57; Pizza, hand sanitizer, and sunflowers
Jam setengah lima sore, cahaya matahari masih terus menyorot terang menembus bingkai jendela yang terbuka, memantulkan kehangatan sinar jingga pada sebelah wajah Audine yang tengah duduk sambil menggunting-gunting akar bunga. Jam kerjanya telah usai semenjak tiga puluh menit yang lalu, namun Audine selalu senang berlama-lama menghabiskan waktu di dalam toko bunga miliknya, terlebih lagi jika moodnya dirasa sedang tidak baik. Wangi-wangi tanaman yang terhirup, selalu terasa segar menyeruak ke dalam dirinya, aroma yang seolah mampu menyaring segala emosi dan membuatnya tereinkarnasi kembali.
Penampilan perempuan itu terlihat sangat manis hari ini, dengan paduan rok plisket putih panjang bermotif bunga-bunga kecil yang cantik, dan kardigan lilac polos yang lengannya kepanjangan, ia biarkan hingga membuatnya tenggelam sampai menutupi setengah telapak tangannya.
Audine memiliki bekas luka yang cukup jelas di kedua punggung tangannya, bahkan di salah satunya meninggalkan benjolan keloid. Saat usianya masih sepuluh tahun, Audine sempat mengalami kecelakaan motor. Karena tinggi badannya yang masih pendek, perempuan itu duduk di depan kala itu, bersama sang Ayah yang mengendarai motor, menemaninya jalan-jalan sore menikmati senja pada satu hari di bulan Juni.
Suatu keadaan membuat pria itu harus menarik rem motornya kasar secara mendadak, demi menghindari seorang lelaki tua yang hendak menyebrang secara tiba-tiba. Dengan secepat kilat motor yang dikendarai keduanya tergelincir, menyeret dua orang di atasnya ke atas aspal yang terasa panas dan perih menghantam kulit. Syukur, tidak ada korban jiwa dan luka berat yang diakibatkan oleh kecelakaan itu.
Sayangnya, peristiwa itu berhasil meninggalkan jejak abadi di atas kedua tangan mungil Audine hingga sekarang, karena menerima tekanan motor dan hantaman dari aspal yang kasar.
Itulah alasan mengapa Audine tidak pernah lepas dari baju berlengan panjang. Untuk menutupi kekurangan pada tangannya.
Kini perempuan itu beranjak dari kursinya, menuju meja kayu dengan susunan laci-laci kotak yang di dalamnya terdapat ember-ember kaleng berisikan aneka ikat bunga bermacam-macam jenis. Warna warni yang tertangkap oleh mata, seakan menyapa siapapun yang melihatnya bahwa ada kebahagiaan yang ikut mekar di dalam sana. Seolah berteriak “Don’t worry, your days will be better after this, fighting!”
Audine meraih satu laci di susunan paling atas, membuatnya harus berjinjit menarik tangannya ke atas sana, berusaha meraih dua tangkai bunga matahari yang masih segar. Sebelah tangan lainnya bertumpu pada sisi meja, menjaga keseimbangan tubuh karena tumpuan pada kakinya semakin mengambang.
“Ini siapa sih yang naro tinggi-tinggi banget, udah tau yang jaga pendek!”
Bukannya tertarik, ember kaleng itu malah semakin terdorong ke dalam, membuat perempuan itu berdecak sebal sambil terus berusaha meraih tangkai bunga.
“Need help?”
Lagi-lagi, suara itu berhasil mengejutkan jantungnya untuk kedua kali. Ocean, entah dari mana dan sejak kapan ia berdiri di belakangnya, sambil membawa dua kotak pizza di tangannya, lelaki itu memandangi punggung Audine tanpa mengeluarkan sepatah kata dari tadi.
“Ocean! lo bisa ngga sih tiap muncul ga ngagetin?!” Pekik perempuan itu seraya memutar badan dengan bola mata yang hampir keluar.
“Lo kapan datengnya lagi, ngga kedengeran tau-tau udah nangkring disini!”
