379; Lotus in the mud
Toko bunga yang telah berdiri selama hampir enam tahun, tanpa adanya perubahan dekorasi dan warna cat selain warna pink salmon yang berkali-kali dicat ulang setiap tahunnya karena bercak-bercak dinding yang menguning. Sepeda dengan keranjang anyam berisi bunga dan papan tulis kecil yang dicoret oleh kapur putih bertulis Fairy Blossom itu masih ada di sana, bersandar pada susunan flower box dan jejeran ember kaleng berisi warna-warni bunga bersama harum segar semerbak.
Tidak ada yang berubah sampai hari ini, kecuali, adanya penampakkan meja dan kursi yang kini bisa tertangkap oleh mata. Mengisi penuh sudut ruang dengan jutaan air mata dan peluh keringat yang tidak berhenti menetes pada tiap tahunnya.
Tiga jam yang lalu, saat sang mentari bangun dari tidurnya, mulai bergerak meninggi mencapai titik tengah bumi. Wanita dengan dress satin putih dengan kilau manik-manik yang melingkari pinggang rampingnya, berdiri anggun di belakang garis pita dengan warna pink salmon senada dengan cat bangunan penuh bunga. Menangkap puluhan pasang mata yang melempar haru perasaan bangga dan kilat flash kamera yang mengarah kepadanya. Audine dengan senang hati menerima binar mata orang-orang di depan dengan mata berkaca, dan lengkung sabit yang terlukis manis di atas bibir merah mudanya.
Toko bunga yang menjadi saksi akan segala rasa sakit dan lelah atas umur emas Audine. Satu-satunya tempat penampung detak jantung yang pernah nyaris mati terbunuh oleh kejamnya keadaan pahit. Kini, bangunan penuh bunga itu menjadi satu-satunya saksi setia atas detak baru yang berdegup semakin hidup, menutup segala rasa sakit yang akan selamanya tersimpan sebagai memori.
Lelaki yang empat tahun lalu datang membawa dua kotak pizza dengan lelehan keju tidak biasa yang membuat siapa pun hampir muntah, juga lelaki yang empat tahun lalu datang menerobos derasnya hujan membawa satu makalah tipis berjudul descriptive text dengan satu gambar boneka salju di tengahnya.
The one who will be by her side, until her flowers bloom.
Adalah salah satu kalimat yang tertulis pada paragraf deskripsi di bawah potret dirinya. Dan hari ini, tepat di tahun keempat. Lelaki itu berhasil membuktikan kalimatnya.
Ocean dengan segala keunikan dan sejuta cara ajaibnya, dengan setia menyaksikan satu bunga teratai tumbuh mekar, berjuang keluar dari dalam lumpur gelap nan menghisapnya kembali ke dasar yang gelap. Selama hampir 1460 hari terlewati, bunga teratai itu akhirnya mekar sepenuhnya. Tumbuh semakin cantik pada mahkotanya, semakin bersinar. Dan bunga teratai itu kini berdiri kokoh di sampingnya.
The goodness of suffering is real. Audine, you are the prettiest lotus that i’ve ever seen in my life. Now, let me be a swamp to keep you alive.
“Now?” tanya Ocean dengan suara lembut mengayomi, seraya menuntun sebelah tangan Audine yang siap menarik tuas gunting, memutus tali pita.
Audine menoleh, mengunci tatap di dalam manik mata keteduhan milik lelakinya. Menarik napas lalu menghembuskannya dengan seluruh perasaan siap. Begitu juga dengan Ocean, lelaki itu dengan senang hati sama-sama menarik napas dengan ketukan yang sama dengan Audine demi mengurangi rasa gugup perempuannya. Keduanya terkekeh, saling melempar senyum bahagia di antara pasang mata yang menyorot, seakan pemandangan dua sejoli itu mampu menghangatkan hati bagi siapa pun yang melihatnya.
“Now.” jawab Audine.
Pita terputus, bersamaan dengan ricuh suara tepuk tangan dan teriakkan dari para kerabat yang sama-sama menjadi saksi hidup akan perjuangan Audine selama ini. Bloomy Lotus Tea House, resmi dibuka.
Terlihat Ghea yang tidak berhenti menangis semenjak Audine mengucap pidato singkat, hingga gumpalan maskaranya meleber di bawah mata. Aidan yang hari ini lebih banyak diam karena terlalu menampung perasaan bangga dan bahagia yang menyeruak di dalam dadanya hingga tidak bisa mengucap sepatah kata.
Ada juga gerak tangan antusias yang melambai-lambai milik Nala dan Carissa di atas gendongannya yang tertangkap dari dalam kerumunan. Dan di barisan paling depan, ada oma dengan kursi rodanya, karena umur yang semakin sepuh, tidak bisa lama-lama berdiri. Bersama Aliesha yang menjaga di belakangnya sambil memberi rangkulan di atas bahu oma dengan mata berkaca-kaca, melempar perasaan bangga pada kedua kakak tersayang. Oma, wanita pecinta teh sekaligus pencetus ide utama atas kedai teh milik Audine, akhirnya bisa menemukan memori nostalgianya kembali.
Dan jangan lupakan, support system nomor satu yang tidak pernah sekali pun meninggalkan Audine pada titik terapuhnya. Dua malaikat yang telah melahirkan satu peri kecil yang tumbuh dalam perasaan takut, yang kini peri kecilnya kian tumbuh menjadi seorang dewi cantik dengan sosok yang kuat. Berdiri kokoh di atas jiwa yang rapuh, merentangkan kedua sayapnya.
Dua malaikat itu, ayah dan mama, mereka saling merangkul menyaksikan peri kecilnya di depan sana dengan derai air mata bahagia.
Begitu juga Audine yang tidak bisa lagi membendung genangan air mata terhadap pemandangan hangat dari berpasang-pasang binar haru yang seakan memeluknya lewat sorot mata. Sebelum perempuan itu tersadar, kalau ada sesuatu yang lebih hangat di dalam genggaman tangan penuh ukiran cantik di atas kulit. Jari-jari Ocean yang bertaut.
“Kamu tau, kenapa kedai teh ini aku kasih nama Bloomy Lotus?” Audine bertanya dengan suara mengecil, terdengar samar-samar karena tertutup sorak dukungan dari orang-orang di depan, sehingga membuat Ocean harus menunduk, mendekatkan telinganya ke depan wajah Audine.
Lelaki itu menggeleng, “Kenapa?”
“Kamu selalu mengibaratkanku sebagai bunga teratai yang tumbuh mekar dari dalam lumpur. But don't you realize that i’m not the only lotus flower that struggling from the mud?” sambung Audine kepada sepasang mata penuh tanda tanya. “I never struggle alone without you here by my side. Ocean, you are the one who made this lotus bloom.”
Audine memiringkan badannya menghadap Ocean, dan mengambil satu langkah lebih dekat sehingga menyisakan sedikit jarak di antara keduanya, membuat sorakkan-sorakkan itu membisu, dan menarik hantaman flash paparazzi semakin silau menghantam cahayanya.
Tanpa aba-aba, Audine mengecup singkat pipi Ocean di depan puluhan pasang mata dan media tanpa perasaan sungkan, membuat lelaki itu membelalakkan matanya kaget. Dan membuat sorak suara itu kembali bersuara lebih ricuh dari sebelumnya, kali ini diselingi siulan-siulan yang membuat telinga Ocean memerah, ia mengigit bibir bawahnya menahan senyum.
Audine membalas sorot mata terkejut di depannya dengan senyum yang manis, seraya menyambung kalimatnya.
“I’m not the lotus, but we. We are the lotus in the mud.”