114; One fine (tues)day


​Katanya, waktu sore adalah waktu di mana sinar matahari mulai memudar. Itu berdasarkan penjelasan geografis. Tapi sepertinya semakin tua bumi, semakin panas pula matahari, sekali pun waktu sudah mendekati senja. Anjani bahkan bisa merasakan adanya serangan terik matahari jam 4 sore di dalam lift—terasa lebih pengap dua kali lipat ketika satu per satu orang memenuhi ruang sebesar kotak kubus.

Begitu keluar dari gedung apartemen, ia melihat Aleon yang sudah lebih dulu menunggu di depan lobi, masih dengan setelan mahasiswa baru pulang kuliah, lengkap bersama tas berisi biola. Black skinny jeans yang pas pada kaki jenjangnya, sweetshirt hitam, dan varsity jacket biru dongker. Aleon melepas helm untuk menyapa Anjani tanpa turun dari motor. Kawasaki ZX-25R. Tidak perlu disebutkan apa warnanya—sudah pasti, hitam.

“Maaf, lama ya?” sesal Anjani di antara langkah berlari sembari menenteng helm.

Aleon tersenyum dan menggeleng. “Nggak usah lari. Lo turun lebih cepet dari yang gue kira, kok.”

Melihat Aleon menjatuhkan pandang ke arloji di tangannya, Anjani segera meminta izin untuk naik sebelum padatnya jalanan sore semakin mengulur waktu.

Di dalam lift tadi, indra penciuman Anjani diserang oleh sapaan parfum dari tiap denyut nadi orang-orang di kanan kirinya. Yang bisa ia pastikan kalau wewangian itu akan segera dilenyapkan oleh panas matahari dan berubah menjadi bulir keringat begitu keluar dari area indoor. Namun tidak bagi lelaki di depannya.

Aroma tubuh Aleon sama sekali tidak berubah walau sudah beraktivitas seharian. Wanginya masih sama, dari pertama kali mereka duduk dengan jarak setipis lapisan udara untuk pertama kali di kafe bawah tanah. Hangat, lembut dan menenangkan.

Tanpa sadar tatapan Anjani terjatuh lama pada punggung Aleon, dan yang ditatap, juga mengamati dari pantulan kaca spion.

Terdengar suara dehaman batuk yang dibunyikan dengan tujuan jahil. Sontak perempuan itu mengalihkan mata karena tahu tertangkap basah.

“Udah?” tanya Aleon, menahan kekehan.

“Udah.”

“Belum,” sahutnya lagi, menyanggah.

Perempuan itu menaikan sebelah alis. “Gue udah naik, nggak ada yang ketinggalan juga.”

Salah satu kaca spion, sengaja digerakan sedikit oleh Aleon agar Anjani bisa melihat ke arahnya. Ada sepasang mata coklat yang terasa mengintimidasi dari balik kaca helm. Mengintimidasi, namun indah secara bersamaan, matanya seperti menyimpan seluruh galaksi bintang. Sehingga berhasil membuat Anjani membuang mata lagi. Salah tingkah, tetapi tidak lupa memberi respon, “Belum apa?”

“Belum pegangan.” Si pemilik tatap menjawab datar.

Anjani menggeleng-geleng, tetap kuat pada pendiriannya dari semalam. “Gue nggak akan jatuh, udah biasa kalau dibonceng nggak pegangan, lo nggak usah khawatir.”

“Gue yang khawatir.” Aleon ikut menggeleng. “Serius, Jani. Gue nggak lagi modus, tapi gue sadar diri motor gue tinggi, bahaya kalau yang dibonceng nggak ada pegangan.”

“Nggak mau, Aleon.” Tidak memindahkan sedikit pun posisi tangannya dari kedua paha, Anjani masih terus menggeleng-geleng hingga badan motor ikut tergoyang.

