sannflowers


Aku ketiduran. Rasanya, baru 5 menit lalu aku dan Atha saling menuduh perihal siapa oknum teledor yang lupa memasukan cocoa powder ke dalam troli tadi malam. Ketika terbangun, sudah ada pesan masuk dari Atha, berisi satu foto selfie bersama 4 kantung bubuk kakao di depan rak supermarket yang kami kunjungi semalam. Tidak ada kalimat apapun, hanya rengutan wajah yang sudah menjelaskan ketidakikhlasan. Seraya berjalan menuju dapur, aku tersenyum sangat ikhlas melihat dia mengalah untuk membeli lagi bahan yang kurang.

​Seluruh alat baking sudah tertata rapi di atas meja. Bahan-bahan telah tertakar sempurna pada tiap-tiap mangkuk kaca untuk memudahkan para pembantu (maksudku teman-teman) untuk membuat cookies cokelat minggu ini. Satu jam lagi mereka tiba, dan aku sudah bisa membayangkan bagaimana dapur ini akan diisi oleh bising dan keseruan setelah mati-matian aku menahan ingus dan air mata ketika mengocok tepung sendirian minggu lalu, sepi tanpa mami.

​Dimanapun aku mencium aroma kue, melihat bertumpuk peralatan baking di dalam lemari yang sudah tidak pernah lagi disentuh pemiliknya, atau bunyi denting oven ketika kue cokelat telah terpanggang sempurna, rasanya suara mami juga masih ada di sana. Menyiksaku dengan serangan memori ketika dapur rumah masih dipenuhi oleh gema tawa kami.

Selama hampir 2 bulan semenjak kabar hilangnya pesawat yang ditumpangi mami dan papi, suara tangis menjadi suara yang lebih sering didengar dibanding bunyi detak jam pada tiap sudut rumah. Tidak ada lagi suara piano yang dimainkan papi untuk mengisi hening malam.

Sampai di bulan ketiga, keadaan mulai sedikit kembali normal, namun berbeda secara bersamaan.

Mas Khai menjadi lebih sering terbang ke luar pulau hingga bisa terhitung berapa hari dalam seminggu ia tidur di rumah. Dan Atha, si paling sok pintar yang selalu menolak les tambahan mendadak ikut seluruh lembaga kursus apapun yang membuka pendaftaran pada waktu itu, dari akademik hingga non akademik.

Semua orang menjadi lebih sibuk. Mas Khai dan Atha sibuk menjaga kewarasan masing-masing dengan cara yang tidak aku inginkan. Mereka membuat rumah yang kami tinggali menjadi semakin tidak berarti.

Aku pikir, masalah akan selesai bila aku juga meninggalkan rumah—menjauhi kenangan. Tapi kenyataannya, semakin aku berlari, justru serangan rindu pada atmosfer rumah ketika orangtuaku masih ada di bumi menggerogotiku jauh lebih kejam sampai aku lupa bagaimana cara untuk bernapas. Aku semakin kehilangan arah. Aku tidak mau ada hari esok. Aku mau ada seseorang yang meracuniku ketika aku sedang tertidur. Bagiku, dunia sudah kiamat, kehidupan telah berakhir, dan aku telah mati di tahun 2018, terkubur pada pusara langit bersama pesawat Boeing 777 yang menjadi satu-satunya peti mati kedua orangtuaku.

Tapi sekarang aku masih bernapas, dan aku masih (dipaksa) hidup.

Ting!

Ah, hampir saja aku menangis lagi di depan tataan telur dan mentega kalau tidak terinterupsi bunyi bel yang dibunyikan seseorang dari luar. Aku pergi menuju pintu, dan senyuman Aleon langsung menyembuhkan begitu daun pintu terbuka.

“Kok sendiri? Ke mana Atha?” tanya Aleon seraya membuntutiku dari belakang.

Aku menjawab. “Supermarket, beli bahan yang kurang.” Lalu hening.

Lelaki itu sudah terlalu sering datang untuk bersantai di apartemenku dan Atha, apalagi sejak hubungan kami semakin akrab. Jadi memang masuk akal kalau semasa UAS kemarin Aleon lebih memilih untuk tinggal di rumah agar tidak mendapat gangguan dariku yang sering bolak-balik ke kamarnya setiap kali Atha tidak ada. Walaupun hanya berdua tanpa percakapan, berada di ruangan sama dengan Aleon bukanlah suatu hal canggung. Aleon bahkan sudah melipir ke balik keyboard yang tadi telah aku keluarkan ke ruang tengah tanpa menunggu dipersilakan.

Autumn finds winter by Yiruma mengalun lembut lewat jari jemari tangannya. Ini adalah salah satu judul yang aku masukan ke dalam daftar putar kemarin. Lagu ini ada di urutan tengah-tengah, di antara keadaan rapuh dan kebebasan. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Aleon sekarang, karena begitu melihat ia duduk di kursi keyboard—mengarah pada dapur—dan aku, aku langsung membalik badan, pura-pura sibuk menakar tepung terigu walau semuanya sudah terorganisir.

“Sekarang ngapain lagi? Itu bahan-bahan yang di meja keliatannya udah lengkap semua?” Lelaki itu membuka suara tanpa menghentikan permainan melodinya.

“Siapin cadangan aja. Siapa tau tepung-tepungnya dipake perang sama Kak Kalil dan Atha, kan? Who knows.”

Dia terkekeh. “Gue antara mau muji lo anaknya prepare banget, atau semakin mengakui kalau isi kepala lo random banget.”

Hanya dari suara tawanya, aku bisa melihat bagaimana seringai tipisnya tengah tertarik sebelah sembari diikuti gerakan kepala setiap kali ia tertawa kecil. His smirks always hit different to me. Keputusanku untuk membelakanginya adalah pilihan tepat karena Aleon, smirk, dan keyboard di waktu bersamaan akan melewati batas keindahan yang boleh ditangkap oleh mataku.

Aku masih pura-pura sibuk dan masih membelakanginya. Berkali-kali mataku menengok pada arloji di tangan, berharap jarum waktu berputar lebih cepat sampai Atha dan kawan-kawan lain akhirnya tiba. Sebab Aleon yang terduduk di belakangku mendadak berubah menjadi orang yang aku takuti. Aku merasakan adanya sepasang mata yang tengah menatap tajam punggungku, dan suhu ruang mendadak panas.

Tanganku mulai bergerak menyeka keringat. Entah faktor AC yang belum di-service sehingga debu tebal menghalangi udara dingin untuk menyebar, atau eksistensi Aleon yang memantik jantungku untuk berdegup lebih cepat dari normalnya.

“Kenapa panas banget, ya.” Alasanku sembari mengipas-ngipas telapak tangan. “Kayaknya filter AC-nya udah kotor.”

Lalu suara keyboard berhenti.

Ruangan menjadi benar-benar hening sampai aku khawatir Aleon bisa mendengar suara jantungku. Padahal, lebih baik aku menoleh untuk melihat apa yang dilakukan lelaki itu daripada harus menerka-nerka benar atau tidak ia tengah memperhatikanku, namun rasanya sulit sekali.

Perlahan-lahan, aku merasakan ada hembusan napas hangat yang berada tepat di belakang pundak.

“Diikat aja rambutnya. It’s just me here, you don’t have to worry about your tattoo.” Aku langsung lupa bagaimana cara menelan ludah saat suara itu berada sangat dekat di samping telinga.

Aleon, kurang ajar! Bahkan dia tidak memberikanku aba-aba untuk menarik napas panjang sebelum diserang oleh sentuhan jari jemarinya yang menyisir lembut helai rambutku. Lalu jarinya menjalar ke atas tengkuk, mengelus halus sebuah tato bertulis cerulean dengan satu telunjuknya ketika rambutku telah terkuncir sempurna.

Secepat kilat aku langsung memutar badan panik, khawatir jika terlalu lama dibiarkan Aleon akan melakukan hal yang semakin berpotensi untuk membuat jantungku melompat keluar. Dan ini adalah tindakan yang aku sesali. Karena mata cokelat yang dari tadi aku hindari sekarang hanya berjarak satu jengkal di depanku.

Lelaki itu mengangkat kedua alis. “Kenapa panik banget? Lo sekhawatir itu kalau tatonya sampe keliatan orang?” Katanya. Dengan ekspresi biasa saja seakan TIDAK PUNYA SALAH TERHADAP AKU YANG NYARIS DIBUAT MATI.

“Cuma khawatir kalau ada orang lain lagi yang tau sebelum Mas Khai dan Atha. Gue gak mau mereka akhirnya tau gue punya tato dari orang lain.” Aku menjawab berusaha santai tanpa menatap matanya.

“Oh, sampai sekarang belum bilang?”

“Belum. Tapi pasti.”

The sooner the better. Supaya lo juga gak cape buat terus-terusan umpetin ini.”

“Iya,” balasku agak ketus. Mataku masih bergerak ke sana ke mari.

Tidak tahu apa yang lucu, mungkin gelagat salah tingkahku terbaca jelas olehnya. Mengingat Aleon sangat senang menggodaku, lantas ia tertawa. “Dan supaya lo bisa sering-sering ikat rambut,” sambungnya lagi.

“Biar apa?” Gantian alisku yang terangkat.

“Biar orang lain juga bisa liat secantik apa lo kalau rambutnya dikuncir.”

Secara spontan aku memukul dadanya, lelaki itu malah tertawa semakin geli. “Terus aja flirting! Mulut lo nih kayak udah biasa banget ya muji perempuan cantik?!”

“Ah enggak. Cuma orang-orang tertentu aja.”

“Contohnya?”

“Ya ini contohnya ada di depan gue.” Aleon masih terkekeh, tapi kali ini intonasi suaranya terdengar serius. “Nggak semua perempuan gue puji cantik, kan, nggak semua perempuan itu lo.”

Mendengar kalimat itu, seketika seluruh pujian manis lainnya yang pernah Aleon utarakan padaku satu per satu terputar di dalam kepala. Begitu juga dengan perhatian dan perlakuan ‘spesial’ kami yang aku rasa tidak wajar dilakukan antarteman.

Kedekatan kami yang tidak lagi membuat teman-teman di sekitar percaya kalau aku dan Aleon hanya sebatas teman. Dan aku yang pada akhirnya mengakui, kalau aku jatuh cinta pada lelaki itu.

Entah apa yang memberikanku keberanian, sehingga atmosfer panas yang tercipta di antara kami mendorongku untuk melontarkan satu buah pertanyaan serius.

“Leon, what are we?” Kali ini aku tidak lagi menghindari pandangannya. Aku menyerangnya dengan pertanyaan dan sorot mata yang seperti memaksa akan jawaban. “It seems we have done a lot of things that shouldn’t be doing as friends. What are we? I can’t let you keep doing this cause I’ve a limit to how long I have to hold back my feelings, so I don’t fall deeper, Leon. Mas Khai said, if love can heal you, be in love then. But how can love heal if we don’t know someone we love also feels the same way? I mean— Nah, nevermind… why am I talking like a drunk…

Sebutlah aku terlalu berani, aku tidak peduli, aku hanya membutuhkan jawaban dari semua perlakuan ambigu yang membuatku bertanya-tanya sendiri, aku tidak suka sesuatu yang tak pasti. Lama kelamaan itu hanya akan membuatku semakin jatuh ke dalam lubang penuh harap, tanpa memiliki jawaban di dalamnya. Jika dia juga menyukaiku, maka resmikan. Kalau dia hanya niat bermain-main, silakan cari wahana lain.

Then, he answered with a kiss.

Arus listrik itu sangat nyata begitu bibir kami bersentuhan. Menyambarkan seluruh tegangan paling tinggi untuk mengejutkan seluruh nadi di dalam tubuhku hingga mereka semua berdetak dua kali lebih cepat dari seharusnya.

Lelaki itu memejamkan mata, begitu juga dengan aku yang mematung kaku. Menikmati 7 detik paling indah yang kami rasakan sejak kami berdua sama-sama berada di ambang kematian.

How do you feel about the kiss?” Ia berbicara dalam jarak yang sama setelah tautan itu terlepas.

Aku menjawab dengan hening, bagaimana bisa aku mengambil napas untuk menyuarakan kalimat di saat seluruh oksigen di dalam ruangan ini saja sudah diserap habis olehnya.

Belum sempat aku menjawab, Aleon sudah berbicara lagi. “Or, do you want to know how I feel first?” Aku reflek mengangguk, mulutku mendadak tidak bisa mengeluarkan sepatah kata sejak dibisukan oleh bibirnya.

Love. I taste love.”

Gila, lelaki itu benar-benar membuatku gila.

Someone said, ketika kita bingung alasan apa yang membuat jatuh cinta, artinya kita benar-benar jatuh cinta. Love has no reason. Tapi aku nggak begitu, Jani.”

Aku. Kata sapaan itu terasa lebih mempersempit udara dibanding sentuhan bibirnya.

Lalu seketika senyumku pun tertarik dengan sendirinya.

Aleon melanjutkan. “The more I see you, the more I want to take care of you. And the more I want to take care of you, the more afraid I am of losing you. Aku punya alasan buat jatuh cinta sama kamu, Jan. I won’t promise you to give you a love that heals, sesuatu yang kita anggap obat bisa jadi membunuh kalau kamu gak tau gimana cara konsumsinya. But don’t worry, aku bisa kasih takaran sesuai yang kamu butuhin. I promise, you won’t be killed anymore.”

Jarinya kembali bermain-main pada helai rambutku. “Coba sekarang kamu ulang pertanyaannya.”

“Yang mana? Yang tadi?”

Ia tersenyum dan mengangguk.

What are we?” Aku mengulang pertanyaan sesuai perintahnya.

Aleon menjawab. “A couple. Cause friends don’t do kiss.”

A couple. Cause friends don’t do kiss.”

Lalu kami tertawa, saling terjebak di dalam manik mata satu sama lain.

“Maaf kalau terlalu lama bikin kamu bingung dan bertanya-tanya sendiri. I didn’t mean. Aku kelamaan mikir cara nembak yang keren biar kayak cowok-cowok lain, sih,” candanya. “Tapi serius, aku sama sekali gak ada niat buat bikin kamu bingung or feel played, maaf ya…”

Sekarang suasana kembali mencair, nada bicara Aleon tidak lagi terdengar menegangkan. Dia berbicara sembari terkekeh, tapi aku tahu kalau itu juga termasuk pengakuan sungguh-sungguh.

Masih membalas dengan tawa, aku menjawab, “Aku bahkan gak ada ekspektasi apa-apa tentang gimana aku ditembak sama cowok, ah. Nggak perlu neko-neko, mau cuma sekedar kasih pertanyaan ‘mau gak jadi pacar aku’ tanpa embel-embel kata manis pun gak masalah. Because what made me believe that he loved me was the way he treated me. And I could see yours from the start.

So, i’ve been caught?” Aleon melingkarkan tangannya pada pinggangku, wajah percaya dirinya tercetak jelas lewat sebelah alis yang dinaikan.

“Ummm… enggak juga sih,” Aku menaikan bahu, berlagak kebingungan, “agak susah juga kalau nerka cowok tsundere.”

Ucapan itu lalu dibalas oleh tawa dan gelengan kepala dari Aleon yang beberapa detik kemudian diikuti oleh gelak suaraku. Memangnya siapa lagi yang masih membutuhkan bukti atas sikap Aleon? Tanpa perlu pengakuan, Aleonlah satu-satunya orang yang menyelamatkanku dari kematian panjang setelah Mas Khai, Atha dan kedua sahabatku.

Aku serius, penyiksaan terberat yang pernah aku rasakan adalah bertahan hidup.

Lewat sahutan tawa itu, kami seperti sama-sama mengingat lagi momen waktu kehadiran masing-masing masih sebatas tetangga asing.

Tatapan lelaki itu terus semakin dekat, melalui binar matanya, Aleon menarikku lebih dalam untuk menyelami dunianya yang dengan yakin mempersilakanku masuk untuk berkenalan pada sudut-sudut persembunyiannya.

Setelah 4 tahun dipaksa hidup, hari ini aku berani mengakui kalau aku tidak menyesal karena telah mengikuti tuntutan untuk bertahan hidup. Bertahan hidup sampai akhirnya aku menemukan Aleon di belahan bumi yang tidak pernah aku sangka.

Now, he’s mine.

Secara otomatis aku mempersempit jarak sejengkal lebih dekat, dengan sadar melingkarkan tangan di antara lehernya. Dan ketika mata kami sudah siap untuk sama-sama memejam, berniat melanjutkan ciuman singkat yang terasa belum usai, kerusuhan datang dari balik pintu.

Atha dan kawan-kawan, mereka tiba.

Tanpa peduli kalau tindakanku dapat membahayakan tulang punggung Aleon, aku mendorong lelaki itu cepat hingga suara tubrukan antar tulang dan meja terdengar. Dilanjut dengan menggerai lagi rambut panjangku cepat-cepat, dan segera menyapa teman-teman bersama rona merah akan sebuah pernyataan cinta yang berhasil aku sembunyikan.

“Lah, udah di sini aja lu,” celetuk Atha pada Aleon seraya menaruh kantung belanjaan ke atas meja.

“Ya baguslaaah.” Obrolan disambung oleh Kak Olin. Big thanks to her karena tetap mau menyempatkan datang dan membantu walau seharian ini penuh kesibukan. Itu terlihat jelas dari pakaian formalnya, trousers dan blazer berwarna baby pink. “Anjani jadi nggak capek nyiapin bahan-bahan sendirian. Tuh, lo pada lama sih!”

Kak Valo membalas. “Lo udah dari tadi banget, Le?”

Belum sempat Aleon menjawab, Kak Kalil ikut nimbrung. “Ah, palingan juga dia dateng samanya udah terima beres. Gak yakin gue muka-muka kurang tidur kayak Leon lebih milih dateng cepet buat wadah-wadahin tepung dibanding tidur siang dulu.”

“Emang.” Yang diomongi membuka suara.

“Jadi siapa yang siapin bahan sebanyak ini? Anjani sama Leon, Anjani sama Atha, apa Anjani doang?” tanya Kak Cleo, seolah ini adalah pertanyaan penting yang jika tidak mendapat jawaban dunia akan kiamat. “We must say thank you karena ini banyak banget.”

Tiba-tiba, Aleon berceletuk lagi, satu jawaban yang membuat seluruh mata orang-orang di ruangan ini membulat kaget.

My girlfriend. She prepared it herself.” Katanya benar-benar santai sembari menunjukku dengan lirikan mata.

GIRLFRIEND?!”

MY GIRLFRIEND?!”

MY? PUNYAKU?!”

Satu persatu seruan kaget menyahut tanpa ada jeda, mereka semua seperti burung pelikan di film Finding Nemo.

“Iya, gue udah jadian barusan.” Kali ini aku yang membelalakan mata melihat Aleon berbicara seperti ini dengan sangat santai di saat jantungku kembali berpacu cepat.

Tapi, tidak ada satu orang pun yang tampak lebih terkejut dari Atha.

Mulutnya menganga, bola matanya hampir keluar. Sebelum akhirnya ia berjalan dan mengambil posisi di antara aku dan Aleon, lalu berteriak.

“LU BERDUA JADIAN?! BARUSAN? I MEAN.. Di saat gue rela panas-panas balik lagi ke supermarket beli bubuk cokelat karena lo yang lupa masukin semalem, rela mengalah demi kembaran tersayang supaya gak terombang-ambing serudukan troli ibu-ibu di tengah gempuran diskon. Dan lo di sini asik mendapatkan pernyataan cinta?! DAN LO BERDUA BENERAN JADIAN TANPA MENUNGGU RESTU GUE?”