“Gue udah ketok-ketok pintu, lo ngga denger, ya udah gue masuk aja, orang pintunya kebuka.” jawab Ocean dengan raut wajah yang sangat santai, berbanding 180 derajat dari Audine yang kini warna mukanya berubah menjadi semu merah.
“Nih pegang,” suruh Ocean seraya menyodorkan dua kotak pizza, “Yang ini?” lalu meraih satu tangkai bunga matahari yang dari tadi berusaha diraih Audine, reflek perempuan itu mengangguk.
“Berapa? satu? dua?” tanya Ocean sekali lagi. “Satu ember.” jawab Audine singkat.
Bukan Ocean kalo ngga iya-iya aja, lelaki itu betul-betul menurunkan sekaleng bunga matahari, mengangkatnya dengan kedua tangan yang ia posisikan di depan dada, melingkari diameter ember jadi memeluknya. Hingga tangkai-tangkai bunga matahari yang tinggi menutupi seluruh wajahnya.
“Bawa kemana? berat juga ternyata.” ujarnya polos, wajahnya terhalang berikat-ikat tangkai bunga, hanya terlihat pucuk kepalanya yang menyembul.
Audine sontak diam mematung, menggaruk-garuk dahi, dan mulut yang menganga kecil, sambil menggeleng-geleng heran tidak percaya kalau orang yang punya sorot mata mengintimidasi di setiap foto-foto yang terpampang pada billboard itu ternyata menipu. Tingkahnya benar-benar seperti anak berumur delapan tahun yang terjebak pada tubuh orang dewasa.
“OCEAN BECANDAAA KENAPA BENERAN DIAMBIL SAMA EMBER-EMBERNYA!” tukas Audine seraya menyuarakan gelak tawanya. “Hahaha sini,” lalu mengambil alih ember kaleng dari dekapan Ocean, dan menyimpannya ke lantai.
“Ini, gue cuma butuh dua.” lanjut Audine, yang hanya dibalas oleh anggukan oleh Ocean dan gumaman ‘oh’ tanpa suara sehingga hanya menghasilkan bibirnya yang membentuk huruf O. Sangat menggemaskan.
Audine berjalan kembali menuju meja di samping jendela, diikuti Ocean sambil membawa dua kotak pizza yang siap untuk disantap.
“Eh bentar bentar, gue beresin dulu ini banyak daun.” ucap Audine seraya menahan kotak pizza yang hampir diletakkan Ocean.
“Ngga apa-apalah, kan pizzanya di dalem box, ngga gue geletakkin ke meja.” jawab Ocean sambil tetap menaruh dua kotak pizza di atas meja dengan potongan-potongan kecil daun yang berserakan.
“Ini lo beli pizza banyak banget? buat siapa doang?” tanya Audine. “Emang lo melihat ada orang lagi selain gue sama lo?” “Bukan gitu, tapi ini kebanyakan deh, gue ngga makan banyak,” balas Audine lagi sambil memperhatikan Ocean yang tengah membuka ikatan tali pada box, “Oh, lo banyak ya makannya? satu box sendiri?” “Gila aja!” ujar Ocean dengan nada yang sedikit meninggi, “Gue bisa dibawelin Bang Dareen sampe lebaran haji, bentar-bentar awas berat lo naek” sambungnya lagi sambil memajukan bibir mengikuti nada bicara Dareen. “Bang Dareen?” “Kakak sepupu, sekaligus manager terbawel sejagat bumi.”
Baru mulutnya hampir mengeluarkan pertanyaan lain, fokusnya seketika teralih pada pizza dengan toping keju yang sangat tebal hingga toping-toping lainnya tidak terlihat, bahkan nyaris menenggelamkan seluruh bagian roti, hanya ada lelehan keju yang tertangkap mata seakan lelaki itu betul-betul mengorder berlapis-lapis keju, bukan pizza. Tampilan yang mampu membuat siapapun mual membayangkan rasa creamy berlebihan dari keju yang meledak di dalam mulut.
“Sumpah? lo mesen pizza pake keju apa keju dipakein pizza anjir?!” ucap Audine kaget. Ocean terkekeh, seolah sudah biasa mendapatkan respon heran dari orang lain kapanpun ia memesan menu pizza yang sama.