“Ya udah, oke, gue nggak ngebut. Tapi kalau mau pegangan, pegang aja, gue nggak akan anggap sebagai modus,” angguk si lawan bicara seraya tertawa, sebab gelengan kepala Anjani membuat ia harus menahan motor lebih serius.

Tidak memaksa dan langsung mengiyakan. Motor segera berlaju meninggalkan gedung apartemen. Tak ada banyak percakapan di sepanjang jalan selain Aleon yang meminta izin untuk mengambil pesanan kue lebih dulu.

Biola, kue ulang tahun, yayasan panti jompo yang Anjani yakini kalau memang itu tujuan mereka sore ini, sekelibat informasi yang didapat Anjani dari obrolan ringan Atharya dan teman-teman lainnya kini disaksikan langsung olehnya, kalau tiga hal tersebut adalah alasan utama dari sibuknya seorang Aleon. Di antara laju motor di bawah langit senja, sapaan ranting-ranting yang ditiup angin, semua orang di jalan raya sibuk pada tuas setir masing-masing.

Begitu juga dengan Anjani yang sibuk menggerakan jari-jarinya perlahan untuk meraih ujung jaket Aleon, dan memegangi kedua sisi pinggangnya seperti kepalan tangan anak bayi. Mungkin, tidak ada salahnya untuk mencari perlindungan pada lelaki di depannya, sebelum oknum-oknum lalu lintas berhasil menarik dirinya jatuh ke atas aspal.

Dan Aleon, merasakan adanya sentuhan kecil di masing-masing pinggangnya. Sentuhan kecil yang menciptakan tarikan bibir manis di balik kaca helm.


Rerumputan hijau dan tataan pohon di sepanjang taman segera menyambut begitu keduanya memasuki wilayah rukun, harum tanaman segar yang baru disemprot air menggantikan bau kebul asap-asap kendaraan jalan raya. Tempat ini terasa sangat steril dari racun karbon dioksida yang akan berkali lipat berlaku jahat pada orang-orang berusia emas di dalam sana. Mereka melewati tugu nama bertulis, Eudaimonia Senior Living, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan gedung dan memarkirkan motor.

​“Eudaimonia. Namanya bagus,” celetuk Anjani begitu turun, kali ini sembari memegang satu kotak kue ulang tahun setelah gagal direbut oleh Aleon untuk mengambil alih bawaan.

Karena badan lelaki itu sudah dibebani oleh banyak barang sore ini. Tas ransel, biola yang sudah dipindahkan ke sebelah tangannya, sekarang ditambah lagi dengan kalungan kamera.

Keduanya berjalan berdampingan menuju pintu utama.

​“Lo pernah denger konsep kebahagiaan?” Aleon bertanya.

​“Kayaknya pernah tau, masuk ke pelajaran sosiologi waktu sekolah, tapi nggak ada yang gue inget selain Aristoteles yang bilang kalau kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia.” ​ “Eudaimonia adalah salah satu istilah kebahagiaan di dalam ilmu filsafat.” Tanpa menoleh sebab sibuk megatur setelan kamera, Aleon melanjutkan. “Senior living ini punya tante gue, beliau mau kebahagiaan itu nggak hanya sekedar perasaan seneng, karena, setiap perasaan nggak pernah berlangsung lama. Tapi, kebahagiaan yang fokus pada cara hidup yang lebih baik, bermakna, dan berguna untuk orang lain akan berlangsung selamanya. Because there is love that will spread widely in it, and love is always above happiness.”

​Anjani menoleh, memberikan respons kagum menggunakan binar matanya. Ia juga sengaja mengeluarkan ekspresi antusias orang yang baru mendapatkan informasi baru untuk pertama kali, berpura-pura lupa dengan fakta yang sudah lebih dulu didapatkan dari Atharya untuk menghargai penjelasan Aleon.

She’s an angel, would be honored if I could meet her someday.”

​“Today, you’ll meet her today,” jawab lelaki pemilik senyum manis di sebelahnya.

