228; Talk and Cuddles
Benar kata Ghea, seisi kamar apartment Ocean hampir semua di dominasi oleh warna gelap. Bukan hitam, tapi cenderung abu-abu jika diperhatikan lebih seksama. Wangi akuatik pada perpaduan aroma manis yang segar dari citrus dan rosemary, menguar di dalam ruangan. Wangi khas milik Ocean.
“Ini wangi dari kamar kamu apa wangi dari badan kamu, ya?”
Tanya Audine pada posisi terkunci di dalam dekapan Ocean, sudah hampir 45 menit berlalu perempuan itu tenggelam di dalam pelukannya. Sesekali memejamkan mata, merasakan kehangatan dari aromanya sambil menikmati rasa nyaman pada usapan tangan Ocean di atas punggungnya.
8 PM. After work. Tidak ada sleeping at last yang terputar seperti biasanya, hanya ada suara percakapan dari tokoh-tokoh sinetron pada layar televisi yang menyala, hanya menyala, tidak ditonton. Karena dua orang itu asik berkemul di dalam selimut yang sama.
Audine menarik kepalanya sejenak, menengadahkan kepala dan mengendus aroma pada udara, lalu kembali menghirup aroma manis di antara leher lelaki itu dalam-dalam.
Ocean terkekeh, “Au ngapain, sih?”
“Wanginya sama. Kamu beli parfum dipake buat nyemprot ruangan juga kah?”
Ocean kembali menarik Audine ke dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggungnya, lalu menaruh dagunya di atas pucuk kepala Audine, “Udah diem, gitu doang diribetin, kayak anak kecil.”
Audine mendengus, perempuan itu melemparkan pukulan kecil pada bahu Ocean, “Ini kita beneran mau begini doang apa sampe subuh?”
Tidak ada jawaban.
“Atau respon gitu? masa kamu ngga butuh respon dari aku? saran? masa kamu ngga butuh saran? ya kaliii!” tanyanya sekali lagi, bawel.
“Engga.” jawab Ocean, singkat. Tangannya masih mengusap-ngusap rambut Audine dengan mata terpejam.
“Terus gimana? udah kamu jawab belum? kamu jangan diem aja dong aku takut kamu kesambet setan keju.”
Bohong jika Ocean tidak membutuhkan saran, atau setidaknya teman bicara untuk menumpahkan seluruh rasa cemasnya. Tapi, bukan Ocean kalau tidak batu. Menurutnya, Audine jauh lebih butuh sosok pendengar saat ini. Ia tidak mau membebankan rasa takutnya pada Audine, dan membuat perempuan itu semakin menaruh banyak pikiran.
Mereka biasa bertukar cerita tiap jam dua belas malam, dan tidak selalu. Juga, bukan berarti harus menunggu hingga jam dua belas malam dulu baru boleh meluapkan emosi dan berbagi cerita. Ya pokoknya sepengennya mereka aja dah pada pengen kirim-kirim email kapan.
“Sssh, bawel! kan aku cuma minta peluk, harusnya aku yang banyak omong.” jawab Ocean, masih dalam posisi yang sama. “Sekarang, kamu gimana? kemarin sempet ketemu Kak Nala?”
Kini keduanya sama-sama mengubah posisi. Ocean melepas pelukannya, lalu memindahkan kepala Audine ke atas lengannya, dan kembali menyisiri rambut Audine dengan jarinya, membuat perempuan itu nyaman untuk bercerita.
“Engga,” Audine menggeleng, “Kemarin aku sampe rumah jam enam, Carissa udah dijemput. Aku juga ngga nanya apa-apa ke mama, dan mama juga ngga cerita apa-apa, udah pada capek kali ya?” perempuan itu tertawa sarkas, “Lagian, selama situasinya masih kayak gini, aku ngga mau ketemu Kak Nala.”
“Kayak gini gimana?” tanya Ocean, seraya menggeser tubuhnya untuk meraih remote, mematikan televisi, sambil sebelah tangannya yang tadi ia gunakan untuk menyisiri rambut Audine, ia gunakan untuk menahan kepala Audine agar tidak ikut tergeser.
“Ya gini, canggung. Makin sini, aku makin ngerasa hubunganku sama Kak Nala makin jauh. Entah perasaan aja atau gimana, tapi aku ngerasanya, Kak Nala semakin menghindar dari aku. Jangankan ketemu, aku chat juga, balesnya gitu. Hati aku sakit sendiri jadinya tiap liat Kak Nala, dia keliatan banget ngga mau ngomong sama aku.” sambung Audine, berbicara tanpa menatap mata Ocean. “Aku ngga tau salah aku apa, aku ngga tau kenapa dia bisa sekesel itu tiap liat aku. Kak Nala yang aku kenal, udah ilang dari lama.”
