198; He never told anyone about his loss


Jam setengah 5 pagi. Ini adalah rekor mengawali kegiatan terpagi bagi Anjani selama dua bulan tinggal di apartemen. Hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk ikut berpartisipasi pada acara festival sekaligus kegiatan amal tahunan di salah satu panti asuhan yang diselenggarakan oleh Rumah Cemara, organisasi kakak asuh yang diikuti Aleon dari tahun pertamanya kuliah. Karena lokasinya berada jauh dari pusat kota, waktu keberangkatan dijadwalkan lebih awal untuk menghindari macet ke arah puncak.

Udara dingin di luar sudah bisa dirasakan dari titik-titik embun yang menguap pada kaca jendela raksasa di ujung lorong. Jalanan masih sepi, banyak ruang kosong tercipta di antara deret lampu jalan yang memberikan cahaya seorang diri sebab langit masih gelap gulita.

Anjani mengerahkan pandang ketika mendengar suara gagang pintu dari arah kamar Aleon. Bersama tas biola di punggungnya, lelaki itu melambaikan tangan seraya tersenyum, rambut basahnya terlihat lebih segar dibanding wajah bantal yang masih tampak merindukan kasur.

“Tumben pake masker? Sakit?” Senyuman Aleon meluruh saat melihat Anjani menggunakan jaket bulu tebal dan juga masker, lengkap bersama bucket hat yang semakin menyembunyikan wajahnya.

“Enggak. Emang cuma orang sakit yang boleh pake masker?” sahutannya terdengar ketus, seperti menunjukan kalau dirinya tidak mau ditanya.

“Terus kenapa pake masker?”

“Ya pengen aja. Udah ayo jalan, sia-sia lo nelponin gue dari jam setengah 4 kalau ujung-ujungnya kita kejebak macet cuma karena bahas masker.” Anjani mengambil kanvas berukuran sedang yang dari tadi ia sandarkan pada dinding, dan menarik ujung jaket Aleon supaya lelaki itu melangkahkan kaki.

No, wait, lo mencurigakan.” Aleon melepas rematan tangan Anjani dari jaketnya, membuat perempuan itu menoleh.

Hanya kain masker dan topi yang bisa dilihat saat Aleon menatap wajah Anjani, tapi dari hentakan kalimat yang tersuara, Aleon bisa melihat tatap mata galak walau terhalang topi.

“Apa sih, Leonnn! Masker aja dipermasalahin kan cuma—”

Kalimat Anjani langsung terputus begitu Aleon menangkup kedua pipinya secara tiba-tiba. Aleon menyalurkan perasaan cemas lewat binar mata yang sekarang hanya berjarak satu jengkal dari wajah Anjani. Itu membuat napas Anjani tertahan dengan sendirinya.

“Oh iya, enggak panas. Lo beneran gak sakit, ya?” tanyanya lugu pada perempuan yang sedang berusaha kuat agar tidak mati atau tiba-tiba jantungnya meledak. “Tapi kok pake masker?” Ia bertanya lagi, apitan tangan pada pipi Anjani semakin menguat.

“AH!” Anjani tiba-tiba meringis. “Jangan neken pipi gue!” Dan membuang tangkupan tangan Aleon dari pipinya.

Mengalah sebelum jarak wajah keduanya semakin dekat, akhirnya Anjani menurunkan maskernya, dan memperlihatkan satu buah jerawat, merah seperti bentol tepat di tengah-tengah pipi kanannya.

“Ah, I hate this. Masih jadi misteri kenapa jerawat gede selalu tiba-tiba muncul setiap kali ada acara penting atau gue perlu ketemu banyak orang, kenapa munculnya gak kemarin pas gue cuma di rumah doang coba.” Anjani merengut, “Jangan sentuh-sentuh pipi gue! Sakit tau!”

Sama sekali tidak terpikirkan bagi Aleon kalau alasan Anjani menutupi seluruh wajahnya adalah satu buah jerawat yang tidak-sebesar-itu.

Aleon tertawa menyebalkan. “It’s just a normal pimple and acne’s normal, Jani. Nggak akan ada yang peduli,” ujarnya.

