309; Fly your wish
“Here we are.” ujar Ocean tepat setelah memarkirkan mobilnya.
“Au, ayo turun.” ajaknya sembari menoleh ke arah Audine yang masih menganga, memperhatikan sekeliling dengan sorot mata takut.
“Ini kita di mana, sih? gelap banget, ngga mau turun aku takut.”
Ocean terkekeh, “Emang kamu belum pernah ke sini?” tanyanya. Audine menggeleng. “You’ll see a thousand light later.”
Perempuan itu mengernyit, “Thousand light dari mana, it’s really dark in here!”
Ocean keluar dari mobil, meninggalkan Audine dengan ekspresi bertanya. Ia berjalan menuju sisi lain pintu tempat Audine duduk, lalu membukanya seraya mengulurkan tangan pada perempuannya. “Hold my hand, and i’ll make sure you gonna be safe.”
Mereka turun, Audine menatapi pemandangan di sekelilingnya yang sebagian besar di dominasi oleh pepohonan yang bahkan samar ditangkap oleh mata, karena hari semakin gelap. Pencahayaan cukup minim, tapi tidak jika menengadahkan kepala ke atas langit. Taburan bintang mengisi penuh hamparan langit, mengisi gelapnya malam bagai sapaan dari dewi langit yang seolah tau seluruh rahasia sang bumi.
Sorot mata takut itu pelan-pelan menghilang, digantikan oleh binar mata sumringah yang kerlipannya tidak kalah cantik dari bintang di langit. Perempuan itu sumringah dengan mulut yang terbuka, lalu tersenyum pada semesta. Tanpa tahu kalau ada sorot mata lain yang telah lebih dulu jatuh kepadanya.
“Audine, you are the whole universe itself. You shine brighter than the stars in the sky.”
Ocean diam-diam tersenyum memandangi semesta di depannya.
Ocean berjalan menuju bagasi mobil, geraknya tidak dihiraukan oleh Audine karena perempuan itu terlalu fokus pada pemandangan di atas. Lelaki itu mengambil satu tote bag coklat, yang entah apa isinya, terlihat ringan bahkan seperti tidak ada barang apapun di dalamnya. Ocean kembali menghampiri Audine.
“Udah kali, sisain dulu kagetnya buat di atas.” ucap Ocean memecah kekaguman Audine.
“Loh, kita masih harus jalan lagi? ke atas mana? aku kira tujuannya di sini? eh, itu apa?” tanya Audine tanpa jeda, setelah tatapnya menangkap tote bag coklat di genggaman Ocean.
Ocean tiba-tiba menarik Audine mendekat, hingga bahu perempuan itu bertubrukan pada dadanya. Mereka berdiri saling berhadapan, sebelum lelaki itu mendaratkan kecupannya di atas pucuk kepala Audine.
Ocean tiba-tiba tertawa sembari mengacak rambut Audine asal.
“Kamu baweeel! aku kangen denger kamu bawel.”
Audine mendengus seraya mendorong lelaki itu menjauh, “Ngga jelas, yang tiba-tiba ngediemin satu minggu siapa, ya? halo? yang ilang siapa yang kangen siapa.”
Ocean tertawa lagi, “Kamu yang ngga jelas! masa kita quality time di parkiran, ayo kita ke atas!”
“Ke atas atas mulu atas mana, sih? bentar, apa kamu tidak mau minta maaf, baginda?” sindir Audine.
“Sssh, shut up, kamu ngomong mulu nanti beruangnya bangun.. di pohon-pohon itu banyak beruang.” balas Ocean dengan suara mengecil hingga nyaris terdengar berbisik, seolah mereka sedang menjalani misi bertahan hidup di tengah hutan. “Ayo sekarang kamu pegang tanganku, biar beruangnya ngga jadi makan kamu.”
“Dih, emang kamu siapa?!” ucapnya dengan suara meninggi. Membuat Ocean kembali menaruh satu jari telunjuk di depan bibir, menyuruhnya memelankan suara.
Audine reflek ikut menaruh satu jari telunjuknya ke depan bibir, “Oke, sssh, emang kamu siapa? apa ngaruhnya?” ulang perempuan itu lagi dengan suara berbisik sesuai perintah.
“Aku kan, raja beruang!” jawab Ocean dengan kedua tangan yang ia taruh di kedua sisi pinggang dengan dada membusung, pipinya menggembul.
Audine tertawa, gemas. “Kalo gitu, ngga apa-apa deh, ayo beruang makan aku!”
Mereka berjalan berdampingan, melewati trek menanjak di tengah-tengah ratusan pohon pinus di sekelilingnya. Semakin tinggi mereka berjalan, semakin dingin hembusan angin menusuk hingga ke tulang. Ada uap yang ikut tercipta pada hembusan napas, kapanpun mereka membuka mulut.
Audine menarik kedua ujung lengan pada sweaternya, hingga menenggelamkan seluruh tangannya. Sesekali menggosok kedua telapak tangan agar tercipta gesekan panas yang mengalir pada tubuhnya. Lalu, mengaitkan sebelah tangannya di sela pergelangan lengan Ocean.
