147; A sad state of affairs


​“Jan, lo punya twitter nggak sih?”

Dari ruang tengah, Atharya menghampiri Anjani ke set meja dapur—seringkali difungsikan sebagai meja makan. Memecah fokus saudara kembarnya dari kegiatan menyuap es krim, sudah hampir satu jam ia menemani Akhailan bergelut dengan teflon dan sutil. Semenjak kedatangan Akhailan dua hari lalu, seluruh kegiatan memasak diambil alih olehnya, sehingga meliburkan pendengaran dari suara dentingan bel yang biasa ditekan oleh kurir makanan.

Anjani menjawab dengan gelengan kepala, berpura-pura kalau akun d2018ied tidak pernah ada.

“Bikin. Biar tau kelakuan anak-anak kayak apa. Hiburan tau, Jan.” Lelaki itu tiba-tiba tertawa. “Sekalian, dapet bonus liat kebodohan Aleon.”

Suapan sendok selanjutnya kembali berhenti begitu Anjani mendengar nama lelaki yang sudah dua kali membuat rona pipinya memerah. “Kenapa?”

“Dia bego deh, kan kalau di twitter tuh apa yang kita like bakalan muncul di timeline followers ya. Terus, Leon nge-like-in foto lo secara santai seolah lupa kalau notifikasinya nggak akan masuk ke gue. Dan lupa kalau foto lo juga akan muncul di beranda anak-anak.” Jawaban Atharya mendapat sahutan tawa dari Akhailan.

Sekarang, kedua bola matanya membulat, apalagi setelah mendengar kekehan Akhailan. Walau posisinya membelakangi keduanya, Anjani tahu, kakak laki-lakinya kini pasti semakin yakin untuk berasumsi kalau ia mulai menaruh hati pada Aleon. Ia segera merebut cepat ponsel Atharya, mengucapkan beberapa kalimat dengan artikulasi yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri, sebab kepala sendok masih terjebak di dalam mulutnya.

Gue gmmpunya twmtter kmmnapa dia nemuin fmto gue mmmleon liat dmmna?”

“APA SIH, CABUT DULU APA.” Bulatan mata Atharya tidak kalah besar, ia bangkit dari kursinya untuk mengeluarkan sendok dari mulut Anjani. “Apa? Ulang.”

“Dia ketemu foto gue darimana?”

“Akun gue. Gue abis upload foto-foto lo sama Mas Ai ke twitter. Terus Aleon nge-like, tapi cuma foto yang ada lo-nya doang. Doesn’t he look so obvious?” Tatapan lelaki itu memicing, dan meledek secara bersamaan, seolah menjelajah hingga ke sudut terdalam manik mata Anjani, mencari sesuatu yang mungkin tengah disembunyikan oleh kembarannya. “Leon suka sama lo nggak sih?”

Tenang. Tenang. Tahan.

Di antara suara desisan sesuatu yang ditumis, Akhailan memasang telinga tajam-tajam. Apakah adik perempuannya akan menunjukan reaksi sama seperti pertama kali mendapat pujian cantik.

Nihil, nyatanya ia tampak tenang. Anjani mengangkat bahu, meletakan lagi ponsel Atharya dan kembali menyuap satu sendok es krim dari dalam mangkuk seperti itu bukan hal penting. “Iya kali. Atau ya emang pada dasarnya gue cakep aja. Bukannya cowo-cowo akan selalu gitu? Pay attention to every beautiful girl’s photos?”

“Ternyata selain dingin kayak kulkas daging, lo juga sombong dan menyebalkan kayak monyet. Lo merasa cakep banget, ya?” Sebelah bibir Atharya menyungging.

Anjani mengangkat bahu lagi. “Nggak tau. Coba tanya Aleon.”

“SOK CANTIK BANGET MALES. MAS AIIIIIIII PENGEN NONJOK JANI, BANGET! MAS AYO TONJOK,” pekik Atharya gemas seraya bangun dari duduknya, menyendok es krim dari tangan Anjani lalu menjejalkannya seakan tengah menyuapi anak bayi perempuan dengan bubur. Lai kembali pergi ke sofa dengan wajah kecewa karena gagal melihat perempuan (sok) dingin itu salah tingkah.

