380; Wedding day


Suara gebyuran air lagi-lagi terdengar bersahut dengan debur ombak yang berlari hingga ke hulu. Di atas hamparan pasir putih, matahari menyapa dari balik awan menciptakan selajur cahaya yang membuat riak laut seakan berkelip penuh bintang.

Aku tersenyum manis kepadanya, menyaksikan dia berlari antusias menemui laut biru membentang. Bercelana pantai tanpa sehelai kain yang membalut tubuh indahnya dengan satu ukir cantik di atas kulit perut, kini kembali menyatu pada rumah kelahirannya. Lelaki itu berenang bebas bersama ombak, tanpa ragu mengejarnya hingga garis batas. Sehingga aku harus berkali-kali duduk-bangun dari santai di atas pasir putih bak karpet sutra tanpa tepi untuk sekedar berteriak, “Jangan jauh-jauh!”

Terlihat pucuk kepalanya yang menyembul dari dalam air, berenang mendekat bersama buih ombak. Ocean berjalan ke arahku sambil menyibak rambutnya yang basah dengan jari, tubuhnya yang basah memantulkan kilau sang mentari dari warna kulit tan-nya yang cantik. Indah. Tanpa sadar membuat senyumku melebar akan permata laut yang bersinar di depan sana.

Dan semakin lebar saat aku mengingat, bahwa akulah si pemilik permata.

Tetes air laut dari ujung celananya berjatuhan di atas pasir, menciptakan jejak akan kepulangan samudra yang telah lama pergi.

Tatap mata kami bertemu. Lelaki itu menangkap senyumku yang lebar seperti keledai bodoh tengah tersorot kepadanya. Membuatnya menyeringai tipis menarik sebelah bibirnya. Damn, he looks so attractive.

Buru-buru aku memutar badan sebelum isi kepalaku semakin gila, mengambil satu buah handuk dari dalam tote bag.

“Looks like someone’s very happy to see me shirtless.”

Aku membalik badan dan Ocean sudah mengambil tempat di sebelahku sambil terkekeh meledek, bersama tetes air laut yang menetes deras dari ujung helai rambutnya. Aku berdecih sambil menahan rona malu yang untungnya telingaku tertutup oleh rambut. Aman, warna merah pada telingaku tidak jadi tertangkap oleh matanya.

Tanpa merespon pernyataannya yang memang benar, dengan jiwa kasih sayang dan keibuanku aku mengeringkan rambut dan badannya dengan handuk. Ocean yang begitu menurut, menggeser badannya mendekat seperti anak anjing manis yang mencari kehangatan pada induknya.

Ocean memperhatikan tanganku yang bergerak-gerak di depannya, diam-diam menatap kilau permata mungil yang melingkar di antara satu jari manisku. Lalu ia meraih sebelah tanganku dan membawanya ke depan wajahnya lebih dekat. Lelaki itu tersenyum sebelum mencium lembut punggung tanganku yang dihiasi satu benjolan kecil. Aku tersenyum.

“Au, kamu bosen ngga sih, selalu aku ajak ke laut?” tanyanya tiba-tiba, masih memegang sebelah tanganku.

Aku menggeleng dengan yakin, sambil menurunkan handuk dari atas kepalanya. “No, engga sama sekali.”

“Sebel ngga kalo aku selalu pengen laut jadi saksi for all the moments we create?” tanya Ocean lagi. Aku kembali menggeleng, kali ini sambil menarik garis senyumku. “Engga. You can create as many memories as you want, and let the sea be the first witness.”

Lelaki itu ikut tersenyum, kembali menggeser dirinya sehingga jarak kepala kami semakin dekat, aku bisa merasakan hangat dari deru napas yang menyapa wajahku.

“Kalo gitu, the sea has never seen us kiss.” katanya dengan suara rendah.

Mataku membulat, kupu-kupu terlepas dari sarang khusus yang mengurung kuat-kuat di dalam perutku.

“Let me kiss you, and let the sea watch.”

Ocean melingkarkan sebelah tangannya yang lain ke belakang pinggangku, lalu menarik tubuhku cepat tanpa aba-aba, menjatuhkan bibirnya di atas bibirku. Kecupan kecil, lembut yang sangat berarti. Yang kemudian tumbuh semakin besar, ia dengan mahir menggigit bibir bawahku, sebelum ia menelusupkan lidahnya dan semakin menarikku masuk ke dalam arus permainan. Membuat tanganku reflek menangkup rahang tajamnya demi menyeimbangkan permainan.

