan itu menoleh sambil sedikit terkejut.

“Sorry, ini, buket lo ketinggalan.” ujar Ocean sambil memberikan buket lily putih.

Diandra semakin membulatkan matanya, geraknya terlihat rusuh sambil menghembuskan napas lega, “Ya ampun, makasih banyak! aduh gue ngga tau deh kalo buketnya sampe ilang. Sekali lagi thank you, kak—?” Diandra menghentikan ucapannya seakan menunggu jawaban.

“Elvan.” jawabnya menangkap sinyal dengan baik. Tetap memperkenalkan diri sebagai Elvan.

Lelaki itu tetap tidak suka dipanggil Ocean, ya, pengecualian untuk Audine.

“Thank you, Kak Elvan.” ucap Diandra lagi, ramah.

Percakapan terputus, namun Ocean masih berdiri di situ, seolah masih ada pertanyaan yang terjebak di dalam kepalanya. Diandra yang peka akan gerak canggung Oceanpun kembali menoleh.

“Masih di situ?” tanyanya, “Oh, belum mau pergi ya?”

“Lo sendiri, ngapain panas-panas di trotoar?”

Diandra terkekeh, “Gue nunggu grab.”

Gerak tubuh Ocean kembali bertingkah canggung, matanya mencuri-curi pandang ke arah Diandra yang sebenarnya tertuju ke arah buket. Namun membuat Diandra semakin risih.

“Kak, sorry, it feels so weird, lo emang sengaja masih diem di situ atau gimana?” tanya Diandra lagi dengan nada bicara yang terburu-buru.

“Eh, iya sorry, cuma mau bilang, umm— bunganya bagus.” jawab Ocean terlihat ragu.

“Astaga, gue kira kenapa,” balas Diandra seraya tertawa, mencairkan suasana, “Gue baru beli tadi banget, jadi masih seger, makanya enak diliat.”

“Fairy blossom?”

Diandra kembali tersontak, “Kok tau?” Lalu dibalas oleh sorot mata Ocean yang mengarah pada label tag di atas buket. Diandra mengangguk paham, “Oh iya ya ada namanya. Iya. Ownernya cantik.”

Kini gantian Ocean yang terkekeh, “She is.”

“Lo? kenal?” tanya Diandra heran, sambil memainkan ujung pita pada buket.

“Ngga mungkin gue ngga kenal. She’s my girlfriend.” jawab Ocean dengan sisa tawa kecilnya.

Diandra membulatkan bola matanya, lalu tiba-tiba menepuk tangan sebelum menutup mulutnya dengan telapak tangan, lebay.

“IH KEREN BANGET BISA KAYAK GITU, ITU SIH BUKAN DUNIA YANG SEMPIT TAPI GUE YANG KEREN!” seru Diandra dengan nada suara yang meninggi. “Terus, ini lo mau ke sana sekarang?”

Binaran mata itu tiba-tiba memadam, Ocean menggeleng seraya menampilkan senyum terpaksa.

Bukan hal sulit bagi Diandra untuk menangkap tiap gerak-gerik yang ia terima sebagai respon, karena Diandra adalah representasi dari mahasiswi psikologi yang selalu dianggap bisa meramal.

Perempuan itu kembali mengingat sorot mata yang ia terima dari Audine, lalu menghubungkannya dengan perilaku Ocean yang ia lihat saat ini. Diandra mengangguk samar tanda mengerti.

“Kak, lo tau istilah masuk gua ngga?” tanya Diandra tiba-tiba, memecah lamunan.

“Masuk gua?”

“Gue selalu ngegunain istilah itu kapanpun gue butuh waktu untuk sendiri, ya lebih gampangnya me time. Kalo gue sama partner gue lagi sama-sama di keadaan yang ngga oke, pasti kita sama-sama masuk ke gua masing-masing, saling nenangin diri, dan ngga boleh ada yang ganggu sampe dia keluar gua sendiri.” jawab Diandra, “Tapi, dengan lo dikasih waktu sendiri, bukan berarti lo bisa seenaknya bertapa di dalam gua sampe lupa untuk keluar. Inget, ada orang yang nunggu lo keluar dari dalem sana, jangan biarin dia sendirian, apalagi sampe kelamaan nunggu dan akhirnya mati kedinginan.”

Mati kedinginan. Detak jantungnya langsung berdegup kencang begitu ia mencerna tiap-tiap kata yang terucap dari Diandra. Ocean sangat bisa menangkap apa maksud dari kalimat tersebut.

Seketika bayangan Audine langsung muncul di dalam kepalanya.

Sudah satu minggu ia kabur demi menyembuhkan dirinya sendiri, tanpa sadar kalau ternyata ada orang lain yang ia buat sakit karena proses penyembuhannya. Rahangnya mengeras, Ocean menunduk menatap tanah dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Lelaki itu merasa sangat egois pada wanitanya.

Mobil putih berhenti di depan keduanya, taxi online pesanan Diandra tiba.

Diandra kembali membuka suara seraya menepuk bahu Ocean.

“Kak, grab gue udah dateng, gue duluan ya.” katanya sambil berjalan mendekati mobil.

“Tunggu.” panggil Ocean, menghentikan tangan Diandra yang sudah terjatuh di atas tuas pintu mobil, perempuan itu menoleh.

“Thank you, um-“

“Diandra.”

“Thank you, Diandra. Makasih banyak.”

Diandra tersenyum, “Gue yang harusnya makasih, buket gue ngga jadi ilang. Ya udah, gue duluan ya, Kak.”

Diandra menaiki mobil, meninggalkan Ocean yang masih menunggunya hingga benar-benar menghilang dari pandangan.

Di saat Ocean mulai melangkah pergi, kini Diandra yang balik memanggilnya sembari membuka kaca mobil. Ocean menghentikan langkah seraya menoleh.

“Kak, good luck! she’s waiting for you.”

Ocean mengangguk, “I’ll come to her soon.”