“Iya gue tau respon lo pasti begitu, jangankan lo, mba-mba pizzanya juga kaget,” jawab Ocean seraya menyodorkan satu box lain ke arah Audine, “Gue kalo pesen pizza selalu gini, extra extra extra cheese, hahaha ini enak tau! itu gue pesenin buat lo menu yang paling general, yang semua orang udah pasti suka. Soalnya gue ngga tau lo sukanya apa, ngga apa-apa kan?”
Perempuan itu tersenyum, lalu mengangguk, “Ngga apa-apa gue suka ini, thanks ya, gue makan.”
Disaat Audine hendak meraih satu potong pizza, tiba-tiba Ocean menarik tangannya, perempuan itu merasakan benjolan kecil di punggung tangannya bertemu oleh telapak halus milik Ocean. Lelaki itu mendiamkan tangannya di atas genggamannya beberapa detik seraya tangan lainnya merogoh tas selempang kecil miliknya, mengambil satu botol kecil hand sanitizer. Audine diam-diam menahan napas.
Hangat, ada kehangatan yang ia rasakan di sana.
“Abis megang bunga, kotor, jangan langsung pegang makanan,” Ocean menuangkan beberapa tetes hand sanitizer ke atas telapak tangan Audine, “Udah, sekarang usap-usap, kenain semua sampe kuku, terus ke sela-sela jari, bisa kan?”
“B-bisalah! emang gue lo, anak bayi!” jawab Audine dengan nada tinggi, sambil menarik tangannya dari genggaman Ocean. Terdengar galak yang sebenarnya ia menahan salah tingkah, degup jantungnya bergerak cepat di dalam dadanya.
Lelaki itu tertawa, “Tau dari mana gue kayak bayi?”
Audine menggigit bibir bawahnya menahan senyum, yang jika diledakkan sekarang ia bisa langsung kembali seperti orang kerasukan.
Perempuan itu beranjak dari kursinya sambil membawa dua tangkai bunga matahari, meninggalkan Ocean yang memandangnya dengan tatapan bingung.
“Eh, bentar, lo makan duluan aja, tiga menit, ngga lama.”
Hampir lima menit berlalu, Audine baru kembali, kali ini dua tangkai bunga matahari yang tadi ia ambil telah terikat dalam satu ikatan di dalam buket kecil yang sederhana. Lalu memberikannya pada Ocean.
“Dalam rangka apa? gue ngga lagi wisuda?” ucap Ocean dengan pipi yang menggembung penuh, sambil mengunyah.
“Ngga ada, mau ngasih aja. Lo tau ngga kalo bunga matahari punya makna semangat, kebahagiaan, dan optimisme? hari ini, ada sesuatu yang bikin mood gue kurang bagus, dan itu ngga enaaak banget rasanya. So i hope, there’s a lot of something good in your days, biar lo ngga sering-sering ngerasain bad day kayak gue. Be happy Ocean, semoga energi dari bunga mataharinya nyampe ke lo. Have a great day for every day!” ujar Audine seraya menyodorkan satu buket bunga pada Ocean.
“Eh, i mean Elvan, have a great day! aduh sorry, gue baru ngeh dari tadi gue manggil lo Ocean Ocean terus, so sorry.”
Ocean terkekeh, “Kenapa? kok minta maaf, kan nama gue emang Ocean.”
Ocean meraih satu buket bunga matahari dari genggaman Audine, lalu memandanginya sambil kembali tertawa kecil, kali ini dengan tambahan smirk tipis yang terlihat manis dari bibirnya.
“Me too, there’s something that ruin my mood today, makanya gue kesini. I’m searching something can heal through the flowers here,” sambung Ocean, lalu menjeda kalimatnya, “And there’s you and this sunflowers, thank you for recharging my mood, Audine.”
“And one more, ngga apa-apa, just call me Ocean.”
“Tapi waktu itu gue ngga sengaja denger dari Ghea, katanya lo ngga suka dipanggil Ocean?” balas Audine, seraya menatap balik kedua mata coklat di depannya.
“Dikit lagi suka.”