228; It starts with a kiss
Aku ketiduran. Rasanya, baru 5 menit lalu aku dan Atha saling menuduh perihal siapa oknum teledor yang lupa memasukan cocoa powder ke dalam troli tadi malam. Ketika terbangun, sudah ada pesan masuk dari Atha, berisi satu foto selfie bersama 4 kantung bubuk kakao di depan rak supermarket yang kami kunjungi semalam. Tidak ada kalimat apapun, hanya rengutan wajah yang sudah menjelaskan ketidakikhlasan. Seraya berjalan menuju dapur, aku tersenyum sangat ikhlas melihat dia mengalah untuk membeli lagi bahan yang kurang.
Seluruh alat baking sudah tertata rapi di atas meja. Bahan-bahan telah tertakar sempurna pada tiap-tiap mangkuk kaca untuk memudahkan para pembantu (maksudku teman-teman) untuk membuat cookies cokelat minggu ini. Satu jam lagi mereka tiba, dan aku sudah bisa membayangkan bagaimana dapur ini akan diisi oleh bising dan keseruan setelah mati-matian aku menahan ingus dan air mata ketika mengocok tepung sendirian minggu lalu, sepi tanpa mami.
Dimanapun aku mencium aroma kue, melihat bertumpuk peralatan baking di dalam lemari yang sudah tidak pernah lagi disentuh pemiliknya, atau bunyi denting oven ketika kue cokelat telah terpanggang sempurna, rasanya suara mami juga masih ada di sana. Menyiksaku dengan serangan memori ketika dapur rumah masih dipenuhi oleh gema tawa kami.
Selama hampir 2 bulan semenjak kabar hilangnya pesawat yang ditumpangi mami dan papi, suara tangis menjadi suara yang lebih sering didengar dibanding bunyi detak jam pada tiap sudut rumah. Tidak ada lagi suara piano yang dimainkan papi untuk mengisi hening malam.
Sampai di bulan ketiga, keadaan mulai sedikit kembali normal, namun berbeda secara bersamaan.
Mas Khai menjadi lebih sering terbang ke luar pulau hingga bisa terhitung berapa hari dalam seminggu ia tidur di rumah. Dan Atha, si paling sok pintar yang selalu menolak les tambahan mendadak ikut seluruh lembaga kursus apapun yang membuka pendaftaran pada waktu itu, dari akademik hingga non akademik.
Semua orang menjadi lebih sibuk. Mas Khai dan Atha sibuk menjaga kewarasan masing-masing dengan cara yang tidak aku inginkan. Mereka membuat rumah yang kami tinggali menjadi semakin tidak berarti.
Aku pikir, masalah akan selesai bila aku juga meninggalkan rumah—menjauhi kenangan. Tapi kenyataannya, semakin aku berlari, justru serangan rindu pada atmosfer rumah ketika orangtuaku masih ada di bumi menggerogotiku jauh lebih kejam sampai aku lupa bagaimana cara untuk bernapas. Aku semakin kehilangan arah. Aku tidak mau ada hari esok. Aku mau ada seseorang yang meracuniku ketika aku sedang tertidur. Bagiku, dunia sudah kiamat, kehidupan telah berakhir, dan aku telah mati di tahun 2018, terkubur pada pusara langit bersama pesawat Boeing 777 yang menjadi satu-satunya peti mati kedua orangtuaku.
Tapi sekarang aku masih bernapas, dan aku masih (dipaksa) hidup.
Ting!
Ah, hampir saja aku menangis lagi di depan tataan telur dan mentega kalau tidak terinterupsi bunyi bel yang dibunyikan seseorang dari luar. Aku pergi menuju pintu, dan senyuman Aleon langsung menyembuhkan begitu daun pintu terbuka.
“Kok sendiri? Ke mana Atha?” tanya Aleon seraya membuntutiku dari belakang.
Aku menjawab. “Supermarket, beli bahan yang kurang.” Lalu hening.
