151; Sadder but wiser
Udara dingin terus memeluknya, tidak peduli kalau ada lapisan jaket membaluti tubuh. Kehadiran Anjani disambut oleh samar sahut percakapan yang tembus dari balik pintu masuk, perempuan itu melirik jam pada layar ponsel, masih jam setengah 10 malam dan suasana kafe tidak sesepi tengah malam. Sepertinya, semakin hari semakin banyak orang yang mulai mengenali kafe di lantai basement. Dan itu membuatnya harus berjalan cepat ke arah meja di samping piano sebelum ada orang lain yang menduduki. Meja di samping piano biasanya jarang ditempati, karena letaknya berada di tengah-tengah sehingga membuat seluruh fokus seperti terpusat ke arahnya. Setelah memesan satu cangkir minuman hangat, Anjani segera pindah ke kursi panjang di sebelahnya untuk memainkan piano. Berpasang-pasang mata memandangnya dengan penuh penantian, denting tuts hitam dan putih segera mencuri perhatian di antara sorot hangat lampu pijar. Satu lagu, dua lagu, tiga lagu.
Susunan tangga nada disuarakan oleh jari jemarinya tanpa terasa. Anjani tidak lagi merasakan sakit di atas tuts, tidak merasakan adanya serangan memori pada denting berbunyi, dan Anjani tidak memedulikan suara tepuk tangan mau pun kata pujian akan pertunjukannya. Karena isi kepalanya saat ini, dipenuhi oleh gema kata egois yang ia lontarkan pada Akhailan, dan satu kalimat terakhirnya yang membuat Atharya terdiam. Jelas lapisan jaket tidak dapat memberi kehangatan sebab Anjani tengah dipeluk oleh rasa bersalah.
Anjani tahu kalau dialah yang bersikap paling egois. Kekhawatiran dan ketakutannya akan sendirian membuat dukungan yang seharusnya Anjani utarakan berubah menjadi kemarahan. Jauh di lubuk hatinya, tidak pernah kurang dari seratus persen presentase dukungannya pada Akhailan dan Atharya. Tidak pernah sekali pun ia kecewa dengan keputusan dua saudaranya untuk pergi mengejar mimpi masing-masing.
Anjani hanya takut, kalau pamitnya Akhailan dan Atharya tidak diakhiri dengan kepulangan. Dan berakhir pada pamit yang diakhiri dengan perpisahan, untuk selamanya, seperti apa yang dilakukan kedua orang tuanya 4 tahun lalu.
Mereka berjanji akan pulang, mereka berjanji akan kembali. Iya, mereka benar-benar kembali.
Kepulan asap di atas secangkir cokelatnya sudah tak lagi menari-nari, Anjani terus meluapkan emosi malam ini lewat alunan piano, bahkan di beberapa ketukan, temponya terdengar penuh hentakan seakan ada sesuatu yang ikut meledak di dalam kepalanya.
Tiba-tiba, sodoran secangkir cokelat yang telah mendingin menghentikan permainannya.
“Cokelatnya udah hampir dingin. Mau gantian? You drink the chocolate, and I take over the piano,” ucap Aleon, entah dari kapan namun sekarang telah berdiri di sampingnya, dengan striped sweater berwarna maroon—semi turtle neck, penampilannya sudah terlihat seperti seorang musikus yang siap memimpin pertunjukan klasik.
“Leon, gue kan udah bilang nggak usah pulang.” Anjani protes bersama tautan alisnya.
“Gue juga udah bilang kalau gue mau pulang.” Aleon membalas, tidak mau kalah.
Sedikit perempuan di sampingnya kembali merasa bersalah, tapi Anjani merasa suasana akan segera baik-baik saja begitu melihat mata cokelat Aleon. “Thank you, maaf kalau ngerepotin,” timpal Anjani seraya mengambil secangkir minuman.
“Gue seneng direpotin. Makasih udah ngerepotin.”
Sebelum diminta, Anjani sudah menggeser duduknya tanda mempersilakan Aleon untuk duduk di sampingnya. Membiarkan lelaki itu memainkan judul lagu sama dengan yang barusan ia mainkan, Right Here Waiting by Jim Brickman sementara ia meneguk secangkir cokelat yang mendadak kembali terasa hangat begitu Aleon mengambil alih melodi.
Lelaki itu membuka suara. “Kalau lo mau sambil cerita, cerita ya. I’m multitasking, I can focus on you and the melody at the same time.”
“You’re so talented, by the way.” Anjani berusaha megalihkan topik setelah hampir tersedak oleh tegukan cokelat. Deretan kalimat yang keluar dari mulut Aleon sekarang berpotensi membuat warna telinganya menjadi mudah memerah. “Lo selalu kenal sama judul-judul lagu yang gue mainin, gue penasaran referensi musik lo sebanyak apa.”
