77; Two wooden dolls under a black umbrella
Kamaniya. Berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti, cantik—bentuk lain dari Kamanika. Anak perempuan itu menyuarakan tangisan pertamanya, 7 menit sebelum terbitnya matahari di hari Rabu, 8 Desember 2004. Suara yang kala itu langsung bersahutan dengan tangis Atharya—lahir 10 menit lebih dulu—belum juga berhenti menangis seperti takut saudara kembarnya tidak ikut menyusul ke dunia.
Tidak perlu menunggu sampai suaranya serak bagi bayi Anjani untuk berhenti menangis, karena begitu tali plasenta diputus, justru Anjani menghentikan tangisnya, dan menarik sekilas senyuman pertamanya tanpa disangka.
Cantik. Satu kata yang disuarakan oleh seluruh orang di ruang bersalin saat melihat Anjani tersenyum begitu plasenta pada tubuhnya berhenti terhubung oleh sang ibunda. Senyuman cantik luar biasa yang seolah menyiratkan kata terima kasih pada ayah dan ibu karena telah melahirkannya.
“Kamaniya,” ucap sang ayah dengan tatap penuh kilau air mata di bawah surgical light. “Aku percaya dia akan tumbuh sebagai perempuan cantik yang akan selalu hidup di dalam rasa syukur. I will be the first man who fall for her, before another man will fall for her smile. Kamaniya. Anjani Kamaniya.”
Sudah 15 menit berlalu Anjani mematut diri di depan cermin, mengompres masing-masing kelopak matanya menggunakan es batu karena khawatir Aleon akan menangkap sembab di bawah matanya dan berakhir mengajukan pertanyaan ‘kenapa?’. Anjani benci pertanyaan ‘kenapa’. Sebab baginya, itu adalah satu kata mematikan yang akan memaksanya untuk menjelaskan suatu kejadian yang sepenuh jiwa berusaha ia kubur.
Berkali-kali Anjani berusaha menarik senyuman, sembari mengingat kembali gemaan suara ayahnya yang akan selalu bilang, ‘Halo, Kamaniya. Masa senyum cantiknya dikalahin lama-lama sama air mata, sih? Anak perempuan ayah paling keren, nggak boleh sedih lama-lama’, setiap kali melihat Anjani menangis. Persetan dengan arti nama Kamaniya. Justru sekarang, perempuan itu lebih memilih untuk terpusat pada arti nama Anjani, yang berarti ilusi, fantasi, dan khayalan. Anjani harap, kelahirannya ke dunia hanyalah sekedar ilusi. Atau setidaknya, Anjani diizinkan untuk kembali mendengarkan kalimat sang ayah di samping telinganya walau itu hanya sebatas ilusi. Kalau saja Anjani tahu jika upayanya mengompres bengkak mata menggunaka es batu adalah hal sia-sia. Sebab Aleon telah berdiri di depan pintu kamarnya dan mendengarkan suara tangisan bergema di antara alunan keyboard. Namun begitu Anjani keluar, perempuan itu tidak melihat sosok Aleon sedikit pun. Itu karena, Aleon sengaja pergi dan masuk ke dalam kamarnya sendiri agar Anjani tidak merasa malu kalau tahu suara tangisnya didengar orang lain. Dan diam-diam Aleon menguping di balik pintu, untuk mengambil ancang-ancang keluar begitu langkah perempuan itu terdengar.
“Hai.” Aleon menyapa, berpura-pura seolah ia benar baru saja keluar dari kamarnya.
Anjani tersenyum tipis dan melambaikan sebelah tangan singkat. “Biolanya? Katanya lo mau bawa biola?”
“Nggak jadi. Kapan-kapan aja. Kan, malam ini gue mau jadi guru les piano,” jawab lelaki itu meledek.
Celana jeans hitam, dan turtle neck berwarna senada. Setelan Aleon malam ini dinilai terlalu rapi untuk ukuran orang gabut yang mengajak manusia lain mengunjungi kafe jam setengah 12 malam. Tapi alih-alih menanyakan darimana, Anjani lebih terpusat pada warna baju sama yang selalu ia lihat selama seminggu berturut-turut setiap kali berpapasan singkat dengan lelaki itu.
“Ok, nanti kalau sukses ngajarin si murid main piano dalam satu kali pertemuan, bayarannya berupa baju warna putih. Biar lemari baju lo isinya nggak hitam doang.” Tidak mau kalah, Anjani meledek balik.
