368; It’s okay to not be okay


Audine menelungkupkan wajah di atas meja, dengan tangan terlipat yang menenggelamkan wajahnya yang sembab dan kacau. Meja kerja sangat bersih hari itu, bahkan terhitung sejak satu minggu terakhir. Tidak ada potongan-potongan daun dan tangkai bunga yang berserakkan di atas meja. Karena tidak adanya pesanan buket yang masuk atau pun pengunjung yang datang untuk sekedar melihat berkaleng-kaleng bunga tertata.

Hanya ada tiga sampai empat pelanggan yang datang selama beberapa hari terakhir ini. Setidaknya, ada empat tangkai bunga (bukan buket) yang berhasil terjual tiap harinya, dan terbebas dari layu dan mati sia-sia.

Sejak seminggu yang lalu juga, Audine memberhentikan sementara ketiga pekerjanya, yang biasa Audine beri gaji harian. Karena Audine belum bisa menurunkan gaji dari semenjak awal bulan ini, akibat kurangnya pemasukan. Sehingga hanya menyisakan dirinya dan Acel, yang selama tujuh hari terakhir ini menghabiskan waktunya di jalanan, dengan membuka florist stan kecil-kecilan, yang tidak membuahkan hasil sedikit pun.

Tiap sudut ruang yang biasanya nyaris penuh dengan barisan ember kaleng berisi warna-warni bunga berjejer, kini kaleng-kaleng tersebut mulai kosong satu-persatu. Mereka semua mati.

Audine terisak tanpa suara, hanya terlihat bahunya yang naik turun dan terdengar suara napasnya yang tersengal. Ujung lengan kardigannya basah karena air mata yang tak kunjung henti.

Ocean menggeser kursinya lebih dekat. Lelaki itu ada di sana dan mendengarkan Audine menangis selama hampir satu jam lebih tanpa mengucapkan sepatah kata. Jantungnya terasa sakit, hingga ikut membungkam seluruh kata untuk terucap.

Audine adalah tipikal orang yang sangat jarang mengeluarkan air mata terhadap permasalahan yang ada, kecuali tentang Nala. Biasanya, perempuan itu hanya sekedar mengeluh, itu pun sambil diselingi tawa sepanjang bercerita karena Audine selalu bilang, aku ngga mau terlarut sama masalahku, aku ngga mau dia yang menang, jadi aku harus lawan rasa sedihku supaya aku tetep bahagia dan baik-baik aja. Wanita yang kuat.

Tapi kali ini, rasa sakit itu berhasil mengalahkannya. Ia sudah lelah untuk merasa sakit, dan ia terlalu lelah untuk menjadi kuat.

Setelah hampir sembilan puluh menit tangisan itu menggema di dalam ruangan, Ocean memberanikan diri untuk mendekat.

“Au,” katanya sambil mengusap pucuk kepala Audine. “Udahan yuk nangisnya, capek.”

Audine mengangkat wajahnya yang tampak sangat kacau. Matanya bengkak karena terlalu lama menangis, hingga warna mukanya ikut memerah. Helai-helai rambut panjangnya teracak tidak karuan menutupi sebagian wajahnya. Audine menatap Ocean dengan sorot mata kosong dan napas terisak.

Ocean menggeser lagi kursinya sehingga hanya menyisakan jarak tipis di antara keduanya. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Ocean menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Audine, menyelipkannya ke belakang telinga, lalu menyeka air mata Audine yang masih turun deras.

Audine tiba-tiba menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya, menahan isakkan.

“Kenapa, hmm?” tanya Ocean dengan suara yang sangat hangat memasuki ruang telinga. Kini sebelah tangannya pindah, menangkup sebelah pipi Audine seraya mengelusnya dengan ibu jari dengan lembut.

Perempuan itu kembali menyuarakan tangisnya.

“Aku.. ngga mau.. liat ke depan...” ujar Audine terputus-putus karena isakan yang tidak bisa dikontrol.

Ocean melemparkan tanya lewat sorot mata teduhnya.

“Kaleng-kalengnya.. kosong Ocean… Kalo aku angkat wajahku, aku bisa liat ember kaleng tanpa bunga di sana. Aku.. ngga mau.” sambung perempuan itu, masih dengan tangisnya.