Benar saja, seorang wanita berblazer putih tulang di balik pintu kaca, telah menunggu seraya melempar tarikan bibir ramah. Auranya terlihat sangat elegan.

​Gedung ini terdiri dari 3 lantai. Lantai 1 dan 2 dihuni oleh lansia yang masih sehat dan terbilang bugar, sedangkan di lantai paling atas dikhususkan untuk lansia yang membutuhkan dukungan khusus dan menetap untuk waktu lama. Terdapat ruang resepsionis sebagai rute pertama sebelum para pengunjung ditemukan oleh suasana yang lebih istimewa di dalam. Dan ternyata, taman di depan tadi bukanlah halaman utama, ada taman yang jauh lebih luas di tengah-tengah gedung dengan danau buatan dan berunit pendopo untuk menikmati suasana asri. Bangunan ini juga dibangun secara melingkar, sehingga para penghuni di lantai paling atas bisa langsung melihat keindahan taman tanpa harus turun.

​Benar kata Atharya, yayasan ini memiliki fasilitas setara dengan resort berbintang, mungkin Anjani akan terkecoh kalau saja tidak melihat adanya orang-orang berseragam biru muda di balik pintu kaca selanjutnya—para caregiver, yang tengah menuntun beberapa lansia menuju ruang santai, tempat di mana Aleon akan memainkan biolanya nanti.

​“Eh? Halo, Leon ajak temennya ya hari ini!” sapa wanita berusia 36 tahun yang tidak sedikit pun terlihat garis-garis halus di usianya, namanya Shelly.

​Tanpa menunggu untuk dipersilakan, Anjani segera membungkuk sopan dan menjulurkan tangan. “Halo tante, saya Anjani.”

​Aleon ikut memperkenalkan Anjani lebih detail. “Temen baruku, Tan, kembarannya Atha yang beberapa kali pernah ke sini juga.” ​ “Pantes, tante liat mata kamu kayak nggak asing, mata kamu mirip banget sama Atha!” Yang mendapat informasi mengangguk-angguk, diikuti bulatan mata semringah. Suara tawa disuarakan oleh Anjani sebagai sahutan.

“Kamu mau tante pesanin apa, Le? Anjani juga, mau apa? Biar sekalian dibawa ke ruang santai,” sambung Shelly lagi.

​Jelas tidak seperti Aleon yang menyebutkan beberapa menu dengan yakin, karena sulit baginya untuk menolak tawaran makanan selepas menjalani kegiatan penuh dari tadi pagi, Anjani menolak secara sopan sembari beralasan kalau ia masih kenyang. Namun Shelly juga tetap bersikeras.

​“Nggak apa-apa, Anjani, tante pesanin ya, okey? Cemilan yang ringan-ringan aja. Masa nanti pas Leon makan kamu diam aja.” Tiba-tiba wanita itu merangkul Anjani, lalu berbicara berbisik seolah lelaki di depan tidak diperbolehkan tahu. “Tenang, kalau nggak abis, nanti diabisin sama Aleon. Dia dari kecil makannya banyak!”

Berhasil membuat perempuan dengan 3 anting bintang dan mutiara di masing-masing telinganya mengangguk setelah gurauan itu disahut oleh tawa dari ketiganya. Satu yang selalu Anjani tanamkan dalam dirinya, dengan menerima pemberian yang diberikan tanpa pamrih oleh mereka adalah cara kita untuk menghargai ketulusan seseorang.

Setelah Shelly menyuruh keduanya untuk pergi lebih dulu, wanita itu pergi ke lantai paling atas untuk menjemput salah satu penghuninya yang sudah dipastikan, saat ini pasti tengah memandangi jadwal harian yang dibawa dari pertama kali datang ke yayasan, satu tahun lalu. Malinka. Pasti Malinka sedang memandangi gambar kue ulang tahun yang memenuhi kolom hari selasa di lembaran kalender. Dan menunggu kehadiran kue itu tiba seperti selasa-selasa sebelumnya.