Aleon terkekeh. “River Flows In You itu lagu paling mainstream di setiap telinga orang. And now, Right Here Waiting, lagu punya Richard Max yang gak akan abis dimakan zaman. You know that old songs don’t only belong to millennials but the whole eaaaarth!”
“Setuju. Malah, telinga gue terkesan lebih familiar sama lagu-lagu 90-an. Kenapa ya? Padahal gue nggak pernah merasa pernah denger lagu-lagu itu, tapi gue selalu merasa gak asing. Bahkan, gue merasa kalau ada memori menyenangkan yang ikut kebawa, aneh, lahir ke bumi aja padahal belum. Apa karena dulu sering denger dari orang tua gue?” kata perempuan berusia 18 tahun yang bahkan saat itu wujudnya belum terbentuk.
“Ya kayak yang gue bilang tadi. Lagu-lagu 90-an gak pernah dimakan zaman. Mungkin, karena melodi-melodi mereka yang sederhana dan selalu berhasil masuk ke selera musik semua orang. Simple things will be easy to catch.”
“Oh, I wish I could say what’s on my head in a simple way so it’s easy to catch, then,” tutur Anjani. “Gue baru sadar kalau selama ini, sikap gue emang berlebihan. That’s why no one understands me.”
Aleon menghentikan permainan pianonya dan segera menoleh. Ia melihat bagaimana gusarnya tatap Anjani jatuh ke dalam cangkir. Tatap sendu yang mungkin bisa membuat cokelat di dalamnya membeku.
Lelaki itu mengambil cangkir dari tangan Anjani, menyimpannya ke atas meja sebelah, lalu kembali menaruh fokus pada perempuan di depan.
“Jani, kenapa?” deham lelaki itu, lembut.
Tatapan Aleon terjatuh lama pada manik mata Anjani sebab perempuan itu memilih diam untuk beberapa detik. Di dalam sana, terdapat satu titik cahaya asing yang tidak dapat Anjani temukan dari titik-titik sorot lampu pijar. Bujuk dari sepasang mata cokelat Aleon menyuarakan kekhawatiran dengan cara yang Anjani mau.
“Mas Ai…,” jawabnya. “Hari ini, Mas Ai bilang kalau salah satu maskapai impiannya kembali buka kualifikasi. Dari pertama kali Mas Ai masuk sekolah pilot, setiap kali ditanya maskapai impian jawabannya gak pernah berubah. Mas Ai selalu pengen bisa nerbangin pesawat keliling dunia, Mas Ai gak pernah capek buat ngejalanin semua proses sampai dapetin pangkat kapten yang jadi mimpinya dari kecil. Dan maskapai ini, adalah peluang besar untuk membuat orang-orang mengakui kemampuan yang Mas Ai punya. Tapi… I feel like, I can’t let him go.”
“Kenapa? Maskapai itu bukan di Indonesia?”
“Di Dubai. Jauh banget, Aleon.” Anjani menggeleng. “Gue gak tau kenapa gue gak pernah bisa sampein kekhawatiran gue dengan sederhana. Dibanding mengutarakan, gue lebih sering ngeluapin pake emosi.
“Nyatanya, hal-hal sederhana justru lebih menyulitkan dibanding hal rumit. Terlalu sulit buat gue untuk jujur kalau gue takut pamitnya Mas Ai berakhir tanpa kepulangan seperti orang tua gue. I would sound overdramatic, but I really hate goodbye. Aleon, gue benci kata pamit.”
Lalu disambung dengan menceritakan bagaimana Anjani tiba-tiba pergi meninggalkan kedua saudaranya tanpa menyumbang keputusan. Perempuan itu tidak tahu atmosfer apa yang saat ini sedang tercipta di dalam kamar.
Kepergian orang tuanya tidak hanya meninggalkan kehancuran bagi Anjani, namun juga trauma. Hal-hal sederhana yang mampu melemparnya kembali ke dalam pelukan selamat tinggal sebelum orang tuanya berangkat hari itu. Kalau saja Anjani tahu, itu adalah kesempatan terakhirnya untuk merasakan hangat dari dekap ayah dan ibunda, Anjani akan meminta waktu lebih lama lagi untuk mengingat aroma tubuh malaikat hidupnya yang semakin hari semakin samar di dalam kenangan.
“Aleon, I miss them… Kalau Mas Ai bener-bener pergi, gue gak sanggup untuk nahan rindu ke banyak orang.”
Dan, di antara sahut menyahut pengunjung yang mulai menghilang satu per satu, akhirnya Anjani meloloskan air matanya.
