359; The girl in fashion store
Setelah menempuh jarak kurang lebih dua jam, karena macet, Audine tiba di salah satu fashion store brand favoritnya. Sebagian koleksi dress yang dimiliki Audine, hampir delapan puluh persen semuanya terangkut dari Serein. Keadaan store yang terletak di dalam mall itu cukup ramai, selain karena antusias customer yang masih tinggi karena toko offline baru dibuka satu minggu yang lalu, jam lima sore adalah waktu di mana jam ramai pengunjung mall mulai membludak.
Audine terlihat cantik hari itu, walau biasanya memang selalu cantik (menurut Ocean). Dengan setelan long dress katun berwarna krem dan motif bunga-bunga kecil hitam yang berjarak renggang satu sama lain di sekitar kain, dengan panjang lengan tiga per empat. Kini ia tidak lagi memerlukan kardigan panjang yang selalu menenggelamkan seluruh lengannya.
Semenjak Ocean berdamai dengan bekas luka di atas perutnya, dan berani mengakui dengan tulus bahwa ada ukiran cantik di atas kulitnya, Audine sadar, bahwa ia juga tak seharusnya terus-terusan benci dengan deretan luka dan satu benjolan mungil di atas punggung tangannya.
Tangan yang cantik. Tangan yang mampu mengikat bertangkai-tangkai bunga berisikan jutaan perasaan manis dan bahagia di dalamnya. Tangan yang mampu menghasilkan berbuket-buket bunga cantik untuk orang-orang tersayang. Tidak seharusnya Audine menyembunyikan tangan indah itu.
Because, perfect imperfectness. Akan selalu ada kesempurnaan di dalam ketidaksempurnaan.
Audine berjalan menuju spot dengan deretan blouse warna-warni tergantung di satu sudutnya. Dari kejauhan, perempuan itu telah menangkap satu blouse berwarna bata yang terpasang elegan pada manequin. Blouse bermodel crop, dengan bagian bahu yang merenggang, sekilas seperti model sabrina sehingga akan menampakan lekukan tulang selangka bagi siapapun yang mengenakannya. Ada bulatan-bulatan manis yang seolah menyerupai kancing pada bagian tengah, dan kedua lengan balon yang menurutnya akan terlihat sangat manis jika dikenakan oleh Aliesha.
Menepati janjinya, Audine mengambil satu blouse berwarna bata dan satu crop top coklat bergambar satu muka beruang lucu di tengahnya untuk Aliesha.
“Eh, ini L ya dua-duanya?” gumamnya pada diri sendiri setelah melihat data size di atas tag label.
Aliesha memiliki tubuh yang tinggi, namun badannya sangat kecil dan ramping. Cukup sulit mencari ukuran pakaian yang pas pada proporsi tubuhnya, karena akan selalu terjebak di antara pilihan: size kecil yang pas pada badannya, namun panjang pakaian kependekkan jika dikenakan atau size lebih besar dengan panjang yang cukup, namun lingkar badan yang kebesaran.
Audine melambaikan tangannya pada seorang pramuniaga di ujung ruang dekat meja kasir, berniat meminta tolong untuk mencarikannya size yang lebih kecil. Audine mengangguk ketika seorang perempuan berkucir kuda dengan kaus polo putih itu menangkap panggilannya, walau tidak terlihat jelas raut mukanya karena penglihatan Audine sedikit tidak baik, perempuan itu tetap mengangguk ramah.
Sambil menunggu pramuniaga tiba, Audine kembali memutar badan, mencari-cari ulang tiap sela gantungan baju yang tergantung rapi, kalau-kalu ada size incarannya yang terlewat oleh tangkapan mata.
“Halo kak, ada yang bisa dibantu?” Suara itu menghentikan pencariannya dalam hitungan detik.
Suara itu, suara perempuan yang terasa sangat familiar, namun asing ditemui lagi oleh telinganya. Suara perempuan yang hampir satu tahun lebih tidak pernah lagi ia dengar. Suara yang Audine rindukan.
Dengan percaya diri akan suara siapa yang ia dengar, Audine memutar badan seraya memanggil, “Kak Nala?”
Nala tersontak melihat siapa perempuan di depannya. Alih-alih membalas manik mata sumringah milik Audine yang mulai berkelip basah karena kilau air mata yang mulai mengepung, tatap ramah Nala langsung meredup, berubah menjadi sorot mata kosong yang tidak bisa diartikan.
Nala dengan balutan celana jeans abu-abu dan kaus putih berlogo Serein, rambutnya dikuncir kuda dengan anak-anak rambut yang mulai keluar berantakan. Badannya jauh lebih kurus dari kali terakhir Nala datang ke rumah.
Semenjak pertengkaran terakhir keduanya, Nala hanya datang ke rumah sekitar satu sampai dua kali dalam setahun. Tidak ada lagi yang mengungkit kesalahan akan ucapannya yang menyakiti hati adiknya. Pintu terbuka dengan sangat luas, semua menyambut kedatangan Nala seolah tidak ada konflik yang terjadi di antara mereka.
Lagi dan lagi, tidak ada satu pun anggota keluarga yang membedakan Nala seperti apa yang ada di pikirannya selama ini. Begitu pun dengan Audine, yang berpuluh-puluh kali hatinya dipatahkan oleh kakak perempuannya. Rasa sayang itu, sama sekali tidak pernah pudar.
Namun semenjak dua tahun terakhir, Nala tidak pernah lagi pulang ke rumah. Bahkan perempuan itu kabarnya telah pindah, semakin lari menjauh dari rumah.