Di sepanjang langkah menuju ruang santai, Anjani berkali-kali meyakinkan apakah kehadirannya di sana benar tidak akan menganggu kegiatan, Anjani khawatir kalau para lansia itu merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang asing, ditambah, ia tidak merasa mahir untuk berbicara apalagi bergaul bersama para lansia.

Sampai tidak sadar Aleon telah berjalan dua langkah lebih dulu, Anjani menarik ujung jaket Aleon, lagi.

“Kak, ini beneran nggak apa-apa? Aduh… gue takut malah bikin mereka nggak nyaman, nanti gue malah bikin canggung,” lirihnya.

Bukannya menjawab sesuai konteks, Aleon malah tertawa. Ia menoleh, “Jani, lo manggil gue pake ‘kakak’ lagi.”

Tidak peduli pada kata sapaan yang ia sendiri juga tidak tahu kenapa menyebut Aleon menggunakan ‘kak’, ia lebih fokus pada langkah yang semakin dekat menuju tempat tujuan. Anjani menarik ujung jaket Aleon lebih kencang hingga badan lelaki itu ikut mundur. “KAK, TAKUT CANGGUNG! JALANNYA JANGAN CEPET-CEPET!”

“Iya, oke, nggak usah ditarik-tarik!”

“Makanya tungguin!”

Setelah mendengar rajukan Anjani untuk kedua kali, Aleon spontan meraih sebelah tangan Anjani untuk membuatnya terlingkar pada tali tas ransel yang ia kenakan. Bersama mimik wajah meledek, ia berucap, “Biar kayak gantungan kunci. Udah aman, nggak akan ketinggalan.”

“Aleooooon!” Berhasil membuat kerutan dahi Anjani mengeriting.

Walau begitu, Anjani tetap berjalan sembari memegang erat tali tas Aleon seperti anak kecil yang marah karena kue ulang tahun di tangannya kurang besar.

Riungan manusia-manusia berambut putih yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang telah duduk melingkar, seperti biasa mengelilingi satu kursi milik Aleon di tengah-tengah. Semua tampak bersemangat, bisa dilihat dari besaran pupil mata ketika melihat anak lelaki itu masuk bersama biolanya.

“Halooo! Ready to sing with me?” Aleon benar-benar memperlakukan mereka selayaknya teman sebaya, ia juga menyapa teman-teman lansia menggunakan intonasi suara yang belum pernah Anjani dengar sebelumnya.

Suara itu seperti tidak dilantangkan setiap hari, itu adalah nada suara yang akan terdengar setiap kali Aleon merasa hidup.

He love Tuesday so much.

Kedatangan Aleon dan Anjani disambut oleh perdebatan Pak Martin—73 tahun—masih bawel selayaknya akun tubir, dan Ibu Yani, lansia 68 tahun—social justice warrior versi jompo. Kali ini tengah memperdebatkan bau asap rokok yang terlihat hanya bisa diendus oleh indra penciuman Yani.

“Kamu jangan dekat-dekat, mulutmu bau asap rokok!” Yani mendorong kursi Martin di sebelahnya menggunakan tendangan di sisa-sisa usia.

“Siapa yang merokok! Aku itu bisa meninggal kalau merokok! Hidungmu itu, mencium bau mulutmu sendiri yang seperti asap!” Tidak mau kalah, Martin ikut menjauhkan kursi Yani, dorongannya benar-benar terlihat seperti dorongan belalang sembah.

Bill, lansia berdarah Jerman yang paling tampan di ruangan ini melerai selayaknya ia adalah satu-satunya orang paling waras (sedikit). “Tidak usah saling berteriak, atau udara di ruangan ini akan teracuni dengan mulut kalian yang bau asap. Lihat, Leon bawa pacar!” ucapnya semangat seraya menunjuk Anjani. Aleon harap, ini tidak menjadi kunjungin terakhirnya karena trauma.

