First snow in Tokyo, i miss you from 4,819km
Suhu udara semakin menurun tiap harinya, menyambut kedatangan musim dingin bersamaan dengan bunga-bunga sakura yang jatuh hingga menyisakan batang pohon—berdiri kosong tanpa hias warna warni mengisi ranting-ranting murung. Hari ini, cuaca jauh lebih dingin hingga menyentuh angka 5 derajat, memberi tanda akan butir kristal es dari langit yang semakin dekat menyapa Tokyo.
Sambil memandang lampu-lampu gedung dan jalanan kota yang mulai sepi, Ocean duduk menghadap jendela kamar pada ketinggian lantai 40 sembari meneguk coklat panas. Awas matanya sesekali pindah ke atas layar ipad, menanti kehadiran sosok favorit dari ujung sambungan.
Minggu ke dua di Tokyo, Jepang.
“Hai!” Panggilan terhubung. Audine menyapa dengan lengking suaranya yang khas. Sama-sama membawa satu cangkir berukuran lebih kecil, ada ukiran bunga tipis mengelilingi sebelah diameternya.
Ocean tersenyum dari balik cangkir yang ia teguk. Hangat dari coklat panas yang menghangatkan tubuh mulai terganti oleh hangat dari sorot mata Audine yang berkelip menyirat rindu. Masih ada buntalan handuk di atas kepalanya. Lagi-lagi, Audine tidak pernah absen dari rutinitas mandi di malam hari. Ada bayang-bayang aroma manis feminim dari tubuh perempuan itu yang seolah bisa terhirup menembus layar, semakin menyeruak menghangatkan jiwa di antara dingin cuaca malam di bulan Desember.
Senyumnya semakin melebar saat tatapnya jatuh pada kaus hitam bergambar Charlie Chaplin yang dikenakan Audine.
Ocean menurunkan cangkir putih yang menutupi setengah wajahnya. “Ih, kamu pake baju aku!” Perempuan itu tertawa seraya menarik ujung kaus dari kedua bahu, “Accidentally found your clothes in my closet, can i?” “Sure, i love seeing you in my clothes.” Ocean mengangguk tanpa ragu.
Mereka tertawa, gelak keduanya bersahutan dengan suara mesin pemanas ruangan dan detak jarum jam yang bergerak menuju waktu tengah malam di Jepang. Selisih waktu dua jam dari Indonesia. Terlihat dari binar mata Audine yang masih berseri-seri bertemu dengan sayu mata Ocean yang terlihat lelah. Bisa dipastikan kedua mata coklat itu akan segera menutup kapan pun lelaki itu menyentuh kasur.
“How’s the Hokkaido?” tanya Audine sembari menaruh cangkir ke atas nakas di samping tempat tidur. Lalu membuka gulungan handuk dari kepalanya, menggosok-gosokkan kain handuk pada helai rambut yang basah.
Ocean menegakkan tubuhnya. “Auuu, i’ve been feeling so excited buat cerita ke kamu apa yang aku liat hari ini!”
Kedua mata sayu itu kembali melebar, menyiratkan manik mata antusias yang terpancar bersama nada bicaranya yang mulai berubah seperti anak kecil kapan pun lelaki itu mengekspresikan hal-hal yang membuatnya excited.
Audine tertawa dan mengangguk-angguk, “Mau ceritainnnn! Kamu liat apa aja di sana?”
“Tadi aku, mama, papa, sama Alie berangkat naik Shinkansen.” Ocean membetulkan posisi ipad dan mendekatkan layar sedikit lebih dekat pada wajahnya. “Lumayan sih, empat jam perjalanan transit satu kali. Tapi nggak apa-apa soalnya aku seneng udah lama nggak jalan-jalan!” “Terus?” “Aku- eh maksudnya kita! Kita main ke Otaru!” Nada bicaranya semakin meninggi, bibirnya yang ia majukan secara tidak sadar membuat perempuan di ujung sambungan harus meremat selimut menahan kegemasan. “Oke adik, lalu ada apa di Otaru?” ucap Audine dengan suara mengayomi yang ia buat-buat, terdengar seperti guru TK sedang merespon kebawelan muridnya
“Ada kanal di sepanjang jalannya. Caaantik banget, Au! Tapi sayang aku datengnya siang, kalo malem pasti bakalan lebih cantik. Soalnya beberapa toko dan rumah-rumah di depannya udah mulai pasang lentera. Kebayang nggak, pantulan cahaya di atas kanal kalo malem bakal secantik apa.”
“Mau ada kegiatan apa pasang lentera?”