Lelaki itu sudah terlalu sering datang untuk bersantai di apartemenku dan Atha, apalagi sejak hubungan kami semakin akrab. Jadi memang masuk akal kalau semasa UAS kemarin Aleon lebih memilih untuk tinggal di rumah agar tidak mendapat gangguan dariku yang sering bolak-balik ke kamarnya setiap kali Atha tidak ada. Walaupun hanya berdua tanpa percakapan, berada di ruangan sama dengan Aleon bukanlah suatu hal canggung. Aleon bahkan sudah melipir ke balik keyboard yang tadi telah aku keluarkan ke ruang tengah tanpa menunggu dipersilakan.
Autumn finds winter by Yiruma mengalun lembut lewat jari jemari tangannya. Ini adalah salah satu judul yang aku masukan ke dalam daftar putar kemarin. Lagu ini ada di urutan tengah-tengah, di antara keadaan rapuh dan kebebasan. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Aleon sekarang, karena begitu melihat ia duduk di kursi keyboard—mengarah pada dapur—dan aku, aku langsung membalik badan, pura-pura sibuk menakar tepung terigu walau semuanya sudah terorganisir.
“Sekarang ngapain lagi? Itu bahan-bahan yang di meja keliatannya udah lengkap semua?” Lelaki itu membuka suara tanpa menghentikan permainan melodinya.
“Siapin cadangan aja. Siapa tau tepung-tepungnya dipake perang sama Kak Kalil dan Atha, kan? Who knows.”
Dia terkekeh. “Gue antara mau muji lo anaknya prepare banget, atau semakin mengakui kalau isi kepala lo random banget.”
Hanya dari suara tawanya, aku bisa melihat bagaimana seringai tipisnya tengah tertarik sebelah sembari diikuti gerakan kepala setiap kali ia tertawa kecil. His smirks always hit different to me. Keputusanku untuk membelakanginya adalah pilihan tepat karena Aleon, smirk, dan keyboard di waktu bersamaan akan melewati batas keindahan yang boleh ditangkap oleh mataku.
Aku masih pura-pura sibuk dan masih membelakanginya. Berkali-kali mataku menengok pada arloji di tangan, berharap jarum waktu berputar lebih cepat sampai Atha dan kawan-kawan lain akhirnya tiba. Sebab Aleon yang terduduk di belakangku mendadak berubah menjadi orang yang aku takuti. Aku merasakan adanya sepasang mata yang tengah menatap tajam punggungku, dan suhu ruang mendadak panas.
Tanganku mulai bergerak menyeka keringat. Entah faktor AC yang belum di-service sehingga debu tebal menghalangi udara dingin untuk menyebar, atau eksistensi Aleon yang memantik jantungku untuk berdegup lebih cepat dari normalnya.
“Kenapa panas banget, ya.” Alasanku sembari mengipas-ngipas telapak tangan. “Kayaknya filter AC-nya udah kotor.”
Lalu suara keyboard berhenti.
Ruangan menjadi benar-benar hening sampai aku khawatir Aleon bisa mendengar suara jantungku. Padahal, lebih baik aku menoleh untuk melihat apa yang dilakukan lelaki itu daripada harus menerka-nerka benar atau tidak ia tengah memperhatikanku, namun rasanya sulit sekali.
Perlahan-lahan, aku merasakan ada hembusan napas hangat yang berada tepat di belakang pundak.
“Diikat aja rambutnya. It’s just me here, you don’t have to worry about your tattoo.” Aku langsung lupa bagaimana cara menelan ludah saat suara itu berada sangat dekat di samping telinga.
Aleon, kurang ajar! Bahkan dia tidak memberikanku aba-aba untuk menarik napas panjang sebelum diserang oleh sentuhan jari jemarinya yang menyisir lembut helai rambutku. Lalu jarinya menjalar ke atas tengkuk, mengelus halus sebuah tato bertulis cerulean dengan satu telunjuknya ketika rambutku telah terkuncir sempurna.
Secepat kilat aku langsung memutar badan panik, khawatir jika terlalu lama dibiarkan Aleon akan melakukan hal yang semakin berpotensi untuk membuat jantungku melompat keluar. Dan ini adalah tindakan yang aku sesali. Karena mata cokelat yang dari tadi aku hindari sekarang hanya berjarak satu jengkal di depanku.