“Bayaran gampang,” Aleon maju satu langkah lebih dekat dengan Anjani, “coba injak pedalnya aja dulu yang bener,” sambungnya, seraya mengacak singkat rambut Anjani, lalu berjalan lebih dulu menuju lift.
Perempuan itu berdecak. “Jangan diacak, nanti anak-anak rambutnya pada berdiri!”
Yang diteriaki hanya bisa tertawa, karena gerutuan perempuan itu terdengar lebih lucu dibanding ekspektasi yang Aleon ciptakan saat Anjani membalas pesan dengan tambahan huruf panjang di ujung kalimat tadi pagi.
Sudah berjalan satu minggu lebih Anjani tinggal di tower apartemen itu, tapi, tidak ada sudut mana pun yang ia jelajahi selain rute menuju kamarnya. Ada restoran di dalam gedung yang diperuntukan untuk umum di lobby utama. Tapi ternyata, bukan restoran itu yang Aleon maksud. Karena lift terus bergerak turun ke lantai paling dasar. Basement.
“Basement? Loh, bukannya, kafe yang lo maksud itu restoran di lobby? Di sana ada pianonya, kan?” Perempuan itu membesarkan bola mata begitu mesin lift membawa dirinya turun semakin dasar.
“Ada. Tapi itu restoran. Bukan kafe. Dan bukan tempat yang gue maksud.”
“Aleon, lo… nggak niat macam-macam, kan?”
“Lo percaya, kan, kalau Atha nggak mungkin milih orang jahat untuk nitipin kembarannya karena ditinggal sendirian malam-malam?”
“Lo disuruh Atha?” Kedua mata Anjani membulat lebih besar.
Aleon menoleh, senyumnya ditarik tipis, namun terlihat menenangkan. “He’s care about you, Jan, always. Your twin never leaves you alone.”
“And how about you? Kenapa lo menuruti permintaan Atha cuma untuk nemenin orang asing yang baru lo kenal? Nggak mungkin kan, kalau lo juga peduli?”
“Kita nggak akan selamanya jadi orang asing. And just because we’re strangers, doesn’t mean I shouldn’t care either.”
Ting! Pintu lift terbuka. Tidak adalagi percakapan tersambung, karena dari jawaban Aleon, sudah berhasil memberikan Anjani fakta kalau lelaki itu pasti telah mengetahui adanya air mata yang jatuh malam ini. Anjani mengambil posisi di belakang Aleon, mengikuti ke mana langkah di depannya pergi.
Kalau biasanya ruang bawah tanah suatu bangunan identik dengan lahan parkir, terdapat pengecualian untuk gedung apartemen ini. Setelah keduanya tiba, dan melewati pilar-pilar penyekat antar kendaraan terparkir, akan terlihat satu titik cahaya hangat di ujung ruang yang menerangi beberapa undakan tangga menuju tempat penyimpanan anggur, yang kini telah disulap menjadi ‘hidden gem’ yang hanya diketahui setengah dari penduduk apartemen. Kafe bergaya Italia klasik dengan dinding batu alam. Nuansanya sangat hangat dan tenang sebab tidak ada interupsi suara dari luar. Ditambah lampu temaram dan beberapa kursi di tengah ruang. Sudah tidak adalagi aroma wine, hanya ada wangi biji kopi yang ditumbuk sebagai salam pembuka.
“Mustahil.” Anjani menganga kagum. Lelaki di sebelahnya menoleh.
“Itu kalimat pertama yang selalu diucapin orang-orang saat tau kafe ini untuk pertama kali. Konsepnya emang rahasia, lo nggak akan tau tempat ini sampai lo yang nemuin sendiri. Karena katanya, ruang ini pun disulap tanpa rencana.”
Sama seperti Anjani yang baru satu minggu pindah ke apartemen itu. Tapi, Aleon sudah sangat mengenali tiap sudut gedung, karena sebelum kepindahannya, hampir setiap minggu Aleon berkunjung menghampiri Atharya dari pertama kali mereka akrab dan memiliki kegiatan bersama. Dan kalau saja bukan karena mengitari basement hingga ke ujung—paling ujung, sebab mencari lahan parkir, mungkin Aleon tidak akan menemukan harta karun di ruang bawah tanah milik tower apartemen bergaya Mediterania ini.
Aleon menunjuk satu buah piano berwarna hitam di sudut ruangan. “Lo duluan, gue pesenin lo minum. Coffee or chocolate?”
“Chocolate,” jawabnya, lalu mengucap terima kasih begitu Aleon mengangguk dan pergi ke meja bar.