“Otaru snow light path. Kanal Otaru selalu jadi tuan rumah festival salju tahunan di Hokkaido, nanti bakalan banyak ukiran-ukiran salju sama lentera-lentera di sepanjang kanal. Terus di sampingnya juga ada jalur kereta api yang udah nggak aktif, Au. Nanti di situ bakal banyak patung-patung boneka salju yang dijadiin tempat buat Festival Sapporo. Jadi kita bisa nikmatin dua festival sekaligus.”
“Ih, wait, aku kebayang suasananya gimana di dalem kepalaku! Indah banget, Oceannn. Hahaha, ini aneh banget tapi di dalem kepala aku masa suasananya kayak di Narnia!” balas Audine tak kalah antusias dengan bola mata yang melebar.
Ocean menyambung kalimat seraya memajukan bibir bawahnya. Kali ini ia lakukan dengan sengaja. “Tapi festivalnya baru mulai diadain bulan Februari, aku abis tahun baru seminggu kemudian juga pulang ke Indonesia, liburnya udah abis.” “Yaaah..” “Yaaah, sayang dua kali deh…” keluh Ocean sembari mengikuti nada bicara perempuannya.
Audine terkekeh lalu menepuk-nepuk bagian atas laptop seolah itu adalah pucuk kepala Ocean. “Puk-puk, nggak apa-apa, someday you’ll see the snow light path in Otaru. Mungkin tahun depan, atau ada festival lain yang lebih cantik dan sempet kamu liat sebelum pulang? Who knows. I’m cheering you up from this Jakarta yang sumpek, macet, gerah, supaya kamu bisa main sama Olaf!”
Malam di Tokyo semakin larut, suhu cuaca kembali turun satu derajat pada 30 menit terakhir menuju waktu tengah malam. Ocean beranjak sejenak dari kursinya, menaikkan temperatur penghangat pada saklar di ujung kamar.
“Kalo kamu, ada cerita apa hari ini? Ayo gantian, aku mau denger kamu cerita!” ajak Ocean begitu tatapnya kembali bertemu dengan Audine lewat layar ipad.
“Aku hari ini main ke rumah oma. Ngobrol-ngobrol aja sih, oma juga ajak aku ngobrol masalah kedai teh lagi. Tapi aku nggak mau bahas yang itu ah, bingung aku, kapan-kapan aja.” Kata perempuan itu sambil mengangkat kembali cangkir berukir bunga dari samping nakas. “Ocean liat, ini teh racikan aku, aku diajarin oma bikin teh!”
Ocean mendekatkan wajahnya ke depan layar, seakan bisa menghirup aroma teh buatan Audine dari sana, “Woooah, teh apa itu?”
“Teh mawar.”
“Mawar bisa dijadiin teh?”
Audine tertawa. “Kaget ya? Sama, aku juga. So, since she love roses, aku bawain buket mawar merah tadi. Eh, oma malah ngajarin aku bikin teh mawar.”
“Mawar dari kamu langsung dijadiin teh?”
“Enggak, bikinnya pake mawarnya oma. Ini juga aku dikasih sama oma mawar dari beliau. Katanya, kalo mau bikin teh bunga usahain jangan bunga dari toko bunga atau pembibitan, soalnya kalo dari toko gitu kan pasti kena pestisida. Ntar kamu mati, Au! Gitu katanya.” Audine kembali tertawa di sela-sela ucapannya, “Oma bener-bener mirip banget sama kamu.”
Begitu pun dengan Audine yang selalu mengubah intonasi nadanya secara reflek saat perempuan itu menceritakan harinya kepada Ocean. Dengan kedua pipi chubby yang membulat, membawa secangkir teh ke depan kamera, gerak tangannya antusias menunjuk-nunjuk isi cangkir hingga tehnya nyaris menumpahi laptop.
Seakan lupa bahwa beberapa menit yang lalu ia baru saja menganggap Ocean seperti anak berumur tujuh tahun. Audine justru jauh lebih terlihat seperti anak kecil yang baru dibelikan balon. Ocean tersenyum menikmati ekspresi gembira perempuannya dari balik layar.
“Don’t you realize? Semakin sini kamu juga semakin mirip sama aku dan oma tau, bahkan sama Alie.” Ocean meledek. “Look at your cheeks! Pipi kamu kayak bapau!”
Audine berdecih, memutar bola matanya sambil meneguk teh mawar dari dalam cangkir.
“Nanti pas aku pulang, bikinin aku ya! Wanna try your handmade roses tea. Pasti enaaak banget!” Ocean berseru riang.
“Hahaha, with my pleasure!”