Sambil menjilati sisa es krim di sekitar mulutnya, kedua mata Anjani mengikuti punggung Atharya sampai sosoknya benar-benar menghilang dari balik sekat dinding. Setelah yakin kalau kini di dapur hanya ada dirinya dan Akhailan, Anjani segera bangun dari kursi, berlari dan memeluk tubuh Akhailan dari belakang.

“Mas Aiiiiiii, takut! Tolong, kalo abis ini dia bilang aku cantik lagi kayak kemarin gimana! Emang kalau dia like-in foto aku artinya dia suka sama aku?” ucapnya nyaris tak terdengar sebab wajah merahnya tenggelam di dalam punggung sang kakak. “Mas, bantuin please! Kalau Atha ngomongin Aleon kamu alihin topik dong, atau kamu aja kek yang nyaut. Ya, ya, ya, Maaaas. Pipiku merah lagi! AH, KAN. Merah kah?”

Tidak sanggup menahan geli, Akhailan memutar badan dan menepuk-nepuk pucuk kepala adik perempuannya sambil tertawa. “Jadi kalau reaksinya kayak gini, Aleon yang suka kamu, apa kamu yang suka Aleon?” godanya, tidak mau kalah.

Lalu berhasil membuat rona pipi Anjani bersaing dengan tumisan tomat di dalam wajan.

Makan malam kali ini terasa berbeda dengan adanya kehadiran Akhailan. Sudah terhitung satu bulan Anjani tinggal bersama Atharya, dan hubungannya pada kakak lelakinya sama sekali tidak merenggang. Semakin jauh jarak terpaut, justru ia semakin paham kalau ia sama sekali tidak bisa jauh darinya, hanya Akhailan satu-satunya sosok orang tua yang mereka miliki.

Setelah seluruh hidangan habis dan piring-piring kotor berpindah pada kitchen sink, giliran blueberry cheesecake buatan Anjani mengambil panggung. Hampir 4 tahun perempuan itu tidak pernah menyentuh alat baking, tapi skill yang Anjani miliki tidak sedikit pun terpengaruh.

Manis, asam, gurih dari suapan soft cake segera meleleh di dalam mulut, paduan rasa yang membuat Atharya mampu berbicara dengan mulut penuh, sungguh menggebu hingga serbuk kue dari mulutnya keluar dan mengenai punggung tangan Anjani (jangan tanya, tragedi serbuk kue itu nyaris membuat Atharya masuk ke dalam microwave). Lelaki itu bereaksi, mungkin Anjani akan segera direkrut menjadi chef tutor di hari pertama baking class besok, dan meminta Anjani untuk merekam kegiatan seperti vlogger.

Baru dua hari Akhailan menginap, dan keributan dari dua adiknya akan selalu menjadi pemandangan yang selalu ia tunggu. Akhailan tahu kalau ‘pertengkaran’ adalah cara Anjani dan Atharya menyuarakan kasih dan sayang. Itulah mengapa selalu ada perasaan hangat setiap kali melihat dua adiknya saling melempar picingan mata, berbicara dengan bibir maju, atau pun mengadu padanya untuk menjitak salah satu dari mereka karena berbuat nakal. Pemandangan yang menurutnya jauh lebih indah dibanding awan-awan di antara biru langit, adalah di saat Anjani dan Atharya tertawa.

Semua tampak bahagia malam itu, bertukar cerita dan dijawab oleh tawa. Sebelum akhirnya Akhailan membawa percakapan pada konteks yang lebih serius.

Tawaran pindah maskapai di luar negeri. Yang artinya, Akhailan harus meninggalkan kedua adiknya sendirian tanpa sosok orang tua di sisi keduanya.

Akhailan menyelesaikan sekolah profesi di usia 21 tahun. Di tahun selanjutnya, ia melanjutkan program cadet pilot untuk mengantongi 500 jam terbang, dan berhasil mendapatkan lisensi CPL sebagai tanda kalau Akhailan telah sepenuhnya layak menerbangkan pesawat komersial dan membawa penumpang.