Di antara riuk suara ombak dan aroma laut menenangkan, aku memejamkan mata, membiarkan angin mengacak-acak helai rambut dan menikmati hangat dari ibu jari yang mengelus halus pada sebelah pipiku. Sahutan dari dua deru napas yang semakin tidak stabil, justru membuat lelaki itu bergerak lapar dan intens. Hingga nyaris mendorongku untuk terbaring di atas karpet kain pada hamparan pasir putih.

Dengan cepat aku mendorong dirinya menjauh karena aku mulai kehabisan oksigen. Untungnya lelaki itu paham akan sinyalku untuk melepas pagutannya.

“Okay, enough. The sea has already witnessed the paradise we created.” kataku pada hela napas yang belum stabil.

Ocean menatapku dalam dengan lengkung manis di atas bibirnya, seraya mengelus halus bibirku yang membengkak. Lalu berujar,

“Terhitung 240 hari dari sekarang. Let the sea hear the sacred promise that i will say to you, Audine. I mean, to you, my soon-to-be wife.”

Dan hari ini, setelah 240 hari terhitung.

Kedua daun pintu terbuka, menampakkan wanita dengan gaun putih dan satu mahkota manis di atas kepalanya. Bergandeng tangan pada sang ayah yang berdiri di sebelahnya, siap mengantarkan putri bungsu kesayangannya menuju lelaki dengan tuxedo putih penuh karisma, yang telah menunggu di ujung altar dengan manik berjuta bintang.

Bangunan dengan atap yang tinggi menjulang membentuk segitiga mengerucut. Tiap sisinya disusun oleh dinding kaca bening agar pemandangan pasir putih dan kilau biru kristal milik pulau dewata di sekelilingnya ikut menjadi saksi, akan satu janji suci yang sebentar lagi terucap. Pilar-pilar mini berdiri di sepanjang altar bersama cahaya lilin yang menari di atas chandelier kristal. Ada dua baris deretan kursi terpisah membelah altar, jumlahnya tidak lebih dari delapan puluh kursi.

Pernikahan diadakan secara tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Yang paling penting, tidak satu pun media dengan kilau blitz lensa paparazzi dibolehkan andil, demi menjaga hening momen sakral dari ricuh suara kamera.

Seluruh tatap berkaca-kaca jatuh kepada Audine. Perempuan itu berdiri dengan gaun tulle berukir kelopak bunga transparan berlapis payet, yang dihiasi kristal swarovski menjalar di seluruh gaun. Cantik bersinar hingga kilaunya mampu bersaing pada kerlip laut biru.

Tapi, gaun itu tidak lebih dari kecantikan peri teratai yang mekar semakin melebarkan kelopaknya. Peri itu tersenyum, bersama manis lesung pipit yang hanya ia tujukan untuk satu-satunya lelaki di ujung altar.

Ayah menaruh telapak tangan di atas punggung tangan milik putrinya yang melingkar pada sebelah tangannya. Audine menoleh, menatap ayah dengan sorot mata penuh haru karena sebentar lagi, tanggung jawab pria itu terhadap hidupnya akan resmi usai.

Kembali teringat sebongkah memori di dalam kepala ayah. Membawanya pada masa-masa di mana Audine kecil selalu berdiri bersama cahaya senja di depan teras rumah, menunggu dan menyambut wajah lelahnya setiap hari. Audine kecil akan berlari menabrakkan diri ke dalam dekapan ayah yang dengan semangat merentangkan kedua tangannya sembari tersenyum lebar. Seakan seluruh rasa lelah sirna begitu saja setelah suara nyaring itu menjelajahi ruang telinganya.

“Aku ngga mau menikah.” kata gadis kecil berumur sepuluh tahun tiba-tiba, membuat ayah tersontak menoleh dari fokusnya pada koran pagi.

Ayah terkekeh, menggeser diri lebih dekat pada putrinya. “Audine kenapa? Kok tiba-tiba ngomongin nikah? Emang kamu udah paham menikah itu apa?”

“Tau! Kayak Kak Nala kemarin.” jawab Audine antusias, seolah tahu betul jawaban sesungguhnya. “Setelah menikah, Kak Nala pergi dari rumah, ikut suaminya, terus ninggalin kita, ninggalin ayah. Aku ngga mau menikah, soalnya aku mau sama ayah terus.”

Ayah menjawab dengan nada mengayomi, sembari menyeruput kopi yang mulai mendingin. “Adek, yang namanya pertemuan itu ngga pernah jauh-jauh dari perpisahan. Kamu lahir ke dunia, ayah dipertemukan dengan kamu, peri kecil ayah. Caaantik, adek cantik banget waktu itu, semakin cantik sampai hari ini.” Pria itu mengusap-usap pucuk kepala sang peri kecil. “Tapi, suatu saat perpisahan itu pasti akan hadir. Dan adek ngga perlu takut, karena ngga semua perpisahan itu menyakitkan. Seperti Kak Nala.”