Lelaki itu menoleh, merasakan suara terengah pada deru napas lelah dan dingin yang menjadi satu dari perempuan di sampingnya.
Lantas Ocean memindahkan tangan Audine yang mencengkram sebelah lengannya, lalu menautkan jemari Audine pada telapak tangannya, sebelum genggaman itu ia masukkan ke dalam saku jaket yang ia kenakan.
“Sebentar lagi, ya, bentar lagi kita nyampe.” kata lelaki itu sambil kembali mengusap pucuk kepala Audine.
Pemandangan lampu-lampu kota dari bawah bukit langsung tertangkap oleh mata begitu keduanya sampai puncak. Dipadu hamparan bintang di langit yang kerlipannya semakin berkilau cantik menerangi gelapnya malam.
Ratusan cahaya di depan mata yang mampu membuat siapapun seolah terhisap pada galaxy sang semesta.
Di sinilah mereka, berdiri di atas ketinggian 1442 meter di atas permukaan laut, dengan jemari yang saling bertaut memberi kehangatan pada dinginnya hembusan angin.
Bukit Bintang, Bandung.
“Wow.. Ocean it’s pretty!” pekik Audine pada hamparan cahaya di depannya.
“I know, it’s pretty as you.”
Pipinya memerah, Audine menggigit bibir menahan senyum. Ocean benar-benar sangat manis hari ini. Perasaan rindu semakin menyeruak di dalam dada, meronta untuk segera bertemu pada pemiliknya. Karena sesungguhnya, rasa sesak itu masih terjebak di dalam dirinya, walau Ocean telah kembali bersikap manis. Masih ada sorot mata yang meminta penjelasan, dan kata maaf yang belum benar-benar terucap.
“Ocean.” “Au.”
Panggil keduanya secara bersamaan. Ada tatap yang kembali saling bertemu, kini dengan jarak yang semakin dekat.
“Kamu dulu.” suruh Audine, tangannya masih tersimpan pada genggaman di dalam saku jaket Ocean.
Ocean tersenyum menoleh, seraya menyelipkan beberapa helai rambut yang menari-nari ke belakang telinga Audine. Sebelah tangan itu masih memegang tote bag.
Lelaki itu melepas sejenak genggaman tangan keduanya, ia merogoh saku celananya dan mengambil satu airpod case dari salam sana. Mengambil satu airpod, lalu memasangkannya pada sebelah telinga Audine, dan satunya lagi ia pasangkan pada telinganya.
Kini Ocean meraih ponsel, dan memutar satu playlist yang selama satu minggu ini hanya mereka dengarkan seorang diri, menemani hening pada tengah malam yang terasa sepi tanpa sepasang telinga lain yang biasa andil sebagai pendengar.
“We missed a lot our zero o’clock. Sekarang masih jam delapan, but it’s time to zero o’clock.” ucap Ocean setelah satu lagu mulai menyapa ruang telinga.
“Kamu pernah denger ngga, someone said, don’t underestimate the healing powers of these three things. Music, the ocean, stars.” Ocean menjeda kalimatnya, “Lucky you, you have the three of them in the same time. Music, stars, and me, Ocean.”
“Kamu inget? there’s someone who already make you a promise to be your boyfriend and your older brother at the same time. Tapi di hari itu, di saat kakak perempuan kamu jahat sama kamu, dia pergi, si orang yang mengaku sebagai pacar dan kakak laki-laki kamu juga malah ikut pergi. Dia ngga tanggung jawab banget, Au, marahin aja!” sambung lelaki itu lagi sambil menyeringai sarkas pada dirinya sendiri.
Audine tersontak, ia menoleh ke arah Ocean seraya membulatkan bola matanya. “K-kamu, tau?” Ocean tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya, “Oh, i know, Kak Dareen.” ucap Audine lagi.
Tanpa aba-aba, Ocean menarik Audine ke dalam pelukannya, menenggelamkan kepala perempuan itu di atas dadanya, mendekapnya erat sampai perempuan itu kehabisan napas. Audine mengangkat wajahnya sehingga pucuk kepalanya menyembul dari balik pundak Ocean, mengambil oksigen dengan sorot mata yang masih terkejut bingung.
“Au, it must be really hard for you, selama satu minggu ini ngejalanin hari sendiri. Aku minta maaf, maaf aku egois, cuma peduli sama rasa takutku sendiri. Au, i really feel sorry. Aku bener-bener minta maaf.” ucap Ocean dalam satu kalimat, suaranya mengecil.
Ada hangat dari deru napasnya yang terasa sangat dekat menerpa ceruk lehernya.
“Maaf..” dan satu kata terakhir sebelum akhirnya lelaki itu menjatuhkan kepalanya di atas pundak wanitanya. Semakin mengeratkan dekapannya dengan mata yang terpejam, menghirup aroma manis dari tubuh yang selama ini ia rindukan.
Audine menyunggingkan senyum lega dari balik peluknya, satu tetes air mata kini ikut jatuh membasahi jaket beraroma akuatik yang terhirup dari dalam tubuh lelaki itu.