Jam setengah 5 pagi. Ini adalah rekor mengawali kegiatan terpagi bagi Anjani selama dua bulan tinggal di apartemen. Hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk ikut berpartisipasi pada acara festival sekaligus kegiatan amal tahunan di salah satu panti asuhan yang diselenggarakan oleh Rumah Cemara, organisasi kakak asuh yang diikuti Aleon dari tahun pertamanya kuliah. Karena lokasinya berada jauh dari pusat kota, waktu keberangkatan dijadwalkan lebih awal untuk menghindari macet ke arah puncak.

Udara dingin di luar sudah bisa dirasakan dari titik-titik embun yang menguap pada kaca jendela raksasa di ujung lorong. Jalanan masih sepi, banyak ruang kosong tercipta di antara deret lampu jalan yang memberikan cahaya seorang diri sebab langit masih gelap gulita.

Anjani mengerahkan pandang ketika mendengar suara gagang pintu dari arah kamar Aleon. Bersama tas biola di punggungnya, lelaki itu melambaikan tangan seraya tersenyum, rambut basahnya terlihat lebih segar dibanding wajah bantal yang masih tampak merindukan kasur.

“Tumben pake masker? Sakit?” Senyuman Aleon meluruh saat melihat Anjani menggunakan jaket bulu tebal dan juga masker, lengkap bersama bucket hat yang semakin menyembunyikan wajahnya.

“Enggak. Emang cuma orang sakit yang boleh pake masker?” sahutannya terdengar ketus, seperti menunjukan kalau dirinya tidak mau ditanya.

“Terus kenapa pake masker?”

“Ya pengen aja. Udah ayo jalan, sia-sia lo nelponin gue dari jam setengah 4 kalau ujung-ujungnya kita kejebak macet cuma karena bahas masker.” Anjani mengambil kanvas berukuran sedang yang dari tadi ia sandarkan pada dinding, dan menarik ujung jaket Aleon supaya lelaki itu melangkahkan kaki.

No, wait, lo mencurigakan.” Aleon melepas rematan tangan Anjani dari jaketnya, membuat perempuan itu menoleh.

Hanya kain masker dan topi yang bisa dilihat saat Aleon menatap wajah Anjani, tapi dari hentakan kalimat yang tersuara, Aleon bisa melihat tatap mata galak walau terhalang topi.

“Apa sih, Leonnn! Masker aja dipermasalahin kan cuma—”

Kalimat Anjani langsung terputus begitu Aleon menangkup kedua pipinya secara tiba-tiba. Aleon menyalurkan perasaan cemas lewat binar mata yang sekarang hanya berjarak satu jengkal dari wajah Anjani. Itu membuat napas Anjani tertahan dengan sendirinya.

“Oh iya, enggak panas. Lo beneran gak sakit, ya?” tanyanya lugu pada perempuan yang sedang berusaha kuat agar tidak mati atau tiba-tiba jantungnya meledak. “Tapi kok pake masker?” Ia bertanya lagi, apitan tangan pada pipi Anjani semakin menguat.

“AH!” Anjani tiba-tiba meringis. “Jangan neken pipi gue!” Dan membuang tangkupan tangan Aleon dari pipinya.

Mengalah sebelum jarak wajah keduanya semakin dekat, akhirnya Anjani menurunkan maskernya, dan memperlihatkan satu buah jerawat, merah seperti bentol tepat di tengah-tengah pipi kanannya.

“Ah, I hate this. Masih jadi misteri kenapa jerawat gede selalu tiba-tiba muncul setiap kali ada acara penting atau gue perlu ketemu banyak orang, kenapa munculnya gak kemarin pas gue cuma di rumah doang coba.” Anjani merengut, “Jangan sentuh-sentuh pipi gue! Sakit tau!”

Sama sekali tidak terpikirkan bagi Aleon kalau alasan Anjani menutupi seluruh wajahnya adalah satu buah jerawat yang tidak-sebesar-itu.

Aleon tertawa menyebalkan. “It’s just a normal pimple and acne’s normal, Jani. Nggak akan ada yang peduli,” ujarnya.

No, they are! Emang menurut lo kenapa banyak orang insecure setiap kali kulit mereka lagi bermasalah, break out, even cuma muncul satu atau dua jerawat? Ya karena permasalahan kulit mereka selalu dijadikan pusat perhatian, I mean ok, I’m currently having an acne and you don’t need to point it out to me.” Anjani memasang lagi maskernya hingga menutupi setengah wajah.

Well, gue gak bisa menutup fakta kalau masih banyak orang-orang seperti itu. Tapi seenggaknya lo sama gue sekarang.” Lelaki itu menekankan. “Gue bisa liatin balik dengan tatapan yang lebih galak ke orang-orang yang jadiin jerawat lo sebagai pusat perhatian.”

Anjani bergeming, namun tidak ada yang tahu kalau dibalik masker dan topi itu ada bulatan pipi menyembul akibat tarikan bibir. Kalimat Aleon sangat nyaman didengar dam membuat Anjani merasa aman.

“Tapi kalau lo merasa lebih nyaman ditutupin, it’s okay tho. Di bawah ada drugstore yang buka 24 jam, ayo kita beli acne patch dulu, for baby tomato.”

Baby tomato?” Anjani bertanya, bingung.

Baby tomato. You’re still pretty with your baby tomato on your cheek,” jawab Aleon, lalu mengambil lengan Anjani untuk kembali meremat ujung jaketnya.


Setelah disuguhi pemandangan jalan tol yang semakin menanjak sampai deretan gedung pencakar langit terganti oleh labirin kebun teh di sepanjang jalan, akhirnya keduanya tiba lebih dulu di tempat tujuan. Panti asuhan itu cukup besar untuk dihuni oleh para staf dan anak-anak asuh dengan jumlah tak lebih dari 20 orang. Terlihat biasa saja dari luar, namun sebenarnya mereka menyembunyikan panorama indah. Ada dua gunung kembar yang akan segera menyambut begitu tiba di halaman belakang. Bahkan kepulan kabut pun tidak mampu menghalangi kehijauan alam di sana.

​Turun dari mobil, kehadiran mereka disambut oleh senyum sapa para staf dan suara anak-anak berlarian di halaman belakang. Ada tiga booth makanan manis yang terpencar, dan tercium aroma susu hingga roti hangat yang bercampur dengan segar embun pagi. Sebagian halaman sudah dipisahkan untuk tempat berlangsungnya lomba. Barisan meja lipat dihinggapi kanvas mini, dan di sisi lainnya ada panggung kecil yang mengarah ke gunung, di mana para peserta lomba menulis akan membacakan hasil karyanya. ​ Bruk!

​“Aw!” Seorang anak laki-laki menabrak sisi kanvas yang dibawa oleh Anjani. Ia terlihat terkejut, matanya terlihat sangat bersih dan sehat. Manis, berkulit sawo matang.

“Kakak, maaf ya, aku enggak liat,” sesalnya, anak itu membungkukan badan, dan tersenyum bersama raut panik.

“Liu, Hati-hati! Sakit nggak jidatnya?” Aleon menyamakan posisi pada anak lelaki bernama Liu, mengusap-usap lembut permukaan dahinya. Liu menggeleng dan tersenyum.

Mengikuti Aleon, Anjani juga turut menjongkokan badan. Setelah itu, fokusnya langsung terarah pada bulatan merah di salah satu pelipis Liu. “Pelipis kamu? Ini gara-gara kepentok kanvasku?”

Liu menggeleng polos. “Enggak, bentol.” Lalu anak itu menyengir.

Ketiganya tertawa. Aleon melirik ke arah pipi kanan Anjani yang sekarang sudah ditempeli oleh acne patch berbentuk bunga warna ungu, sungguh kebetulan yang menggemaskan sebab bentol pada pelipis Liu sama merahnya dengan bulatan jerawat di pipi Anjani. Tidak hanya Aleon, Anjani juga menertawakan hal sama.

Perempuan itu mengeluarkan kotak kecil dari dalam tas, mengambil lembaran bening dan mencabut satu acne patch berbentuk sama untuk ia tempelkan pada bentol di pelipis Liu.

“Aku juga punya jerawat kayak bentol kamu sekarang, hahaha nih, aku tempelin stiker biar keren. Kamu mau pake juga gak? Supaya bentol kita temenan,” katanya seraya menunjuk pipi sendiri. Aleon semakin tertawa geli melihat Anjani sudah berhasil damai dengan satu bayi tomat di pipinya.

“Warnanya ungu semua? Yaaah, aku kan bukan perempuan, nanti aku jadi kayak perempuan.” Seketika Liu menyuarakan kekecewaan.

“Kata siapa warna ungu cuma boleh dipakai perempuan?” Aleon menyahut. “Laki-laki boleh kok pakai warna ungu, pink, merah, tanpa harus dianggap seperti perempuan. Pakai stiker warna ungu kayak yang dipakai Kak Anjani gak akan mempengaruhi kamu sebagai laki-laki, Liu, karena mau bagaimana pun kamu sudah terlahir sebagai laki-laki. Kalau ada yang katain kamu, bilang aku, nanti aku omelin.”

Ada dua reaksi tercipta begitu kalimat Aleon terlantun. Liu yang mengangguk paham, dan Anjani yang tertegun kagum dengan kepandaian Aleon dalam bereinteraksi pada semua kalangan.

“Gimana? Mau aku pakein gak?” tanya Anjani pada Liu.

Liu mengangguk, dan mendekatkan pelipisnya. “Terima kasih, Kak Anjani.” Anak lelaki berusia 10 tahun itu menekan-nekan acne patch pada bentol di pelipisnya, tampak antusias seolah menemukan hal baru. Ia kembali membungkuk sopan, dan berlari menghampiri teman-temannya.

“Dulu, persis waktu usia gue sama kayak Liu,” Aleon berbicara seraya kembali pada posisi berdiri, “Gue pernah kesel sampe nangis, dan marah-marah ke ayah karena beliau beliin kemeja pantai warna pink, terus temen-temen gue liat waktu main ke rumah dan pas-pasan bajunya lagi dijemur. Gue diketawain, dibilang kayak cewek, dan kalimat yang tadi gue sampein ke Liu adalah kalimat yang disampein ayah waktu itu.

“Gue seneng bisa sampein kalimat itu ke Liu, karena Liu perlu denger kalimat-kalimat hangat seperti itu walau bukan dari mulut orang tuanya.” Masih melanjutkan kalimat, Aleon dan Anjani masih berdiri di tempat yang sama, memandangi kegembiraan anak-anak panti asuhan ketika teman-teman dari sekolah luar mulai berdatangan. “Liu gak tau siapa orang tuanya, kata ibu panti, Liu tiba-tiba ada di depan pintu waktu kulitnya bahkan masih merah. Sama halnya dengan beberapa anak lain di sini.”

“Setiap denger kasus orang tua buang anak, sampai sekarang gue nggak pernah bisa paham apa alasan paling masuk akal sampai mereka tega membuang darah daging sendiri,” timpal Anjani.

“Ya karena, memang tindakan itu gak akan pernah bisa diterima oleh akal. Nggak ada manusia berakal yang tega membuang anak sendiri.”

Sambil melempar sorot mata iba pada riungan anak-anak panti, Aleon mengembuskan napasnya berat. “They are all too precious to be born by parents who never wanted their presence.”

Perempuan di samping mengangguk setuju. “Dan terlalu menyakitkan, sekarang mereka harus menjalani hidup tanpa rumah yang sebenarnya.”

We are home for them. Sebagai anak yang sama-sama kehilangan rumah, kita bisa menjadi rumah untuk satu sama lain.” Aleon menoleh, lalu menarik senyuman manis. “We can be home for each other, Jani.”

“Leon, you never told me about your loss. Can we… visit your parent’s grave someday?” Intonasi Anjani terdengar memelan, bertanya sangat hati-hati karena khawatir akan membangkitkan sisi kesedihan lelaki di sampingnya. Yang ditanya tampak terkejut.

Kabut mulai menghilang seiring tingginya pergerakan matahari, bulir embun pada rumput hijau ikut pecah membasahi pijakan alas kaki. Hitungan angka satu dua tiga dari suara mic menjadi penanda kalau acara akan dimulai sebentar lagi, bersamaan dengan kehadiran seluruh anggota Rumah Cemara yang datang menggunakan kaus sama. Mereka saling menyapa, para anggota lain saling berkenalan tanpa sedikitpun membuat Anjani merasa asing di antara anggota organisasi.

Hampir menjawab, ada suara panggilan dari seorang wanita paruh baya di antara pilar pembatas rumah menuju halaman. Aleon memalingkan wajah ke arah suara. Anjani bisa melihat bagaimana binar sendu Aleon tiba-tiba bersinar selayaknya mentari pagi begitu melihat wanita itu. Bersama tas biola yang masih pada gendongannya, ia berlari, segera memeluk wanita bernama Fitria yang telah merentangkan tangan lebih dulu.

“Itu Ibu Fitria,” celetuk Olin, menggeser dirinya lebih dekat pada Anjani. “Dari kemarin kita prepare ke sini, Leon nanyain terus beliau bakal dateng apa enggak. Katanya, Ibu Fitria itu pengurus panti sebelum ibu panti yang sekarang.”

“Oh ya? Berarti, Leon emang udah dari lama kenal panti asuhan ini?” Bisa didengar dari naiknya suara Anjani yang lagi-lagi dibuat terkejut oleh Aleon.

“Lokasi hari ini pun memang atas usulan Leon.” Giliran Kalil ikut membalas.

Olin meneruskan lagi. “Waktu di depan tadi, aku gak sengaja denger obrolan Ibu Fitria, bisa jadi aku salah denger. Intinya, beliau nggak hanya kenal Leon, tapi juga dengan ibunya Leon. Katanya, dulu ibunya Leon rutin main musik untuk anak-anak panti di sini. She was a cellist.”

Tidak lama, Aleon yang tadi pergi masuk ke dalam panti kembali keluar sembari membawa satu buah cello ke atas panggung untuk dimainkan sebagai pembukaan acara menggantikan biolanya. Itu adalah cello yang secara sengaja ditinggalkan ibunya untuk memberikan terapi musik pada anak-anak di panti asuhan.

Di saat gesekan nada sudah siap ditarik, seluruh pandang takjub mengarah fokus pada Aleon di atas panggung, hanya Anjani yang mengalihkan pandang. Entah mengapa melihat Aleon bersama cellonya justru membuat Anjani merasa sakit. Merasa bersalah, karena tidak pernah tahu kesedihan seperti apa yang disembunyikan oleh Aleon selama ini.

Anjani lagi-lagi bertanya. “Kak Olin, sejak kapan Leon ditinggal sendiri?”

“Aku gak tau, kita semua gak tau.” Olin menggeleng pelan. “He never told anyone about his loss.”

Festival berlangsung. Situasi ramai namun tetap kondusif, sebagian anak yang tidak mengikuti lomba berlarian menghampiri tiap-tiap meja, mengintip pola lukisan di atas kanvas masing-masing peserta. Begitu juga dengan para anggota, mereka saling berpencar mengerjakan tugas masing-masing.

Perempuan berstiker ungu pada sebelah pipinya itu ikut mengambil tempat di sebelah peserta lomba melukis. Bersama kanvasnya, Anjani menarikan gemulai tangan di atas sana, membentuk satu momen yang sedari tadi terputar-putar di dalam kepalanya. Aleon dan cello milik sang ibunda, kini sedang disatukan kembali oleh titik-titik cat air.

Sepuluh menit sekali Aleon menghampiri Anjani, mengecek apa yang dilakukannya, dan memastikan kalau tidak ada situasi yang membuat perempuan itu merasa tidak nyaman. Ear monitor pada telinganya menunjukan kalau Aleon sangat sibuk hari ini.

Dan, sekarang Anjani sudah menunggu kehadiran Aleon di menit selanjutnya. Bukan ingin menunjukan hasil lukisannya, melainkan dua buah kertas origami berwarna biru dan merah yang selalu ada di dalam tasnya untuk Aleon pilih.

Choose one,” suruhnya begitu lelaki itu tiba.

“Apa?”

“Bukan cuma gue, perasaan lo juga perlu untuk didengar langit biru. Choose one, and fly your paper plane, Leon.”


​Udara dingin terus memeluknya, tidak peduli kalau ada lapisan jaket membaluti tubuh. Kehadiran Anjani disambut oleh samar sahut percakapan yang tembus dari balik pintu masuk, perempuan itu melirik jam pada layar ponsel, masih jam setengah 10 malam dan suasana kafe tidak sesepi tengah malam. Sepertinya, semakin hari semakin banyak orang yang mulai mengenali kafe di lantai basement. Dan itu membuatnya harus berjalan cepat ke arah meja di samping piano sebelum ada orang lain yang menduduki. Meja di samping piano biasanya jarang ditempati, karena letaknya berada di tengah-tengah sehingga membuat seluruh fokus seperti terpusat ke arahnya. ​ Setelah memesan satu cangkir minuman hangat, Anjani segera pindah ke kursi panjang di sebelahnya untuk memainkan piano. Berpasang-pasang mata memandangnya dengan penuh penantian, denting tuts hitam dan putih segera mencuri perhatian di antara sorot hangat lampu pijar. ​ Satu lagu, dua lagu, tiga lagu.

Susunan tangga nada disuarakan oleh jari jemarinya tanpa terasa. Anjani tidak lagi merasakan sakit di atas tuts, tidak merasakan adanya serangan memori pada denting berbunyi, dan Anjani tidak memedulikan suara tepuk tangan mau pun kata pujian akan pertunjukannya. Karena isi kepalanya saat ini, dipenuhi oleh gema kata egois yang ia lontarkan pada Akhailan, dan satu kalimat terakhirnya yang membuat Atharya terdiam. Jelas lapisan jaket tidak dapat memberi kehangatan sebab Anjani tengah dipeluk oleh rasa bersalah.

Anjani tahu kalau dialah yang bersikap paling egois. Kekhawatiran dan ketakutannya akan sendirian membuat dukungan yang seharusnya Anjani utarakan berubah menjadi kemarahan. Jauh di lubuk hatinya, tidak pernah kurang dari seratus persen presentase dukungannya pada Akhailan dan Atharya. Tidak pernah sekali pun ia kecewa dengan keputusan dua saudaranya untuk pergi mengejar mimpi masing-masing.

Anjani hanya takut, kalau pamitnya Akhailan dan Atharya tidak diakhiri dengan kepulangan. Dan berakhir pada pamit yang diakhiri dengan perpisahan, untuk selamanya, seperti apa yang dilakukan kedua orang tuanya 4 tahun lalu.

Mereka berjanji akan pulang, mereka berjanji akan kembali. Iya, mereka benar-benar kembali.

Kepulan asap di atas secangkir cokelatnya sudah tak lagi menari-nari, Anjani terus meluapkan emosi malam ini lewat alunan piano, bahkan di beberapa ketukan, temponya terdengar penuh hentakan seakan ada sesuatu yang ikut meledak di dalam kepalanya.

Tiba-tiba, sodoran secangkir cokelat yang telah mendingin menghentikan permainannya.

“Cokelatnya udah hampir dingin. Mau gantian? You drink the chocolate, and I take over the piano,” ucap Aleon, entah dari kapan namun sekarang telah berdiri di sampingnya, dengan striped sweater berwarna maroon—semi turtle neck, penampilannya sudah terlihat seperti seorang musikus yang siap memimpin pertunjukan klasik.

“Leon, gue kan udah bilang nggak usah pulang.” Anjani protes bersama tautan alisnya.

“Gue juga udah bilang kalau gue mau pulang.” Aleon membalas, tidak mau kalah.

Sedikit perempuan di sampingnya kembali merasa bersalah, tapi Anjani merasa suasana akan segera baik-baik saja begitu melihat mata cokelat Aleon. “Thank you, maaf kalau ngerepotin,” timpal Anjani seraya mengambil secangkir minuman.

