340; Late night Jakarta


Malam sudah semakin larut ketika keduanya keluar dari bioskop, bahkan lebih tepatnya, larut menuju pagi. Mereka berdua sengaja mengambil sesi film di jam tengah malam karena menghindari kerubungan orang-orang yang terlalu ramai.

Persis seperti apa yang Ocean cemaskan pada tiga tahun lalu, di saat publik benar-benar mengenalnya, privasinya seolah terenggut, ia tidak bisa lagi keluar bebas tanpa diikuti orang-orang dengan todongan kamera membuntuti waktu pribadinya. Dan jangan lupakan topi dan masker hitam yang sudah menjadi gaya ciri khas Ocean sekarang.

“Oke, kamu bisa lepas masker kamu sekarang.” ucap Audine setelah mereka keluar dari dalam mall yang seluruh sudutnya sudah gelap seperti rumah hantu.

Persis di depan mall, ada jalanan kecil memanjang yang suasananya hampir mirip dengan taman kota. Sepanjang jalannya diisi dengan distro dan restoran-restoran berbangun minimalis, juga toko kue yang semuanya kini telah tutup. Hanya tersisa satu coffee shop di tengah-tengah barisan toko yang buka selama 24 jam. Aroma kopi dari dalam kafe menyeruak menembus dinginnya udara jam dua dini hari. Memberi kesan menenangkan pada heningnya ibu kota pada malam sebelum pagi.

Ocean melepas masker yang ia fungsikan untuk menutupi eksistensi dirinya agar tidak dikenali publik, lalu ia lipat asal sebelum dimasukkan ke dalam saku jaket. Tidak ada siapa-siapa lagi sekarang, selain dirinya dan perempuan di sebelahnya yang tengah memakan popcorn sisa di bioskop tadi.

Mereka memutuskan untuk jalan-jalan malam sebelum pulang, seolah tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada. Karena kini, waktu berdua di antara mereka menjadi sangat sedikit.

Kesibukkan masing-masing yang tiada henti terkadang mampu membuat keduanya berharap untuk bisa kembali ke tahun-tahun sebelumnya. Di mana Ocean masih bisa menemui Audine setiap hari karena schedule yang masih manusiawi. Hari di mana Ocean masih bisa pergi bebas layaknya manusia normal tanpa perlu takut diawasi lensa kamera dan kejaran penggemar. Tidak aneh kalau keduanya lebih sering menghabiskan waktu di apartment karena lebih bebas dan aman.

Toko bunga Audine sudah sangat berprogres sekarang. Wanita itu kini telah mempunyai dua cabang baru yang terletak di Bandung dan Karawang, tidak terlalu besar, tapi keduanya beroperasi dengan sangat baik. Dan setiap seminggu sekali, Audine akan pergi mengecek tiap cabang yang terkelola. Bahkan saat ini, ia tengah mengurusi lembar-lembar persetujuan sebelum menandatangani kontrak kerjasama dengan salah satu wedding organizer yang cukup besar di ibu kota.

“I love the atmospher of late night Jakarta.” tutur Ocean seraya meraih sebelah tangan Audine, memasukkannya ke dalam genggaman erat.

“Iya! Tenang banget, sepi, kamu udah bisa sekarang kalo mau roll depan di tengah jalan, ngga akan ada paparazzi.” balas Audine dengan mulut yang masih mengunyah pada sisa popcorn terakhir. Lalu membuang wadah kosong ke tempat sampah yang terlewati di sebelahnya. “Eh, apa kita kalo jalan-jalan jam segini aja ya? Nanti judulnya, late night Jakarta session with Ocean and Audine!” sambung perempuan itu.

“Kayak Abel sama Emina dong? Terus jalan-jalan ke kanal Molenvliet?” Ocean tertawa, mengingat salah satu judul novel. “Engga ah! Ocean Audine harus punya ciri khas sendiri!” katanya lagi.

Audine memajukan bibir, “Tapi serius deh aku mau nanya, kamu kadang suka kangen ngga sih? Sama hari-hari kamu sebelum beneran jadi public figure yang kayaknya, sekarang hampir semua deh ngga ada yang ngga tau kamu.”

“Iyalaaah!” jawab Ocean cepat, “Kamu tau sendiri, aku dulu ngga mau banget yang namanya dikenal orang, jadi populer. Diatur ngga boleh post ini itu aja aku kesel apalagi sekarang, aku ngga sengaja nyebut nama merek, ngga nyampe satu menit aku udah ditelpon.”

“So, how do you feel with your current life?” tanya Audine lagi, kini keduanya duduk di satu kursi panjang beralas keramik. Ada bunga-bunga bougainvillea di atas sandarannya.

“Umm,” Ocean berdeham cukup panjang, “ya ngga gimana-gimana sih, maksudnya, ya aku harus apa selain cuma bisa menjalani hidup yang sekarang? Emang dibanding dulu, sekarang banyak ngga enaknya, aku jadi ngga bebas, jarang ketemu kamu, jarang telponan sama Alie sampe tiap malem dia marah-marah mau ngobrol, tapi aku masih ada schedule.”

“Iya! Sampe aku hafal, kalo tiap malem ada chat dari Alie, pasti openingnya misuh-misuh sebel sama kamu dulu.” balas perempuan itu sembari tertawa, memecah keheningan malam.