“Kalo gitu, jangan liat ke belakang, look at me instead. Aku kan ngga akan ilang kayak bunga-bunga di dalem ember kaleng. I’ll always be here with you, until the bucket is filled back with a pretty flowers.”

Tidak menjawab, tangis Audine yang hampir mereda justru kembali meledak. Dengan sigap Ocean menarik Audine ke dalam pelukannya, membiarkan perempuan itu menangis, menumpahkan air mata di atas dadanya.

Ocean memejamkan mata, seolah menikmati isak tangis perempuannya yang semakin terasa menusuk-nusuk dadanya. Sungguh sangat sulit baginya, melihat senyum Audine hilang terbunuh secara perlahan oleh keadaan.

Lelaki itu menaruh dagunya di atas kepala Audine, sehingga memudahkannya untuk menciumi pucuk kepala Audine sesekali. Dan kini ia membiarkan kecupan hangat itu beberapa detik di atas kening Audine, sambil memejamkan mata, dengan senang hati ia seakan ikut menerima rasa sakit yang diberi oleh Audine.

“Udah ya, nanti suara kamu abis sayang.” Ocean menenangkan. “Nanti tenggorokannya sakit, dadanya sakit, matanya sakit, kamunya juga ikut sakit.”

Audine masih terisak tidak peduli.

“Tagihan ayah kamu bulan ini, nanti aku bantu. Untuk ember-ember kaleng yang kosong juga kamu jangan khawatir, aku janji, besok atau lusa, ruangan ini akan penuh sama warna-warni bunga seperti biasa.” sambung Ocean sambil mengusap-usap punggung Audine.

Seketika Audine langsung mengangkat kepalanya dalam hitungan detik, begitu pula dengan Ocean. Secepat kilat lelaki itu langsung menariknya kembali ke dalam dekapannya. Ocean sudah tahu pasti, seolah bisa menebak kata-kata apa yang akan terucap dari mulut Audine kapan pun Ocean berniat untuk membantunya secara materi.

“Iya, iya, aku tahu kamu bisa, kamu hebat, kamu bisa sendiri.” tutur Ocean cepat, tanpa mendengar penolakan Audine yang ribuan kali selalu terulang dengan kalimat yang sama.

Aku bisa sendiri Ocean, ini urusan aku.

“Tapi, aku yang ngga mau ngebiarin kamu sendiri.” sambung Ocean. “Kamu inget janji aku waktu pertama nembak kamu, untuk selalu nemenin kamu, until you bloom your own flowers? Dan hari ini, aku ada untuk itu, bahkan sampe seterusnya. Aku ngga mungkin ninggalin kamu sendirian, Au.”

Audine diam dalam bungkamnya. Kini isaknya mulai berhenti, walau air mata masih sesekali jatuh membasahi kaus Ocean.

Bak anak kecil manis yang menurut, mendengarkan nasehat orang tua dengan khidmat. Audine mendengarkan kalimat-kalimat hangat dari Ocean yang menjelajahi ruang telinganya, menyender di atas dada bidangnya, sambil satu jari telunjuknya memainkan kalung yang dikenakan Ocean. Sedikit demi sedikit hati dan perasaannya mulai kembali menghangat.

Mungkin ini memang waktunya ia meminta tolong, dan menerima seluruh bantuan orang-orang baik di sekelilingnya tanpa mengkhawatirkan apakah dia kembali menjadi beban untuk orang lain.

Ocean mengecup kening Audine sekali lagi. Berhasil menarik garis lengkung di atas bibir Audine yang kini terlukis dengan sempurna.

“Minta tolong itu ngga bikin kamu terlihat lemah, Au, apalagi memberi beban pada orang lain. Justru, dengan kamu minta tolong itu malah menunjukkan kalo kamu sedang berusaha untuk mencari jalan keluar, kamu berusaha untuk survive. Kamu ngga ninggalin masalah-masalah kamu, kan? Itu artinya, kamu tanggung jawab sama semua permasalahan yang ada. Jadi, jangan merasa bersalah untuk minta bantuan, ya?”