“Gue seneng direpotin. Makasih udah ngerepotin.”

Sebelum diminta, Anjani sudah menggeser duduknya tanda mempersilakan Aleon untuk duduk di sampingnya. Membiarkan lelaki itu memainkan judul lagu sama dengan yang barusan ia mainkan, Right Here Waiting by Jim Brickman sementara ia meneguk secangkir cokelat yang mendadak kembali terasa hangat begitu Aleon mengambil alih melodi.

Lelaki itu membuka suara. “Kalau lo mau sambil cerita, cerita ya. I’m multitasking, I can focus on you and the melody at the same time.”

You’re so talented, by the way.” Anjani berusaha megalihkan topik setelah hampir tersedak oleh tegukan cokelat. Deretan kalimat yang keluar dari mulut Aleon sekarang berpotensi membuat warna telinganya menjadi mudah memerah. “Lo selalu kenal sama judul-judul lagu yang gue mainin, gue penasaran referensi musik lo sebanyak apa.”

Aleon terkekeh. “River Flows In You itu lagu paling mainstream di setiap telinga orang. And now, Right Here Waiting, lagu punya Richard Max yang gak akan abis dimakan zaman. You know that old songs don’t only belong to millennials but the whole eaaaarth!”

“Setuju. Malah, telinga gue terkesan lebih familiar sama lagu-lagu 90-an. Kenapa ya? Padahal gue nggak pernah merasa pernah denger lagu-lagu itu, tapi gue selalu merasa gak asing. Bahkan, gue merasa kalau ada memori menyenangkan yang ikut kebawa, aneh, lahir ke bumi aja padahal belum. Apa karena dulu sering denger dari orang tua gue?” kata perempuan berusia 18 tahun yang bahkan saat itu wujudnya belum terbentuk.

“Ya kayak yang gue bilang tadi. Lagu-lagu 90-an gak pernah dimakan zaman. Mungkin, karena melodi-melodi mereka yang sederhana dan selalu berhasil masuk ke selera musik semua orang. Simple things will be easy to catch.”

“Oh, I wish I could say what’s on my head in a simple way so it’s easy to catch, then,” tutur Anjani. “Gue baru sadar kalau selama ini, sikap gue emang berlebihan. That’s why no one understands me.”

Aleon menghentikan permainan pianonya dan segera menoleh. Ia melihat bagaimana gusarnya tatap Anjani jatuh ke dalam cangkir. Tatap sendu yang mungkin bisa membuat cokelat di dalamnya membeku.

Lelaki itu mengambil cangkir dari tangan Anjani, menyimpannya ke atas meja sebelah, lalu kembali menaruh fokus pada perempuan di depan.

“Jani, kenapa?” deham lelaki itu, lembut.

Tatapan Aleon terjatuh lama pada manik mata Anjani sebab perempuan itu memilih diam untuk beberapa detik. Di dalam sana, terdapat satu titik cahaya asing yang tidak dapat Anjani temukan dari titik-titik sorot lampu pijar. Bujuk dari sepasang mata cokelat Aleon menyuarakan kekhawatiran dengan cara yang Anjani mau.

“Mas Ai…,” jawabnya. “Hari ini, Mas Ai bilang kalau salah satu maskapai impiannya kembali buka kualifikasi. Dari pertama kali Mas Ai masuk sekolah pilot, setiap kali ditanya maskapai impian jawabannya gak pernah berubah. Mas Ai selalu pengen bisa nerbangin pesawat keliling dunia, Mas Ai gak pernah capek buat ngejalanin semua proses sampai dapetin pangkat kapten yang jadi mimpinya dari kecil. Dan maskapai ini, adalah peluang besar untuk membuat orang-orang mengakui kemampuan yang Mas Ai punya. Tapi… I feel like, I can’t let him go.”

“Kenapa? Maskapai itu bukan di Indonesia?”

“Di Dubai. Jauh banget, Aleon.” Anjani menggeleng. “Gue gak tau kenapa gue gak pernah bisa sampein kekhawatiran gue dengan sederhana. Dibanding mengutarakan, gue lebih sering ngeluapin pake emosi.

“Nyatanya, hal-hal sederhana justru lebih menyulitkan dibanding hal rumit. Terlalu sulit buat gue untuk jujur kalau gue takut pamitnya Mas Ai berakhir tanpa kepulangan seperti orang tua gue. I would sound overdramatic, but I really hate goodbye. Aleon, gue benci kata pamit.”

Lalu disambung dengan menceritakan bagaimana Anjani tiba-tiba pergi meninggalkan kedua saudaranya tanpa menyumbang keputusan. Perempuan itu tidak tahu atmosfer apa yang saat ini sedang tercipta di dalam kamar.

Kepergian orang tuanya tidak hanya meninggalkan kehancuran bagi Anjani, namun juga trauma. Hal-hal sederhana yang mampu melemparnya kembali ke dalam pelukan selamat tinggal sebelum orang tuanya berangkat hari itu. Kalau saja Anjani tahu, itu adalah kesempatan terakhirnya untuk merasakan hangat dari dekap ayah dan ibunda, Anjani akan meminta waktu lebih lama lagi untuk mengingat aroma tubuh malaikat hidupnya yang semakin hari semakin samar di dalam kenangan.

“Aleon, I miss them… Kalau Mas Ai bener-bener pergi, gue gak sanggup untuk nahan rindu ke banyak orang.”

Dan, di antara sahut menyahut pengunjung yang mulai menghilang satu per satu, akhirnya Anjani meloloskan air matanya.

Melihat bagaimana Anjani menunduk dan menopang wajahnya yang basah menggunakan kedua telapak tangan, bohong kalau Aleon tidak ingin menawarkan bahu untuk bersandar. Berkali-kali ia memikirkan apakah tindakannya akan membuat perempuan itu tidak nyaman sebab terlalu lancang. Hingga pada akhirnya Aleon hanya memilih untuk menepuk-nepuk bahu Anjani.

“Anjani, lo tadi kan bilang kalau lagu-lagu 90-an bisa kasih memori menyenangkan tanpa sebab. Kebetulan banget, gue bawa tape recorder, baru aja dibalikin sama Valo.” Aleon mengalihkan topik demi mengajak Anjani keluar dari kesenduan.

Sekotak walkman yang dililiti oleh kabel headset dikeluarkan dari dalam tasnya. Itu adalah alat pemutar pita kaset yang fonemenal sebelum lahirnya pemutar musik digital. Ditemukan di Jepang pada tahun 1979. Selanjutnya, ia juga mengeluarkan satu kotak kaset bersampul biru, bertulis Boyz II Men – II (1994, Cassete).

Anjani mengangkat kepalanya, untungnya tangis hari ini bukanlah tangisan hebat. Hanya ada sisa-sisa lembab dari air mata pada kedua pipinya.

Here’s our classic-old-fashioned boy. Gak cuma suka lagu jadul tapi lo masih suka dengerin lagu dari walkman, keren.” Anjani memuji.

“Boyz II Men, tau nggak? I love their songs so much!” Yang dipuji tak kalah antusias.

Tidak mungkin Anjani tidak tahu. Lagu-lagu dari grup trio vokal Amerika yang terdiri dari Nathan Morris, Wanya Morris dan Shawn Stockman itu selalu mengisi udara jam 6 pagi kala keluarganya masih utuh. Lalu setiap berpergian, radio mobil tidak pernah sekali pun absen dari lagu-lagu Boyz II Men kesukaan K’s.

Begitu melihat perempuan di depannya mengangguk-angguk sampai geraian rambutnya bergerak-gerak, Aleon segera memberikan sebelah tali headset pada Anjani untuk mendengarkan bersama.

Oh my god, I swear it’ll bring back my memories. Kalau ini beneran ada memorinya!” seru Anjani ketika instrumen lagu mulai bertamu pada ruang telinga.

Darlin’, I, I can’t explain. Where did we lose our way. Girl, it’s drivin’ me insane.

Anjani bersenandung untuk pertama kalinya di depan Aleon, memperdengarkan suara merdunya yang tidak pernah Anjani tunjukan ke siapa pun selain ayah, ibu, Akhailan dan Atharya. Perempuan itu bernyanyi selayaknya ada sapaan pohon-pohon hijau di kiri dan kanannya, bersama pemandangan kedua orang tuanya yang sama-sama bersenandung di jajaran kursi pengemudi.

And I know I just need one more chance, to prove my love for you.”

Dan, giliran merdu suara Aleon ikut unjuk gigi. Suara yang berhasil membuat Anjani semakin kagum dengan bakat musik yang dimiliki oleh Aleon.

Perempuan itu membulatkan mata antusias, menatapnya penuh senyuman, dan melanjutkan lirik selanjutnya.

Reflek Aleon menjatuhkan lagi jari jemarinya ke atas tuts piano, memainkan judul yang sama seperti apa yang tengah mereka dengarkan melalui walkman. Kini, senandungan keduanya tidak hanya dinikmati oleh seorang diri, tapi mereka mempersilakan sisa pengunjung kafe untuk ikut sama-sama merasakan nostalgia dari suara mereka, bersama iringan piano.

Can we go back to the days our love was strong? Can you tell me how a perfect love goes wrong? Can somebody tell me how to get things back the way they use to be? Oh god, give me a reason. I’m down on bended knee.”

On Bended Knee. Ini adalah lagu yang menggambarkan keruntuhan cinta seseorang. Tentang kenyataan hubungan yang kian semakin memburuk. Namun malam ini, lagu tersebut memberikan makna lain bagi Aleon dan Anjani. Tentang adanya memori baru yang akan segera abadi di dalam lagu.

Ada ucapan terima kasih yang seolah tersuara dari pancaran mata Anjani begitu perempuan itu menoleh pada Aleon. Dan Aleon, mengucapkan kembali kasih lewat senyuman manis.

Now you look better, so I can give you a response,” ucap Aleon. “Tentang curhatan lo yang tadi, boleh gue jawab sekarang?”

Perempuan itu mengangguk tanpa ragu.

“Jani, setiap manusia punya ketakutannya masing-masing. Kita sebagai orang yang nggak tau bagaimana hidup di dalam kekacauan isi kepalanya gak layak untuk sembarang mengatai dia overdramatic. Mungkin beberapa orang memang harus disadarin kalau rasa paniknya berlebihan. Tapi, lo nggak begitu. Ketakutan yang lo punya memang sebesar itu, I can feel it.

Let them know, kasih ruang buat Mas Khai dan Atha ikut ngerasain sebesar apa ketakutan yang lo punya. Supaya mereka tau, dan membantu lo keluar sama-sama. You are siblings. Tali persaudaraan kalian lebih kuat dibanding rasa takut yang lo pendam sendiri. Tell him, it’s okay. No one will call you overdramatic, I’ll handle if any.

“Tapi gimana kalau setelah mereka tau, mereka berujung menyepelekan karena menganggap perasaan takut yang gue punya nyatanya emang bukan apa-apa bagi mereka? Gak semua orang mau mencoba memahami pov orang lain,” sanggah Anjani.

Aleon menggeleng. “Akan lebih menakutkan kalau Mas Khai gak tau sebesar apa kekhawatiran yang lo punya dan membuat lo bertanya-tanya sendirian akan seperti apa respon mereka.”

Rangkaian kalimat yang mendapatkan anggukan lemah dari perempuan di depan.

Lelaki itu memajukan sedikit tubuhnya mendekat, lalu melepas sebelah headset yang masih menyumpal telinga Anjani. Ia tersenyum sebelum berbicara, lagi.

“Terus, buat ketakutan lo kalau Mas Khai jadi pergi ke Dubai, lo jangan terlalu khawatir dulu. Kan, Mas Khai masih harus lewatin proses rekruitmen yang belum tentu juga Mas Khai bener-bener bisa pindah maskapai,” lanjutnya. Nada bicara Aleon sama sekali tidak terdengar menghakimi. “One thing you should know, yang mungkin udah sering juga lo denger. Kalau manusia nggak akan mungkin diberi beban mau pun perasaan yang gak akan bisa kita handle.

“Jadi, kalau nanti Mas Khai keterima di maskapai baru, itu artinya Tuhan tau lo bisa hidup berjauhan sebentar sama Mas Khai. Dan artinya, semua akan baik-baik aja. Begitu juga sebaliknya, kalau perasaan lo gak sekuat itu, Tuhan gak akan biarin lo jauh dari Mas Khai, dan Mas Khai akan tetap di sini. Jadi, jangan takut untuk kasih Mas Khai kesempatan. Karena jawaban itu akan ada setelah lo berani kasih keputusan.”

Tiap bait kalimat diserap sempurna oleh Anjani, tanpa interupsi suara-suara lain yang terhantar lewat udara. “I’m glad because I chose the right person to discuss. Makasih ya, Le, udah repot-repot pulang.” Anjani menarik senyumnya dengan sempurna.

Lelaki beraroma hangat di depannya tertawa kecil. “Thank you for letting me to speak through your smile too.”

Anjani membuang muka, membiarkan uraian rambutnya menutupi sebelah wajahnya. Ia tidak bohong saat mengakui kalau Aleon semakin berpotensi untuk membuat wajahnya mudah merona merah.

“Gue ke toilet sebentar, abis ini kita balik ke kamar,” izinnya, lalu melipir meninggalkan Aleon di kursi piano.

Ketika Anjani terlalu fokus berjalan sembari menatap ujung sandalnya, mata Aleon mengikuti ke mana punggung Anjani pergi, masih sambil terkekeh.

Menunduk, terlalu fokus. Pikiran Anjani terhadap kalimat-kalimat Aleon mampu membuatnya lupa untuk menyembunyikan sesuatu di balik rambut panjang yang selalu dia gerai. Sehingga tanpa sadar perempuan itu mengeluarkan satu ikat rambut dari saku jaket, dan mengikat rambut panjangnya tanpa tahu kalau Aleon masih mengamati dari tempat duduk.

Ada satu buah tato kecil di atas tengkuknya yang selama ini ia sembunyikan dari Akhailan dan Atharya, dibuat tepat saat umurnya memasuki usia legal. Satu kata pendek bertulis Cerulean, dengan satu tanda titik koma—semicolon di tengah sana sebagai pengganti huruf L.

Cerulean yang berarti biru langit. Dan tanda semicolon, sebagai simbol pengingat untuk mengendalikan diri untuk berhenti menyakiti diri atau bahkan lebih dari itu.

Di saat mereka berniat untuk mengakhiri, tetapi mereka memilih untuk tidak mengakhirinya. Semicolon.


​“Jan, lo punya twitter nggak sih?”

Dari ruang tengah, Atharya menghampiri Anjani ke set meja dapur—seringkali difungsikan sebagai meja makan. Memecah fokus saudara kembarnya dari kegiatan menyuap es krim, sudah hampir satu jam ia menemani Akhailan bergelut dengan teflon dan sutil. Semenjak kedatangan Akhailan dua hari lalu, seluruh kegiatan memasak diambil alih olehnya, sehingga meliburkan pendengaran dari suara dentingan bel yang biasa ditekan oleh kurir makanan.

Anjani menjawab dengan gelengan kepala, berpura-pura kalau akun d2018ied tidak pernah ada.

“Bikin. Biar tau kelakuan anak-anak kayak apa. Hiburan tau, Jan.” Lelaki itu tiba-tiba tertawa. “Sekalian, dapet bonus liat kebodohan Aleon.”

Suapan sendok selanjutnya kembali berhenti begitu Anjani mendengar nama lelaki yang sudah dua kali membuat rona pipinya memerah. “Kenapa?”

“Dia bego deh, kan kalau di twitter tuh apa yang kita like bakalan muncul di timeline followers ya. Terus, Leon nge-like-in foto lo secara santai seolah lupa kalau notifikasinya nggak akan masuk ke gue. Dan lupa kalau foto lo juga akan muncul di beranda anak-anak.” Jawaban Atharya mendapat sahutan tawa dari Akhailan.

Sekarang, kedua bola matanya membulat, apalagi setelah mendengar kekehan Akhailan. Walau posisinya membelakangi keduanya, Anjani tahu, kakak laki-lakinya kini pasti semakin yakin untuk berasumsi kalau ia mulai menaruh hati pada Aleon. Ia segera merebut cepat ponsel Atharya, mengucapkan beberapa kalimat dengan artikulasi yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri, sebab kepala sendok masih terjebak di dalam mulutnya.

Gue gmmpunya twmtter kmmnapa dia nemuin fmto gue mmmleon liat dmmna?”

“APA SIH, CABUT DULU APA.” Bulatan mata Atharya tidak kalah besar, ia bangkit dari kursinya untuk mengeluarkan sendok dari mulut Anjani. “Apa? Ulang.”

“Dia ketemu foto gue darimana?”

“Akun gue. Gue abis upload foto-foto lo sama Mas Ai ke twitter. Terus Aleon nge-like, tapi cuma foto yang ada lo-nya doang. Doesn’t he look so obvious?” Tatapan lelaki itu memicing, dan meledek secara bersamaan, seolah menjelajah hingga ke sudut terdalam manik mata Anjani, mencari sesuatu yang mungkin tengah disembunyikan oleh kembarannya. “Leon suka sama lo nggak sih?”

Tenang. Tenang. Tahan.

Di antara suara desisan sesuatu yang ditumis, Akhailan memasang telinga tajam-tajam. Apakah adik perempuannya akan menunjukan reaksi sama seperti pertama kali mendapat pujian cantik.

Nihil, nyatanya ia tampak tenang. Anjani mengangkat bahu, meletakan lagi ponsel Atharya dan kembali menyuap satu sendok es krim dari dalam mangkuk seperti itu bukan hal penting. “Iya kali. Atau ya emang pada dasarnya gue cakep aja. Bukannya cowo-cowo akan selalu gitu? Pay attention to every beautiful girl’s photos?”

“Ternyata selain dingin kayak kulkas daging, lo juga sombong dan menyebalkan kayak monyet. Lo merasa cakep banget, ya?” Sebelah bibir Atharya menyungging.

Anjani mengangkat bahu lagi. “Nggak tau. Coba tanya Aleon.”

“SOK CANTIK BANGET MALES. MAS AIIIIIIII PENGEN NONJOK JANI, BANGET! MAS AYO TONJOK,” pekik Atharya gemas seraya bangun dari duduknya, menyendok es krim dari tangan Anjani lalu menjejalkannya seakan tengah menyuapi anak bayi perempuan dengan bubur. Lai kembali pergi ke sofa dengan wajah kecewa karena gagal melihat perempuan (sok) dingin itu salah tingkah.

Sambil menjilati sisa es krim di sekitar mulutnya, kedua mata Anjani mengikuti punggung Atharya sampai sosoknya benar-benar menghilang dari balik sekat dinding. Setelah yakin kalau kini di dapur hanya ada dirinya dan Akhailan, Anjani segera bangun dari kursi, berlari dan memeluk tubuh Akhailan dari belakang.

“Mas Aiiiiiii, takut! Tolong, kalo abis ini dia bilang aku cantik lagi kayak kemarin gimana! Emang kalau dia like-in foto aku artinya dia suka sama aku?” ucapnya nyaris tak terdengar sebab wajah merahnya tenggelam di dalam punggung sang kakak. “Mas, bantuin please! Kalau Atha ngomongin Aleon kamu alihin topik dong, atau kamu aja kek yang nyaut. Ya, ya, ya, Maaaas. Pipiku merah lagi! AH, KAN. Merah kah?”

Tidak sanggup menahan geli, Akhailan memutar badan dan menepuk-nepuk pucuk kepala adik perempuannya sambil tertawa. “Jadi kalau reaksinya kayak gini, Aleon yang suka kamu, apa kamu yang suka Aleon?” godanya, tidak mau kalah.

