12; A boy looking for a place to go home
Untuk sebagian orang, musik tidak hanya diartikan sebagai alunan melodi yang dirajut oleh susunan not. Tapi, ia berlaku selayaknya penerjemah bagi mereka. Penerjemah dari berparagraf kalimat di dalam kepala, yang gagal disuarakan oleh bibir. Atau bisa juga difungsikan sebagai penghimpun potongan-potongan kejadian. Di saat satu judul spesifik terputar, bayangan seseorang akan hadir di dalam kepalanya, menyeretnya menuju hari di mana waktu bahagia bersama seseorang spesial berlangsung.
Namun hari ini, hentakan kaki dan petikan gitar yang dimainkan semangat tidak bermaksud untuk menyuarakan perasaan, maupun memaksa untuk mengingat suatu momen.
Sambil menganggukan kepalanya mengikuti hentakan tempo, mata yang ikut berbicara ketika bibir bersenandung, Aleon menggunakan gitarnya untuk berinteraksi, dengan riungan orang-orang berambut putih yang duduk melingkarinya. Para lansia.
Hari selasa di minggu ke sekian, Eudaimonia Senior Living.
Ketika melodi dari petikan gitar masuk untuk pertama kali, Aleon mengangguk-anggukan kepalanya sebanyak tiga kali sambil bergumam ‘1...2…3’ tanpa suara, memberi tanda untuk memudahkan para lansia, kapan waktunya bagi mereka bersorak. Karena Aleon sangat mengerti, penurunan fungsi otak yang menurun secara perlahan seiring bertambahnya usia, pasti membuat sembilan manusia di depannya kesulitan untuk menangkap ketukan musik.
“Okay, liatin anggukan kepalaku, ya! Pam, pam, pam,” Aleon mengangguk-angguk seraya menyuarakan suara selayaknya memandu anak-anak. Memang benar, semakin lanjut usia mereka, kepribadiannya justru kembali lugu, seperti anak-anak.
Tepat dianggukan keempat, Pak Bill, pria berusia 71 tahun dengan percampuran darah Jerman yang tampak paling semangat setiap kali agenda terapi musik dimulai, menangkap perintah dengan cepat.
Pak Bill bersorak, “Ho!” Lalu ketukan selanjutnya, “Hey!” Aleon mengacungkan jempol, sambil menyuarakan suara dari tengah kerongkongan. “That’s right! You got it, Mr. Bill! Sekarang kita mulai sama-sama, 1…2…3…”
(Ho Hey – The Luminers)
“I’ve been trying to do it right, I’ve been livin’ a lonely life, I’ve been sleeping here instead, I’ve been sleeping in my bed. Sleeping in my bed.”
Bunyi hentakan kaki yang diikuti sahutan sorak ‘Ho’ dan ‘Hey’ oleh para teman-teman lansia di tiap jeda nyanyian Aleon, berhasil membuat binar matanya bersuara lebih kencang dari lantunan bibirnya.
“So show me family, all the blood that I will bleed, I don’t know where I belong I don’t know where I went wrong, but I can write a song.”
I belong with you, you belong with me, you’re my sweetheart. I belong with you, you belong with me, you’re my sweet.
Mereka turut mengangguk dan menghentakan kaki bersama-sama di antara petikan gitar, garis-garis wajah pada orang-orang itu terlihat semakin berkerut jelas sebab ditarik oleh senyuman tawa. Seperti kembali muda. Pemandangan yang akan selalu menghangatkan hati Aleon. Lebih sejuk dari aroma tumbuhan hijau di balik jendela dan wangi cendana dinding kayu klasik yang menyeruak di dalam ruangan.
Tapi, untuk ke sekian kalinya kehangatan itu diluruhkan oleh eksistensi wanita berambut sebahu, ia duduk di kursi paling ujung. Wanita itu hanya menggerakan kepalanya, tanpa ikut bersenandung, apalagi tersenyum. Ada satu kotak kue ulang tahun di atas pangkuannya. Kue ulang tahun yang selalu Aleon beli setiap hari selasa. Itu bukan untuknya, tapi untuk wanita di kursi paling ujung.
Malinka, namanya Malinka. Anggota panti termuda yang kira-kira usianya masih jalan 50-an.
Sampai sekarang, Aleon masih belum menemukan jawaban, kenapa Malinka selalu meminta kue ulang tahun setiap hari selasa. Tidak ada clue yang Aleon dapatkan selain kalimat ‘Hari ini ada yang ulang tahun’, kata Malinka setiap kali melihat gambar kue dan lilin tergambar pada jadwal hariannya.
Tidak mendapatkan jawaban bukan alasan bagi Aleon untuk menghiraukan permintaan Malinka, yang bahkan lebih terlihat seperti orang sedang berhalusinasi kalau ada perayaan ulang tahun setiap minggunya. Tidak tahu kenapa, tetap saja Aleon ingin menuruti. Karena, ketika Aleon memberikan wanita itu kue ulang tahun, Aleon juga mendapatkan sesuatu yang paling sulit ditemukan dari Malinka. Senyuman.
Aleon senang melihat wanita itu menarik senyumannya. Tarikan bibir yang menariknya kabur dari suatu perasaan.
Kehilangan.
Lewat kebersamaannya dengan teman-teman lansia di sana, Aleon mendapatkan kembali hangat dari sentuhan orang tua, yang sejak lama tidak pernah ia rasakan. Dan lewat simpulan bibir Malinka, Aleon seperti melihat, ibunya hidup kembali.
Walau mustahil. She-is-not-here. Gone.
Tempat ini terasa seperti rumah bagi Aleon. Itu sebabnya ia seolah memiliki lebih banyak teman-teman lansia dibanding teman sebaya. Sangat menyenang baginya, berinteraksi dengan mereka menggunakan alat musik. Bermain catur dengan Pak Martin, mendengar pujian dari Pak Bill setiap kali ia beraksi dengan gitar maupun biolanya. Aleon senang membelikan Malinka kue ulang tahun dan dibayar dengan senyuman.
Lelaki itu, senang berlama-lama menghabiskan waktu bersama teman lansia.
He’s just a boy looking for a place to go home.