280; I lose
Ocean menangkap hamparan luas berwarna biru kristal dari kejauhan, memandangi sorot sinar matahari yang memantulkan kilau-kilau cahaya dari atas langit, berkelip bagai hujan bintang yang jatuh di tengah laut.
Dareen menepuk sebelah bahu Ocean, membuyarkan lamunannya, “Van, ayo turun.” Katanya lembut sambil tersenyum, berusaha memberi ketenangan pada adik sepupunya.
“Audine?” tatap matanya menyorot gusar menatap Dareen.
“Nanti dateng, lagi di jalan.” jawab Dareen berbohong, padahal ia sendiri belum mendapat kabar apapun dari Audine.
Untuk pertama kalinya setelah hampir delapan tahun, Ocean kembali menginjakkan kaki di atas hamparan empuk pasir putih. Semilir angin menyapa wajahnya, menerpa tiap helai rambut yang menari-nari di antara syahdu dan tenangnya laut. Lelaki itu melangkahkan kakinya, melewati tiap-tiap gundukan istana pasir, semakin mendekat menuju air dengan suara riak ombak yang seakan memanggil.
Kini lelaki itu telah duduk di bawah payung dengan pemandangan dinding batu karang di sampingnya, bersandar pada kursi lipat sambil memejamkan mata, membiarkan para stylish merias wajah dan rambutnya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
“Elvan, you okay?” ucap salah satu stylish. Ocean mengangguk tanpa membuka matanya. Memudahkan dua orang stylish itu untuk saling melempar tatap, berbicara lewat sorot mata, seakan sadar akan perubahan sikap Ocean yang tidak biasanya.
Ocean dikenal sebagai anak yang humble, lugu, dan periang dikalangan staff. Ia tidak pernah segan untuk membuka percakapan lebih dulu terhadap para stylish selama menunggu dirinya selesai dirias. Tapi, tidak dengan hari ini. Badannya bergerak gelisah seolah mencari posisi yang nyaman, kenyataannya, lelaki itu tengah mati-matian melawan rasa takut yang dari tadi meronta keluar dari dalam dirinya, kembali berusaha mengalahkannya keberanian yang susah payah ia bangun.
Ocean masih memejamkan mata dengan satu pasang airpod yang menyumpal telinganya, tidak sadar bahwa kedua stylish itu telah selesai dan pergi meninggalkannya sendiri sejak beberapa menit yang lalu. Sampai terasa tepukan tangan lain, menepuk lembut di atas bahunya.
Lelaki itu tersontak membuka mata, buru-buru menangkap sosok perempuan yang dari tadi ia tunggu kehadirannya.
“Au?”
Bukan, itu bukan Audine.
“Eh sorry, Van, gue ganggu lo tidur ya?” ucap salah satu staff dengan gulungan kertas pada genggamannya. “Yuk sekarang, nanti mataharinya keburu tinggi.”
Ocean meraih ponsel dari dalam sakunya, tidak ada pesan apapun dari Audine. Sudah berjalan hampir lima puluh menit perempuan itu belum juga muncul, apa Audine lupa? pikirnya. Rahangnya mulai mengeras, peluh keringat kembali membasahi kedua telapak tangannya yang terasa dingin. Ocean bangkit dari duduknya, menatap desiran ombak yang bergerak hingga membasahi pasir pada pesisir.
“Van! ayo!” teriak salah satu staff lagi dari dekat air.
Air, panggilan itu menyuruhnya untuk bergerak menghampiri air. Ocean diam mematung, masih di bawah payung yang sama. Langkah kakinya terasa berat. Degup jantungnya kembali berdetak tidak karuan, seakan dapat terdengar bersahutan, beringiran dengan gemuruh ombak. Ocean menarik napas panjangnya, lalu menghembuskan secara berulang, sebelum akhirnya mulai melangkahkan kaki mendekati laut.
Ocean mengepalkan kedua tangannya seraya memasukkannya ke dalam saku celana, menyembunyikan getaran pada jari-jarinya yang mulai terlihat. Lelaki itu mengambil tempat cukup jauh dari air, mulai berpose layaknya profesional. Tidak ada raut wajah takut yang tertangkap kamera. Dareen melengkungkan garis bibirnya dari kejauhan, melempar manik mata teduh pada Ocean dengan perasaan lega.
Berhasil, sang samudra kembali menyapa lautnya.
Tidak, tidak selesai sampai di situ, Ocean kembali diperintahkan untuk lebih mendekat, benar-benar masuk ke dalam air. Orang-orang di sana seakan tidak mempedulikan perjanjian di antaranya, yang telah sepakat untuk tidak membiarkan Ocean masuk ke dalam air.
Kepalanya mulai terasa sakit, hanya ada kegelapan yang bisa ia lihat kapanpun sorot matanya terarah menuju air. Getaran pada tubuhnya semakin bisa ditangkap oleh mata.
Audine, matanya mencari sosok perempuan itu, berharap ada satu-satunya binar mata favorit yang terselip di antara puluhan tatap mata yang mengarah kepadanya. Nihil, tidak ada Audine di sana.
“Van ayo dong! tinggal beberapa shoot lagi, don’t take so much time!” teriakkan itu kembali memanggilnya.
Dengan langkah yang sangat berat, Ocean bergerak semakin dekat menuju air. Kini kakinya mulai merasakan tekstur pasir yang basah, matanya menatap gulungan ombak dari tengah laut yang seolah ingin menariknya kembali ke dalam air.
Putaran memori mengerikan kembali terputar di dalam kepalanya. Gelap, sesak, koyakan dahsyat yang mencabik kulit kembali terasa sakit dan perih di dalam memorinya. Lututnya semakin melemas, hingga kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya.
Ocean menjatuhkan diri, dengan posisi berjongkok, ia meremat dan menarik rambutnya sendiri, memukul-mukul kepalanya berharap memori itu hilang. Badannya bergetar sangat kuat.
Dareen dengan secepat kilat berlari menghampiri Ocean, lalu merengkuh tubuh lelaki itu ke dalam dekapannya. Dareen dapat merasakan guncangan di seluruh tubuh Ocean, bahkan degup jantungnya terdengar sangat kencang seakan mampu melompat keluar dari dalam dadanya.
“Engga kayak gini perjanjiannya, ngga ada lo semua nyuruh dia buat nyentuh air!” pekik Dareen, sorot matanya berapi-api, mengarah tajam pada salah satu staff. “Lo egois!”
“Bang Dareen, udah.” ujar Ocean tiba-tiba dengan suara terengah, “Gue yang salah, gue yang har—“
“Sssh,” Dareen kembali menarik Ocean ke dalam rengkuhannya, “Can you stop blaming yourself? lo udah keren, Van, keren banget, thank you udah berani lawan rasa takut lo, lo ngga akan mungkin ada di sini kalo bukan karena usaha keras lo untuk keluar dan ngelawan trauma lo, lo keren.”
Ocean menggeleng, “Maaf, gue kalah lagi.”