Lalu berhasil membuat rona pipi Anjani bersaing dengan tumisan tomat di dalam wajan.

Makan malam kali ini terasa berbeda dengan adanya kehadiran Akhailan. Sudah terhitung satu bulan Anjani tinggal bersama Atharya, dan hubungannya pada kakak lelakinya sama sekali tidak merenggang. Semakin jauh jarak terpaut, justru ia semakin paham kalau ia sama sekali tidak bisa jauh darinya, hanya Akhailan satu-satunya sosok orang tua yang mereka miliki.

Setelah seluruh hidangan habis dan piring-piring kotor berpindah pada kitchen sink, giliran blueberry cheesecake buatan Anjani mengambil panggung. Hampir 4 tahun perempuan itu tidak pernah menyentuh alat baking, tapi skill yang Anjani miliki tidak sedikit pun terpengaruh.

Manis, asam, gurih dari suapan soft cake segera meleleh di dalam mulut, paduan rasa yang membuat Atharya mampu berbicara dengan mulut penuh, sungguh menggebu hingga serbuk kue dari mulutnya keluar dan mengenai punggung tangan Anjani (jangan tanya, tragedi serbuk kue itu nyaris membuat Atharya masuk ke dalam microwave). Lelaki itu bereaksi, mungkin Anjani akan segera direkrut menjadi chef tutor di hari pertama baking class besok, dan meminta Anjani untuk merekam kegiatan seperti vlogger.

Baru dua hari Akhailan menginap, dan keributan dari dua adiknya akan selalu menjadi pemandangan yang selalu ia tunggu. Akhailan tahu kalau ‘pertengkaran’ adalah cara Anjani dan Atharya menyuarakan kasih dan sayang. Itulah mengapa selalu ada perasaan hangat setiap kali melihat dua adiknya saling melempar picingan mata, berbicara dengan bibir maju, atau pun mengadu padanya untuk menjitak salah satu dari mereka karena berbuat nakal. Pemandangan yang menurutnya jauh lebih indah dibanding awan-awan di antara biru langit, adalah di saat Anjani dan Atharya tertawa.

Semua tampak bahagia malam itu, bertukar cerita dan dijawab oleh tawa. Sebelum akhirnya Akhailan membawa percakapan pada konteks yang lebih serius.

Tawaran pindah maskapai di luar negeri. Yang artinya, Akhailan harus meninggalkan kedua adiknya sendirian tanpa sosok orang tua di sisi keduanya.

Akhailan menyelesaikan sekolah profesi di usia 21 tahun. Di tahun selanjutnya, ia melanjutkan program cadet pilot untuk mengantongi 500 jam terbang, dan berhasil mendapatkan lisensi CPL sebagai tanda kalau Akhailan telah sepenuhnya layak menerbangkan pesawat komersial dan membawa penumpang.

Lisensi-lisensi selanjutnya berhasil Akhailan raih, jumlah jam terbang kian menambah seiring berjalannya pengalaman. Sampai di umurnya yang ke 26 tahun, lelaki itu telah memiliki tiga buah garis di seragamnya—di atas pundak, sebagai pemilik pangkat First Officer. Ia menjadi yang kedua di komando, bersama kapten di kursi kirinya dalam menavigasi dan menerbangkan pesawat.

Satu langkah lebih dekat sampai ia berhasil meraih gelar kapten, pangkat dan profesi yang sudah lama menjadi cita-citanya dari kecil. Bahkan, saking cintanya Akhailan terhadap profesinya, tragedi hilangnya pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya tidak cukup mampu untuk membuat Akhailan meninggalkan mimpinya.

Tapi jelas tidak semudah itu, masih banyak hal yang perlu ia lewati, proses yang harus ia geluti sampai suatu hari nanti Akhailan dapat berdiri gagah dengan 4 garis pangkat berwarna emas di atas pundaknya. Dan tawaran pindah maskapai, adalah salah satu cara untuk memenuhi serangkaian tahap menuju mimpinya.

Berkali-kali Akhailan meyakinkan diri kalau ini adalah momen yang tepat, tatapnya mengarah kosong pada karpet bulu di depan, memikirkan segala reaksi kecewa dari kedua adiknya. Terutama Anjani. Namun tetap, ini saatnya.

“Jani, gimana mood kamu akhir-akhir ini?” Akhailan membuka percakapan dengan menanyakan kabar. “There’s something messing you up?”

Anjani tersenyum. Senyum yang Akhailan harap tidak lagi lenyap, sekali pun setelah mendengar sesuatu yang akan Anjani dengar hari ini.

Ia menjawab, “Much better. Seperti alasan awal kenapa aku mau pindah ke sini karena mengharapkan energi baru, sejauh ini, aku ngerasain adanya perubahan baik. Yang awalnya aku sedikit khawatir, takut malah semakin merasa sendiri karena di sini aku cuma punya Atha, sedangkan kegiatan Atha banyak. Tapi, temen-temen Atha super welcome dan selalu ngebantu aku untuk nggak merasa sendiri.”

“Dia ngomong kepanjangan, Mas, muter-muter. Biar aku translate.” Atharya ikut menyahut. “Aleon. He’s the one who helps Anjani that much. Sisanya mah, basic.” Anjani menatap nyalang dan secara bersamaan tatapnya memberi sinyal pada Akhailan untuk minta diselamatkan.

“Apa contohnya?” tanyanya, terkekeh. Akhailan malah membuka ruang untuk melibatkan nama Aleon ke dalam percakapan lebih lanjut.

“Selain nyentuh alat baking, Mas pernah liat Anjani main piano lagi? Kalo nggak, kita harus bilang makasih sama Aleon.” Lelaki bermata kelinci itu menjawab. “He’s the one who makes the piano sound less scary to Anjani.”

Kalau saja Akhailan bisa mengucapkan kalimat ini sebagai sahutan, tanpa mendapat kutukan dari adik perempuannya, pasti dia akan bilang, ‘Now I know why you blushed so much whenever hear his name. Go have a crush on him, then.’ Tapi respon yang keluar hanyalah. “We should thank him for helping Jani, then.”

Percakapan dua lelaki yang mendapat protes dari Anjani untuk segera pindah ke topik selanjutnya karena khawatir pipinya akan memerah, lagi.

“Kalo kamu, Tha? Gimana kegiatannya? Ada yang rese nggak?” Akhailan kembali memimpin percakapan.

“Aman, Mas. Normal aja kok. Senengnya cukup, ya hal yang bikin sedihnya juga cukup. I enjoy as my life goes.”

Uluran tangan segera pindah ke atas pucuk kepala Atharya untuk mengusap helai rambut adik lelakinya dengan hangat. “Kamu udah makin dewasa.”

Gantian Atharya yang menarik senyum. “Mas nggak usah khawatir, aku sama Anjani baik-baik aja di sini. She’s my other half, everything will be fine as long as we are together.” Anjani mengangguk setuju, binar matanya sama berkilaunya dengan kerlipan tiga anting mutiara di masing-masing telinga.

“Kalau gitu…,” Akhailan menjeda kelimatnya ragu, jantungnya tiba-tiba berdetak menyuarakan perasaan takut. “Kalau gitu, kalian berdua baik-baik aja kalau aku nggak ada di sini?”

Of course.”

“Nggak ada di sini? Maksudnya ‘nggak ada di sini’?”

Dua jawaban tersuara dengan masing-masing reaksi berbeda. Atharya yang menganggap kalau maksud Akhailan adalah ia yang tidak tinggal satu tempat dengan mereka, dan Anjani yang menangkap dengan cepat perubahan intonasi canggung di dalam kalimat kakak lelakinya.

“Mas? Mas Ai mau ke mana?”

Suhu kamar mendadak lebih dingin dua kali lipat ketika Anjani melontarkan pertanyaan yang sangat ditakutkan Akhailan. Secara bersamaan, Atharya pun ikut menangkap maksud dari ucapan sang kakak.

“Mas Ai, kamu mau pergi?” sambung Atharya.

Tatapan kedua mata bingung dari Anjani dan Atharya membuatnya semakin berat untuk meminta izin, semakin berat jika akhirnya Akhailan harus benar-benar nekat meninggalkan kedua adiknya sendirian demi meraih cita-cita.

Sepuluh detik Akhailan mendiamkan pertanyaan mereka, respon tubuhnya semakin membuat kedua adiknya yakin kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi sebentar lagi. Berkali-kali Akhailan membuka mulut tapi tidak jadi bersuara, ia hanya memutar-mutar sendok di dalam piring berisi cheesecake buatan Anjani.

Dan diamnya Akhailan, justru mampu menghantarkan rasa takut dan khawatir lebih hebat pada Anjani. Sampai akhirnya, ketakutan dalam diri perempuan itu disuarakan oleh intonasi tinggi.

“Mas Ai! Kamu mau ke mana?” Anjani membentak. Rasa takutnya akan kehilangan kembali menguasai jiwa yang belum sepenuhnya pulih.

Dengan bermodal satu tarikan napas panjang, Akhailan akhirnya menjawab dengan rasa bersalah. “Atha, Jani, there’s a pilot recruitment at one of my dream airlines. 3 tahun lalu, aku belum mampu untuk tembus ke sana karena pengalamanku jelas masih kalah saing. Dan tahun lalu, di saat aku merasa siap untuk bersaing dan ikut kualifikasi, situasi yang nggak membuat aku mampu untuk pergi ke sana. Aku nggak bisa ninggalin kalian, terutama kamu, Jani. Keputusan ini berat banget buat Mas, bahkan untuk sekedar minta izin. Tapi, aku rasa kalian juga perlu tau. Tentang aku dan mimpi-mimpiku. Tentang aku, dan janjiku sama mami dan papi kalau suatu hari nanti, akan ada 4 garis emas di atas seragam yang aku pakai.”

Sama seperti Anjani yang belum mau mengakui kalau pesawat kedua orang tuanya sudah tidak lagi menjelajah di atas langit. Begitu juga dengan Akhailan. Hampir setiap hari, dari balik kaca pesawatnya, lelaki itu berharap kalau ada sosok kedua malaikatnya bersembunyi di balik awan. Melambaikan tangan, dan tersenyum bangga ketika melihat dirinya berhasil menyelusuri langit biru lebih tinggi dengan seragam pilotnya.

“Di Dubai?” Atharya bertanya, tenang. Yang segera dibalas oleh anggukan berat oleh Akhailan.

What’s wrong with your current airline?” Dengan nada suara yang jauh berbeda dari kembarannya, Anjani kembali meluapkan ketakutan ke dalam kalimat. Berharap apa yang diucapkan kakaknya tidak benar-benar akan terjadi. “Mas, ratusan ribu orang gagal dalam kualifikasi, ratusan ribu calon pilot gagal kejar mimpinya di maskapai kamu saat ini. Kamu udah keren, Mas, banget, mau berapa pun jumlah baris di seragam kamu, apa pun pangkat kamu. Bahkan, tanpa harus pergi ke maskapai luar, aku yakin kemampuan yang kamu punya saat ini bisa dapetin pangkat kapten yang kamu mau.”

“Aku punya kemampuan. Tapi banyaknya pengalaman membuktikan kalau kita benar-benar memiliki kemampuan.” Akhailan menyahut, mengontrol nada bicaranya selembut mungkin agar Anjani tidak merasa terintimidasi.

“Tapi kenapa harus di sana?” Suara Anjani mulai bergetar.

Akhailan menjawab dengan satu kalimat pendek yang ia harap bisa mewakili isi hatinya. “Ada mimpiku di sana, Jan.”

Sungguh, ini bukanlah hal mudah bagi Akhailan, berada pada posisi di mana harus memilih antara mimpi dan waktu untuk kedua adiknya. Entah siapa yang layak untuk disebut egois atau pun mengalah. Keinginan Akhailan untuk menggapai mimpinya bukanlah suatu kesalahan, dan ketakutan Anjani akan kehilangan juga bukanlah suatu hal yang dapat diprotes.

“Jani. Maaf kalau aku bikin kamu harus merasa takut. Tapi aku janji, kalau aku lolos dan benar-benar pindah ke sana, I’ll be fine there, aku pasti akan pulang ke sini. Aku nggak akan ninggalin kamu dan Atha sendirian.”

Anjani menggeleng, bibirnya tertutup rapat namun ada getaran yang ia tahan. Tidak ada sama seali keinginan untuk membiarkan kakak lelakinya pergi. Dan Atharya, dari tadi hanya menunduk, menatap mata Akhailan setiap kali kakaknya berbicara, lalu kembali menatap kosong pada sepiring cheesecake yang sekarang enggan dia santap.

And I think, this is the right time for me to ask permission, cause you’re getting better now.”

Anjani tertawa sarkas. “I’ve only felt healed for only a month, and you’ve been acting like I’m completely healed. How selfish you are, Mas Ai.” Air mata telah terbendung sempurna pada kedua kelopak matanya, siap untuk dijatuhkan kapan saja. “Seenggaknya, nanti.”

Sebelum Akhailan membalas dengan kalimat-kalimat yang akan jauh membuatnya semakin merasa bersalah. Atharya tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan mengutarakan jawaban yang membuat Anjani jauh lebih kecewa.

Go chase your dream, Mas. Kejar mimpi Mas Ai kalau emang mimpi Mas ada di sana,” ujarnya dengan senyum pasrah namun penuh dukungan.

Tanpa membiarkan jeda barang satu detik, perempuan itu menoleh pada Atharya dengan cepat. “Are you serious? You let him go?”

We let Mas Ai chase his childhood dream. He’s not going anywhere. Kita hanya akan merasa kehilangan sebentar, Jan, everything will be fine dalam beberapa waktu. Setelah itu, akan muncul perasaan bangga. Don’t you feel proud of your brother?”

Air mata Anjani akhirnya lolos, membasahi kedua pipi halusnya diikuti dengan gelengan tidak terima. Seringai bibirnya tertarik, namun menyakitkan untuk dilihat. “I thought you were on my side, but I forgot, you were the one who left me first.

Dan, Atharya terdiam.

Suasana malam ini mengingatkan Anjani saat pertama kali Atharya meminta izin untuk melanjutkan pendidikan di luar kota, dan meninggalkan Anjani sendirian di titik terapuhnya. Tidak ada lagi teman berbicara, tidak ada lagi sosok yang dapat memeluknya setiap kali Anjani menangis akan suara ledakan di dalam mimpi-mimpi buruknya ketika Akhailan juga sedang mengudara.

Kecuali, benda-benda tajam yang menciptakan goresan merah pada kulitnya. Sampai sebuah gunting dan silet menjelma menjadi teman setianya setiap malam.

Perempuan itu bangun dari duduknya, mengambil jaket di atas sofa lalu bergegas menuju pintu.

Akhailan membulatkan matanya lebar. “Anjani, mau ke mana?”

“Kafe bawah. Panggil aku kalau keputusannya udah bulat. Aku nggak mau memberi suara pada pilihan yang nggak mau aku pilih.”

Pintu tertutup sempurna. Kehadiran awan gelap di dalam kamar menggantikan sosok Anjani yang hilang dibalik pintu.


​Katanya, waktu sore adalah waktu di mana sinar matahari mulai memudar. Itu berdasarkan penjelasan geografis. Tapi sepertinya semakin tua bumi, semakin panas pula matahari, sekali pun waktu sudah mendekati senja. Anjani bahkan bisa merasakan adanya serangan terik matahari jam 4 sore di dalam lift—terasa lebih pengap dua kali lipat ketika satu per satu orang memenuhi ruang sebesar kotak kubus.

Begitu keluar dari gedung apartemen, ia melihat Aleon yang sudah lebih dulu menunggu di depan lobi, masih dengan setelan mahasiswa baru pulang kuliah, lengkap bersama tas berisi biola. Black skinny jeans yang pas pada kaki jenjangnya, sweetshirt hitam, dan varsity jacket biru dongker. Aleon melepas helm untuk menyapa Anjani tanpa turun dari motor. Kawasaki ZX-25R. Tidak perlu disebutkan apa warnanya—sudah pasti, hitam.

“Maaf, lama ya?” sesal Anjani di antara langkah berlari sembari menenteng helm.

Aleon tersenyum dan menggeleng. “Nggak usah lari. Lo turun lebih cepet dari yang gue kira, kok.”

Melihat Aleon menjatuhkan pandang ke arloji di tangannya, Anjani segera meminta izin untuk naik sebelum padatnya jalanan sore semakin mengulur waktu.

Di dalam lift tadi, indra penciuman Anjani diserang oleh sapaan parfum dari tiap denyut nadi orang-orang di kanan kirinya. Yang bisa ia pastikan kalau wewangian itu akan segera dilenyapkan oleh panas matahari dan berubah menjadi bulir keringat begitu keluar dari area indoor. Namun tidak bagi lelaki di depannya.

Aroma tubuh Aleon sama sekali tidak berubah walau sudah beraktivitas seharian. Wanginya masih sama, dari pertama kali mereka duduk dengan jarak setipis lapisan udara untuk pertama kali di kafe bawah tanah. Hangat, lembut dan menenangkan.

Tanpa sadar tatapan Anjani terjatuh lama pada punggung Aleon, dan yang ditatap, juga mengamati dari pantulan kaca spion.

Terdengar suara dehaman batuk yang dibunyikan dengan tujuan jahil. Sontak perempuan itu mengalihkan mata karena tahu tertangkap basah.

“Udah?” tanya Aleon, menahan kekehan.

“Udah.”

“Belum,” sahutnya lagi, menyanggah.

Perempuan itu menaikan sebelah alis. “Gue udah naik, nggak ada yang ketinggalan juga.”

Salah satu kaca spion, sengaja digerakan sedikit oleh Aleon agar Anjani bisa melihat ke arahnya. Ada sepasang mata coklat yang terasa mengintimidasi dari balik kaca helm. Mengintimidasi, namun indah secara bersamaan, matanya seperti menyimpan seluruh galaksi bintang. Sehingga berhasil membuat Anjani membuang mata lagi. Salah tingkah, tetapi tidak lupa memberi respon, “Belum apa?”

“Belum pegangan.” Si pemilik tatap menjawab datar.

Anjani menggeleng-geleng, tetap kuat pada pendiriannya dari semalam. “Gue nggak akan jatuh, udah biasa kalau dibonceng nggak pegangan, lo nggak usah khawatir.”

“Gue yang khawatir.” Aleon ikut menggeleng. “Serius, Jani. Gue nggak lagi modus, tapi gue sadar diri motor gue tinggi, bahaya kalau yang dibonceng nggak ada pegangan.”

“Nggak mau, Aleon.” Tidak memindahkan sedikit pun posisi tangannya dari kedua paha, Anjani masih terus menggeleng-geleng hingga badan motor ikut tergoyang.

“Ya udah, oke, gue nggak ngebut. Tapi kalau mau pegangan, pegang aja, gue nggak akan anggap sebagai modus,” angguk si lawan bicara seraya tertawa, sebab gelengan kepala Anjani membuat ia harus menahan motor lebih serius.

Tidak memaksa dan langsung mengiyakan. Motor segera berlaju meninggalkan gedung apartemen. Tak ada banyak percakapan di sepanjang jalan selain Aleon yang meminta izin untuk mengambil pesanan kue lebih dulu.

Biola, kue ulang tahun, yayasan panti jompo yang Anjani yakini kalau memang itu tujuan mereka sore ini, sekelibat informasi yang didapat Anjani dari obrolan ringan Atharya dan teman-teman lainnya kini disaksikan langsung olehnya, kalau tiga hal tersebut adalah alasan utama dari sibuknya seorang Aleon. Di antara laju motor di bawah langit senja, sapaan ranting-ranting yang ditiup angin, semua orang di jalan raya sibuk pada tuas setir masing-masing.