Lisensi-lisensi selanjutnya berhasil Akhailan raih, jumlah jam terbang kian menambah seiring berjalannya pengalaman. Sampai di umurnya yang ke 26 tahun, lelaki itu telah memiliki tiga buah garis di seragamnya—di atas pundak, sebagai pemilik pangkat First Officer. Ia menjadi yang kedua di komando, bersama kapten di kursi kirinya dalam menavigasi dan menerbangkan pesawat.

Satu langkah lebih dekat sampai ia berhasil meraih gelar kapten, pangkat dan profesi yang sudah lama menjadi cita-citanya dari kecil. Bahkan, saking cintanya Akhailan terhadap profesinya, tragedi hilangnya pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya tidak cukup mampu untuk membuat Akhailan meninggalkan mimpinya.

Tapi jelas tidak semudah itu, masih banyak hal yang perlu ia lewati, proses yang harus ia geluti sampai suatu hari nanti Akhailan dapat berdiri gagah dengan 4 garis pangkat berwarna emas di atas pundaknya. Dan tawaran pindah maskapai, adalah salah satu cara untuk memenuhi serangkaian tahap menuju mimpinya.

Berkali-kali Akhailan meyakinkan diri kalau ini adalah momen yang tepat, tatapnya mengarah kosong pada karpet bulu di depan, memikirkan segala reaksi kecewa dari kedua adiknya. Terutama Anjani. Namun tetap, ini saatnya.

“Jani, gimana mood kamu akhir-akhir ini?” Akhailan membuka percakapan dengan menanyakan kabar. “There’s something messing you up?”

Anjani tersenyum. Senyum yang Akhailan harap tidak lagi lenyap, sekali pun setelah mendengar sesuatu yang akan Anjani dengar hari ini.

Ia menjawab, “Much better. Seperti alasan awal kenapa aku mau pindah ke sini karena mengharapkan energi baru, sejauh ini, aku ngerasain adanya perubahan baik. Yang awalnya aku sedikit khawatir, takut malah semakin merasa sendiri karena di sini aku cuma punya Atha, sedangkan kegiatan Atha banyak. Tapi, temen-temen Atha super welcome dan selalu ngebantu aku untuk nggak merasa sendiri.”

“Dia ngomong kepanjangan, Mas, muter-muter. Biar aku translate.” Atharya ikut menyahut. “Aleon. He’s the one who helps Anjani that much. Sisanya mah, basic.” Anjani menatap nyalang dan secara bersamaan tatapnya memberi sinyal pada Akhailan untuk minta diselamatkan.

“Apa contohnya?” tanyanya, terkekeh. Akhailan malah membuka ruang untuk melibatkan nama Aleon ke dalam percakapan lebih lanjut.

“Selain nyentuh alat baking, Mas pernah liat Anjani main piano lagi? Kalo nggak, kita harus bilang makasih sama Aleon.” Lelaki bermata kelinci itu menjawab. “He’s the one who makes the piano sound less scary to Anjani.”

Kalau saja Akhailan bisa mengucapkan kalimat ini sebagai sahutan, tanpa mendapat kutukan dari adik perempuannya, pasti dia akan bilang, ‘Now I know why you blushed so much whenever hear his name. Go have a crush on him, then.’ Tapi respon yang keluar hanyalah. “We should thank him for helping Jani, then.”

Percakapan dua lelaki yang mendapat protes dari Anjani untuk segera pindah ke topik selanjutnya karena khawatir pipinya akan memerah, lagi.

“Kalo kamu, Tha? Gimana kegiatannya? Ada yang rese nggak?” Akhailan kembali memimpin percakapan.

“Aman, Mas. Normal aja kok. Senengnya cukup, ya hal yang bikin sedihnya juga cukup. I enjoy as my life goes.”

Uluran tangan segera pindah ke atas pucuk kepala Atharya untuk mengusap helai rambut adik lelakinya dengan hangat. “Kamu udah makin dewasa.”

Gantian Atharya yang menarik senyum. “Mas nggak usah khawatir, aku sama Anjani baik-baik aja di sini. She’s my other half, everything will be fine as long as we are together.” Anjani mengangguk setuju, binar matanya sama berkilaunya dengan kerlipan tiga anting mutiara di masing-masing telinga.