Ocean ikut terkekeh, ia menyenderkan kepala Audine ke atas bahunya dengan lembut.

“Tapi itu kalo liat ngga enaknya doang. Kalo aku liat dari sudut pandang lain, selain ngga enaknya yang makin banyak, ya enaknya juga sama makin banyak.” kata Ocean melanjutkan pembicaraan. “Orang-orang sekarang kenal aku sebagai Ocean yang baik, can handle his trauma, againts his insecurities, mereka melihat aku sebagai orang yang positif, ya, walaupun aku ngga positif-postif amat juga aslinya. Tapi seengganya, aku seneng mereka kenal aku sebagai Ocean yang hebat, di saat dulu aku payahnya minta ampun. Coba kalo mereka kenal akunya dari dulu, aku bakal ngerasa bersalah karena mereka ketipu sama aku yang sebenernya ngga ada keren dan hebatnya sama sekali, kasian mereka nanti mengidolakan orang yang salah.”

Lelaki itu berbicara dengan tenang sambil menyisiri rambut Audine yang berada di atas bahunya.

“Dan yang paling penting, aku ngga perlu lagi muncul dengan palsu di depan publik. Sekarang semua udah tau kalo aku punya bekas luka, kalo aku punya kekurangan, aku ngga perlu nutup-nutupin lagi Au, dunia udah baik sama aku sekarang!”

Audine menengadahkan kepalanya, lalu mengelus sebelah pipi Ocean dengan senyum yang terlempar dengan manis, “You grow a lot.”

“Kamu sendiri? How do you feel with your current life being Mrs. CEO of Fairy Blossom?” ledek Ocean.

Audine reflek menyikut perut Ocean, membuat lelaki itu meringis seraya terkekeh, “Shut up.”

“Ya sama sih aku juga, ngga gimana-gimana. Bedanya sekarang tiap hari aku di depan layar, pusing, ngurusin data ini itu. Enakan dulu gunting-guntingin bunga!”

Ocean tertawa, “Ya geret aja komputernya ke luar sambil liatin yang bikin buket, jangan di dalem ruangan mulu biar ngga sumpek.”

“But now i’m no longer burdened with debt, aku seneng banget liat ayah sama mama udah ngga perlu khawatir lagi tiap tanggal delapan belas.”

“You work so hard.” balas Ocean sebelum menjatuhkan kecupannya di atas kening Audine.

“Terus, oh iya, aku juga udah mulai nabung buat buka kedai teh! Ya pasti bakal masih jauh banget sih, tapi aku udah mulai pertimbangin saran oma. Soalnya kalian bahas mulu tiap saat, kan aku juga ke-trigger? Lama-lama mikir, oke juga idenya.”

“Penawaran aku juga masih sama, kalo aku masih mau bantuin kamu mo—“

“Ssst!” Audine memotong ucapan Ocean sembari membekap mulutnya, “Aku bisa sendiri, i’m not your first priorities. Jadi, kamu bantu support aku aja, ngga perlu ikut-ikutan bantu financial, itu kan urusanku!” jawab Audine terdengar seperti rengekkan anak-anak.

Dingin angin malam mulai semakin menusuk menembus lapisan pakaian, lalu lalang kendaraan semakin berkurang jumlahnya. Atmosfer ibu kota semakin terasa tenang dan damai.

“Berarti sekarang, problem-ku tinggal satu. Yang aku sendiri ngga tau bisa terselesaikan atau engga.”

“Apa?”

“Kak Nala.” Audine menghela napasnya pasrah. “Semenjak hari itu, Kak Nala udah ngga pernah lagi dateng ke rumah, paling setahun cuma dua kali. Walau secara kontak, kita semua masih berkontak sama Kak Nala. Kak Nala ngga pernah minta maaf yang beneran minta maaf sama aku, tapi kita tetep get in contact, ya walaupun ngga sering. Cuma ya, feel-nya bener-bener jadi ngga jelas, aku sama Kak Nala kayak udah sekedar aliran darah doang yang oh oke, lo adek gue, lo kakak gue, tapi secara kontak batin, kita udah ngga punya nyawa. Bahkan aku udah ngga mengharapkan lagi Kak Nala balik kayak dulu, kalo bukan dia yang chat duluan juga aku ngga pernah chat, aku udah trauma, takut sakit hati lagi. Jadi ya udah terserah dia aja.”

Kini sebelah tangan yang dari tadi Ocean gunakan untuk menyisiri rambut Audine, kembali pindah meraih kepalan tangan perempuan itu yang mulai terasa dingin diterpa cuaca dini hari.

“Au, kadang emang ngga semuanya apa yang kita semogakan bener-bener dikabuli. Ada kalanya kita ngga bisa terus-terusan berharap kalo akan ada jawaban yang baik di kemudian hari yang akan datang. Kadang kita harus mau menganggap tidak sebagai jawaban. Jadi, walau kamu belum bisa berhasil damai sama Kak Nala, seenggaknya kamu udah berhasil damai dengan keadaan. Hebat, you are the one of the strongest person i know.”

Ocean menjeda kalimatnya.

“Kita lewatin sama-sama ya. Aku selalu di sini, nemenin kamu, ngga pernah kemana-mana.”