Begitu juga dengan Anjani yang sibuk menggerakan jari-jarinya perlahan untuk meraih ujung jaket Aleon, dan memegangi kedua sisi pinggangnya seperti kepalan tangan anak bayi. Mungkin, tidak ada salahnya untuk mencari perlindungan pada lelaki di depannya, sebelum oknum-oknum lalu lintas berhasil menarik dirinya jatuh ke atas aspal.

Dan Aleon, merasakan adanya sentuhan kecil di masing-masing pinggangnya. Sentuhan kecil yang menciptakan tarikan bibir manis di balik kaca helm.


Rerumputan hijau dan tataan pohon di sepanjang taman segera menyambut begitu keduanya memasuki wilayah rukun, harum tanaman segar yang baru disemprot air menggantikan bau kebul asap-asap kendaraan jalan raya. Tempat ini terasa sangat steril dari racun karbon dioksida yang akan berkali lipat berlaku jahat pada orang-orang berusia emas di dalam sana. Mereka melewati tugu nama bertulis, Eudaimonia Senior Living, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan gedung dan memarkirkan motor.

​“Eudaimonia. Namanya bagus,” celetuk Anjani begitu turun, kali ini sembari memegang satu kotak kue ulang tahun setelah gagal direbut oleh Aleon untuk mengambil alih bawaan.

Karena badan lelaki itu sudah dibebani oleh banyak barang sore ini. Tas ransel, biola yang sudah dipindahkan ke sebelah tangannya, sekarang ditambah lagi dengan kalungan kamera.

Keduanya berjalan berdampingan menuju pintu utama.

​“Lo pernah denger konsep kebahagiaan?” Aleon bertanya.

​“Kayaknya pernah tau, masuk ke pelajaran sosiologi waktu sekolah, tapi nggak ada yang gue inget selain Aristoteles yang bilang kalau kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia.” ​ “Eudaimonia adalah salah satu istilah kebahagiaan di dalam ilmu filsafat.” Tanpa menoleh sebab sibuk megatur setelan kamera, Aleon melanjutkan. “Senior living ini punya tante gue, beliau mau kebahagiaan itu nggak hanya sekedar perasaan seneng, karena, setiap perasaan nggak pernah berlangsung lama. Tapi, kebahagiaan yang fokus pada cara hidup yang lebih baik, bermakna, dan berguna untuk orang lain akan berlangsung selamanya. Because there is love that will spread widely in it, and love is always above happiness.”

​Anjani menoleh, memberikan respons kagum menggunakan binar matanya. Ia juga sengaja mengeluarkan ekspresi antusias orang yang baru mendapatkan informasi baru untuk pertama kali, berpura-pura lupa dengan fakta yang sudah lebih dulu didapatkan dari Atharya untuk menghargai penjelasan Aleon.

She’s an angel, would be honored if I could meet her someday.”

​“Today, you’ll meet her today,” jawab lelaki pemilik senyum manis di sebelahnya.

Benar saja, seorang wanita berblazer putih tulang di balik pintu kaca, telah menunggu seraya melempar tarikan bibir ramah. Auranya terlihat sangat elegan.

​Gedung ini terdiri dari 3 lantai. Lantai 1 dan 2 dihuni oleh lansia yang masih sehat dan terbilang bugar, sedangkan di lantai paling atas dikhususkan untuk lansia yang membutuhkan dukungan khusus dan menetap untuk waktu lama. Terdapat ruang resepsionis sebagai rute pertama sebelum para pengunjung ditemukan oleh suasana yang lebih istimewa di dalam. Dan ternyata, taman di depan tadi bukanlah halaman utama, ada taman yang jauh lebih luas di tengah-tengah gedung dengan danau buatan dan berunit pendopo untuk menikmati suasana asri. Bangunan ini juga dibangun secara melingkar, sehingga para penghuni di lantai paling atas bisa langsung melihat keindahan taman tanpa harus turun.

​Benar kata Atharya, yayasan ini memiliki fasilitas setara dengan resort berbintang, mungkin Anjani akan terkecoh kalau saja tidak melihat adanya orang-orang berseragam biru muda di balik pintu kaca selanjutnya—para caregiver, yang tengah menuntun beberapa lansia menuju ruang santai, tempat di mana Aleon akan memainkan biolanya nanti.

​“Eh? Halo, Leon ajak temennya ya hari ini!” sapa wanita berusia 36 tahun yang tidak sedikit pun terlihat garis-garis halus di usianya, namanya Shelly.

​Tanpa menunggu untuk dipersilakan, Anjani segera membungkuk sopan dan menjulurkan tangan. “Halo tante, saya Anjani.”

​Aleon ikut memperkenalkan Anjani lebih detail. “Temen baruku, Tan, kembarannya Atha yang beberapa kali pernah ke sini juga.” ​ “Pantes, tante liat mata kamu kayak nggak asing, mata kamu mirip banget sama Atha!” Yang mendapat informasi mengangguk-angguk, diikuti bulatan mata semringah. Suara tawa disuarakan oleh Anjani sebagai sahutan.

“Kamu mau tante pesanin apa, Le? Anjani juga, mau apa? Biar sekalian dibawa ke ruang santai,” sambung Shelly lagi.

​Jelas tidak seperti Aleon yang menyebutkan beberapa menu dengan yakin, karena sulit baginya untuk menolak tawaran makanan selepas menjalani kegiatan penuh dari tadi pagi, Anjani menolak secara sopan sembari beralasan kalau ia masih kenyang. Namun Shelly juga tetap bersikeras.

​“Nggak apa-apa, Anjani, tante pesanin ya, okey? Cemilan yang ringan-ringan aja. Masa nanti pas Leon makan kamu diam aja.” Tiba-tiba wanita itu merangkul Anjani, lalu berbicara berbisik seolah lelaki di depan tidak diperbolehkan tahu. “Tenang, kalau nggak abis, nanti diabisin sama Aleon. Dia dari kecil makannya banyak!”

Berhasil membuat perempuan dengan 3 anting bintang dan mutiara di masing-masing telinganya mengangguk setelah gurauan itu disahut oleh tawa dari ketiganya. Satu yang selalu Anjani tanamkan dalam dirinya, dengan menerima pemberian yang diberikan tanpa pamrih oleh mereka adalah cara kita untuk menghargai ketulusan seseorang.

Setelah Shelly menyuruh keduanya untuk pergi lebih dulu, wanita itu pergi ke lantai paling atas untuk menjemput salah satu penghuninya yang sudah dipastikan, saat ini pasti tengah memandangi jadwal harian yang dibawa dari pertama kali datang ke yayasan, satu tahun lalu. Malinka. Pasti Malinka sedang memandangi gambar kue ulang tahun yang memenuhi kolom hari selasa di lembaran kalender. Dan menunggu kehadiran kue itu tiba seperti selasa-selasa sebelumnya.

Di sepanjang langkah menuju ruang santai, Anjani berkali-kali meyakinkan apakah kehadirannya di sana benar tidak akan menganggu kegiatan, Anjani khawatir kalau para lansia itu merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang asing, ditambah, ia tidak merasa mahir untuk berbicara apalagi bergaul bersama para lansia.

Sampai tidak sadar Aleon telah berjalan dua langkah lebih dulu, Anjani menarik ujung jaket Aleon, lagi.

“Kak, ini beneran nggak apa-apa? Aduh… gue takut malah bikin mereka nggak nyaman, nanti gue malah bikin canggung,” lirihnya.

Bukannya menjawab sesuai konteks, Aleon malah tertawa. Ia menoleh, “Jani, lo manggil gue pake ‘kakak’ lagi.”

Tidak peduli pada kata sapaan yang ia sendiri juga tidak tahu kenapa menyebut Aleon menggunakan ‘kak’, ia lebih fokus pada langkah yang semakin dekat menuju tempat tujuan. Anjani menarik ujung jaket Aleon lebih kencang hingga badan lelaki itu ikut mundur. “KAK, TAKUT CANGGUNG! JALANNYA JANGAN CEPET-CEPET!”

“Iya, oke, nggak usah ditarik-tarik!”

“Makanya tungguin!”

Setelah mendengar rajukan Anjani untuk kedua kali, Aleon spontan meraih sebelah tangan Anjani untuk membuatnya terlingkar pada tali tas ransel yang ia kenakan. Bersama mimik wajah meledek, ia berucap, “Biar kayak gantungan kunci. Udah aman, nggak akan ketinggalan.”

“Aleooooon!” Berhasil membuat kerutan dahi Anjani mengeriting.

Walau begitu, Anjani tetap berjalan sembari memegang erat tali tas Aleon seperti anak kecil yang marah karena kue ulang tahun di tangannya kurang besar.

Riungan manusia-manusia berambut putih yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang telah duduk melingkar, seperti biasa mengelilingi satu kursi milik Aleon di tengah-tengah. Semua tampak bersemangat, bisa dilihat dari besaran pupil mata ketika melihat anak lelaki itu masuk bersama biolanya.

“Halooo! Ready to sing with me?” Aleon benar-benar memperlakukan mereka selayaknya teman sebaya, ia juga menyapa teman-teman lansia menggunakan intonasi suara yang belum pernah Anjani dengar sebelumnya.

Suara itu seperti tidak dilantangkan setiap hari, itu adalah nada suara yang akan terdengar setiap kali Aleon merasa hidup.

He love Tuesday so much.

Kedatangan Aleon dan Anjani disambut oleh perdebatan Pak Martin—73 tahun—masih bawel selayaknya akun tubir, dan Ibu Yani, lansia 68 tahun—social justice warrior versi jompo. Kali ini tengah memperdebatkan bau asap rokok yang terlihat hanya bisa diendus oleh indra penciuman Yani.

“Kamu jangan dekat-dekat, mulutmu bau asap rokok!” Yani mendorong kursi Martin di sebelahnya menggunakan tendangan di sisa-sisa usia.

“Siapa yang merokok! Aku itu bisa meninggal kalau merokok! Hidungmu itu, mencium bau mulutmu sendiri yang seperti asap!” Tidak mau kalah, Martin ikut menjauhkan kursi Yani, dorongannya benar-benar terlihat seperti dorongan belalang sembah.

Bill, lansia berdarah Jerman yang paling tampan di ruangan ini melerai selayaknya ia adalah satu-satunya orang paling waras (sedikit). “Tidak usah saling berteriak, atau udara di ruangan ini akan teracuni dengan mulut kalian yang bau asap. Lihat, Leon bawa pacar!” ucapnya semangat seraya menunjuk Anjani. Aleon harap, ini tidak menjadi kunjungin terakhirnya karena trauma.

“Pak Bill, jangan gosip! Ibu Yani, Pak Martin, liat aku dulu, aku mau kenalin temen baru.” Aleon tertawa, tapi bibirnya maju secara bersamaan di saat berbicara. Lelaki itu mengambil lengan Anjani yang masih memegangi tali tasnya untuk membawanya pindah ke samping. “Namanya Anjani, dia jago banget bikin kue—”

“Sssh, jangan bilang gitu ah!”

Kalimat Aleon terputus, bersamaan dengan sikutan dari Anjani yang terasa menggelitik pada pinggangnya.

Pemandangan itu membuat Yani, si admin akun tubir berambut putih mendapatkan bahan komporan .

“Mereka berantem! Kayak anak muda pacaran!” Lalu ia menyengir, dua ruang ompong pada barisan giginya tercetak sempurna.

Alih-alih salah tingkah apalagi marah, Anjani malah menyukai cengiran gigi-gigi ompong selanjutnya yang satu per satu ikut terhasut oleh Yani. Bukan karena senang dikira berpacaran dengan Aleon, tapi Anjani menyukai suasana ini. Ada kesan dan perasaan baru yang belum pernah Anjani temukan sebelumnya, para lansia itu, sama sekali tidak berlaku canggung seperti bayangannya, mereka sangat lucu dan menyenangkan selayaknya itu adalah kumpulan anak-anak playgroup yang gemar meledek satu sama lain.

Anjani mengambil satu langkah sebelum membalas bersama nada suara penuh warna yang tidak pernah ia suarakan sejak 4 tahun lalu. “Ibu Yani sama Pak Martin juga tadi berantem, kalian pacaran kaaah?” godanya.

Suara tawa terdengar lebih keras. Yani cemberut, melirik Martin sampai bola matanya nyaris mengeluarkan petir. “Aku bisa cepat mati kalau setiap hari harus kena hembusan bau asap dari mulutnya setiap kali dia menggombal di depan wajah!”

Namun ia tertawa lepas setelah meledek Martin.

Tenang, tidak ada perselisihan serius. Justru itu adalah cara mereka berkomunikasi, menggunakan canda gurau untuk menghidupkan lagi jiwa-jiwa melapuk yang sudah tidak memiliki arah selain menunggu hitungan umur terhenti. Dan tawa, berhasil menjadi tujuan baru bagi mereka, tujuan sederhana yang ingin mereka temukan setiap harinya; kebahagiaan.

Sembari mengeluarkan biola dari dalam tas, Aleon tersenyum dan memberi anggukan pada Anjani, sebagai apresiasi kalau ia berhasil berbaur tanpa canggung hanya dalam satu kali interaksi. Dilanjut dengan Aleon yang melepas jaket, menarik sweetshirt hitamnya hingga siku, lalu mulai meletakan biola di antara sisi bahunya.

Sore ini, Aleon tidak memainkan musik klasik seperti biasanya, memilih satu lagu dari Maroon 5 berjudul Memories, lalu mengubah musik band menyenangkan itu ke dalam alunan lembut biola tanpa menghilangkan hentakan semangat yang tersirat di dalam lagu. Anjani ikut bergabung ke dalam riungan teman-teman lansia, tugasnya, memimpin hentakan kaki dan jentikan jari yang akan dibunyikan bersama-sama mengikuti tempo melodi Aleon.

Sekarang Anjani paham, tentang jiwa-jiwa hilang, yang berhasil menemukan rumah di tempat ini. Perempuan itu, diterima sangat baik oleh mereka. Senyumnya ramah, pembawaan sopan dan menyenangkan, bahkan sekarang ia duduk di tengah-tengah Yani dan Martin selayaknya cucu mereka.

Aleon harap, hari ini Anjani bisa kembali merasakan hidup sejenak, walau serangan air mata tiap malam akan selalu menunggu di depan.

Terdengar suara dorongan kursi roda, beriringan dengan tarikan melodi terakhir dari biola. Itu Shelly yang baru tiba seusai lagu pertama berakhir, bersama Malinka yang terduduk di kursi roda.

Tatapannya selalu sama, selalu tampak kosong.

Karena tidak biasanya Aleon melihat wanita itu dibawa oleh kursi roda, ia segera berjalan menghampiri keduanya di ambang pintu, raut wajahnya terlihat khawatir.

“Kok pakai kursi roda? Ibu sakit?” tanya Aleon, seraya mensejajarkan diri.

“Waktu bangun tidur, kakinya tiba-tiba sakit, pegal sekali kalau dibawa berdiri lama-lama,” jawabnya. Malinka adalah salah satu penghuni paling muda dibanding yang lain, wajah dan intonasi suaranya masih terbilang segar.

“Iya, Le. Kan kasian kalau harus berdiri lama-lama di lift, dari lantai 3 ke bawah.” Shelly ikut menjelaskan.

“Ayo, Bu, gabung sama teman-teman yang lain, aku masih punya satu lagu lagi.” Lelaki itu menunjuk biola yang tadi ia taruh sejenak di atas kursi.

“Kamu memang pemain biola yang keren.” Tatapan Malinka membesar.

Aleon tersenyum mendengar pujian singkat dari Malinka. Ketika hendak bangun untuk mengambil alih kursi roda, Malinka menunjuk kue ulang tahun di atas meja.

“Itu kuenya, punya siapa?” tanya Malinka, kepalanya sedikit menengadah.

Lelaki berambut coklat di hadapannya tersenyum lagi. “Punya Ibu. Ini kan, hari selasa. Kata Ibu, hari selasa ada yang ulang tahun, kan?”

“Iya, hari ini hari selasa.” Sesimpul garis bibir tertarik di ujung jawaban.

Samar-samar Anjani menangkap sekelibat percakapan tiga orang di ambang pintu, ia memandangi dari barisan kursi. Mata dan telinganya terfokus pada Aleon, sebelum ia mendengar suara berisik dari langit di luar jendela.

Pesawat terbang melintas di atas langit senja.

Kedua kaki Anjani akan selalu bergerak otomatis mengikuti ke mana laju pesawat selama beberapa detik, sebelum akhirnya ia pergi menyusuri awan.

Refleks perempuan itu berlari keluar. Setelah mengangguk sekilas pada Shelly dan Malinka yang memandang kebingungan di ambang pintu melihat gelagat Anjani sebab meminta izin untuk bertemu satu burung besi yang melintas.

Untuk ke sekian kalinya, Anjani tidak akan pernah berhenti menganggap kalau salah dua penumpang di jajaran kursi kabin itu adalah kedua orang tuanya, yang sebentar lagi akan segera mendarat.

Lelaki dengan kalungan kamera di lehernya kini berpindah fokus pada Anjani, melemparkan tatap sendu pada perempuan yang sedang menengadah ke atas langit. Ia tidak mengucapkan kalimat apa pun, tapi Aleon yakin, kalau suara hatinya tengah berkecamuk lebih ribut dari suara mesin pesawat yang terdengar dari atas langit.

Tanpa direncanakan, tangan Aleon bergerak dengan sendirinya, meraih kamera pada kalungan leher untuk memusatkan titik fokus kepada Anjani, lalu menekan tombol potret. He loves to capture the memory and all the feelings in it.

Tiba-tiba Aleon merasakan sentuhan tangan halus di sebelah bahunya, tepukan singkat dari Malinka.

“Kamu suka memotret juga, ya? Boleh fotokan saya dengan kue ulang tahun itu?” pintanya secara hati-hati, seolah Aleon adalah fotografer asing yang tidak bisa sembarang memotret objek.


​Kamaniya. Berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti, cantik—bentuk lain dari Kamanika. Anak perempuan itu menyuarakan tangisan pertamanya, 7 menit sebelum terbitnya matahari di hari Rabu, 8 Desember 2004. Suara yang kala itu langsung bersahutan dengan tangis Atharya—lahir 10 menit lebih dulu—belum juga berhenti menangis seperti takut saudara kembarnya tidak ikut menyusul ke dunia.

Tidak perlu menunggu sampai suaranya serak bagi bayi Anjani untuk berhenti menangis, karena begitu tali plasenta diputus, justru Anjani menghentikan tangisnya, dan menarik sekilas senyuman pertamanya tanpa disangka.

Cantik. Satu kata yang disuarakan oleh seluruh orang di ruang bersalin saat melihat Anjani tersenyum begitu plasenta pada tubuhnya berhenti terhubung oleh sang ibunda. Senyuman cantik luar biasa yang seolah menyiratkan kata terima kasih pada ayah dan ibu karena telah melahirkannya.

“Kamaniya,” ucap sang ayah dengan tatap penuh kilau air mata di bawah surgical light. “Aku percaya dia akan tumbuh sebagai perempuan cantik yang akan selalu hidup di dalam rasa syukur. I will be the first man who fall for her, before another man will fall for her smile. Kamaniya. Anjani Kamaniya.”


Sudah 15 menit berlalu Anjani mematut diri di depan cermin, mengompres masing-masing kelopak matanya menggunakan es batu karena khawatir Aleon akan menangkap sembab di bawah matanya dan berakhir mengajukan pertanyaan ‘kenapa?’. Anjani benci pertanyaan ‘kenapa’. Sebab baginya, itu adalah satu kata mematikan yang akan memaksanya untuk menjelaskan suatu kejadian yang sepenuh jiwa berusaha ia kubur.