“Kalau gitu…,” Akhailan menjeda kelimatnya ragu, jantungnya tiba-tiba berdetak menyuarakan perasaan takut. “Kalau gitu, kalian berdua baik-baik aja kalau aku nggak ada di sini?”

Of course.”

“Nggak ada di sini? Maksudnya ‘nggak ada di sini’?”

Dua jawaban tersuara dengan masing-masing reaksi berbeda. Atharya yang menganggap kalau maksud Akhailan adalah ia yang tidak tinggal satu tempat dengan mereka, dan Anjani yang menangkap dengan cepat perubahan intonasi canggung di dalam kalimat kakak lelakinya.

“Mas? Mas Ai mau ke mana?”

Suhu kamar mendadak lebih dingin dua kali lipat ketika Anjani melontarkan pertanyaan yang sangat ditakutkan Akhailan. Secara bersamaan, Atharya pun ikut menangkap maksud dari ucapan sang kakak.

“Mas Ai, kamu mau pergi?” sambung Atharya.

Tatapan kedua mata bingung dari Anjani dan Atharya membuatnya semakin berat untuk meminta izin, semakin berat jika akhirnya Akhailan harus benar-benar nekat meninggalkan kedua adiknya sendirian demi meraih cita-cita.

Sepuluh detik Akhailan mendiamkan pertanyaan mereka, respon tubuhnya semakin membuat kedua adiknya yakin kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi sebentar lagi. Berkali-kali Akhailan membuka mulut tapi tidak jadi bersuara, ia hanya memutar-mutar sendok di dalam piring berisi cheesecake buatan Anjani.

Dan diamnya Akhailan, justru mampu menghantarkan rasa takut dan khawatir lebih hebat pada Anjani. Sampai akhirnya, ketakutan dalam diri perempuan itu disuarakan oleh intonasi tinggi.

“Mas Ai! Kamu mau ke mana?” Anjani membentak. Rasa takutnya akan kehilangan kembali menguasai jiwa yang belum sepenuhnya pulih.

Dengan bermodal satu tarikan napas panjang, Akhailan akhirnya menjawab dengan rasa bersalah. “Atha, Jani, there’s a pilot recruitment at one of my dream airlines. 3 tahun lalu, aku belum mampu untuk tembus ke sana karena pengalamanku jelas masih kalah saing. Dan tahun lalu, di saat aku merasa siap untuk bersaing dan ikut kualifikasi, situasi yang nggak membuat aku mampu untuk pergi ke sana. Aku nggak bisa ninggalin kalian, terutama kamu, Jani. Keputusan ini berat banget buat Mas, bahkan untuk sekedar minta izin. Tapi, aku rasa kalian juga perlu tau. Tentang aku dan mimpi-mimpiku. Tentang aku, dan janjiku sama mami dan papi kalau suatu hari nanti, akan ada 4 garis emas di atas seragam yang aku pakai.”

Sama seperti Anjani yang belum mau mengakui kalau pesawat kedua orang tuanya sudah tidak lagi menjelajah di atas langit. Begitu juga dengan Akhailan. Hampir setiap hari, dari balik kaca pesawatnya, lelaki itu berharap kalau ada sosok kedua malaikatnya bersembunyi di balik awan. Melambaikan tangan, dan tersenyum bangga ketika melihat dirinya berhasil menyelusuri langit biru lebih tinggi dengan seragam pilotnya.

“Di Dubai?” Atharya bertanya, tenang. Yang segera dibalas oleh anggukan berat oleh Akhailan.

What’s wrong with your current airline?” Dengan nada suara yang jauh berbeda dari kembarannya, Anjani kembali meluapkan ketakutan ke dalam kalimat. Berharap apa yang diucapkan kakaknya tidak benar-benar akan terjadi. “Mas, ratusan ribu orang gagal dalam kualifikasi, ratusan ribu calon pilot gagal kejar mimpinya di maskapai kamu saat ini. Kamu udah keren, Mas, banget, mau berapa pun jumlah baris di seragam kamu, apa pun pangkat kamu. Bahkan, tanpa harus pergi ke maskapai luar, aku yakin kemampuan yang kamu punya saat ini bisa dapetin pangkat kapten yang kamu mau.”

