332; The ocean is back
Thalassophobia adalah jenis fobia spesifik yang melibatkan rasa takut yang terus-menerus dan intens terhadap perairan luas dan dalam seperti lautan dan samudra. Entahlah, apakah itu sebutan yang tepat untuk lelaki bernama samudra yang saat ini berdiri di samping Audine. Tadi malam, Ocean tiba-tiba terbangun dari lelapnya, merenung seorang diri di antara detak jarum jam yang menemani sunyi dini hari.
Mimpi itu datang lagi. Rasa takutnya pada air terus mengejar hingga ke daratan, tak peduli sekeras apa lelaki itu berusaha lari dari memori gelap, tak peduli berapa tahun sudah terlewati, tak peduli sebesar apa usahanya untuk melupakan, memori itu akan selalu ada di sana. Memori itu, setelah hampir delapan tahun akhirnya ia mengakui, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa terhapus.
Ada dua kategori di dalam kenangan: kenangan indah dan kenangan menyakitkan. Manusia akan selalu berusaha menulis cerita-cerita indah untuk simpanan memori pada hari tua. Semua berlomba mencari hari-hari penuh keberuntungan demi memperbanyak kisah bahagia sampai lupa, bahwa pengalaman pahit pun termasuk ke dalam bagian dari cerita.
Tidak ada yang salah dari memori menyakitkan, pahit atau manis, semua memori yang tercipta akan selalu menjadi bagian dalam cerita hidup yang penuh warna.
“Au, waktu itu, kenapa kamu ngasih aku buku mewarnai tema laut?” tanya lelaki itu tanpa menoleh ke arah Audine, sorot matanya lurus teralih pada hamparan biru kristal di depan sana.
“Untuk bantu kamu, supaya pelan-pelan kenal lagi sama laut.. Umm, maksudku, aku mau bantu kamu pake caraku sendiri.” jawab Audine yang justru menatap wajah lelakinya dengan khawatir. “Ocean, you don’t have to force yourself for this fast, ngga apa-apa, ngga harus se—“
“I’ve been running too long,” balas Ocean, memotong kalimat Audine yang belum usai, “aku baru sadar, kalo sebenernya selama ini aku bukan berusaha, tapi aku kabur. Aku ngga pernah sekali pun mencoba untuk menghadapi. Sekarang udah waktunya. Udah cukup aku menuruti rasa takutku, aku mau..” Lelaki itu menjeda kalimatnya untuk menghela napas penuh keyakinan.
“Aku mau damai dengan laut.” sambungnya, seraya menoleh ke arah Audine dengan sorot mata penuh permohonan. “Bantu aku, ya? Bantu aku kenal lagi sama laut, tapi kali ini, bukan lagi lewat buku mewarnai. Bantu aku untuk benar-benar bertemu dengan laut.”
Audine membalas tatap Ocean dengan binar mata penuh kekaguman, menatap mata lelaki itu lekat-lekat untuk memastikan apa yang barusan ia dengar itu benar tersuarakan dari mulutnya. Audine bisa dengan cepat menangkap perasaan yakin yang menggebu keluar dari sorot mata Ocean.
Perempuan itu menjulurkan tangannya dengan senyum manis yang memberi keteduhan, “I’ll always here for helping you, and i’ll always be here, waiting for this day.”
Riak ombak perlahan membasahi kaki saat keduanya menjejakkan langkah di atas lembutnya pasir putih. Selangkah demi selangkah, semakin tertangkap oleh mata debur dan buih ombak yang tampak saling berkejaran menuju pantai, seakan berlari dari tengah laut biru, luas tanpa batas menuju samudra yang sekian lama dirindukan oleh lautnya.
Ocean bergerak mundur dengan langkah yang besar menjauhi air begitu sentuhan ombak yang kuat menghantam kakinya. Melepas genggaman tangan Audine secepat kilat dengan rahang yang mengeras, lelaki itu mengepalkan kedua tangannya di bawah sana.
Dengan sigap Audine kembali menghampiri Ocean, lalu meraih sebelah tangannya yang mengepal sangat kuat. Dengan sangat lembut, Audine menepuk-nepuk punggung tangan Ocean seraya membantunya mengatur napas.
“It’s okay, pelan-pelan, now take your breath.”
Dipandu oleh Audine, Ocean mengatur helaan napasnya yang mulai terengah, itu terlihat dari gerak bahunya yang bergerak naik dan turun pada tempo yang cukup cepat. Audine mulai merasakan tangan Ocean yang berubah menjadi dingin.
Perempuan itu kini menaruh sebelah tangannya yang lain di atas dada Ocean, mengusap-ngusapnya dengan halus. Mencoba untuk menenangkan degup jantung yang berdetak kencang hingga terasa di dalam tangannya.
“Bisa Ocean, kamu bisa.” ujar Audine seraya ikut menarik dan membuang napas seirama bersama Ocean.
Dengan sekuat tenaga Ocean mengerahkan seluruh keberanian yang ada di dalam dirinya dengan keyakinan penuh, lelaki itu menarik napas dalam sekali lagi sambil memejamkan mata.
Ocean menurunkan sebelah tangan Audine yang masih tersimpan di atas dadanya, lalu menoleh seraya berkata dengan penuh percaya diri.
“I’m ready.” Secara bersamaan, lelaki itu juga melepas genggaman Audine dari telapak tangannya, “Au, i know you trust me. I’m gonna walk by myself.” Lalu melempar senyumnya sebelum berjalan menghampiri air.