“Kenapa? Ayah kok ngga sedih ditinggal sama Kak Nala?” tanya Audine kecil dengan tatap polos.

Ayah menggeleng lemah seraya tersenyum, “Engga. Karena itu perpisahan yang bahagia. Bahagia untuk Kak Nala karena dia telah bertemu dengan pangerannya, dan bahagia untuk ayah karena ayah melepas Kak Nala untuk pergi bersama pangeran yang akan menemani hidupnya.”

Selayaknya anak kucing manis, Audine mendengarkan penuturan sang Ayah dengan fokus dan serius. Walau sesekali matanya tertuju ke arah televisi.

Ayah menyambung lagi kalimatnya, “Dan nanti, kamu juga akan bertemu dengan pangeranmu. Lalu ayah, akan kembali bertemu dengan perpisahan. Tapi Audine ngga usah khawatir, karena itu adalah perpisahan yang bahagia buat ayah dan mama.”

Kini hari itu tiba. Hari di mana ayah kembali bertemu dengan perpisahan, melepas putri kecilnya untuk pergi bersama pangeran pilihannya.

Ayah mengangguk dengan kerlip mata berkaca, “Adek, lelakimu sudah menunggu.”

Satu tetes air mata jatuh dari kelopak mata Audine, tanpa membalas tatap penuh kasih sayang milik sang ayah, Audine menunduk, menahan getaran bibirnya seraya mengatur deru napas akan tangis yang hampir meledak.

“Ayah.. terima kasih banyak…”

Pria itu menyeka satu jejak air mata yang membasahi pipi Audine tanpa menunjukkan raut kesedihan sedikit pun. Ayah tersenyum, dengan ikhlas membawanya menuju lelaki yang sudah menanti di ujung altar.

“Ayo, ayah harus mengantarkan kamu menuju samudramu.”

Audine menghembuskan napas haru akan perasaan tercampur, membalas tatap mata sang ayah dengan penuh rasa terima kasih, sebelum ia mengangguk tanpa perasaan ragu.

Suara alunan piano, turning page, yang lagi-lagi terputar mengiringi hari istimewa penuh memori. Dimainkan Keenan dengan penuh perasaan tulus terhadap hari bahagia salah satu sahabat hidupnya, teralun dari pojok ruang, mengiringi Audine berjalan di atas hamparan kelopak bunga putih di sepanjang altar.

Dan Ocean, menyaksikan wanitanya berjalan anggun menyusuri altar dengan manik mata penuh kekaguman. Mengagumi cantik dan indah akan paras semestanya, hingga tak terasa air mata mulai membendung. Ocean menengadahkan kepala beberapa kali, berusaha menahan agar air mata itu tidak jatuh. Sungguh, ada perasaan haru dan bahagia yang luar biasa saat Ocean memandangi Audine dengan balutan gaun pengantin.

Wanita itu berjalan dengan anggun bagaikan dewi air yang muncul dari dalam laut, di antara cahaya lilin yang menari-nari, menyapa seluruh tatap bahagia yang menyorot ke arahnya.

Jumlah tamu yang hadir memang tidak lebih atau pun mencapai seratus orang, tapi, ia bisa melihat seluruh dunianya di dalam ruang private berlatar belakang laut biru. Membalas satu-persatu manik mata dengan senyum manis dan lambaian tangan, sambil membawa satu buket tipe bunga nosegay, sederhana namun elegan.

Mama yang tidak berhenti menitikkan air mata di barisan kursi utama. Ghea yang lagi-lagi bawah matanya membengkak sembab. Nala dengan gaun putih senada dengan Carissa yang kini telah duduk di taman kanak-kanak, tumbuh semakin cerewet seperti dirinya. Dareen yang tidak perlu ditanya lagi, secampur aduk apa perasaannya karena dialah saksi akan sakit dan gelapnya Ocean, di saat lelaki itu hidup sendirian di dalam traumanya, sebelum akhirnya Audine datang memberi warna warni menepis abu-abu.

Dan Aliesha di barisan utama sisi lain, duduk berdampingan dengan kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca. Keduanya terbang dari Jepang, demi menyaksikan satu-satunya anak lelaki jagoan yang tumbuh mencintai samudra biru dengan penuh haru bahagia.

Juga jangan lupakan Aidan, bersama wanita di sebelahnya yang perutnya kini mulai membesar. Aidan yang selalu setia menemani Audine membalik beratus-ratus halaman buku kehidupan, membantunya menulis cerita hingga halaman terakhir.