Lelaki itu mengangkat kedua alis. “Kenapa panik banget? Lo sekhawatir itu kalau tatonya sampe keliatan orang?” Katanya. Dengan ekspresi biasa saja seakan TIDAK PUNYA SALAH TERHADAP AKU YANG NYARIS DIBUAT MATI.
“Cuma khawatir kalau ada orang lain lagi yang tau sebelum Mas Khai dan Atha. Gue gak mau mereka akhirnya tau gue punya tato dari orang lain.” Aku menjawab berusaha santai tanpa menatap matanya.
“Oh, sampai sekarang belum bilang?”
“Belum. Tapi pasti.”
“The sooner the better. Supaya lo juga gak cape buat terus-terusan umpetin ini.”
“Iya,” balasku agak ketus. Mataku masih bergerak ke sana ke mari.
Tidak tahu apa yang lucu, mungkin gelagat salah tingkahku terbaca jelas olehnya. Mengingat Aleon sangat senang menggodaku, lantas ia tertawa. “Dan supaya lo bisa sering-sering ikat rambut,” sambungnya lagi.
“Biar apa?” Gantian alisku yang terangkat.
“Biar orang lain juga bisa liat secantik apa lo kalau rambutnya dikuncir.”
Secara spontan aku memukul dadanya, lelaki itu malah tertawa semakin geli. “Terus aja flirting! Mulut lo nih kayak udah biasa banget ya muji perempuan cantik?!”
“Ah enggak. Cuma orang-orang tertentu aja.”
“Contohnya?”
“Ya ini contohnya ada di depan gue.” Aleon masih terkekeh, tapi kali ini intonasi suaranya terdengar serius. “Nggak semua perempuan gue puji cantik, kan, nggak semua perempuan itu lo.”
Mendengar kalimat itu, seketika seluruh pujian manis lainnya yang pernah Aleon utarakan padaku satu per satu terputar di dalam kepala. Begitu juga dengan perhatian dan perlakuan ‘spesial’ kami yang aku rasa tidak wajar dilakukan antarteman.
Kedekatan kami yang tidak lagi membuat teman-teman di sekitar percaya kalau aku dan Aleon hanya sebatas teman. Dan aku yang pada akhirnya mengakui, kalau aku jatuh cinta pada lelaki itu.
Entah apa yang memberikanku keberanian, sehingga atmosfer panas yang tercipta di antara kami mendorongku untuk melontarkan satu buah pertanyaan serius.
“Leon, what are we?” Kali ini aku tidak lagi menghindari pandangannya. Aku menyerangnya dengan pertanyaan dan sorot mata yang seperti memaksa akan jawaban. “It seems we have done a lot of things that shouldn’t be doing as friends. What are we? I can’t let you keep doing this cause I’ve a limit to how long I have to hold back my feelings, so I don’t fall deeper, Leon. Mas Khai said, if love can heal you, be in love then. But how can love heal if we don’t know someone we love also feels the same way? I mean— Nah, nevermind… why am I talking like a drunk…”
Sebutlah aku terlalu berani, aku tidak peduli, aku hanya membutuhkan jawaban dari semua perlakuan ambigu yang membuatku bertanya-tanya sendiri, aku tidak suka sesuatu yang tak pasti. Lama kelamaan itu hanya akan membuatku semakin jatuh ke dalam lubang penuh harap, tanpa memiliki jawaban di dalamnya. Jika dia juga menyukaiku, maka resmikan. Kalau dia hanya niat bermain-main, silakan cari wahana lain.
Then, he answered with a kiss.
Arus listrik itu sangat nyata begitu bibir kami bersentuhan. Menyambarkan seluruh tegangan paling tinggi untuk mengejutkan seluruh nadi di dalam tubuhku hingga mereka semua berdetak dua kali lebih cepat dari seharusnya.