​Berkali-kali Anjani berusaha menarik senyuman, sembari mengingat kembali gemaan suara ayahnya yang akan selalu bilang, ‘Halo, Kamaniya. Masa senyum cantiknya dikalahin lama-lama sama air mata, sih? Anak perempuan ayah paling keren, nggak boleh sedih lama-lama’, setiap kali melihat Anjani menangis. ​ Persetan dengan arti nama Kamaniya. Justru sekarang, perempuan itu lebih memilih untuk terpusat pada arti nama Anjani, yang berarti ilusi, fantasi, dan khayalan. Anjani harap, kelahirannya ke dunia hanyalah sekedar ilusi. Atau setidaknya, Anjani diizinkan untuk kembali mendengarkan kalimat sang ayah di samping telinganya walau itu hanya sebatas ilusi. ​ Kalau saja Anjani tahu jika upayanya mengompres bengkak mata menggunaka es batu adalah hal sia-sia. Sebab Aleon telah berdiri di depan pintu kamarnya dan mendengarkan suara tangisan bergema di antara alunan keyboard. Namun begitu Anjani keluar, perempuan itu tidak melihat sosok Aleon sedikit pun. ​ Itu karena, Aleon sengaja pergi dan masuk ke dalam kamarnya sendiri agar Anjani tidak merasa malu kalau tahu suara tangisnya didengar orang lain. Dan diam-diam Aleon menguping di balik pintu, untuk mengambil ancang-ancang keluar begitu langkah perempuan itu terdengar.

​“Hai.” Aleon menyapa, berpura-pura seolah ia benar baru saja keluar dari kamarnya.

​Anjani tersenyum tipis dan melambaikan sebelah tangan singkat. “Biolanya? Katanya lo mau bawa biola?”

​“Nggak jadi. Kapan-kapan aja. Kan, malam ini gue mau jadi guru les piano,” jawab lelaki itu meledek.

Celana jeans hitam, dan turtle neck berwarna senada. Setelan Aleon malam ini dinilai terlalu rapi untuk ukuran orang gabut yang mengajak manusia lain mengunjungi kafe jam setengah 12 malam. Tapi alih-alih menanyakan darimana, Anjani lebih terpusat pada warna baju sama yang selalu ia lihat selama seminggu berturut-turut setiap kali berpapasan singkat dengan lelaki itu.

“Ok, nanti kalau sukses ngajarin si murid main piano dalam satu kali pertemuan, bayarannya berupa baju warna putih. Biar lemari baju lo isinya nggak hitam doang.” Tidak mau kalah, Anjani meledek balik.

“Bayaran gampang,” Aleon maju satu langkah lebih dekat dengan Anjani, “coba injak pedalnya aja dulu yang bener,” sambungnya, seraya mengacak singkat rambut Anjani, lalu berjalan lebih dulu menuju lift.

Perempuan itu berdecak. “Jangan diacak, nanti anak-anak rambutnya pada berdiri!”

Yang diteriaki hanya bisa tertawa, karena gerutuan perempuan itu terdengar lebih lucu dibanding ekspektasi yang Aleon ciptakan saat Anjani membalas pesan dengan tambahan huruf panjang di ujung kalimat tadi pagi.

Sudah berjalan satu minggu lebih Anjani tinggal di tower apartemen itu, tapi, tidak ada sudut mana pun yang ia jelajahi selain rute menuju kamarnya. Ada restoran di dalam gedung yang diperuntukan untuk umum di lobby utama. Tapi ternyata, bukan restoran itu yang Aleon maksud. Karena lift terus bergerak turun ke lantai paling dasar. Basement.

Basement? Loh, bukannya, kafe yang lo maksud itu restoran di lobby? Di sana ada pianonya, kan?” Perempuan itu membesarkan bola mata begitu mesin lift membawa dirinya turun semakin dasar.

“Ada. Tapi itu restoran. Bukan kafe. Dan bukan tempat yang gue maksud.”

“Aleon, lo… nggak niat macam-macam, kan?”

“Lo percaya, kan, kalau Atha nggak mungkin milih orang jahat untuk nitipin kembarannya karena ditinggal sendirian malam-malam?”

“Lo disuruh Atha?” Kedua mata Anjani membulat lebih besar.

Aleon menoleh, senyumnya ditarik tipis, namun terlihat menenangkan. “He’s care about you, Jan, always. Your twin never leaves you alone.

And how about you? Kenapa lo menuruti permintaan Atha cuma untuk nemenin orang asing yang baru lo kenal? Nggak mungkin kan, kalau lo juga peduli?”

“Kita nggak akan selamanya jadi orang asing. And just because we’re strangers, doesn’t mean I shouldn’t care either.”

Ting! Pintu lift terbuka. Tidak adalagi percakapan tersambung, karena dari jawaban Aleon, sudah berhasil memberikan Anjani fakta kalau lelaki itu pasti telah mengetahui adanya air mata yang jatuh malam ini. Anjani mengambil posisi di belakang Aleon, mengikuti ke mana langkah di depannya pergi.

Kalau biasanya ruang bawah tanah suatu bangunan identik dengan lahan parkir, terdapat pengecualian untuk gedung apartemen ini. Setelah keduanya tiba, dan melewati pilar-pilar penyekat antar kendaraan terparkir, akan terlihat satu titik cahaya hangat di ujung ruang yang menerangi beberapa undakan tangga menuju tempat penyimpanan anggur, yang kini telah disulap menjadi ‘hidden gem’ yang hanya diketahui setengah dari penduduk apartemen. Kafe bergaya Italia klasik dengan dinding batu alam. Nuansanya sangat hangat dan tenang sebab tidak ada interupsi suara dari luar. Ditambah lampu temaram dan beberapa kursi di tengah ruang. Sudah tidak adalagi aroma wine, hanya ada wangi biji kopi yang ditumbuk sebagai salam pembuka.

“Mustahil.” Anjani menganga kagum. Lelaki di sebelahnya menoleh.

“Itu kalimat pertama yang selalu diucapin orang-orang saat tau kafe ini untuk pertama kali. Konsepnya emang rahasia, lo nggak akan tau tempat ini sampai lo yang nemuin sendiri. Karena katanya, ruang ini pun disulap tanpa rencana.”

Sama seperti Anjani yang baru satu minggu pindah ke apartemen itu. Tapi, Aleon sudah sangat mengenali tiap sudut gedung, karena sebelum kepindahannya, hampir setiap minggu Aleon berkunjung menghampiri Atharya dari pertama kali mereka akrab dan memiliki kegiatan bersama. Dan kalau saja bukan karena mengitari basement hingga ke ujung—paling ujung, sebab mencari lahan parkir, mungkin Aleon tidak akan menemukan harta karun di ruang bawah tanah milik tower apartemen bergaya Mediterania ini.

Aleon menunjuk satu buah piano berwarna hitam di sudut ruangan. “Lo duluan, gue pesenin lo minum. Coffee or chocolate?”

Chocolate,” jawabnya, lalu mengucap terima kasih begitu Aleon mengangguk dan pergi ke meja bar.

Untuk malam ini, Anjani harus bisa menahan air mata untuk tetap aman di dalam kelopak mata begitu jari jemarinya harus kembali diletakan di atas tuts bersama bayang-bayang sang ayah dan ibunda. Setelah mendudukan diri, Anjani membuka tutup piano secara perlahan, mengelus halus barisan hitam dan putih di bawah sana seraya tersenyum.

“Bisa?” tanya Aleon begitu tiba, dan menaruh nampan berisi dua cup minuman hangat di meja sebelah.

I no longer have a tutor because my father is no longer here. Gue yakin, lo udah tau.” Perempuan itu menjawab dengan gelengan kepala, sebelum menepuk-nepuk space kosong di sebelahnya. “So, Aleon, you have to keep your promise and take over the pedal.”

Lelaki menjawab setuju dengan segaris senyuman manis.

Wangi tubuh Aleon langsung menyerang begitu ia duduk dengan jarak tipis di sebelah Anjani. Perpaduan aroma musky dan woody, tapi juga tercium wewangian teh, memberi kesan maskulin yang sama sekali tidak memusingkan. Aroma hangat yang sangat cocok bagi tipikal lelaki beraura klasik seperti Aleon.

Masing-masing tangan keduanya sudah tersimpan di atas piano, tak lupa Aleon menepati janjinya untuk menaikan satu kaki di atas pedal. Hingga lelaki itu menoleh, mengangguk pada Anjani yang daritadi menunggu sinyal untuk memulai.

River Flows in You – Yiruma

Gerakan jemari lembut Anjani menari lebih dulu, tenang di antara hangatnya lampu pada tiap-tiap dinding batu bata. Diikuti sentuhan jari-jari lentik Aleon, yang turut bergerak di samping Anjani, mengalunkan sentuhan harmoni di dalam melodi penuh perasaan tersirat milik perempuan di sebelahnya.

Secara teratur, ketukan tempo semakin naik mengikuti besarnya emosi yang dituangkan oleh keduanya. Lantunan denting piano yang lebih dari sekedar bunyi tuts yang ditekan, tapi juga meneriakan masing-masing perasaan dari lubuk hati terdalam. Anjani yang sampai saat ini masih mengharapkan pesawat yang terbang 4 tahun lalu itu mendarat, dan Aleon yang tidak memiliki rumah untuk pulang.

Sampai di tangga nada terakhir, ketukan keduanya kembali memelan lembut, menutup luapan perasaan yang berhasil disalurkan dari dua orang yang tengah mencari alasan untuk bertahan. Ditutup oleh jari jemari Anjani karena Aleon melepas sentuhan pianonya di ujung melodi, membiarkan perempuan itu memulai sekaligus mengakhiri lagu bagai ini adalah konser solo pertama.

Feel better?” tanya Aleon.

Anjani mengembuskan napas lega. “Much better. Thanks.”

“Kalau lo masih perlu jawaban kenapa gue mengiyakan permintaan tolong Atha buat nemenin lo, gue bisa jawab sekarang.”

Kedua alis Anjani terangkat sebagai respon lain dari pertanyaan mengapa.

Aleon melanjutkan, pandangan matanya sama sekali tidak pindah dari netra cantik di depannya.“Karena, gue bisa ngeliat diri gue dalam diri lo. We’re the same, Jan. Gue tau, sama sekali nggak mudah untuk melanjuti hidup tanpa kehadiran mereka, orang yang membawa kita ke dunia.”

Kali ini, bulatan bola mata Anjani berhasil dikejutkan oleh fakta selanjutnya yang bisa ia tangkap tanpa harus melemparkan tanya kenapa dan mengapa pada Aleon. Hanya dalam hitungan detik setelah kalimat terakhir Aleon tersuara, tatapan mata lelaki itu seketika berubah di mata Anjani. Sekarang, ia dapat menemukan titik-titik kosong di dalam binar Aleon.

“Gue nggak akan tanya kenapa, because it hurts too much to explain things from facts that we never want to remember, but yeah, we’re the same.” Anjani menaruh sebelah tangannya di atas bahu Aleon. “I’m sorry for your loss.”

Aleon menyeringai sembari menurunkan perlahan hinggapan tangan Anjani dari bahunya. “Hari selasa, lo senggang?”

“Kenapa?” Anjani bertanya.

“Gue mau ajak lo ke suatu tempat. A place where we can feel the warmth of home. At least, a little atmosphere that we can no longer find in the house.”


Dari pertama kali Atharya memutuskan untuk pergi kuliah ke luar kota, Akhailan, sosok lelaki berusia 26 tahun yang kini tak hanya lagi bertugas sebagai kakak tertua namun juga orang tua, sengaja memilih satu unit apartemen bertipe two bedroom walau Atharya hanya tinggal sendiri kala itu. Akhailan tidak hanya menyiapkan fasilitas kamar untuk kenyamanan tinggal dan belajar adik laki-lakinya, tapi juga untuk alat-alat musik kesayangan Atharya. Lelaki itu tahu, adiknya tidak bisa hidup tanpa musik, jadi, memilih apartemen dua kamar adalah pilihan terbaik untuk menampung satu buah drum dan keyboard kesayangan Atharya.

Bakat bermusik yang diturunkan oleh mendiang sang ayah.

Pintu apartemen terbuka begitu Anjani memasukan enam digit angka pada smart lock di atas gagang pintu. 210418, angka yang akan selalu mereka bertiga ingat sekaligus tanggal di mana Anjani resmi mengakui dirinya telah ‘mati’.

Mati bersama hilangnya pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya, yang sampai hari ini tidak pernah diketahui ke mana perginya NM370 selain penerbangan berakhir dan menghilang di Samudra Hindia Selatan.

Tidak ada yang tahu ke mana para penumpang itu pergi, tidak ada jejak yang bisa ditemukan selain satu puing sayap pesawat dengan kondisi terbelah di atas lautan.

Dan sejak hari itu, Anjani tidak pernah mau menerima kenyataan yang terjadi. Ia percaya, kalau kedua orang tuanya hanya terjebak oleh keindahan istana di atas awan, yang membuatnya lupa untuk mendarat. Itu alasan Anjani sangat mencintai langit, ada dua malaikatnya di antara langit biru.

Anjani tahu di mana letak kamar Atharya dan di mana kamar berisi drum dan keyboard. Tapi begitu tiba, kamar yang ia ketahui sebagai studio musik saudara kembarnya sekarang hanya menyisakan satu buah drum, dan sudah diisi oleh satu kasur, meja belajar, dan lemari minimalis milik Atharya. Sedangkan kamar utama yang sebelumya ditempati, telah disulap sendiri oleh Atharya untuk Anjani, sekaligus menitipkan keyboardnya di sana untuk perempuan itu mainkan.

Bakat bermusik yang dimiliki Anjani memang tidak diturunkan secara genetik seperti Atharya. Hanya keyboard dan piano yang bisa perempuan itu kuasai berkat ajaran sang ayah. Tapi, bukan berarti orang tuanya menurunkan bakat tanpa adil. Kalau Atharya memiliki bakat bermusik, jangan ragukan kemampuan melukis dan baking dari sang ibu untuk Anjani. Bisa dipastikan kamar apartemen yang sebelumnya polos, sebentar lagi akan dipenuhi oleh jejeren kanvas dan aroma kue menyeruak ke seluruh ruangan. Kata Atharya dan Akhailan, tidak ada toko kue mana pun yang dapat menandingi kue buatan Anjani dan ibunya.

​Di antara sinar mentari pagi yang lolos dari jendela kaca pada ketinggian lantai 14, Anjani tersenyum pada kertas-kertas kanvas yang disiapkan Atharya hanya untuknya.

​Cukup. Sebelum suasana hatinya berubah sendu, Anjani harus segera menggeret koper-kopernya ke dalam kamar dan memulai sesi beres-beres. Sudah hampir 30 menit setelah Atharya bilang ia akan pulang, tapi lelaki itu belum juga tiba. Mungkin masih terjebak di salah satu rumah makan padang.

​Kasur, lantai, debu-debu di atas buffet lemari telah bersih tak tersisa. Baju-baju kotor milik saudara kembarnya yang masih menggantung di belakang pintu telah Anjani taruh pada laundry room—menyatu dengan dapur. Anjani juga menitipkan beberapa bajunya sementara pada lemari Atharya, sisanya ia simpan di dalam koper.

​Tidak ada siapa-siapa di sini, kini Anjani bisa bebas mengikat rambutnya tanpa harus khawatir menunjukan sesuatu yang ia sembunyikan di balik rambut. Sekarang, dia menampakan diri tanpa malu bersama tiga anting pada masing-masing telinganya pun ikut berkilau lebih jelas.

​Kembali menuju kamar, sekarang gilirannya mengaitkan lampu-lampu LED tumblr yang ia bawa pada pengait yang lagi-lagi telah disiapkan Atharya, untungnya pengelola apartemen memang mengizinkan penyewanya untuk mengubah beberapa dekorasi ruang seperti mengecat dan memasang kait.

​Hanya bermodalkan kursi dan dua tumpukan bantal sofa, perempuan yang tingginya baru mencapai 160 cm itu nekat meraih tiap-tiap pengait. Anjani bisa saja terpeleset kalau fokusnya melengah, atau terjatuh karena tumpukan banyal yg tidak imbang.

Susah payah ia mengerahkan fokus, menengadah, menarik tangannya ke atas serta berjinjit setinggi mungkin, tiba-tiba terdengar suara bel pintu yang menginterupsi hening.

Buru-buru Anjani turun dan membuka ikatan rambutnya tanpa hitungan detik, lalu pergi menuju pintu seraya membiarkan rambaian lampu menyentuh lantai. Walau Anjani tidak tahu siapa yang datang, tapi Anjani tahu kalau suara bel pintu tidak mungkin berasal dari Atharya si pemilik kamar.

Lelaki itu berdiri di sana begitu daun pintu dibuka. Celana training jogger, kaus polos, dan masker serba hitam, tidak ada yang bisa Anjani lihat selain rambut yang tersibak asal-asalan dan mata lelah seperti manusia tidak tidur 2 hari.

Ketika mulut Anjani hampir terbuka untuk menyapa, lelaki itu membuka masker hitamnya. Wajahnya manis, ada tiga titik mole di pipi kiri wajahnya yang akan membentuk rasi ursa minor jika dihubungkan pada beauty spot di lehernya, warna bibirnya merah natural, terlihat sempurna ketika garis bibir itu tertarik tipis.

“Halo, gue Aleon, temennya Atha, baru pindah ke kamar sebelah. Lo Anjani, kan?” ucapnya datar dan tenang.

Anjani mengangguk, sama-sama tersenyum (sangat) tipis.

“Barusan gue izin ke Atha buat minjem vacuum, tapi berhubung Atha masih di luar dan gue perlu sekarang, sorry kalau gue dateng tiba-tiba dan ganggu waktu lo, ya. Gue boleh pinjem vacuum, Jan?”

“Tapi gue nggak tau Atha simpen vacuumnya di mana, dia nggak ngabarin, gue tanya dulu ya—” jawab perempuan berkemeja oversized di depan. Intonasinya tidak kalah datar. Mereka berdua terlihat seperti kulkas yang tengah berbicara.

“Di atas lemari samping kitchen set, tadi Atha bilang.” Aleon menyambung lagi.

“Oh, ok. Sebentar, gue cari dulu.”

“Ok, thanks. Gue tunggu di sini, ya.”

Nyaris Anjani berjalan masuk setelah memutar badan, perempuan itu malah kembali menoleh memandang Aleon. Kali ini, seringainya hanya tertarik sebelah, tampilan itu membuat Anjani terlihat semakin attractive dengan aura mengintimidasi dingin dan kuat yang akan selalu muncul setiap kali berbicara dengan orang asing. Secara bersamaan Aleon juga menaikan sebelah alisnya tanda bertanya.

Dan, Anjani membalas. “Jelas lo harus nunggu di sini. Gue nggak mungkin biarin orang asing masuk ke dalam ruangan tanpa siapa-siapa.”

Aleon terkekeh, menggeleng singkat tak percaya. “Smart. Cause it could be that the stranger in front of you right now is actually a thief.”

Then I won’t be surprised if my twin’s vacuum cleaner won’t come back.” Lalu Anjani meninggalkan Aleon di ambang pintu bersama sebelah tarikan bibir yang masih di sana.

Damn, she was born cool. Ujar suara yang dilafalkan oleh sorot mata Aleon.

Tidak ada yang Aleon lakukan sepanjang Anjani masuk mencari vacuum. Bahkan untuk sekedar menjelajahi seisi kamar apartemen dengan matanya. Aleon memang sudah berkali-kali berkunjung bahkan menginap di kamar Atharya, sudah tahu pasti sudut-sudut terpencil di ruang itu. Tapi untuk menjelajahi apartemen itu hari ini, adalah tindakan tidak sopan bagi Aleon karena ia perlu menghargai barang-barang Anjani yang sekarang tinggal di sana.