Debur ombak kembali menyentuh kakinya saat lelaki itu melangkah sedikit demi sedikit hingga benar-benar menghampiri air. Sembari memejamkan mata, merasakan hembusan angin laut yang menyapa wajahnya, Ocean memutar memori pertama saat pertama kali dirinya jatuh cinta pada lautan.
Anak lelaki di dalam putaran memori itu berlari antusias menuju air dengan binar matanya yang berkelip, tidak ada sedikit pun ketakutan di dalam sana. Yang ia tahu, anak lelaki itu jatuh cinta dengan laut. Ocean kembali membuka mata, kini pandang matanya hangat menyorot pada cakrawala nun jauh di depan.
Ocean menurunkan dirinya, berjongkok menangkap air laut dengan tangannya yang terbuka. Ia membiarkan segenang air biru di atas telapak tangannya, lalu menghirup aroma khas itu dalam-dalam, merasakan aroma laut di antara sorot senja yang sebentar lagi tenggelam di ujung lautan.
The ocean is back.
Lelaki itu bangun dari jongkoknya, dengan sumringah ia memutar badan, ia melambaikan tangan ke arah Audine yang menyaksikan keajaiban baru di depan sana dengan segenang air di dalam kelopak mata. Ocean tampak sangat indah, berdiri di antara hamparan laut dan langit jingga di belakang, tiap helai rambutnya menari-nari di antara hembusan angin sejuk. Lelaki itu tersenyum tulus, tanpa ada lagi raut takut yang terlukis pada wajahnya.
Hari ini, sang samudra yang telah lama menghilang, kini telah kembali pulang pada lautnya.
Tanpa hitungan detik, Audine berlari menabrakkan dirinya ke dalam pelukan Ocean, membuat lelaki itu hampir kehilangan keseimbangan jika tidak cepat-cepat menangkap punggung wanitanya.
“You made it, Ocean.. kamu berhasil, you’ve already fought your fear!” ujar Audine dengan luapan emosi penuh haru.
“You made it too, Audine, you saved me from my own fear.”
Audine menumpahkan air matanya di antara ceruk leher Ocean, menangis cukup dramatis dengan ocehan yang samar terdengar oleh telinga. Ocean terkekeh seraya mengecup pucuk kepala Audine.
Di sela-sela peluk keduanya, Ocean kembali teringat akan satu hal lain yang belum ia selesaikan. Lelaki itu tiba-tiba melepas pelukannya, lalu merogoh ponsel pada saku celananya dan memberikannya pada Audine.
“Can you take me a picture?”
Audine meraih ponsel sambil kembali tersenyum bangga, masih ada basah air mata di dalam kelopaknya. “Sure.”
Namun tiba-tiba, Ocean membuka sweater navy-nya sekaligus kaus putih polos yang membaluti tubuhnya, lalu melemparnya ke atas pasir. Kembali menampakkan bekas luka memanjang di antara enam kotak otot perut yang terbentuk di atas perut ratanya.
Audine tersontak, ia membulatkan kedua matanya dengan penuh tanda tanya.
“Ocean, kamu..”
Ocean tersenyum seraya mengangguk, “Buat apa aku damai sama laut kalo aku belum bisa damai sama bekas lukaku?”
Perempuan itu masih menganga, masih belum bisa mencerna apa maksud dari ucapan Ocean.
“Di tempat ini luka ini lahir, dan di tempat ini juga aku harus mengakui semuanya. Luka ini ada bukan tanpa alasan,” Ocean menampakkan seringai tipis disela ucapannya, “Aku sering bilang kalo, there’s still a miracle here in my scar, tapi aku sendiri juga yang ngga pernah mau mengakui. Lucu ya?”
Ocean memejamkan mata, lalu menghela napasnya sekali lagi dengan lebih bersungguh-sungguh, sebelum menyambung satu kalimat terakhir, “Now, it’s time for me to admit the beautiful carving on my skin.”
Hari ini, anak lelaki yang begitu mencintai laut kini telah tumbuh menjadi pria dewasa, who grows by the magic created in the vastness of the ocean. Anak lelaki itu kembali setelah melewati tahun-tahun menyakitkan, dihantui oleh perasaan takut yang luar biasa akan lautnya.
Sampai kapan pun, the ocean will always be bigger than the sea. Dan anak lelaki itu berhasil membuktikannya pada hari ini. Berdiri di atas pasir putih, dengan riuk ombak yang berkali-kali datang menghampiri.
Lelaki itu dengan tulus memaafkan perih kejahatan yang dilakukan oleh sang laut.
“I’ll post it on my instagram.” ucap Ocean percaya diri, seraya memandang hasil foto dengan ukiran di atas perutnya yang tergambar jelas.
Audine kembali terkejut, “Kamu beneran? Aduh, bentar, sumpah, aku beneran ngga tau harus bereaksi apa dari tadi, tapi— Eh kok jadi aku yang heboh, oke maaf, TAPI.. kamu serius?”
“Hari ini, aku resmi berdamai dengan laut.” jawab Ocean seraya mengelus sebelah pipi Audine dengan ibu jarinya lembut.
“Dan mulai hari ini juga, i finally can watch the sunset in the most beautiful place with the person i love the most.” sambung lelaki itu.
“It’s you, Audine.”