“I will enjoy the tea along with the bread on your cheeks,” ujar lelaki itu dengan ekspresi jahil dan smirk tipis yang ia tarik sebelah. Membuat warna pipi Audine berubah senada dengan bunga mawar.
Menit-menit menuju waktu tengah malam di Jepang, tidak ada percakapan lagi setelah itu. Audine sibuk mencoret-coret buku agendanya, diiringi alunan keyboard dari Ocean, Meet again by Gianluca Podio. Lelaki itu sempat beranjak sebentar menuju kamar Aliesha di sebelah, mengambil satu keyboard berwarna putih yang ukurannya tidak terlalu besar. Ocean mengendap-endap tanpa suara demi tidak mengganggu adiknya yang telah terlelap.
Matanya menatap teduh ke arah perempuan di dalam layar. Audine menunduk, terlihat ujung pulpennya yang bergerak tengah menulis sesuatu di bawah sana. Ocean mengalunkan alunan melodi indah dari jari-jari yang menari di atas tuts. Gerak ranting-ranting pohon sakura tanpa bunga terbawa oleh angin mengayun seirama, seakan ikut menari mengikuti iringan melodi dari keyboard yang ia mainkan.
Bias cahaya terpantul dari sinar bulan, menyorot lembut menembus lapisan kaca. Bagai sorot lampu panggung yang mengarah tepat pada dua orang yang berbincang di belakang jendela. Ocean tersenyum merasakan hangat dari dingin suhu malam.
Kehadiran Audine di bawah cahaya bulan menciptakan suasana romantis pada Tokyo yang dingin, walau sosoknya terjebak di dalam layar, terpisah oleh jarak.
Tiba-tiba, satu titik benda putih pertama pada tahun ini jatuh dari langit, tepat gerak jarum jam berhenti di angka dua belas. 00.00 AM, first snow in Tokyo.
Ocean menghentikan gerak jarinya dari atas tuts. “Au, the first snow has fall!”
Sontak Audine langsung mengangkat wajahnya dengan mata melebar, menyingkirkan buku dan pulpen dari pangkuan, “BENERAN?!” “I’m gonna switch the camera, ayo Au kamu harus liat!” balas Ocean sangat antusias.
Lelaki itu mengalihkan tampilan ke arah kamera belakang, membiarkan Audine menyaksikan butir-butir salju yang kini turun semakin banyak. Perempuan itu memekik dengan mulut menganga. Wajahnya bergerak maju hingga berada tepat di depan kamera, seakan tidak mau kehilangan momen indah yang ia lihat untuk pertama kali di dalam hidupnya. Ocean terkekeh, buru-buru dirinya merekam layar.
“Is the first snow-fall always be this beautiful? GOSH, ini pemandangan tercantiiik yang pernah aku liat selama aku hidup! Ocean.. i wish i was there.”
“You already here. You are watching the first snow with me here, Au.” Lelaki itu membalas dengan penuh kehangatan.
Ocean kembali mengalihkan kamera depan. Kini sorot mata keduanya saling mengunci pada manik penuh bintang di antara salju yang turun. “Let’s make a wish,” ajaknya.
Audine mengangguk, perempuan itu memejamkan mata serta menyatukan kedua tangan. “I wish, i can see the first snow with you someday. In person.” Audine menyuarakan isi hatinya dengan mata terpejam.
Ocean terkekeh. “Okay, sekarang giliran aku.”
Lelaki dengan balutan sweater putih itu kini melakukan hal yang sama dengan Audine. Ocean memejamkan mata, mengucap rangkaian kalimat di dalam doanya.
“I wish, i can see the first snow with you someday, in person. Walking down in the path light between the prettiest canal in Otaru. Holding hands, kiss and hugging under the fallen snow. I wish, we can go to the Sapporo Festival and play with Olaf together, Au.”
Ocean mengakhiri kalimatnya seraya membuka mata, disambut oleh senyum manis Audine yang dari tadi terlempar teduh hanya kepadanya.
“I miss you,” ucap Audine, membalas sederet harapan yang tersuara menjelajahi ruang telinga pada hening malam.
Di antara ribuan butir salju yang turun di atas kota Tokyo, jalan dan pohon sakura yang mulai diberi sentuhan warna putih bersih di bawah sinar bulan dan lampu kota. Ocean meniup scented candle beraroma laut di sampingnya sebagai penutup dari dua harapan malam ini, tepat pada jam tengah malam, lebih dua puluh menit. It’s the most wonderful zero o’clock session.
“00.20 AM record, from 4,819km, winter in Tokyo. I miss you more, Audine.”