Kecuali, rambaian lampu LED tumblr sepanjang 10 meter yang tergantung tak sempurna di dalam kamar, yang ia tangkap secara tidak sengaja karena letak kamar itu bisa terlihat dari pintu masuk, dan Aleon tidak tahu kalau kamar itu sekarang menjadi milik Anjani.

Sekitar 5 menit Anjani baru kembali setelah mengambil satu vacuum cleaner menggunakan kursi yang lagi-lagi harus ia geret. Aleon masih ada di sana, tapi bedanya, sekarang lelaki itu membawa sesuatu di sebelah tangannya.

Sorry ya, lama.” Tanpa banyak bas-basi, Anjani segera menyodorkan satu dus berisi vacuum.

Never mind. Thanks, Jan, gue pinjem dulu ya.”

Sebelum Aleon kembali ke kamarnya, ia ikut menyodorkan sesuatu pada genggaman tangannya tepat setelah menerima satu kotak dus dari Anjani. Perempuan itu bertanya dengan kernyitan dahi, dan memandang satu tongkat panjang yang sekarang pindah ke tangannya.

Satu buah bow biola.

“Susah kalau lo ngaitin lampu tumblr-nya cuma pake tangan kosong, lo nggak akan nyampe, kecuali lo ada tangga. Coba dibantu kaitin pake itu,” suruh Aleon tiba-tiba.

Ternyata, ketika Aleon melihat penampakan kabel lampu di kamar Anjani secara tidak sengaja, ia langsung bergegas menuju kamar apartemennya yang terpaut tiga kamar dari Anjani dan Atharya. Mencari sesuatu barang panjang yang sekiranya dapat memudahkan seseorang untuk meraih jarak tinggi. Tidak ada yang bisa Aleon temukan, selain bow biola.

​“Gue orang asing, nggak mungkin lo ngebolehin orang asing masuk kamar lo cuma untuk bantu ngaitin lampu. Jangan lupa dibalikin. Because, if my violin bow doesn’t come back, then we’re both thieves.” Sekarang situasi berbalik, Aleon menarik sebelah seringainya lengkap dengan tawa kecil yang berat.

Lalu lelaki itu kembali menggunakan maskernya, menutupi kekehan yang masih bisa Anjani lihat dari sipitan mata mengantuknya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan. ​


Untuk sebagian orang, musik tidak hanya diartikan sebagai alunan melodi yang dirajut oleh susunan not. Tapi, ia berlaku selayaknya penerjemah bagi mereka. Penerjemah dari berparagraf kalimat di dalam kepala, yang gagal disuarakan oleh bibir. Atau bisa juga difungsikan sebagai penghimpun potongan-potongan kejadian. Di saat satu judul spesifik terputar, bayangan seseorang akan hadir di dalam kepalanya, menyeretnya menuju hari di mana waktu bahagia bersama seseorang spesial berlangsung.

Namun hari ini, hentakan kaki dan petikan gitar yang dimainkan semangat tidak bermaksud untuk menyuarakan perasaan, maupun memaksa untuk mengingat suatu momen.

Sambil menganggukan kepalanya mengikuti hentakan tempo, mata yang ikut berbicara ketika bibir bersenandung, Aleon menggunakan gitarnya untuk berinteraksi, dengan riungan orang-orang berambut putih yang duduk melingkarinya. Para lansia.

Hari selasa di minggu ke sekian, Eudaimonia Senior Living.

Ketika melodi dari petikan gitar masuk untuk pertama kali, Aleon mengangguk-anggukan kepalanya sebanyak tiga kali sambil bergumam ‘1...2…3’ tanpa suara, memberi tanda untuk memudahkan para lansia, kapan waktunya bagi mereka bersorak. Karena Aleon sangat mengerti, penurunan fungsi otak yang menurun secara perlahan seiring bertambahnya usia, pasti membuat sembilan manusia di depannya kesulitan untuk menangkap ketukan musik.

“Okay, liatin anggukan kepalaku, ya! Pam, pam, pam,” Aleon mengangguk-angguk seraya menyuarakan suara selayaknya memandu anak-anak. Memang benar, semakin lanjut usia mereka, kepribadiannya justru kembali lugu, seperti anak-anak.

Tepat dianggukan keempat, Pak Bill, pria berusia 71 tahun dengan percampuran darah Jerman yang tampak paling semangat setiap kali agenda terapi musik dimulai, menangkap perintah dengan cepat.

Pak Bill bersorak, “Ho!” Lalu ketukan selanjutnya, “Hey!” Aleon mengacungkan jempol, sambil menyuarakan suara dari tengah kerongkongan. “That’s right! You got it, Mr. Bill! Sekarang kita mulai sama-sama, 1…2…3…”

(Ho Hey – The Luminers)

“I’ve been trying to do it right, I’ve been livin’ a lonely life, I’ve been sleeping here instead, I’ve been sleeping in my bed. Sleeping in my bed.”

Bunyi hentakan kaki yang diikuti sahutan sorak ‘Ho’ dan ‘Hey’ oleh para teman-teman lansia di tiap jeda nyanyian Aleon, berhasil membuat binar matanya bersuara lebih kencang dari lantunan bibirnya.

“So show me family, all the blood that I will bleed, I don’t know where I belong I don’t know where I went wrong, but I can write a song.”

I belong with you, you belong with me, you’re my sweetheart. I belong with you, you belong with me, you’re my sweet.

Mereka turut mengangguk dan menghentakan kaki bersama-sama di antara petikan gitar, garis-garis wajah pada orang-orang itu terlihat semakin berkerut jelas sebab ditarik oleh senyuman tawa. Seperti kembali muda. Pemandangan yang akan selalu menghangatkan hati Aleon. Lebih sejuk dari aroma tumbuhan hijau di balik jendela dan wangi cendana dinding kayu klasik yang menyeruak di dalam ruangan.

Tapi, untuk ke sekian kalinya kehangatan itu diluruhkan oleh eksistensi wanita berambut sebahu, ia duduk di kursi paling ujung. Wanita itu hanya menggerakan kepalanya, tanpa ikut bersenandung, apalagi tersenyum. Ada satu kotak kue ulang tahun di atas pangkuannya. Kue ulang tahun yang selalu Aleon beli setiap hari selasa. Itu bukan untuknya, tapi untuk wanita di kursi paling ujung.

Malinka, namanya Malinka. Anggota panti termuda yang kira-kira usianya masih jalan 50-an.

Sampai sekarang, Aleon masih belum menemukan jawaban, kenapa Malinka selalu meminta kue ulang tahun setiap hari selasa. Tidak ada clue yang Aleon dapatkan selain kalimat ‘Hari ini ada yang ulang tahun’, kata Malinka setiap kali melihat gambar kue dan lilin tergambar pada jadwal hariannya.

Tidak mendapatkan jawaban bukan alasan bagi Aleon untuk menghiraukan permintaan Malinka, yang bahkan lebih terlihat seperti orang sedang berhalusinasi kalau ada perayaan ulang tahun setiap minggunya. Tidak tahu kenapa, tetap saja Aleon ingin menuruti. Karena, ketika Aleon memberikan wanita itu kue ulang tahun, Aleon juga mendapatkan sesuatu yang paling sulit ditemukan dari Malinka. Senyuman.

Aleon senang melihat wanita itu menarik senyumannya. Tarikan bibir yang menariknya kabur dari suatu perasaan.

Kehilangan.

Lewat kebersamaannya dengan teman-teman lansia di sana, Aleon mendapatkan kembali hangat dari sentuhan orang tua, yang sejak lama tidak pernah ia rasakan. Dan lewat simpulan bibir Malinka, Aleon seperti melihat, ibunya hidup kembali.

Walau mustahil. She-is-not-here. Gone.

Tempat ini terasa seperti rumah bagi Aleon. Itu sebabnya ia seolah memiliki lebih banyak teman-teman lansia dibanding teman sebaya. Sangat menyenang baginya, berinteraksi dengan mereka menggunakan alat musik. Bermain catur dengan Pak Martin, mendengar pujian dari Pak Bill setiap kali ia beraksi dengan gitar maupun biolanya. Aleon senang membelikan Malinka kue ulang tahun dan dibayar dengan senyuman.

Lelaki itu, senang berlama-lama menghabiskan waktu bersama teman lansia.

He’s just a boy looking for a place to go home.


Suhu udara semakin menurun tiap harinya, menyambut kedatangan musim dingin bersamaan dengan bunga-bunga sakura yang jatuh hingga menyisakan batang pohon—berdiri kosong tanpa hias warna warni mengisi ranting-ranting murung. Hari ini, cuaca jauh lebih dingin hingga menyentuh angka 5 derajat, memberi tanda akan butir kristal es dari langit yang semakin dekat menyapa Tokyo.

Sambil memandang lampu-lampu gedung dan jalanan kota yang mulai sepi, Ocean duduk menghadap jendela kamar pada ketinggian lantai 40 sembari meneguk coklat panas. Awas matanya sesekali pindah ke atas layar ipad, menanti kehadiran sosok favorit dari ujung sambungan.

Minggu ke dua di Tokyo, Jepang.

Hai!” Panggilan terhubung. Audine menyapa dengan lengking suaranya yang khas. Sama-sama membawa satu cangkir berukuran lebih kecil, ada ukiran bunga tipis mengelilingi sebelah diameternya.

Ocean tersenyum dari balik cangkir yang ia teguk. Hangat dari coklat panas yang menghangatkan tubuh mulai terganti oleh hangat dari sorot mata Audine yang berkelip menyirat rindu. Masih ada buntalan handuk di atas kepalanya. Lagi-lagi, Audine tidak pernah absen dari rutinitas mandi di malam hari. Ada bayang-bayang aroma manis feminim dari tubuh perempuan itu yang seolah bisa terhirup menembus layar, semakin menyeruak menghangatkan jiwa di antara dingin cuaca malam di bulan Desember.

Senyumnya semakin melebar saat tatapnya jatuh pada kaus hitam bergambar Charlie Chaplin yang dikenakan Audine.

Ocean menurunkan cangkir putih yang menutupi setengah wajahnya. “Ih, kamu pake baju aku!” Perempuan itu tertawa seraya menarik ujung kaus dari kedua bahu, “Accidentally found your clothes in my closet, can i?” “Sure, i love seeing you in my clothes.” Ocean mengangguk tanpa ragu.

Mereka tertawa, gelak keduanya bersahutan dengan suara mesin pemanas ruangan dan detak jarum jam yang bergerak menuju waktu tengah malam di Jepang. Selisih waktu dua jam dari Indonesia. Terlihat dari binar mata Audine yang masih berseri-seri bertemu dengan sayu mata Ocean yang terlihat lelah. Bisa dipastikan kedua mata coklat itu akan segera menutup kapan pun lelaki itu menyentuh kasur.

How’s the Hokkaido?” tanya Audine sembari menaruh cangkir ke atas nakas di samping tempat tidur. Lalu membuka gulungan handuk dari kepalanya, menggosok-gosokkan kain handuk pada helai rambut yang basah.

Ocean menegakkan tubuhnya. “Auuu, i’ve been feeling so excited buat cerita ke kamu apa yang aku liat hari ini!”

Kedua mata sayu itu kembali melebar, menyiratkan manik mata antusias yang terpancar bersama nada bicaranya yang mulai berubah seperti anak kecil kapan pun lelaki itu mengekspresikan hal-hal yang membuatnya excited.

Audine tertawa dan mengangguk-angguk, “Mau ceritainnnn! Kamu liat apa aja di sana?

“Tadi aku, mama, papa, sama Alie berangkat naik Shinkansen.” Ocean membetulkan posisi ipad dan mendekatkan layar sedikit lebih dekat pada wajahnya. “Lumayan sih, empat jam perjalanan transit satu kali. Tapi nggak apa-apa soalnya aku seneng udah lama nggak jalan-jalan!” “Terus?” “Aku- eh maksudnya kita! Kita main ke Otaru!” Nada bicaranya semakin meninggi, bibirnya yang ia majukan secara tidak sadar membuat perempuan di ujung sambungan harus meremat selimut menahan kegemasan. “Oke adik, lalu ada apa di Otaru?” ucap Audine dengan suara mengayomi yang ia buat-buat, terdengar seperti guru TK sedang merespon kebawelan muridnya

“Ada kanal di sepanjang jalannya. Caaantik banget, Au! Tapi sayang aku datengnya siang, kalo malem pasti bakalan lebih cantik. Soalnya beberapa toko dan rumah-rumah di depannya udah mulai pasang lentera. Kebayang nggak, pantulan cahaya di atas kanal kalo malem bakal secantik apa.”

Mau ada kegiatan apa pasang lentera?

Otaru snow light path. Kanal Otaru selalu jadi tuan rumah festival salju tahunan di Hokkaido, nanti bakalan banyak ukiran-ukiran salju sama lentera-lentera di sepanjang kanal. Terus di sampingnya juga ada jalur kereta api yang udah nggak aktif, Au. Nanti di situ bakal banyak patung-patung boneka salju yang dijadiin tempat buat Festival Sapporo. Jadi kita bisa nikmatin dua festival sekaligus.”

Ih, wait, aku kebayang suasananya gimana di dalem kepalaku! Indah banget, Oceannn. Hahaha, ini aneh banget tapi di dalem kepala aku masa suasananya kayak di Narnia!” balas Audine tak kalah antusias dengan bola mata yang melebar.

Ocean menyambung kalimat seraya memajukan bibir bawahnya. Kali ini ia lakukan dengan sengaja. “Tapi festivalnya baru mulai diadain bulan Februari, aku abis tahun baru seminggu kemudian juga pulang ke Indonesia, liburnya udah abis.” “Yaaah..” “Yaaah, sayang dua kali deh…” keluh Ocean sembari mengikuti nada bicara perempuannya.

Audine terkekeh lalu menepuk-nepuk bagian atas laptop seolah itu adalah pucuk kepala Ocean. “Puk-puk, nggak apa-apa, someday you’ll see the snow light path in Otaru. Mungkin tahun depan, atau ada festival lain yang lebih cantik dan sempet kamu liat sebelum pulang? Who knows. I’m cheering you up from this Jakarta yang sumpek, macet, gerah, supaya kamu bisa main sama Olaf!

Malam di Tokyo semakin larut, suhu cuaca kembali turun satu derajat pada 30 menit terakhir menuju waktu tengah malam. Ocean beranjak sejenak dari kursinya, menaikkan temperatur penghangat pada saklar di ujung kamar.

“Kalo kamu, ada cerita apa hari ini? Ayo gantian, aku mau denger kamu cerita!” ajak Ocean begitu tatapnya kembali bertemu dengan Audine lewat layar ipad.

Aku hari ini main ke rumah oma. Ngobrol-ngobrol aja sih, oma juga ajak aku ngobrol masalah kedai teh lagi. Tapi aku nggak mau bahas yang itu ah, bingung aku, kapan-kapan aja.” Kata perempuan itu sambil mengangkat kembali cangkir berukir bunga dari samping nakas. “Ocean liat, ini teh racikan aku, aku diajarin oma bikin teh!

Ocean mendekatkan wajahnya ke depan layar, seakan bisa menghirup aroma teh buatan Audine dari sana, “Woooah, teh apa itu?”

Teh mawar.

“Mawar bisa dijadiin teh?”

Audine tertawa. “Kaget ya? Sama, aku juga. So, since she love roses, aku bawain buket mawar merah tadi. Eh, oma malah ngajarin aku bikin teh mawar.

“Mawar dari kamu langsung dijadiin teh?”

Enggak, bikinnya pake mawarnya oma. Ini juga aku dikasih sama oma mawar dari beliau. Katanya, kalo mau bikin teh bunga usahain jangan bunga dari toko bunga atau pembibitan, soalnya kalo dari toko gitu kan pasti kena pestisida. Ntar kamu mati, Au! Gitu katanya.” Audine kembali tertawa di sela-sela ucapannya, “Oma bener-bener mirip banget sama kamu.”

Begitu pun dengan Audine yang selalu mengubah intonasi nadanya secara reflek saat perempuan itu menceritakan harinya kepada Ocean. Dengan kedua pipi chubby yang membulat, membawa secangkir teh ke depan kamera, gerak tangannya antusias menunjuk-nunjuk isi cangkir hingga tehnya nyaris menumpahi laptop.

Seakan lupa bahwa beberapa menit yang lalu ia baru saja menganggap Ocean seperti anak berumur tujuh tahun. Audine justru jauh lebih terlihat seperti anak kecil yang baru dibelikan balon. Ocean tersenyum menikmati ekspresi gembira perempuannya dari balik layar.

“Don’t you realize? Semakin sini kamu juga semakin mirip sama aku dan oma tau, bahkan sama Alie.” Ocean meledek. “Look at your cheeks! Pipi kamu kayak bapau!”

Audine berdecih, memutar bola matanya sambil meneguk teh mawar dari dalam cangkir.

“Nanti pas aku pulang, bikinin aku ya! Wanna try your handmade roses tea. Pasti enaaak banget!” Ocean berseru riang.

Hahaha, with my pleasure!

“I will enjoy the tea along with the bread on your cheeks,” ujar lelaki itu dengan ekspresi jahil dan smirk tipis yang ia tarik sebelah. Membuat warna pipi Audine berubah senada dengan bunga mawar.

Menit-menit menuju waktu tengah malam di Jepang, tidak ada percakapan lagi setelah itu. Audine sibuk mencoret-coret buku agendanya, diiringi alunan keyboard dari Ocean, Meet again by Gianluca Podio. Lelaki itu sempat beranjak sebentar menuju kamar Aliesha di sebelah, mengambil satu keyboard berwarna putih yang ukurannya tidak terlalu besar. Ocean mengendap-endap tanpa suara demi tidak mengganggu adiknya yang telah terlelap.

Matanya menatap teduh ke arah perempuan di dalam layar. Audine menunduk, terlihat ujung pulpennya yang bergerak tengah menulis sesuatu di bawah sana. Ocean mengalunkan alunan melodi indah dari jari-jari yang menari di atas tuts. Gerak ranting-ranting pohon sakura tanpa bunga terbawa oleh angin mengayun seirama, seakan ikut menari mengikuti iringan melodi dari keyboard yang ia mainkan.

Bias cahaya terpantul dari sinar bulan, menyorot lembut menembus lapisan kaca. Bagai sorot lampu panggung yang mengarah tepat pada dua orang yang berbincang di belakang jendela. Ocean tersenyum merasakan hangat dari dingin suhu malam.

Kehadiran Audine di bawah cahaya bulan menciptakan suasana romantis pada Tokyo yang dingin, walau sosoknya terjebak di dalam layar, terpisah oleh jarak.

Tiba-tiba, satu titik benda putih pertama pada tahun ini jatuh dari langit, tepat gerak jarum jam berhenti di angka dua belas. 00.00 AM, first snow in Tokyo.

Ocean menghentikan gerak jarinya dari atas tuts. “Au, the first snow has fall!”

Sontak Audine langsung mengangkat wajahnya dengan mata melebar, menyingkirkan buku dan pulpen dari pangkuan, “BENERAN?!” “I’m gonna switch the camera, ayo Au kamu harus liat!” balas Ocean sangat antusias.

Lelaki itu mengalihkan tampilan ke arah kamera belakang, membiarkan Audine menyaksikan butir-butir salju yang kini turun semakin banyak. Perempuan itu memekik dengan mulut menganga. Wajahnya bergerak maju hingga berada tepat di depan kamera, seakan tidak mau kehilangan momen indah yang ia lihat untuk pertama kali di dalam hidupnya. Ocean terkekeh, buru-buru dirinya merekam layar.