No, they are! Emang menurut lo kenapa banyak orang insecure setiap kali kulit mereka lagi bermasalah, break out, even cuma muncul satu atau dua jerawat? Ya karena permasalahan kulit mereka selalu dijadikan pusat perhatian, I mean ok, I’m currently having an acne and you don’t need to point it out to me.” Anjani memasang lagi maskernya hingga menutupi setengah wajah.

Well, gue gak bisa menutup fakta kalau masih banyak orang-orang seperti itu. Tapi seenggaknya lo sama gue sekarang.” Lelaki itu menekankan. “Gue bisa liatin balik dengan tatapan yang lebih galak ke orang-orang yang jadiin jerawat lo sebagai pusat perhatian.”

Anjani bergeming, namun tidak ada yang tahu kalau dibalik masker dan topi itu ada bulatan pipi menyembul akibat tarikan bibir. Kalimat Aleon sangat nyaman didengar dam membuat Anjani merasa aman.

“Tapi kalau lo merasa lebih nyaman ditutupin, it’s okay tho. Di bawah ada drugstore yang buka 24 jam, ayo kita beli acne patch dulu, for baby tomato.”

Baby tomato?” Anjani bertanya, bingung.

Baby tomato. You’re still pretty with your baby tomato on your cheek,” jawab Aleon, lalu mengambil lengan Anjani untuk kembali meremat ujung jaketnya.


Setelah disuguhi pemandangan jalan tol yang semakin menanjak sampai deretan gedung pencakar langit terganti oleh labirin kebun teh di sepanjang jalan, akhirnya keduanya tiba lebih dulu di tempat tujuan. Panti asuhan itu cukup besar untuk dihuni oleh para staf dan anak-anak asuh dengan jumlah tak lebih dari 20 orang. Terlihat biasa saja dari luar, namun sebenarnya mereka menyembunyikan panorama indah. Ada dua gunung kembar yang akan segera menyambut begitu tiba di halaman belakang. Bahkan kepulan kabut pun tidak mampu menghalangi kehijauan alam di sana.

​Turun dari mobil, kehadiran mereka disambut oleh senyum sapa para staf dan suara anak-anak berlarian di halaman belakang. Ada tiga booth makanan manis yang terpencar, dan tercium aroma susu hingga roti hangat yang bercampur dengan segar embun pagi. Sebagian halaman sudah dipisahkan untuk tempat berlangsungnya lomba. Barisan meja lipat dihinggapi kanvas mini, dan di sisi lainnya ada panggung kecil yang mengarah ke gunung, di mana para peserta lomba menulis akan membacakan hasil karyanya. ​ Bruk!

​“Aw!” Seorang anak laki-laki menabrak sisi kanvas yang dibawa oleh Anjani. Ia terlihat terkejut, matanya terlihat sangat bersih dan sehat. Manis, berkulit sawo matang.

“Kakak, maaf ya, aku enggak liat,” sesalnya, anak itu membungkukan badan, dan tersenyum bersama raut panik.

“Liu, Hati-hati! Sakit nggak jidatnya?” Aleon menyamakan posisi pada anak lelaki bernama Liu, mengusap-usap lembut permukaan dahinya. Liu menggeleng dan tersenyum.

Mengikuti Aleon, Anjani juga turut menjongkokan badan. Setelah itu, fokusnya langsung terarah pada bulatan merah di salah satu pelipis Liu. “Pelipis kamu? Ini gara-gara kepentok kanvasku?”

Liu menggeleng polos. “Enggak, bentol.” Lalu anak itu menyengir.

Ketiganya tertawa. Aleon melirik ke arah pipi kanan Anjani yang sekarang sudah ditempeli oleh acne patch berbentuk bunga warna ungu, sungguh kebetulan yang menggemaskan sebab bentol pada pelipis Liu sama merahnya dengan bulatan jerawat di pipi Anjani. Tidak hanya Aleon, Anjani juga menertawakan hal sama.

Perempuan itu mengeluarkan kotak kecil dari dalam tas, mengambil lembaran bening dan mencabut satu acne patch berbentuk sama untuk ia tempelkan pada bentol di pelipis Liu.