Lelaki itu memejamkan mata, begitu juga dengan aku yang mematung kaku. Menikmati 7 detik paling indah yang kami rasakan sejak kami berdua sama-sama berada di ambang kematian.
“How do you feel about the kiss?” Ia berbicara dalam jarak yang sama setelah tautan itu terlepas.
Aku menjawab dengan hening, bagaimana bisa aku mengambil napas untuk menyuarakan kalimat di saat seluruh oksigen di dalam ruangan ini saja sudah diserap habis olehnya.
Belum sempat aku menjawab, Aleon sudah berbicara lagi. “Or, do you want to know how I feel first?” Aku reflek mengangguk, mulutku mendadak tidak bisa mengeluarkan sepatah kata sejak dibisukan oleh bibirnya.
“Love. I taste love.”
Gila, lelaki itu benar-benar membuatku gila.
“Someone said, ketika kita bingung alasan apa yang membuat jatuh cinta, artinya kita benar-benar jatuh cinta. Love has no reason. Tapi aku nggak begitu, Jani.”
Aku. Kata sapaan itu terasa lebih mempersempit udara dibanding sentuhan bibirnya.
Lalu seketika senyumku pun tertarik dengan sendirinya.
Aleon melanjutkan. “The more I see you, the more I want to take care of you. And the more I want to take care of you, the more afraid I am of losing you. Aku punya alasan buat jatuh cinta sama kamu, Jan. I won’t promise you to give you a love that heals, sesuatu yang kita anggap obat bisa jadi membunuh kalau kamu gak tau gimana cara konsumsinya. But don’t worry, aku bisa kasih takaran sesuai yang kamu butuhin. I promise, you won’t be killed anymore.”
Jarinya kembali bermain-main pada helai rambutku. “Coba sekarang kamu ulang pertanyaannya.”
“Yang mana? Yang tadi?”
Ia tersenyum dan mengangguk.
“What are we?” Aku mengulang pertanyaan sesuai perintahnya.
Aleon menjawab. “A couple. Cause friends don’t do kiss.”
“A couple. Cause friends don’t do kiss.”
Lalu kami tertawa, saling terjebak di dalam manik mata satu sama lain.
“Maaf kalau terlalu lama bikin kamu bingung dan bertanya-tanya sendiri. I didn’t mean. Aku kelamaan mikir cara nembak yang keren biar kayak cowok-cowok lain, sih,” candanya. “Tapi serius, aku sama sekali gak ada niat buat bikin kamu bingung or feel played, maaf ya…”
Sekarang suasana kembali mencair, nada bicara Aleon tidak lagi terdengar menegangkan. Dia berbicara sembari terkekeh, tapi aku tahu kalau itu juga termasuk pengakuan sungguh-sungguh.
Masih membalas dengan tawa, aku menjawab, “Aku bahkan gak ada ekspektasi apa-apa tentang gimana aku ditembak sama cowok, ah. Nggak perlu neko-neko, mau cuma sekedar kasih pertanyaan ‘mau gak jadi pacar aku’ tanpa embel-embel kata manis pun gak masalah. Because what made me believe that he loved me was the way he treated me. And I could see yours from the start.”
“So, i’ve been caught?” Aleon melingkarkan tangannya pada pinggangku, wajah percaya dirinya tercetak jelas lewat sebelah alis yang dinaikan.
“Ummm… enggak juga sih,” Aku menaikan bahu, berlagak kebingungan, “agak susah juga kalau nerka cowok tsundere.”
Ucapan itu lalu dibalas oleh tawa dan gelengan kepala dari Aleon yang beberapa detik kemudian diikuti oleh gelak suaraku. Memangnya siapa lagi yang masih membutuhkan bukti atas sikap Aleon? Tanpa perlu pengakuan, Aleonlah satu-satunya orang yang menyelamatkanku dari kematian panjang setelah Mas Khai, Atha dan kedua sahabatku.
Aku serius, penyiksaan terberat yang pernah aku rasakan adalah bertahan hidup.
Lewat sahutan tawa itu, kami seperti sama-sama mengingat lagi momen waktu kehadiran masing-masing masih sebatas tetangga asing.