Untuk malam ini, Anjani harus bisa menahan air mata untuk tetap aman di dalam kelopak mata begitu jari jemarinya harus kembali diletakan di atas tuts bersama bayang-bayang sang ayah dan ibunda. Setelah mendudukan diri, Anjani membuka tutup piano secara perlahan, mengelus halus barisan hitam dan putih di bawah sana seraya tersenyum.
“Bisa?” tanya Aleon begitu tiba, dan menaruh nampan berisi dua cup minuman hangat di meja sebelah.
“I no longer have a tutor because my father is no longer here. Gue yakin, lo udah tau.” Perempuan itu menjawab dengan gelengan kepala, sebelum menepuk-nepuk space kosong di sebelahnya. “So, Aleon, you have to keep your promise and take over the pedal.”
Lelaki menjawab setuju dengan segaris senyuman manis.
Wangi tubuh Aleon langsung menyerang begitu ia duduk dengan jarak tipis di sebelah Anjani. Perpaduan aroma musky dan woody, tapi juga tercium wewangian teh, memberi kesan maskulin yang sama sekali tidak memusingkan. Aroma hangat yang sangat cocok bagi tipikal lelaki beraura klasik seperti Aleon.
Masing-masing tangan keduanya sudah tersimpan di atas piano, tak lupa Aleon menepati janjinya untuk menaikan satu kaki di atas pedal. Hingga lelaki itu menoleh, mengangguk pada Anjani yang daritadi menunggu sinyal untuk memulai.
River Flows in You – Yiruma
Gerakan jemari lembut Anjani menari lebih dulu, tenang di antara hangatnya lampu pada tiap-tiap dinding batu bata. Diikuti sentuhan jari-jari lentik Aleon, yang turut bergerak di samping Anjani, mengalunkan sentuhan harmoni di dalam melodi penuh perasaan tersirat milik perempuan di sebelahnya.
Secara teratur, ketukan tempo semakin naik mengikuti besarnya emosi yang dituangkan oleh keduanya. Lantunan denting piano yang lebih dari sekedar bunyi tuts yang ditekan, tapi juga meneriakan masing-masing perasaan dari lubuk hati terdalam. Anjani yang sampai saat ini masih mengharapkan pesawat yang terbang 4 tahun lalu itu mendarat, dan Aleon yang tidak memiliki rumah untuk pulang.
Sampai di tangga nada terakhir, ketukan keduanya kembali memelan lembut, menutup luapan perasaan yang berhasil disalurkan dari dua orang yang tengah mencari alasan untuk bertahan. Ditutup oleh jari jemari Anjani karena Aleon melepas sentuhan pianonya di ujung melodi, membiarkan perempuan itu memulai sekaligus mengakhiri lagu bagai ini adalah konser solo pertama.
“Feel better?” tanya Aleon.
Anjani mengembuskan napas lega. “Much better. Thanks.”
“Kalau lo masih perlu jawaban kenapa gue mengiyakan permintaan tolong Atha buat nemenin lo, gue bisa jawab sekarang.”
Kedua alis Anjani terangkat sebagai respon lain dari pertanyaan mengapa.
Aleon melanjutkan, pandangan matanya sama sekali tidak pindah dari netra cantik di depannya.“Karena, gue bisa ngeliat diri gue dalam diri lo. We’re the same, Jan. Gue tau, sama sekali nggak mudah untuk melanjuti hidup tanpa kehadiran mereka, orang yang membawa kita ke dunia.”
Kali ini, bulatan bola mata Anjani berhasil dikejutkan oleh fakta selanjutnya yang bisa ia tangkap tanpa harus melemparkan tanya kenapa dan mengapa pada Aleon. Hanya dalam hitungan detik setelah kalimat terakhir Aleon tersuara, tatapan mata lelaki itu seketika berubah di mata Anjani. Sekarang, ia dapat menemukan titik-titik kosong di dalam binar Aleon.
“Gue nggak akan tanya kenapa, because it hurts too much to explain things from facts that we never want to remember, but yeah, we’re the same.” Anjani menaruh sebelah tangannya di atas bahu Aleon. “I’m sorry for your loss.”
Aleon menyeringai sembari menurunkan perlahan hinggapan tangan Anjani dari bahunya. “Hari selasa, lo senggang?”
“Kenapa?” Anjani bertanya.
“Gue mau ajak lo ke suatu tempat. A place where we can feel the warmth of home. At least, a little atmosphere that we can no longer find in the house.”