“Aku juga punya jerawat kayak bentol kamu sekarang, hahaha nih, aku tempelin stiker biar keren. Kamu mau pake juga gak? Supaya bentol kita temenan,” katanya seraya menunjuk pipi sendiri. Aleon semakin tertawa geli melihat Anjani sudah berhasil damai dengan satu bayi tomat di pipinya.

“Warnanya ungu semua? Yaaah, aku kan bukan perempuan, nanti aku jadi kayak perempuan.” Seketika Liu menyuarakan kekecewaan.

“Kata siapa warna ungu cuma boleh dipakai perempuan?” Aleon menyahut. “Laki-laki boleh kok pakai warna ungu, pink, merah, tanpa harus dianggap seperti perempuan. Pakai stiker warna ungu kayak yang dipakai Kak Anjani gak akan mempengaruhi kamu sebagai laki-laki, Liu, karena mau bagaimana pun kamu sudah terlahir sebagai laki-laki. Kalau ada yang katain kamu, bilang aku, nanti aku omelin.”

Ada dua reaksi tercipta begitu kalimat Aleon terlantun. Liu yang mengangguk paham, dan Anjani yang tertegun kagum dengan kepandaian Aleon dalam bereinteraksi pada semua kalangan.

“Gimana? Mau aku pakein gak?” tanya Anjani pada Liu.

Liu mengangguk, dan mendekatkan pelipisnya. “Terima kasih, Kak Anjani.” Anak lelaki berusia 10 tahun itu menekan-nekan acne patch pada bentol di pelipisnya, tampak antusias seolah menemukan hal baru. Ia kembali membungkuk sopan, dan berlari menghampiri teman-temannya.

“Dulu, persis waktu usia gue sama kayak Liu,” Aleon berbicara seraya kembali pada posisi berdiri, “Gue pernah kesel sampe nangis, dan marah-marah ke ayah karena beliau beliin kemeja pantai warna pink, terus temen-temen gue liat waktu main ke rumah dan pas-pasan bajunya lagi dijemur. Gue diketawain, dibilang kayak cewek, dan kalimat yang tadi gue sampein ke Liu adalah kalimat yang disampein ayah waktu itu.

“Gue seneng bisa sampein kalimat itu ke Liu, karena Liu perlu denger kalimat-kalimat hangat seperti itu walau bukan dari mulut orang tuanya.” Masih melanjutkan kalimat, Aleon dan Anjani masih berdiri di tempat yang sama, memandangi kegembiraan anak-anak panti asuhan ketika teman-teman dari sekolah luar mulai berdatangan. “Liu gak tau siapa orang tuanya, kata ibu panti, Liu tiba-tiba ada di depan pintu waktu kulitnya bahkan masih merah. Sama halnya dengan beberapa anak lain di sini.”

“Setiap denger kasus orang tua buang anak, sampai sekarang gue nggak pernah bisa paham apa alasan paling masuk akal sampai mereka tega membuang darah daging sendiri,” timpal Anjani.

“Ya karena, memang tindakan itu gak akan pernah bisa diterima oleh akal. Nggak ada manusia berakal yang tega membuang anak sendiri.”

Sambil melempar sorot mata iba pada riungan anak-anak panti, Aleon mengembuskan napasnya berat. “They are all too precious to be born by parents who never wanted their presence.”

Perempuan di samping mengangguk setuju. “Dan terlalu menyakitkan, sekarang mereka harus menjalani hidup tanpa rumah yang sebenarnya.”

We are home for them. Sebagai anak yang sama-sama kehilangan rumah, kita bisa menjadi rumah untuk satu sama lain.” Aleon menoleh, lalu menarik senyuman manis. “We can be home for each other, Jani.”

“Leon, you never told me about your loss. Can we… visit your parent’s grave someday?” Intonasi Anjani terdengar memelan, bertanya sangat hati-hati karena khawatir akan membangkitkan sisi kesedihan lelaki di sampingnya. Yang ditanya tampak terkejut.

Kabut mulai menghilang seiring tingginya pergerakan matahari, bulir embun pada rumput hijau ikut pecah membasahi pijakan alas kaki. Hitungan angka satu dua tiga dari suara mic menjadi penanda kalau acara akan dimulai sebentar lagi, bersamaan dengan kehadiran seluruh anggota Rumah Cemara yang datang menggunakan kaus sama. Mereka saling menyapa, para anggota lain saling berkenalan tanpa sedikitpun membuat Anjani merasa asing di antara anggota organisasi.