“It’s okay, Ocean. Me too. Aku juga minta maaf, maaf aku ngga dateng waktu itu, aku ngga tanggung jawab, a-“
“Sssh, engga engga,” Ocean memotong kalimat Audine, ia menggeleng seraya mengusap belakang kepala perempuannya dengan lembut, “Aku tau, kamu ngga mungkin tanpa alasan ngebiarin aku sendiri hari itu. Dan begonya aku, malah ninggalin kamu sendiri tanpa tau kamu kenapa. You really help me a lot, Au. Kamu liat kan foto aku?” katanya sembari melepas pelukannya, membuat dua orang itu kembali saling berhadapan. “I never thought that i could step my feet on the beach again, walau belum sepenuhnya berhasil. Tapi itu karena kamu, your coloring books!” Ocean kembali menarik Audine ke dalam dekapannya, “Thank you so much, Au.”
Audine terkekeh dengan suara yang terpendam, “Stooop! it’s not a big deal for me. Okay, raja beruang. Now, let’s stop melow-melow! pemandangannya udah cantik, masa kitanya sedih.” ledek Audine seraya berusaha melepas pelukannya, namun tubuhnya kembali ditarik oleh Ocean.
“Diem dulu, dingin.”
“Itu, kamu bawa apa sih? aku mau liat dong.” Audine kembali mengangkat tubuhnya, mencoba meraih tote bag yang Ocean simpan di bawah mereka.
Ocean semakin mengeratkan dekapannya, “Au dieeem, please, 5 minutes.”
“Dih, gila kali!” Audine memukul bahu Ocean, “Ngga mau, lepas!”
“Ngga mau!” Ocean melingkarkan kedua tangannya pada punggung Audine, benar-benar mengunci tubuh mungil perempuan itu di dalam rengkuhannya.
“Ocean, sumpah.. AKU MATI!”
Ocean reflek melepas pelukannya, lalu menaruh tangannya di atas kedua bahu Audine, menatapnya dengan sorot mata panik, “Eh, kenapa, Au? dingin?”
“AKU NGGA BISA NAPAS!”
Ocean tertawa, “Okey okey, maaf, ya udah, dari tadi kamu penasaran kan?” ujarnya seraya meraih tote bag dari atas rumput, dan membawanya ke depan Audine.
Lelaki itu mengeluarkan satu buah lentera kertas dari dalam sana, beserta dua spidol yang satunya lagi ia berikan kepada Audine, “Tulis wish kamu di bagian sana, aku tulis bagianku di sini.”
Audine menerima satu spidol dengan alis yang terangkat, “Ini apa, sih? layangan?”
Ocean kembali tertawa, kali ini gelaknya lebih lepas seakan orang di depannya itu tidak memiliki masalah hidup, “Auuu! ini flying paper lantern, ini lentera, kok layangan! HAHAHA.”
Audine ikut tertawa seraya menggaruk pelipisnya canggung.
“Banyak negara yang sering mengadakan festival lantern, salah satunya Cina. Tujuannya juga macem-macem, tergantung apa eventnya, formal maupun informal. But mostly, tujuan mereka nerbangin lentera biasanya sebagai ritual mengusir energi buruk and beginning a new enlightened path to righteousness.”
Ocean menjeda kalimatnya sembari melebarkan kedua sisi lentera, “Dan sekarang, we’re here, under the sky full of the stars, 1442 meter di atas permukaan laut, di salah satu puncak tinggi paris van java. We will fly our wish, and let’s the sky hear our wish.”
Perempuan itu terdiam kaku, mengagumi satu kalimat manis yang lagi-lagi keluar dari mulut Ocean. Garis lengkung pada bibirnya terlukis, mengarah teduh pada satu-satunya sorot mata yang menatapnya jauh lebih teduh. Ocean membalas senyuman itu dalam hitungan detik.
“You know, Ocean? you are really the most beautiful thing that i could ever had in my life.” ujar Audine dengan suara lembut.
Ocean semakin melebarkan senyumnya, “Sekarang kamu tulis wish kamu, ngga usah kasih tau aku. Cuma kamu, Tuhan, dan langit yang perlu tau.”
Mereka menulis sebait permohonan pada masing-masing sisi lentera kertas, keinginan terdalam yang selama ini terpendam, akhirnya mendapat kesempatan untuk terbang tinggi menuju langit. Langit penuh bintang, dengan jutaan kerlip cahaya yang bersinar pada kilaunya. Only in darkness, we can see the light.
“Ready?”
Kini Ocean telah menyalakan api dari dalam lentera, siap melepasnya, terbang tinggi menuju langit.
“Ready.” jawab Audine seraya mengangguk, lalu melepas lentera secara bersamaan.
Lentera terlepas, terbang meninggi pada sinar benderang yang menerangi perasaan gelap yang ikut dibawa olehnya.
Satu cahaya terbang semakin tinggi menjelajahi malam, membawa harapan yang semoga selalu disetujui oleh sang langit. Tidak ada lagi ketakutan dan kegelapan tercipta setelah ini, cause they have been healed by the night sky full of the stars.