Melihat bagaimana Anjani menunduk dan menopang wajahnya yang basah menggunakan kedua telapak tangan, bohong kalau Aleon tidak ingin menawarkan bahu untuk bersandar. Berkali-kali ia memikirkan apakah tindakannya akan membuat perempuan itu tidak nyaman sebab terlalu lancang. Hingga pada akhirnya Aleon hanya memilih untuk menepuk-nepuk bahu Anjani.
“Anjani, lo tadi kan bilang kalau lagu-lagu 90-an bisa kasih memori menyenangkan tanpa sebab. Kebetulan banget, gue bawa tape recorder, baru aja dibalikin sama Valo.” Aleon mengalihkan topik demi mengajak Anjani keluar dari kesenduan.
Sekotak walkman yang dililiti oleh kabel headset dikeluarkan dari dalam tasnya. Itu adalah alat pemutar pita kaset yang fonemenal sebelum lahirnya pemutar musik digital. Ditemukan di Jepang pada tahun 1979. Selanjutnya, ia juga mengeluarkan satu kotak kaset bersampul biru, bertulis Boyz II Men – II (1994, Cassete).
Anjani mengangkat kepalanya, untungnya tangis hari ini bukanlah tangisan hebat. Hanya ada sisa-sisa lembab dari air mata pada kedua pipinya.
“Here’s our classic-old-fashioned boy. Gak cuma suka lagu jadul tapi lo masih suka dengerin lagu dari walkman, keren.” Anjani memuji.
“Boyz II Men, tau nggak? I love their songs so much!” Yang dipuji tak kalah antusias.
Tidak mungkin Anjani tidak tahu. Lagu-lagu dari grup trio vokal Amerika yang terdiri dari Nathan Morris, Wanya Morris dan Shawn Stockman itu selalu mengisi udara jam 6 pagi kala keluarganya masih utuh. Lalu setiap berpergian, radio mobil tidak pernah sekali pun absen dari lagu-lagu Boyz II Men kesukaan K’s.
Begitu melihat perempuan di depannya mengangguk-angguk sampai geraian rambutnya bergerak-gerak, Aleon segera memberikan sebelah tali headset pada Anjani untuk mendengarkan bersama.
“Oh my god, I swear it’ll bring back my memories. Kalau ini beneran ada memorinya!” seru Anjani ketika instrumen lagu mulai bertamu pada ruang telinga.
“Darlin’, I, I can’t explain. Where did we lose our way. Girl, it’s drivin’ me insane.”
Anjani bersenandung untuk pertama kalinya di depan Aleon, memperdengarkan suara merdunya yang tidak pernah Anjani tunjukan ke siapa pun selain ayah, ibu, Akhailan dan Atharya. Perempuan itu bernyanyi selayaknya ada sapaan pohon-pohon hijau di kiri dan kanannya, bersama pemandangan kedua orang tuanya yang sama-sama bersenandung di jajaran kursi pengemudi.
“And I know I just need one more chance, to prove my love for you.”
Dan, giliran merdu suara Aleon ikut unjuk gigi. Suara yang berhasil membuat Anjani semakin kagum dengan bakat musik yang dimiliki oleh Aleon.
Perempuan itu membulatkan mata antusias, menatapnya penuh senyuman, dan melanjutkan lirik selanjutnya.
Reflek Aleon menjatuhkan lagi jari jemarinya ke atas tuts piano, memainkan judul yang sama seperti apa yang tengah mereka dengarkan melalui walkman. Kini, senandungan keduanya tidak hanya dinikmati oleh seorang diri, tapi mereka mempersilakan sisa pengunjung kafe untuk ikut sama-sama merasakan nostalgia dari suara mereka, bersama iringan piano.
“Can we go back to the days our love was strong? Can you tell me how a perfect love goes wrong? Can somebody tell me how to get things back the way they use to be? Oh god, give me a reason. I’m down on bended knee.”
On Bended Knee. Ini adalah lagu yang menggambarkan keruntuhan cinta seseorang. Tentang kenyataan hubungan yang kian semakin memburuk. Namun malam ini, lagu tersebut memberikan makna lain bagi Aleon dan Anjani. Tentang adanya memori baru yang akan segera abadi di dalam lagu.
Ada ucapan terima kasih yang seolah tersuara dari pancaran mata Anjani begitu perempuan itu menoleh pada Aleon. Dan Aleon, mengucapkan kembali kasih lewat senyuman manis.
“Now you look better, so I can give you a response,” ucap Aleon. “Tentang curhatan lo yang tadi, boleh gue jawab sekarang?”
Perempuan itu mengangguk tanpa ragu.