Is the first snow-fall always be this beautiful? GOSH, ini pemandangan tercantiiik yang pernah aku liat selama aku hidup! Ocean.. i wish i was there.

“You already here. You are watching the first snow with me here, Au.” Lelaki itu membalas dengan penuh kehangatan.

Ocean kembali mengalihkan kamera depan. Kini sorot mata keduanya saling mengunci pada manik penuh bintang di antara salju yang turun. “Let’s make a wish,” ajaknya.

Audine mengangguk, perempuan itu memejamkan mata serta menyatukan kedua tangan. “I wish, i can see the first snow with you someday. In person.” Audine menyuarakan isi hatinya dengan mata terpejam.

Ocean terkekeh. “Okay, sekarang giliran aku.”

Lelaki dengan balutan sweater putih itu kini melakukan hal yang sama dengan Audine. Ocean memejamkan mata, mengucap rangkaian kalimat di dalam doanya.

“I wish, i can see the first snow with you someday, in person. Walking down in the path light between the prettiest canal in Otaru. Holding hands, kiss and hugging under the fallen snow. I wish, we can go to the Sapporo Festival and play with Olaf together, Au.”

Ocean mengakhiri kalimatnya seraya membuka mata, disambut oleh senyum manis Audine yang dari tadi terlempar teduh hanya kepadanya.

I miss you,” ucap Audine, membalas sederet harapan yang tersuara menjelajahi ruang telinga pada hening malam.

Di antara ribuan butir salju yang turun di atas kota Tokyo, jalan dan pohon sakura yang mulai diberi sentuhan warna putih bersih di bawah sinar bulan dan lampu kota. Ocean meniup scented candle beraroma laut di sampingnya sebagai penutup dari dua harapan malam ini, tepat pada jam tengah malam, lebih dua puluh menit. It’s the most wonderful zero o’clock session.

“00.20 AM record, from 4,819km, winter in Tokyo. I miss you more, Audine.”


Suara gebyuran air lagi-lagi terdengar bersahut dengan debur ombak yang berlari hingga ke hulu. Di atas hamparan pasir putih, matahari menyapa dari balik awan menciptakan selajur cahaya yang membuat riak laut seakan berkelip penuh bintang.

Aku tersenyum manis kepadanya, menyaksikan dia berlari antusias menemui laut biru membentang. Bercelana pantai tanpa sehelai kain yang membalut tubuh indahnya dengan satu ukir cantik di atas kulit perut, kini kembali menyatu pada rumah kelahirannya. Lelaki itu berenang bebas bersama ombak, tanpa ragu mengejarnya hingga garis batas. Sehingga aku harus berkali-kali duduk-bangun dari santai di atas pasir putih bak karpet sutra tanpa tepi untuk sekedar berteriak, “Jangan jauh-jauh!”

Terlihat pucuk kepalanya yang menyembul dari dalam air, berenang mendekat bersama buih ombak. Ocean berjalan ke arahku sambil menyibak rambutnya yang basah dengan jari, tubuhnya yang basah memantulkan kilau sang mentari dari warna kulit tan-nya yang cantik. Indah. Tanpa sadar membuat senyumku melebar akan permata laut yang bersinar di depan sana.

Dan semakin lebar saat aku mengingat, bahwa akulah si pemilik permata.

Tetes air laut dari ujung celananya berjatuhan di atas pasir, menciptakan jejak akan kepulangan samudra yang telah lama pergi.

Tatap mata kami bertemu. Lelaki itu menangkap senyumku yang lebar seperti keledai bodoh tengah tersorot kepadanya. Membuatnya menyeringai tipis menarik sebelah bibirnya. Damn, he looks so attractive.

Buru-buru aku memutar badan sebelum isi kepalaku semakin gila, mengambil satu buah handuk dari dalam tote bag.

“Looks like someone’s very happy to see me shirtless.”

Aku membalik badan dan Ocean sudah mengambil tempat di sebelahku sambil terkekeh meledek, bersama tetes air laut yang menetes deras dari ujung helai rambutnya. Aku berdecih sambil menahan rona malu yang untungnya telingaku tertutup oleh rambut. Aman, warna merah pada telingaku tidak jadi tertangkap oleh matanya.

Tanpa merespon pernyataannya yang memang benar, dengan jiwa kasih sayang dan keibuanku aku mengeringkan rambut dan badannya dengan handuk. Ocean yang begitu menurut, menggeser badannya mendekat seperti anak anjing manis yang mencari kehangatan pada induknya.

Ocean memperhatikan tanganku yang bergerak-gerak di depannya, diam-diam menatap kilau permata mungil yang melingkar di antara satu jari manisku. Lalu ia meraih sebelah tanganku dan membawanya ke depan wajahnya lebih dekat. Lelaki itu tersenyum sebelum mencium lembut punggung tanganku yang dihiasi satu benjolan kecil. Aku tersenyum.

“Au, kamu bosen ngga sih, selalu aku ajak ke laut?” tanyanya tiba-tiba, masih memegang sebelah tanganku.

Aku menggeleng dengan yakin, sambil menurunkan handuk dari atas kepalanya. “No, engga sama sekali.”

“Sebel ngga kalo aku selalu pengen laut jadi saksi for all the moments we create?” tanya Ocean lagi. Aku kembali menggeleng, kali ini sambil menarik garis senyumku. “Engga. You can create as many memories as you want, and let the sea be the first witness.”

Lelaki itu ikut tersenyum, kembali menggeser dirinya sehingga jarak kepala kami semakin dekat, aku bisa merasakan hangat dari deru napas yang menyapa wajahku.

“Kalo gitu, the sea has never seen us kiss.” katanya dengan suara rendah.

Mataku membulat, kupu-kupu terlepas dari sarang khusus yang mengurung kuat-kuat di dalam perutku.

“Let me kiss you, and let the sea watch.”

Ocean melingkarkan sebelah tangannya yang lain ke belakang pinggangku, lalu menarik tubuhku cepat tanpa aba-aba, menjatuhkan bibirnya di atas bibirku. Kecupan kecil, lembut yang sangat berarti. Yang kemudian tumbuh semakin besar, ia dengan mahir menggigit bibir bawahku, sebelum ia menelusupkan lidahnya dan semakin menarikku masuk ke dalam arus permainan. Membuat tanganku reflek menangkup rahang tajamnya demi menyeimbangkan permainan.

Di antara riuk suara ombak dan aroma laut menenangkan, aku memejamkan mata, membiarkan angin mengacak-acak helai rambut dan menikmati hangat dari ibu jari yang mengelus halus pada sebelah pipiku. Sahutan dari dua deru napas yang semakin tidak stabil, justru membuat lelaki itu bergerak lapar dan intens. Hingga nyaris mendorongku untuk terbaring di atas karpet kain pada hamparan pasir putih.

Dengan cepat aku mendorong dirinya menjauh karena aku mulai kehabisan oksigen. Untungnya lelaki itu paham akan sinyalku untuk melepas pagutannya.

“Okay, enough. The sea has already witnessed the paradise we created.” kataku pada hela napas yang belum stabil.

Ocean menatapku dalam dengan lengkung manis di atas bibirnya, seraya mengelus halus bibirku yang membengkak. Lalu berujar,

“Terhitung 240 hari dari sekarang. Let the sea hear the sacred promise that i will say to you, Audine. I mean, to you, my soon-to-be wife.”

Dan hari ini, setelah 240 hari terhitung.

Kedua daun pintu terbuka, menampakkan wanita dengan gaun putih dan satu mahkota manis di atas kepalanya. Bergandeng tangan pada sang ayah yang berdiri di sebelahnya, siap mengantarkan putri bungsu kesayangannya menuju lelaki dengan tuxedo putih penuh karisma, yang telah menunggu di ujung altar dengan manik berjuta bintang.

Bangunan dengan atap yang tinggi menjulang membentuk segitiga mengerucut. Tiap sisinya disusun oleh dinding kaca bening agar pemandangan pasir putih dan kilau biru kristal milik pulau dewata di sekelilingnya ikut menjadi saksi, akan satu janji suci yang sebentar lagi terucap. Pilar-pilar mini berdiri di sepanjang altar bersama cahaya lilin yang menari di atas chandelier kristal. Ada dua baris deretan kursi terpisah membelah altar, jumlahnya tidak lebih dari delapan puluh kursi.

Pernikahan diadakan secara tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Yang paling penting, tidak satu pun media dengan kilau blitz lensa paparazzi dibolehkan andil, demi menjaga hening momen sakral dari ricuh suara kamera.

Seluruh tatap berkaca-kaca jatuh kepada Audine. Perempuan itu berdiri dengan gaun tulle berukir kelopak bunga transparan berlapis payet, yang dihiasi kristal swarovski menjalar di seluruh gaun. Cantik bersinar hingga kilaunya mampu bersaing pada kerlip laut biru.

Tapi, gaun itu tidak lebih dari kecantikan peri teratai yang mekar semakin melebarkan kelopaknya. Peri itu tersenyum, bersama manis lesung pipit yang hanya ia tujukan untuk satu-satunya lelaki di ujung altar.

Ayah menaruh telapak tangan di atas punggung tangan milik putrinya yang melingkar pada sebelah tangannya. Audine menoleh, menatap ayah dengan sorot mata penuh haru karena sebentar lagi, tanggung jawab pria itu terhadap hidupnya akan resmi usai.

Kembali teringat sebongkah memori di dalam kepala ayah. Membawanya pada masa-masa di mana Audine kecil selalu berdiri bersama cahaya senja di depan teras rumah, menunggu dan menyambut wajah lelahnya setiap hari. Audine kecil akan berlari menabrakkan diri ke dalam dekapan ayah yang dengan semangat merentangkan kedua tangannya sembari tersenyum lebar. Seakan seluruh rasa lelah sirna begitu saja setelah suara nyaring itu menjelajahi ruang telinganya.

“Aku ngga mau menikah.” kata gadis kecil berumur sepuluh tahun tiba-tiba, membuat ayah tersontak menoleh dari fokusnya pada koran pagi.

Ayah terkekeh, menggeser diri lebih dekat pada putrinya. “Audine kenapa? Kok tiba-tiba ngomongin nikah? Emang kamu udah paham menikah itu apa?”

“Tau! Kayak Kak Nala kemarin.” jawab Audine antusias, seolah tahu betul jawaban sesungguhnya. “Setelah menikah, Kak Nala pergi dari rumah, ikut suaminya, terus ninggalin kita, ninggalin ayah. Aku ngga mau menikah, soalnya aku mau sama ayah terus.”

Ayah menjawab dengan nada mengayomi, sembari menyeruput kopi yang mulai mendingin. “Adek, yang namanya pertemuan itu ngga pernah jauh-jauh dari perpisahan. Kamu lahir ke dunia, ayah dipertemukan dengan kamu, peri kecil ayah. Caaantik, adek cantik banget waktu itu, semakin cantik sampai hari ini.” Pria itu mengusap-usap pucuk kepala sang peri kecil. “Tapi, suatu saat perpisahan itu pasti akan hadir. Dan adek ngga perlu takut, karena ngga semua perpisahan itu menyakitkan. Seperti Kak Nala.”

“Kenapa? Ayah kok ngga sedih ditinggal sama Kak Nala?” tanya Audine kecil dengan tatap polos.

Ayah menggeleng lemah seraya tersenyum, “Engga. Karena itu perpisahan yang bahagia. Bahagia untuk Kak Nala karena dia telah bertemu dengan pangerannya, dan bahagia untuk ayah karena ayah melepas Kak Nala untuk pergi bersama pangeran yang akan menemani hidupnya.”

Selayaknya anak kucing manis, Audine mendengarkan penuturan sang Ayah dengan fokus dan serius. Walau sesekali matanya tertuju ke arah televisi.

Ayah menyambung lagi kalimatnya, “Dan nanti, kamu juga akan bertemu dengan pangeranmu. Lalu ayah, akan kembali bertemu dengan perpisahan. Tapi Audine ngga usah khawatir, karena itu adalah perpisahan yang bahagia buat ayah dan mama.”

Kini hari itu tiba. Hari di mana ayah kembali bertemu dengan perpisahan, melepas putri kecilnya untuk pergi bersama pangeran pilihannya.

Ayah mengangguk dengan kerlip mata berkaca, “Adek, lelakimu sudah menunggu.”

Satu tetes air mata jatuh dari kelopak mata Audine, tanpa membalas tatap penuh kasih sayang milik sang ayah, Audine menunduk, menahan getaran bibirnya seraya mengatur deru napas akan tangis yang hampir meledak.

“Ayah.. terima kasih banyak…”

Pria itu menyeka satu jejak air mata yang membasahi pipi Audine tanpa menunjukkan raut kesedihan sedikit pun. Ayah tersenyum, dengan ikhlas membawanya menuju lelaki yang sudah menanti di ujung altar.

“Ayo, ayah harus mengantarkan kamu menuju samudramu.”

Audine menghembuskan napas haru akan perasaan tercampur, membalas tatap mata sang ayah dengan penuh rasa terima kasih, sebelum ia mengangguk tanpa perasaan ragu.

Suara alunan piano, turning page, yang lagi-lagi terputar mengiringi hari istimewa penuh memori. Dimainkan Keenan dengan penuh perasaan tulus terhadap hari bahagia salah satu sahabat hidupnya, teralun dari pojok ruang, mengiringi Audine berjalan di atas hamparan kelopak bunga putih di sepanjang altar.

Dan Ocean, menyaksikan wanitanya berjalan anggun menyusuri altar dengan manik mata penuh kekaguman. Mengagumi cantik dan indah akan paras semestanya, hingga tak terasa air mata mulai membendung. Ocean menengadahkan kepala beberapa kali, berusaha menahan agar air mata itu tidak jatuh. Sungguh, ada perasaan haru dan bahagia yang luar biasa saat Ocean memandangi Audine dengan balutan gaun pengantin.

Wanita itu berjalan dengan anggun bagaikan dewi air yang muncul dari dalam laut, di antara cahaya lilin yang menari-nari, menyapa seluruh tatap bahagia yang menyorot ke arahnya.

Jumlah tamu yang hadir memang tidak lebih atau pun mencapai seratus orang, tapi, ia bisa melihat seluruh dunianya di dalam ruang private berlatar belakang laut biru. Membalas satu-persatu manik mata dengan senyum manis dan lambaian tangan, sambil membawa satu buket tipe bunga nosegay, sederhana namun elegan.

Mama yang tidak berhenti menitikkan air mata di barisan kursi utama. Ghea yang lagi-lagi bawah matanya membengkak sembab. Nala dengan gaun putih senada dengan Carissa yang kini telah duduk di taman kanak-kanak, tumbuh semakin cerewet seperti dirinya. Dareen yang tidak perlu ditanya lagi, secampur aduk apa perasaannya karena dialah saksi akan sakit dan gelapnya Ocean, di saat lelaki itu hidup sendirian di dalam traumanya, sebelum akhirnya Audine datang memberi warna warni menepis abu-abu.

Dan Aliesha di barisan utama sisi lain, duduk berdampingan dengan kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca. Keduanya terbang dari Jepang, demi menyaksikan satu-satunya anak lelaki jagoan yang tumbuh mencintai samudra biru dengan penuh haru bahagia.

Juga jangan lupakan Aidan, bersama wanita di sebelahnya yang perutnya kini mulai membesar. Aidan yang selalu setia menemani Audine membalik beratus-ratus halaman buku kehidupan, membantunya menulis cerita hingga halaman terakhir.

Kini halaman terakhir ditutup dengan sempurna, oleh satu-satunya lelaki yang selalu berhasil membuat Audine jatuh berkali-kali.

Ocean dan seluruh samudranya, hadir sebagai air yang tidak pernah berhenti menyirami sang bunga agar tumbuh mekar dengan sempurna.

Tatapan mereka bertemu di antara langkah yang semakin dekat, cantik dari senyum wajah Audine mampu membuat manik mata Ocean berbinar tanpa bisa menahan senyum bahagia. Ocean memutar badan, memalingkan wajah dari Audine dan orang-orang di depan, menyembunyikan air mata yang dari tadi ia tahan. Air mata itu akhirnya jatuh.

Lelaki itu menyeka air matanya, disaksikan oleh kilau laut membentang yang berkilau disambut selajur cahaya mentari bagai hamparan berlian. Ia tersenyum pada laut biru, mengucap terima kasih yang tersuara dari dalam hati akan keajaiban baru yang kembali tercipta pada samudra di dalamnya.

Sambil menarik dan menghela napasnya sekali lagi, menepuk-nepuk dadanya menahan perasaan gugup. Dengan berani dan penuh percaya diri, Ocean memutar badannya, menyambut Audine yang kini telah dilepas sepenuhnya oleh sang ayah. Ocean membungkuk penuh hormat sebelum pria meninggalkan altar.

Dengan resmi Ocean menerima satu tanggung jawab baru yang dengan yakin akan dia jaga sepenuh hati, tanpa pernah sedikit pun terpikir untuk melukai.

Alunan piano berhenti, hening, hanya ada suara debur ombak menyapa telinga mengiringi suara sang officiant yang berdiri di antara keduanya. Menuturkan kalimat sumpah yang sebentar lagi akan terucap.

Keduanya berdiri saling berhadapan dengan jarak dekat. Senyum yang sama-sama merekah penuh perasaan bahagia, bersama genangan air mata yang ditahan kuat-kuat. Ocean meraih kedua tangan Audine, membawa perempuan itu ke dalam genggaman erat menuju awal dari kehidupan baru.

Audine mengangguk seraya mengelus lembut punggung tangan lelakinya dari dalam genggaman. Hingga tiba pada saatnya Ocean membalik sebelah posisi tangan, mengucap sumpah yang disaksikan oleh seluruh semesta.

“…. I promise to cherish you always, to honor and sustain you, in sickness and in health, in poverty and in wealth, and to be true to you in all things until death alone shall part us.”

Diikuti Audine, tanpa menghapus lukis bulan sabit yang tercipta pada bibirnya, ia membalik sebelah posisi tangan, mengulang sumpah yang sama dengan yakin, tanpa keraguan pada lelaki pilihannya.

Sumpah terucap.

Janji suci di antara semesta dan laut biru membentang, menyuara memecah langit berkumandang pada seluruh cakrawala. Kilau cincin yang terlingkar pada masing-masing jari manis, menjadi penutup akan segala rasa sakit dan takut yang terjebak di dalam diri. The goodness of suffering is real.

Ocean menarik pinggang Audine mendekat, disaksikan oleh seluruh kerabat dengan manik berjuta bintang penuh harap bahagia. Lelaki itu tersenyum tipis seraya berbisik hanya kepada perempuannya,

“Au, thank you for standing beside me, helping me for turning the page, and close the story with a happy ending we made.”

Audine menarik simpul pada bibirnya semakin lebar, tanpa ragu menjatuhkan kecupan ringan di atas bibir Ocean sebagai respon dari kalimat manis yang lagi-lagi terucap dari mulutnya. Bersamaan dengan sorak bahagia dari para kerabat, dan alunan turning page yang kembali bersuara. Ocean memagut lembut bibir wanitanya bersama seluruh perasaan yang akan terus abadi, tumbuh semakin besar setiap harinya.

“I love you,” ucap Audine di sela pagutannya, menatap dengan binar mata penuh keteduhan.

Ocean membalasnya dengan penuh perasaan dalam, “I love you, unconditionally.”

Dua manusia rapuh yang dipertemukan lewat keajaiban tak terduga, dua manusia yang sama-sama tumbuh akan ketidaksempurnaan. Berhasil menjadi satu bukti bahwa kebaikan di dalam kesengsaraan akan selalu hadir menutup halaman terakhir pada suatu cerita.

Dan pada akhirnya, Sang samudra bertemu pada lautnya, dan sang bunga teratai, berhasil menemukan rawanya.