Audine menahan air matanya kuat-kuat, begitu pun dengan Nala. Ramai atmosfer dari pengunjung seolah sepi bagaikan langit di antara gemuruh petir. Dua pasang mata yang saling mengunci, saling menyimpan sakit bercampur rindu, tanpa ada sepatah kata terucap.
Audine berjalan semakin mendekat, lalu meraih sebelah tangan Nala yang lekukan tulangnya terasa menonjol ketika bersentuhan dengan tangannya. Audine menggenggam tangan itu, tangan perempuan yang tanpa pernah sedikit pun ia berpikir, kalau ternyata masih ada kesempatan untuk Audine mengenggam tangan milik kakak perempuan satu-satunya.
Audine mengusap tangan Nala lembut, bersama tetes air mata yang tidak bisa lagi ia bendung.
“Kak.. jangan telat makan ya.” ujar Audine dengan suara mengecil.
Nala hanya diam, masih menatap Audine lurus dengan mata yang mulai memerah. Nala menggigit bibir bawahnya, menahan getaran tangis yang siap meledak, sambil membiarkan adiknya mengenggam tangannya.
Karena jauh dari dalam lubuk hatinya, sesungguhnya Nala sama-sama merindukan Audine. Sangat.
“Kak, it’s been a long time. Aku bahkan ngga berani menghitung, semakin aku menghitung berapa tahun terlewat, semakin aku sadar kalo..”
Audine memutus kalimatnya karena tangis mulai meledak, genggaman Audine semakin kencang hingga menciptakan cetakan merah di atas putih kulit Nala. Perempuan itu berbicara menunduk, tanpa sedikit pun menatap Nala karena takut akan hanya ada api kemarahan di dalam manik mata yang selama ini ia rindukan.
Karena sejujurnya, Audine rela menahan rindu hingga berpuluh-puluh tahun dari pada ia harus kembali melihat sorot amarah dari dalam mata Nala. Merasakan perasaan benci dari tatap mata Nala itu lebih menyakitkan dibanding rasa rindu hingga akhir hayat.
Audine menarik napas panjang demi mengatur deru napasnya sebelum melanjutkan kalimat, “Kalo kita bener-bener udah semakin jauh..”
Nala memallingkan wajah, tak gentar dalam diamnya, masih bungkam tanpa bersuara.
“Kak Nala, aku minta maaf. Sekarang kakak udah bisa pulang kok, karena aku udah ngga tinggal di rumah sekarang. Jadi, Kak Nala ngga akan marah-marah lagi sama mama dan ayah gara-gara aku.” Audine mengangkat wajahnya, matanya masih penuh dengan air mata, namun kali ini emosinya sudah jauh lebih stabil. “Pulang ya, kak? Ayah sama mama kangen banget sama Kak Nala.”
Dengan satu hentakan kasar, Nala menarik tangannya dari dalam genggaman Audine, hingga membuat tangan Audine terlempar di udara, lagi-lagi membuat Audine tersontak akan hal tidak terduga. Dadanya kembali sakit.
Nala pergi berlari meninggalkan Audine tanpa sepatah kata, tanpa sedikit pun menatap balik binar mata tulus dari adiknya. Nala lagi-lagi meninggalkan Audine yang diam mematung seorang diri.
Namun tanpa seorang pun tahu, kalah ada air mata yang jatuh lebih deras, bahkan lebih deras dari Audine. Nala berlari ke dalam ruangan kecil di belakang pintu kasir sambil menutup mulutnya.
Lalu sosoknya menghilang dari pandangan mata.
Audine mendudukkan diri pada satu kursi kotak di depan lemari dengan bertumpuk-tumpuk kaus di sampingnya. Sambil menggenggam tangannya sendiri, lalu mengusap-usap punggung tangannya, Audine tersenyum.
“At least, i can hold your hand for the whole two minutes, kak. Even this gonna be our last two minutes.”
Selama hampir dua puluh menit, Audine terdiam di tempat yang sama hanya untuk mengembalikan emosinya. Sesekali menoleh ke belakang, berharap kakaknya kembali datang menghampirinya. Berulang-ulang ia mengambil napas teratur sambil memutar playlist zero o’clock dari sepasang airpod yang masih selalu ia dengarkan sejak hampir empat tahun lalu tanpa bosan.
Setidaknya, playlist itu mampu menghangatkan hatinya, sama hangatnya dengan si pembuat playlist.
Audine bangun dari duduknya, tak lupa membawa dua baju untuk Aliesha. Perempuan itu pergi menuju kasir dengan mata yang masih terlihat sembab. Audine mengangguk pada penjaga kasir sembari memaksakan senyumnya.
Hari itu, pertemuan tidak terduga terjadi di tempat yang juga tidak terduga. Perang dingin di antara Audine dan Nala belum mencair, tapi setidaknya, ada perasaan rindu yang berhasil terobati, walau rindu itu tak kunjung berbalas.
Jika boleh Audine meminta, ia ingin setidaknya diberi kesempatan satu kali lagi, untuk bisa memeluk Nala, dan mendengar suara Nala memanggil namanya.
Seseorang menepuk pundaknya dari belakang saat Audine melangkah meninggalkan store. Audine menoleh dengan sorot mata bertanya.
Belum sempat Audine membuka suara, satu perempuan dengan baju dan rambut yang sama seperti Nala itu tiba-tiba menyodorkan sebuah amplop putih, yang bisa ditangkap dengan pasti kalau itu adalah sepucuk surat.
“Dari Nala.”