39; First encounter


Dari pertama kali Atharya memutuskan untuk pergi kuliah ke luar kota, Akhailan, sosok lelaki berusia 26 tahun yang kini tak hanya lagi bertugas sebagai kakak tertua namun juga orang tua, sengaja memilih satu unit apartemen bertipe two bedroom walau Atharya hanya tinggal sendiri kala itu. Akhailan tidak hanya menyiapkan fasilitas kamar untuk kenyamanan tinggal dan belajar adik laki-lakinya, tapi juga untuk alat-alat musik kesayangan Atharya. Lelaki itu tahu, adiknya tidak bisa hidup tanpa musik, jadi, memilih apartemen dua kamar adalah pilihan terbaik untuk menampung satu buah drum dan keyboard kesayangan Atharya.

Bakat bermusik yang diturunkan oleh mendiang sang ayah.

Pintu apartemen terbuka begitu Anjani memasukan enam digit angka pada smart lock di atas gagang pintu. 210418, angka yang akan selalu mereka bertiga ingat sekaligus tanggal di mana Anjani resmi mengakui dirinya telah ‘mati’.

Mati bersama hilangnya pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya, yang sampai hari ini tidak pernah diketahui ke mana perginya NM370 selain penerbangan berakhir dan menghilang di Samudra Hindia Selatan.

Tidak ada yang tahu ke mana para penumpang itu pergi, tidak ada jejak yang bisa ditemukan selain satu puing sayap pesawat dengan kondisi terbelah di atas lautan.

Dan sejak hari itu, Anjani tidak pernah mau menerima kenyataan yang terjadi. Ia percaya, kalau kedua orang tuanya hanya terjebak oleh keindahan istana di atas awan, yang membuatnya lupa untuk mendarat. Itu alasan Anjani sangat mencintai langit, ada dua malaikatnya di antara langit biru.

Anjani tahu di mana letak kamar Atharya dan di mana kamar berisi drum dan keyboard. Tapi begitu tiba, kamar yang ia ketahui sebagai studio musik saudara kembarnya sekarang hanya menyisakan satu buah drum, dan sudah diisi oleh satu kasur, meja belajar, dan lemari minimalis milik Atharya. Sedangkan kamar utama yang sebelumya ditempati, telah disulap sendiri oleh Atharya untuk Anjani, sekaligus menitipkan keyboardnya di sana untuk perempuan itu mainkan.

Bakat bermusik yang dimiliki Anjani memang tidak diturunkan secara genetik seperti Atharya. Hanya keyboard dan piano yang bisa perempuan itu kuasai berkat ajaran sang ayah. Tapi, bukan berarti orang tuanya menurunkan bakat tanpa adil. Kalau Atharya memiliki bakat bermusik, jangan ragukan kemampuan melukis dan baking dari sang ibu untuk Anjani. Bisa dipastikan kamar apartemen yang sebelumnya polos, sebentar lagi akan dipenuhi oleh jejeren kanvas dan aroma kue menyeruak ke seluruh ruangan. Kata Atharya dan Akhailan, tidak ada toko kue mana pun yang dapat menandingi kue buatan Anjani dan ibunya.

​Di antara sinar mentari pagi yang lolos dari jendela kaca pada ketinggian lantai 14, Anjani tersenyum pada kertas-kertas kanvas yang disiapkan Atharya hanya untuknya.

​Cukup. Sebelum suasana hatinya berubah sendu, Anjani harus segera menggeret koper-kopernya ke dalam kamar dan memulai sesi beres-beres. Sudah hampir 30 menit setelah Atharya bilang ia akan pulang, tapi lelaki itu belum juga tiba. Mungkin masih terjebak di salah satu rumah makan padang.

​Kasur, lantai, debu-debu di atas buffet lemari telah bersih tak tersisa. Baju-baju kotor milik saudara kembarnya yang masih menggantung di belakang pintu telah Anjani taruh pada laundry room—menyatu dengan dapur. Anjani juga menitipkan beberapa bajunya sementara pada lemari Atharya, sisanya ia simpan di dalam koper.

​Tidak ada siapa-siapa di sini, kini Anjani bisa bebas mengikat rambutnya tanpa harus khawatir menunjukan sesuatu yang ia sembunyikan di balik rambut. Sekarang, dia menampakan diri tanpa malu bersama tiga anting pada masing-masing telinganya pun ikut berkilau lebih jelas.

​Kembali menuju kamar, sekarang gilirannya mengaitkan lampu-lampu LED tumblr yang ia bawa pada pengait yang lagi-lagi telah disiapkan Atharya, untungnya pengelola apartemen memang mengizinkan penyewanya untuk mengubah beberapa dekorasi ruang seperti mengecat dan memasang kait.

​Hanya bermodalkan kursi dan dua tumpukan bantal sofa, perempuan yang tingginya baru mencapai 160 cm itu nekat meraih tiap-tiap pengait. Anjani bisa saja terpeleset kalau fokusnya melengah, atau terjatuh karena tumpukan banyal yg tidak imbang.

Susah payah ia mengerahkan fokus, menengadah, menarik tangannya ke atas serta berjinjit setinggi mungkin, tiba-tiba terdengar suara bel pintu yang menginterupsi hening.

Buru-buru Anjani turun dan membuka ikatan rambutnya tanpa hitungan detik, lalu pergi menuju pintu seraya membiarkan rambaian lampu menyentuh lantai. Walau Anjani tidak tahu siapa yang datang, tapi Anjani tahu kalau suara bel pintu tidak mungkin berasal dari Atharya si pemilik kamar.