“Pak Bill, jangan gosip! Ibu Yani, Pak Martin, liat aku dulu, aku mau kenalin temen baru.” Aleon tertawa, tapi bibirnya maju secara bersamaan di saat berbicara. Lelaki itu mengambil lengan Anjani yang masih memegangi tali tasnya untuk membawanya pindah ke samping. “Namanya Anjani, dia jago banget bikin kue—”

“Sssh, jangan bilang gitu ah!”

Kalimat Aleon terputus, bersamaan dengan sikutan dari Anjani yang terasa menggelitik pada pinggangnya.

Pemandangan itu membuat Yani, si admin akun tubir berambut putih mendapatkan bahan komporan .

“Mereka berantem! Kayak anak muda pacaran!” Lalu ia menyengir, dua ruang ompong pada barisan giginya tercetak sempurna.

Alih-alih salah tingkah apalagi marah, Anjani malah menyukai cengiran gigi-gigi ompong selanjutnya yang satu per satu ikut terhasut oleh Yani. Bukan karena senang dikira berpacaran dengan Aleon, tapi Anjani menyukai suasana ini. Ada kesan dan perasaan baru yang belum pernah Anjani temukan sebelumnya, para lansia itu, sama sekali tidak berlaku canggung seperti bayangannya, mereka sangat lucu dan menyenangkan selayaknya itu adalah kumpulan anak-anak playgroup yang gemar meledek satu sama lain.

Anjani mengambil satu langkah sebelum membalas bersama nada suara penuh warna yang tidak pernah ia suarakan sejak 4 tahun lalu. “Ibu Yani sama Pak Martin juga tadi berantem, kalian pacaran kaaah?” godanya.

Suara tawa terdengar lebih keras. Yani cemberut, melirik Martin sampai bola matanya nyaris mengeluarkan petir. “Aku bisa cepat mati kalau setiap hari harus kena hembusan bau asap dari mulutnya setiap kali dia menggombal di depan wajah!”

Namun ia tertawa lepas setelah meledek Martin.

Tenang, tidak ada perselisihan serius. Justru itu adalah cara mereka berkomunikasi, menggunakan canda gurau untuk menghidupkan lagi jiwa-jiwa melapuk yang sudah tidak memiliki arah selain menunggu hitungan umur terhenti. Dan tawa, berhasil menjadi tujuan baru bagi mereka, tujuan sederhana yang ingin mereka temukan setiap harinya; kebahagiaan.

Sembari mengeluarkan biola dari dalam tas, Aleon tersenyum dan memberi anggukan pada Anjani, sebagai apresiasi kalau ia berhasil berbaur tanpa canggung hanya dalam satu kali interaksi. Dilanjut dengan Aleon yang melepas jaket, menarik sweetshirt hitamnya hingga siku, lalu mulai meletakan biola di antara sisi bahunya.

Sore ini, Aleon tidak memainkan musik klasik seperti biasanya, memilih satu lagu dari Maroon 5 berjudul Memories, lalu mengubah musik band menyenangkan itu ke dalam alunan lembut biola tanpa menghilangkan hentakan semangat yang tersirat di dalam lagu. Anjani ikut bergabung ke dalam riungan teman-teman lansia, tugasnya, memimpin hentakan kaki dan jentikan jari yang akan dibunyikan bersama-sama mengikuti tempo melodi Aleon.

Sekarang Anjani paham, tentang jiwa-jiwa hilang, yang berhasil menemukan rumah di tempat ini. Perempuan itu, diterima sangat baik oleh mereka. Senyumnya ramah, pembawaan sopan dan menyenangkan, bahkan sekarang ia duduk di tengah-tengah Yani dan Martin selayaknya cucu mereka.