Kini halaman terakhir ditutup dengan sempurna, oleh satu-satunya lelaki yang selalu berhasil membuat Audine jatuh berkali-kali.

Ocean dan seluruh samudranya, hadir sebagai air yang tidak pernah berhenti menyirami sang bunga agar tumbuh mekar dengan sempurna.

Tatapan mereka bertemu di antara langkah yang semakin dekat, cantik dari senyum wajah Audine mampu membuat manik mata Ocean berbinar tanpa bisa menahan senyum bahagia. Ocean memutar badan, memalingkan wajah dari Audine dan orang-orang di depan, menyembunyikan air mata yang dari tadi ia tahan. Air mata itu akhirnya jatuh.

Lelaki itu menyeka air matanya, disaksikan oleh kilau laut membentang yang berkilau disambut selajur cahaya mentari bagai hamparan berlian. Ia tersenyum pada laut biru, mengucap terima kasih yang tersuara dari dalam hati akan keajaiban baru yang kembali tercipta pada samudra di dalamnya.

Sambil menarik dan menghela napasnya sekali lagi, menepuk-nepuk dadanya menahan perasaan gugup. Dengan berani dan penuh percaya diri, Ocean memutar badannya, menyambut Audine yang kini telah dilepas sepenuhnya oleh sang ayah. Ocean membungkuk penuh hormat sebelum pria meninggalkan altar.

Dengan resmi Ocean menerima satu tanggung jawab baru yang dengan yakin akan dia jaga sepenuh hati, tanpa pernah sedikit pun terpikir untuk melukai.

Alunan piano berhenti, hening, hanya ada suara debur ombak menyapa telinga mengiringi suara sang officiant yang berdiri di antara keduanya. Menuturkan kalimat sumpah yang sebentar lagi akan terucap.

Keduanya berdiri saling berhadapan dengan jarak dekat. Senyum yang sama-sama merekah penuh perasaan bahagia, bersama genangan air mata yang ditahan kuat-kuat. Ocean meraih kedua tangan Audine, membawa perempuan itu ke dalam genggaman erat menuju awal dari kehidupan baru.

Audine mengangguk seraya mengelus lembut punggung tangan lelakinya dari dalam genggaman. Hingga tiba pada saatnya Ocean membalik sebelah posisi tangan, mengucap sumpah yang disaksikan oleh seluruh semesta.

“…. I promise to cherish you always, to honor and sustain you, in sickness and in health, in poverty and in wealth, and to be true to you in all things until death alone shall part us.”

Diikuti Audine, tanpa menghapus lukis bulan sabit yang tercipta pada bibirnya, ia membalik sebelah posisi tangan, mengulang sumpah yang sama dengan yakin, tanpa keraguan pada lelaki pilihannya.

Sumpah terucap.

Janji suci di antara semesta dan laut biru membentang, menyuara memecah langit berkumandang pada seluruh cakrawala. Kilau cincin yang terlingkar pada masing-masing jari manis, menjadi penutup akan segala rasa sakit dan takut yang terjebak di dalam diri. The goodness of suffering is real.

Ocean menarik pinggang Audine mendekat, disaksikan oleh seluruh kerabat dengan manik berjuta bintang penuh harap bahagia. Lelaki itu tersenyum tipis seraya berbisik hanya kepada perempuannya,

“Au, thank you for standing beside me, helping me for turning the page, and close the story with a happy ending we made.”

Audine menarik simpul pada bibirnya semakin lebar, tanpa ragu menjatuhkan kecupan ringan di atas bibir Ocean sebagai respon dari kalimat manis yang lagi-lagi terucap dari mulutnya. Bersamaan dengan sorak bahagia dari para kerabat, dan alunan turning page yang kembali bersuara. Ocean memagut lembut bibir wanitanya bersama seluruh perasaan yang akan terus abadi, tumbuh semakin besar setiap harinya.

“I love you,” ucap Audine di sela pagutannya, menatap dengan binar mata penuh keteduhan.

Ocean membalasnya dengan penuh perasaan dalam, “I love you, unconditionally.”

Dua manusia rapuh yang dipertemukan lewat keajaiban tak terduga, dua manusia yang sama-sama tumbuh akan ketidaksempurnaan. Berhasil menjadi satu bukti bahwa kebaikan di dalam kesengsaraan akan selalu hadir menutup halaman terakhir pada suatu cerita.

Dan pada akhirnya, Sang samudra bertemu pada lautnya, dan sang bunga teratai, berhasil menemukan rawanya.