Hampir menjawab, ada suara panggilan dari seorang wanita paruh baya di antara pilar pembatas rumah menuju halaman. Aleon memalingkan wajah ke arah suara. Anjani bisa melihat bagaimana binar sendu Aleon tiba-tiba bersinar selayaknya mentari pagi begitu melihat wanita itu. Bersama tas biola yang masih pada gendongannya, ia berlari, segera memeluk wanita bernama Fitria yang telah merentangkan tangan lebih dulu.

“Itu Ibu Fitria,” celetuk Olin, menggeser dirinya lebih dekat pada Anjani. “Dari kemarin kita prepare ke sini, Leon nanyain terus beliau bakal dateng apa enggak. Katanya, Ibu Fitria itu pengurus panti sebelum ibu panti yang sekarang.”

“Oh ya? Berarti, Leon emang udah dari lama kenal panti asuhan ini?” Bisa didengar dari naiknya suara Anjani yang lagi-lagi dibuat terkejut oleh Aleon.

“Lokasi hari ini pun memang atas usulan Leon.” Giliran Kalil ikut membalas.

Olin meneruskan lagi. “Waktu di depan tadi, aku gak sengaja denger obrolan Ibu Fitria, bisa jadi aku salah denger. Intinya, beliau nggak hanya kenal Leon, tapi juga dengan ibunya Leon. Katanya, dulu ibunya Leon rutin main musik untuk anak-anak panti di sini. She was a cellist.”

Tidak lama, Aleon yang tadi pergi masuk ke dalam panti kembali keluar sembari membawa satu buah cello ke atas panggung untuk dimainkan sebagai pembukaan acara menggantikan biolanya. Itu adalah cello yang secara sengaja ditinggalkan ibunya untuk memberikan terapi musik pada anak-anak di panti asuhan.

Di saat gesekan nada sudah siap ditarik, seluruh pandang takjub mengarah fokus pada Aleon di atas panggung, hanya Anjani yang mengalihkan pandang. Entah mengapa melihat Aleon bersama cellonya justru membuat Anjani merasa sakit. Merasa bersalah, karena tidak pernah tahu kesedihan seperti apa yang disembunyikan oleh Aleon selama ini.

Anjani lagi-lagi bertanya. “Kak Olin, sejak kapan Leon ditinggal sendiri?”

“Aku gak tau, kita semua gak tau.” Olin menggeleng pelan. “He never told anyone about his loss.”

Festival berlangsung. Situasi ramai namun tetap kondusif, sebagian anak yang tidak mengikuti lomba berlarian menghampiri tiap-tiap meja, mengintip pola lukisan di atas kanvas masing-masing peserta. Begitu juga dengan para anggota, mereka saling berpencar mengerjakan tugas masing-masing.

Perempuan berstiker ungu pada sebelah pipinya itu ikut mengambil tempat di sebelah peserta lomba melukis. Bersama kanvasnya, Anjani menarikan gemulai tangan di atas sana, membentuk satu momen yang sedari tadi terputar-putar di dalam kepalanya. Aleon dan cello milik sang ibunda, kini sedang disatukan kembali oleh titik-titik cat air.

Sepuluh menit sekali Aleon menghampiri Anjani, mengecek apa yang dilakukannya, dan memastikan kalau tidak ada situasi yang membuat perempuan itu merasa tidak nyaman. Ear monitor pada telinganya menunjukan kalau Aleon sangat sibuk hari ini.

Dan, sekarang Anjani sudah menunggu kehadiran Aleon di menit selanjutnya. Bukan ingin menunjukan hasil lukisannya, melainkan dua buah kertas origami berwarna biru dan merah yang selalu ada di dalam tasnya untuk Aleon pilih.

Choose one,” suruhnya begitu lelaki itu tiba.

“Apa?”

“Bukan cuma gue, perasaan lo juga perlu untuk didengar langit biru. Choose one, and fly your paper plane, Leon.”