“Aku punya kemampuan. Tapi banyaknya pengalaman membuktikan kalau kita benar-benar memiliki kemampuan.” Akhailan menyahut, mengontrol nada bicaranya selembut mungkin agar Anjani tidak merasa terintimidasi.

“Tapi kenapa harus di sana?” Suara Anjani mulai bergetar.

Akhailan menjawab dengan satu kalimat pendek yang ia harap bisa mewakili isi hatinya. “Ada mimpiku di sana, Jan.”

Sungguh, ini bukanlah hal mudah bagi Akhailan, berada pada posisi di mana harus memilih antara mimpi dan waktu untuk kedua adiknya. Entah siapa yang layak untuk disebut egois atau pun mengalah. Keinginan Akhailan untuk menggapai mimpinya bukanlah suatu kesalahan, dan ketakutan Anjani akan kehilangan juga bukanlah suatu hal yang dapat diprotes.

“Jani. Maaf kalau aku bikin kamu harus merasa takut. Tapi aku janji, kalau aku lolos dan benar-benar pindah ke sana, I’ll be fine there, aku pasti akan pulang ke sini. Aku nggak akan ninggalin kamu dan Atha sendirian.”

Anjani menggeleng, bibirnya tertutup rapat namun ada getaran yang ia tahan. Tidak ada sama seali keinginan untuk membiarkan kakak lelakinya pergi. Dan Atharya, dari tadi hanya menunduk, menatap mata Akhailan setiap kali kakaknya berbicara, lalu kembali menatap kosong pada sepiring cheesecake yang sekarang enggan dia santap.

And I think, this is the right time for me to ask permission, cause you’re getting better now.”

Anjani tertawa sarkas. “I’ve only felt healed for only a month, and you’ve been acting like I’m completely healed. How selfish you are, Mas Ai.” Air mata telah terbendung sempurna pada kedua kelopak matanya, siap untuk dijatuhkan kapan saja. “Seenggaknya, nanti.”

Sebelum Akhailan membalas dengan kalimat-kalimat yang akan jauh membuatnya semakin merasa bersalah. Atharya tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan mengutarakan jawaban yang membuat Anjani jauh lebih kecewa.

Go chase your dream, Mas. Kejar mimpi Mas Ai kalau emang mimpi Mas ada di sana,” ujarnya dengan senyum pasrah namun penuh dukungan.

Tanpa membiarkan jeda barang satu detik, perempuan itu menoleh pada Atharya dengan cepat. “Are you serious? You let him go?”

We let Mas Ai chase his childhood dream. He’s not going anywhere. Kita hanya akan merasa kehilangan sebentar, Jan, everything will be fine dalam beberapa waktu. Setelah itu, akan muncul perasaan bangga. Don’t you feel proud of your brother?”

Air mata Anjani akhirnya lolos, membasahi kedua pipi halusnya diikuti dengan gelengan tidak terima. Seringai bibirnya tertarik, namun menyakitkan untuk dilihat. “I thought you were on my side, but I forgot, you were the one who left me first.

Dan, Atharya terdiam.

Suasana malam ini mengingatkan Anjani saat pertama kali Atharya meminta izin untuk melanjutkan pendidikan di luar kota, dan meninggalkan Anjani sendirian di titik terapuhnya. Tidak ada lagi teman berbicara, tidak ada lagi sosok yang dapat memeluknya setiap kali Anjani menangis akan suara ledakan di dalam mimpi-mimpi buruknya ketika Akhailan juga sedang mengudara.

Kecuali, benda-benda tajam yang menciptakan goresan merah pada kulitnya. Sampai sebuah gunting dan silet menjelma menjadi teman setianya setiap malam.

Perempuan itu bangun dari duduknya, mengambil jaket di atas sofa lalu bergegas menuju pintu.

Akhailan membulatkan matanya lebar. “Anjani, mau ke mana?”

“Kafe bawah. Panggil aku kalau keputusannya udah bulat. Aku nggak mau memberi suara pada pilihan yang nggak mau aku pilih.”

Pintu tertutup sempurna. Kehadiran awan gelap di dalam kamar menggantikan sosok Anjani yang hilang dibalik pintu.