Aleon harap, hari ini Anjani bisa kembali merasakan hidup sejenak, walau serangan air mata tiap malam akan selalu menunggu di depan.

Terdengar suara dorongan kursi roda, beriringan dengan tarikan melodi terakhir dari biola. Itu Shelly yang baru tiba seusai lagu pertama berakhir, bersama Malinka yang terduduk di kursi roda.

Tatapannya selalu sama, selalu tampak kosong.

Karena tidak biasanya Aleon melihat wanita itu dibawa oleh kursi roda, ia segera berjalan menghampiri keduanya di ambang pintu, raut wajahnya terlihat khawatir.

“Kok pakai kursi roda? Ibu sakit?” tanya Aleon, seraya mensejajarkan diri.

“Waktu bangun tidur, kakinya tiba-tiba sakit, pegal sekali kalau dibawa berdiri lama-lama,” jawabnya. Malinka adalah salah satu penghuni paling muda dibanding yang lain, wajah dan intonasi suaranya masih terbilang segar.

“Iya, Le. Kan kasian kalau harus berdiri lama-lama di lift, dari lantai 3 ke bawah.” Shelly ikut menjelaskan.

“Ayo, Bu, gabung sama teman-teman yang lain, aku masih punya satu lagu lagi.” Lelaki itu menunjuk biola yang tadi ia taruh sejenak di atas kursi.

“Kamu memang pemain biola yang keren.” Tatapan Malinka membesar.

Aleon tersenyum mendengar pujian singkat dari Malinka. Ketika hendak bangun untuk mengambil alih kursi roda, Malinka menunjuk kue ulang tahun di atas meja.

“Itu kuenya, punya siapa?” tanya Malinka, kepalanya sedikit menengadah.

Lelaki berambut coklat di hadapannya tersenyum lagi. “Punya Ibu. Ini kan, hari selasa. Kata Ibu, hari selasa ada yang ulang tahun, kan?”

“Iya, hari ini hari selasa.” Sesimpul garis bibir tertarik di ujung jawaban.

Samar-samar Anjani menangkap sekelibat percakapan tiga orang di ambang pintu, ia memandangi dari barisan kursi. Mata dan telinganya terfokus pada Aleon, sebelum ia mendengar suara berisik dari langit di luar jendela.

Pesawat terbang melintas di atas langit senja.

Kedua kaki Anjani akan selalu bergerak otomatis mengikuti ke mana laju pesawat selama beberapa detik, sebelum akhirnya ia pergi menyusuri awan.

Refleks perempuan itu berlari keluar. Setelah mengangguk sekilas pada Shelly dan Malinka yang memandang kebingungan di ambang pintu melihat gelagat Anjani sebab meminta izin untuk bertemu satu burung besi yang melintas.

Untuk ke sekian kalinya, Anjani tidak akan pernah berhenti menganggap kalau salah dua penumpang di jajaran kursi kabin itu adalah kedua orang tuanya, yang sebentar lagi akan segera mendarat.

Lelaki dengan kalungan kamera di lehernya kini berpindah fokus pada Anjani, melemparkan tatap sendu pada perempuan yang sedang menengadah ke atas langit. Ia tidak mengucapkan kalimat apa pun, tapi Aleon yakin, kalau suara hatinya tengah berkecamuk lebih ribut dari suara mesin pesawat yang terdengar dari atas langit.

Tanpa direncanakan, tangan Aleon bergerak dengan sendirinya, meraih kamera pada kalungan leher untuk memusatkan titik fokus kepada Anjani, lalu menekan tombol potret. He loves to capture the memory and all the feelings in it.

Tiba-tiba Aleon merasakan sentuhan tangan halus di sebelah bahunya, tepukan singkat dari Malinka.

“Kamu suka memotret juga, ya? Boleh fotokan saya dengan kue ulang tahun itu?” pintanya secara hati-hati, seolah Aleon adalah fotografer asing yang tidak bisa sembarang memotret objek.