Terdengar helaan napas Audine yang semakin memberat, Ocean masih diam tidak merespon, hanya mengusap-usap helai rambutnya, sesekali pindah mengelus pipi Audine lembut dengan ibu jarinya, menunggu perempuan itu berbicara hingga benar-benar menyuarakan isi kepalanya.
“Ocean, aku kangen banget sama Kak Nala, aku kangen gimana rasanya punya kakak,” suaranya mulai bergetar, “Aku juga kangen liat Kak Nala seneng, sekarang, ngga ada yang bisa aku temuin dari mata dia selain amarah.” Satu tetes air mata akhirnya jatuh di atas lengan Ocean.
“Ocean, aku salah apa sama Kak Nala? Kak Nala sekarang udah ngga sayang lagi ya sama aku?”
Ocean menggeleng seraya tersenyum teduh ke arah Audine, “Engga,” lalu mencium kening Audine dengan lembut, “Kamu ngga salah.”
Lelaki itu meraih ponsel pada nakas di samping kasurnya, membuka galeri dan menunjukkan satu foto perempuan berumur tujuh tahun berbalut baju kodok berwarna pink, rambutnya terurai panjang dengan bandana berwarna senada.
“You know her, but we don’t talk much about her. Namanya, Aliesha Arabelle, we used to call her, Alie.” ujar Ocean. “Cantik, ya? sekarang umurnya udah lima belas tahun, dan masih cantik, ngga berubah. Tapi sekarang dia jauh banget, di Jepang, ikut papa sama mama.”
“Aku jarang banget berantem sama Alie, maksudnya, berantem beneran!” Audine tiba-tiba terkekeh mendengar perubahan suara Ocean yang mulai antusias seperti anak kecil.
“Yah, selain emang aku yang disuruh ngalah mulu, bentar-bentar, kakak, jangan jail sama adeknya!” Ocean mengikuti gaya bicara mama. “Tau ngga, Au, padahal aku baru ngumpet di belakang tembok, Alienya juga masih jauh masih di dalem kulkas, eh, maksudnya, di depan kulkas lagi ngambil es krim!”
Audine tertawa, sambil mencubit gemas pipi Ocean yang terlihat menggembul. “Kamu ngapain ngumpet di belakang tembok?”
“Mau aku kagetin!” jawab Ocean, nadanya sedikit meninggi, terdengar seperti anak kecil yang merajuk. “Tapi ngga jadi! kan keburu diomelin sama mama!” lalu keduanya tertawa, memecah keheningan di antara suara gemuruh angin AC yang dari tadi terdengar seolah menjadi background suara.
“Oke, balik lagi. Selain emang aku yang harus ngalah, Alie emang anaknya manis banget, dia jarang marah kalo aku godain, anaknya iya-iya aja. Makanya aku ngeri banget dia ikut ke Jepang.”
“Kenapa?”
“Takut di tengah jalan ada yang nawarin dia jadi donal bebek disneyland, dia iya-iya aja.”
Audine kembali tertawa, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Genangan air mata yang dari tadi menetes, sekarang telah mengering. Awan hitam yang ada dalam dirinya mulai kembali cerah secara perlahan hanya dengan mendengar Ocean bercerita.
“Kamu coba sehari aja jangan random, ngga bisa, ya?” ledek Audine pada ujung tawanya.
“Now, the point is, aku ngga bisa ngubah Kak Nala jadi seperti dulu, kayak yang kamu maksud. Aku ngga bisa membolak-balikkan hati Kak Nala, ya, aku bukan Tuhan, aku mah pacar kamu,” sambung Ocean, kembali diselingi kekehan Audine. “But, maybe i can bring you another sisters.”
“Alie tuh sering tiba-tiba nyeletuk, kenapa sih aku ngga punya kakak cewe, kayaknya kalo kakakku cewek, pasti lebih satu frekuensi deh ngga akan nyebelin, kurang ajar ngga, Au? aku dibilang nyebelin secara tersirat,” Ocean menjeda kalimatnya, “Nah, jadi sekarang adil, kan? Alie dapet kakak baru, kamu juga dapet adik baru.”
Audine menoleh, menatap Ocean bingung, “Maksudnya?”
“Au, mungkin Alie ngga akan bisa ngobatin rasa kangen kamu untuk dapet kasih sayang dari seorang kakak, tapi seenggaknya, Alie bisa ngasih kamu rasa sayang baru, rasa sayang dari seorang adik untuk kakaknya.” sambung Ocean seraya kembali menyisiri lambut Audine dengan lembut, “You can claimed her as your younger sisters now. Nanti aku kenalin sama Alie, ya. Trust me, she’s gonna love you.”
Terakhir, Ocean kembali menarik Audine ke dalam pelukannya lagi, lalu mencium pucuk kepalanya.
“Don’t worry, Au. Kalo kamu butuh perhatian dari seorang kakak, i’m here. I can be your boyfriend and your older brother at the same time, don’t worry.”