Tatapan lelaki itu terus semakin dekat, melalui binar matanya, Aleon menarikku lebih dalam untuk menyelami dunianya yang dengan yakin mempersilakanku masuk untuk berkenalan pada sudut-sudut persembunyiannya.
Setelah 4 tahun dipaksa hidup, hari ini aku berani mengakui kalau aku tidak menyesal karena telah mengikuti tuntutan untuk bertahan hidup. Bertahan hidup sampai akhirnya aku menemukan Aleon di belahan bumi yang tidak pernah aku sangka.
Now, he’s mine.
Secara otomatis aku mempersempit jarak sejengkal lebih dekat, dengan sadar melingkarkan tangan di antara lehernya. Dan ketika mata kami sudah siap untuk sama-sama memejam, berniat melanjutkan ciuman singkat yang terasa belum usai, kerusuhan datang dari balik pintu.
Atha dan kawan-kawan, mereka tiba.
Tanpa peduli kalau tindakanku dapat membahayakan tulang punggung Aleon, aku mendorong lelaki itu cepat hingga suara tubrukan antar tulang dan meja terdengar. Dilanjut dengan menggerai lagi rambut panjangku cepat-cepat, dan segera menyapa teman-teman bersama rona merah akan sebuah pernyataan cinta yang berhasil aku sembunyikan.
“Lah, udah di sini aja lu,” celetuk Atha pada Aleon seraya menaruh kantung belanjaan ke atas meja.
“Ya baguslaaah.” Obrolan disambung oleh Kak Olin. Big thanks to her karena tetap mau menyempatkan datang dan membantu walau seharian ini penuh kesibukan. Itu terlihat jelas dari pakaian formalnya, trousers dan blazer berwarna baby pink. “Anjani jadi nggak capek nyiapin bahan-bahan sendirian. Tuh, lo pada lama sih!”
Kak Valo membalas. “Lo udah dari tadi banget, Le?”
Belum sempat Aleon menjawab, Kak Kalil ikut nimbrung. “Ah, palingan juga dia dateng samanya udah terima beres. Gak yakin gue muka-muka kurang tidur kayak Leon lebih milih dateng cepet buat wadah-wadahin tepung dibanding tidur siang dulu.”
“Emang.” Yang diomongi membuka suara.
“Jadi siapa yang siapin bahan sebanyak ini? Anjani sama Leon, Anjani sama Atha, apa Anjani doang?” tanya Kak Cleo, seolah ini adalah pertanyaan penting yang jika tidak mendapat jawaban dunia akan kiamat. “We must say thank you karena ini banyak banget.”
Tiba-tiba, Aleon berceletuk lagi, satu jawaban yang membuat seluruh mata orang-orang di ruangan ini membulat kaget.
“My girlfriend. She prepared it herself.” Katanya benar-benar santai sembari menunjukku dengan lirikan mata.
“GIRLFRIEND?!”
“MY GIRLFRIEND?!”
“MY? PUNYAKU?!”
Satu persatu seruan kaget menyahut tanpa ada jeda, mereka semua seperti burung pelikan di film Finding Nemo.
“Iya, gue udah jadian barusan.” Kali ini aku yang membelalakan mata melihat Aleon berbicara seperti ini dengan sangat santai di saat jantungku kembali berpacu cepat.
Tapi, tidak ada satu orang pun yang tampak lebih terkejut dari Atha.
Mulutnya menganga, bola matanya hampir keluar. Sebelum akhirnya ia berjalan dan mengambil posisi di antara aku dan Aleon, lalu berteriak.
“LU BERDUA JADIAN?! BARUSAN? I MEAN.. Di saat gue rela panas-panas balik lagi ke supermarket beli bubuk cokelat karena lo yang lupa masukin semalem, rela mengalah demi kembaran tersayang supaya gak terombang-ambing serudukan troli ibu-ibu di tengah gempuran diskon. Dan lo di sini asik mendapatkan pernyataan cinta?! DAN LO BERDUA BENERAN JADIAN TANPA MENUNGGU RESTU GUE?”