“Jani, setiap manusia punya ketakutannya masing-masing. Kita sebagai orang yang nggak tau bagaimana hidup di dalam kekacauan isi kepalanya gak layak untuk sembarang mengatai dia overdramatic. Mungkin beberapa orang memang harus disadarin kalau rasa paniknya berlebihan. Tapi, lo nggak begitu. Ketakutan yang lo punya memang sebesar itu, I can feel it.
“Let them know, kasih ruang buat Mas Khai dan Atha ikut ngerasain sebesar apa ketakutan yang lo punya. Supaya mereka tau, dan membantu lo keluar sama-sama. You are siblings. Tali persaudaraan kalian lebih kuat dibanding rasa takut yang lo pendam sendiri. Tell him, it’s okay. No one will call you overdramatic, I’ll handle if any.
“Tapi gimana kalau setelah mereka tau, mereka berujung menyepelekan karena menganggap perasaan takut yang gue punya nyatanya emang bukan apa-apa bagi mereka? Gak semua orang mau mencoba memahami pov orang lain,” sanggah Anjani.
Aleon menggeleng. “Akan lebih menakutkan kalau Mas Khai gak tau sebesar apa kekhawatiran yang lo punya dan membuat lo bertanya-tanya sendirian akan seperti apa respon mereka.”
Rangkaian kalimat yang mendapatkan anggukan lemah dari perempuan di depan.
Lelaki itu memajukan sedikit tubuhnya mendekat, lalu melepas sebelah headset yang masih menyumpal telinga Anjani. Ia tersenyum sebelum berbicara, lagi.
“Terus, buat ketakutan lo kalau Mas Khai jadi pergi ke Dubai, lo jangan terlalu khawatir dulu. Kan, Mas Khai masih harus lewatin proses rekruitmen yang belum tentu juga Mas Khai bener-bener bisa pindah maskapai,” lanjutnya. Nada bicara Aleon sama sekali tidak terdengar menghakimi. “One thing you should know, yang mungkin udah sering juga lo denger. Kalau manusia nggak akan mungkin diberi beban mau pun perasaan yang gak akan bisa kita handle.
“Jadi, kalau nanti Mas Khai keterima di maskapai baru, itu artinya Tuhan tau lo bisa hidup berjauhan sebentar sama Mas Khai. Dan artinya, semua akan baik-baik aja. Begitu juga sebaliknya, kalau perasaan lo gak sekuat itu, Tuhan gak akan biarin lo jauh dari Mas Khai, dan Mas Khai akan tetap di sini. Jadi, jangan takut untuk kasih Mas Khai kesempatan. Karena jawaban itu akan ada setelah lo berani kasih keputusan.”
Tiap bait kalimat diserap sempurna oleh Anjani, tanpa interupsi suara-suara lain yang terhantar lewat udara. “I’m glad because I chose the right person to discuss. Makasih ya, Le, udah repot-repot pulang.” Anjani menarik senyumnya dengan sempurna.
Lelaki beraroma hangat di depannya tertawa kecil. “Thank you for letting me to speak through your smile too.”
Anjani membuang muka, membiarkan uraian rambutnya menutupi sebelah wajahnya. Ia tidak bohong saat mengakui kalau Aleon semakin berpotensi untuk membuat wajahnya mudah merona merah.
“Gue ke toilet sebentar, abis ini kita balik ke kamar,” izinnya, lalu melipir meninggalkan Aleon di kursi piano.
Ketika Anjani terlalu fokus berjalan sembari menatap ujung sandalnya, mata Aleon mengikuti ke mana punggung Anjani pergi, masih sambil terkekeh.
Menunduk, terlalu fokus. Pikiran Anjani terhadap kalimat-kalimat Aleon mampu membuatnya lupa untuk menyembunyikan sesuatu di balik rambut panjang yang selalu dia gerai. Sehingga tanpa sadar perempuan itu mengeluarkan satu ikat rambut dari saku jaket, dan mengikat rambut panjangnya tanpa tahu kalau Aleon masih mengamati dari tempat duduk.
Ada satu buah tato kecil di atas tengkuknya yang selama ini ia sembunyikan dari Akhailan dan Atharya, dibuat tepat saat umurnya memasuki usia legal. Satu kata pendek bertulis Cerulean, dengan satu tanda titik koma—semicolon di tengah sana sebagai pengganti huruf L.
Cerulean yang berarti biru langit. Dan tanda semicolon, sebagai simbol pengingat untuk mengendalikan diri untuk berhenti menyakiti diri atau bahkan lebih dari itu.
Di saat mereka berniat untuk mengakhiri, tetapi mereka memilih untuk tidak mengakhirinya. Semicolon.