Lelaki itu berdiri di sana begitu daun pintu dibuka. Celana training jogger, kaus polos, dan masker serba hitam, tidak ada yang bisa Anjani lihat selain rambut yang tersibak asal-asalan dan mata lelah seperti manusia tidak tidur 2 hari.

Ketika mulut Anjani hampir terbuka untuk menyapa, lelaki itu membuka masker hitamnya. Wajahnya manis, ada tiga titik mole di pipi kiri wajahnya yang akan membentuk rasi ursa minor jika dihubungkan pada beauty spot di lehernya, warna bibirnya merah natural, terlihat sempurna ketika garis bibir itu tertarik tipis.

“Halo, gue Aleon, temennya Atha, baru pindah ke kamar sebelah. Lo Anjani, kan?” ucapnya datar dan tenang.

Anjani mengangguk, sama-sama tersenyum (sangat) tipis.

“Barusan gue izin ke Atha buat minjem vacuum, tapi berhubung Atha masih di luar dan gue perlu sekarang, sorry kalau gue dateng tiba-tiba dan ganggu waktu lo, ya. Gue boleh pinjem vacuum, Jan?”

“Tapi gue nggak tau Atha simpen vacuumnya di mana, dia nggak ngabarin, gue tanya dulu ya—” jawab perempuan berkemeja oversized di depan. Intonasinya tidak kalah datar. Mereka berdua terlihat seperti kulkas yang tengah berbicara.

“Di atas lemari samping kitchen set, tadi Atha bilang.” Aleon menyambung lagi.

“Oh, ok. Sebentar, gue cari dulu.”

“Ok, thanks. Gue tunggu di sini, ya.”

Nyaris Anjani berjalan masuk setelah memutar badan, perempuan itu malah kembali menoleh memandang Aleon. Kali ini, seringainya hanya tertarik sebelah, tampilan itu membuat Anjani terlihat semakin attractive dengan aura mengintimidasi dingin dan kuat yang akan selalu muncul setiap kali berbicara dengan orang asing. Secara bersamaan Aleon juga menaikan sebelah alisnya tanda bertanya.

Dan, Anjani membalas. “Jelas lo harus nunggu di sini. Gue nggak mungkin biarin orang asing masuk ke dalam ruangan tanpa siapa-siapa.”

Aleon terkekeh, menggeleng singkat tak percaya. “Smart. Cause it could be that the stranger in front of you right now is actually a thief.”

Then I won’t be surprised if my twin’s vacuum cleaner won’t come back.” Lalu Anjani meninggalkan Aleon di ambang pintu bersama sebelah tarikan bibir yang masih di sana.

Damn, she was born cool. Ujar suara yang dilafalkan oleh sorot mata Aleon.

Tidak ada yang Aleon lakukan sepanjang Anjani masuk mencari vacuum. Bahkan untuk sekedar menjelajahi seisi kamar apartemen dengan matanya. Aleon memang sudah berkali-kali berkunjung bahkan menginap di kamar Atharya, sudah tahu pasti sudut-sudut terpencil di ruang itu. Tapi untuk menjelajahi apartemen itu hari ini, adalah tindakan tidak sopan bagi Aleon karena ia perlu menghargai barang-barang Anjani yang sekarang tinggal di sana.

Kecuali, rambaian lampu LED tumblr sepanjang 10 meter yang tergantung tak sempurna di dalam kamar, yang ia tangkap secara tidak sengaja karena letak kamar itu bisa terlihat dari pintu masuk, dan Aleon tidak tahu kalau kamar itu sekarang menjadi milik Anjani.

Sekitar 5 menit Anjani baru kembali setelah mengambil satu vacuum cleaner menggunakan kursi yang lagi-lagi harus ia geret. Aleon masih ada di sana, tapi bedanya, sekarang lelaki itu membawa sesuatu di sebelah tangannya.

Sorry ya, lama.” Tanpa banyak bas-basi, Anjani segera menyodorkan satu dus berisi vacuum.

Never mind. Thanks, Jan, gue pinjem dulu ya.”

Sebelum Aleon kembali ke kamarnya, ia ikut menyodorkan sesuatu pada genggaman tangannya tepat setelah menerima satu kotak dus dari Anjani. Perempuan itu bertanya dengan kernyitan dahi, dan memandang satu tongkat panjang yang sekarang pindah ke tangannya.

Satu buah bow biola.

“Susah kalau lo ngaitin lampu tumblr-nya cuma pake tangan kosong, lo nggak akan nyampe, kecuali lo ada tangga. Coba dibantu kaitin pake itu,” suruh Aleon tiba-tiba.

Ternyata, ketika Aleon melihat penampakan kabel lampu di kamar Anjani secara tidak sengaja, ia langsung bergegas menuju kamar apartemennya yang terpaut tiga kamar dari Anjani dan Atharya. Mencari sesuatu barang panjang yang sekiranya dapat memudahkan seseorang untuk meraih jarak tinggi. Tidak ada yang bisa Aleon temukan, selain bow biola.

​“Gue orang asing, nggak mungkin lo ngebolehin orang asing masuk kamar lo cuma untuk bantu ngaitin lampu. Jangan lupa dibalikin. Because, if my violin bow doesn’t come back, then we’re both thieves.” Sekarang situasi berbalik, Aleon menarik sebelah seringainya lengkap dengan tawa kecil yang berat.

Lalu lelaki itu kembali menggunakan maskernya, menutupi kekehan yang masih bisa Anjani lihat dari sipitan mata mengantuknya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan. ​