175; Shark vs Human
Mereka berdua tiba di akuarium raksasa yang letaknya berada di dalam mall. Pemandangan ramai pasar swalayan dengan berbagai macam brand yang terpampang di tiap sudutnya, seketika terganti oleh cahaya biru redup yang cenderung gelap bagaikan sinyal menuju rute bawah laut, tak lupa miniatur-miniatur terumbu karang dan ikan hiu yang tergantung di atas langit-langit, seakan membawa suasana bawah laut ke atas daratan. Dingin dan sejuk.
Ocean terus melangkah menuju pintu masuk sambil menggenggam dua tiket di tangannya, berjalan terburu-buru meninggalkan Audine dengan jarak yang cukup jauh di belakang, sehingga membuat perempuan itu harus berlari kecil untuk menyamai langkahnya.
“Ocean tungguinnn! kenapa sih buru-buru banget?”
Bukannya memperlambat langkahnya, Ocean malah menarik lengan Audine, menyuruhnya untuk ikut bergerak cepat. “Ayo kita harus buru-buru Au, sebelum si larva merah sama kuning dateng!”
Audine tertawa, lalu balik menahan tangan Ocean untuk berhenti. “Larva merah larva kuning siapa?” “Keenan sama Edwin.” “Kenapa kok larva? HAHAHA.” “Lo suka nonton larva ngga sih? yang di RCTI.” “Suka, lucu tau tapi mereka kayak orang bloon, kerjaannya berantem doang rebutan roti.” “Emang.” Audine menaikkan alis tanda bertanya. “Keenan sama Edwin kalo digabung kayak larva, bloon.”
Perempuan itu menggeleng dengan sisa tawanya yang masih bersuara, “Ya udah, tapi ngga boleh gitu seengganya kita temuin dulu, ayo kita tungguin mereka, kan kita udah janjian.” Ocean memajukan bibir bawahnya tidak sadar, lalu mengangguk pasrah. Audine kembali tertawa.
Selang dua belas menit kemudian, dua lelaki dengan tinggi yang nyaris sepantar melambaikan tangan ke arah mereka sambil cengengesan entah karena apa. Audine langsung mengenalinya, tidak sulit menangkap dua sosok familiar yang salah satunya bahkan cukup sering ia lihat di televisi. “Kayaknya lebih cocok lo manggil mereka Upin Ipin deh.” Celetuk Audine tiba-tiba.
“Hai apa kabar es?” Keenan melemparkan high-five begitu sampai. “Es?” tanya Ocean dengan dahi mengernyit. “Cees! lu ngga tau gue sama Audine udah cees? ya ngga Din?” jawab Keenan seraya menaruh tangannya di atas bahu Audine, merangkul.
Audine yang bisa dibilang satu server dengan manusia seperti Keenanpun hanya bisa geleng-geleng melihat tingkahnya, energinya seolah langsung diserap habis, ia hanya tertawa bingung sambil menggaruk-garuk pucuk kepalanya yang tidak gatal.
Ocean yang tidak terima langsung menepis tangan Keenan dan melemparnya cukup kasar dari atas bahu Audine, lalu menarik perempuan itu mendekat hingga tidak ada jarak di antara keduanya.
“Jangan sok asik, udah ya, awas lo berdua ngikut-ngikut.”
“Dih terus apa gunanya kita janjian?” ucap Edwin.
“Gue janji sama Audine doang bukan sama lo berdua.”
Edwin menahan tangan Ocean, “Gue ikut lo berdua aja deh, please, janji gue ngga ganggu!”
“Terus gue sendiri gitu? ngga ada ngga ada enak aja lu! orang mau berduaan lu ganggu aja si.” respon Keenan tidak terima, sambil menarik kembali Edwin ke arahnya, “Ayo Edwin sayang katanya kamu mau jadi kura-kura ninja bareng aku.” “NGGA MAU LO FREAK BANGET ANJING!“
Ocean dan Audine berjalan meninggalkan dua orang aneh di belakangnya, sambil melambaikan tangan meledek seraya tertawa geli.
“Dadah, ntar ketemu lagi di dalem aja ya selamat menjadi kura kura ninja bersama burok.”
“Au sini lo mau ngasih makan siapa ngumpet dipojokkan gitu?”
Audine dari tadi rusuh menjauhi dua otter yang ukurannya bahkan masih kecil-kecil, sangat menggemaskan, ia berlari hingga ke sudut kaca kandang membiarkan Ocean memberi makan hewan itu sendiri.
“Ngga mau! dia rusuh banget dari tadi naik-naik, gue takut digigit.”
“Ngga apa-apa kak, mereka ngga akan mungkin nyerang selama ngga dalam keadaan terancam.” ujar salah satu petugas safari.
“Tuh, sini Au, ngga apa-apa ada gue.”
Ocean mengulurkan tangannya dari kejauhan, sebelah tangannya lagi sibuk menyuapi ikan-ikan kecil pada tiga otter yang menghampirinya. Audine berjalan mendekat, sambil menarik ujung bajunya hingga menutupi seluruh punggung tangannya.
“Nih suapin, yang ini dari tadi rakus banget.” ucap Ocean seraya menyodorkan sekaleng ikan kecil, dan melepas sebelah sarung tangannya, memakaikannya pada tangan Audine.
Audine menyodorkan ikan kecil itu dengan posisi tubuh bersembunyi di belakang Ocean, hanya mengulurkan tangan memanjang antara takut dan tidak ikhlas, membuat hewan itu justru kesulitan menerima suapan. Satu otter bergerak agresif mengambil ikan dari tangan Audine, hingga satu jarinya terkait pada kardigan rajut miliknya. Perempuan itu reflek berteriak dan memeluk tubuh Ocean dari belakang.
“OCEAN OCEAN TUH KAN DIA NAIK! OCEAN!”
Lelaki itu tertawa, membiarkan Audine memukuli punggungnya dengan kepala yang ia tenggelamkan di antara bahu bidangnya.
“Ocean please gue takut digigit!” “No no it’s okay Au,” katanya sambil mengambil satu otter yang tersangkut di kardigan milik Audine, “Lo kalo kayak gitu malah bikin mereka ngga nyaman, nanti digigit beneran. Nih, liat ngga apa-apa kan dia anteng?” “Coba pegang.” “Ngga mau!” “Elus doang Au,” Ocean meraih tangan Audine lalu meletakkannya di atas bulu halus hewan mungil itu, “Bener kan? it’s okay, mereka baik.” “Iya iya, udah iya baik, ayo kita liat ikan sekarang.” “Kenapa sih kok lo takut banget kayaknya?” “Pas kecil, pelipis gue pernah dicakar kucing itu nyaris kena mata, lukanya dalem banget, jadi sampe sekarang gue ngga berani megang-megang binatang.”
Mereka meninggalkan area otter, menuju berbagai akuarium dengan berbagai jenis ikan kecil berwarna-warni berenang di dalamnya. Berbeda dari otter tadi, Audine kali ini berubah menjadi anak kecil yang kegirangan, berlari kesana kemari menghampiri tiap akuarium, mengetuk-ngetuk pelan kacanya demi mencari perhatian pada ikan nemo lalu mengajaknya berbicara.
“Hai nemo! tadi aku ketemu penyu di sana, tapi aku lupa ngga nanya umurnya, coba kita tanya Ocean.”
Perempuan itu menoleh pada Ocean yang berdiri di belakangnya, “Ocean tau ngga penyu yang tadi kira-kira umurnya berapa?” Ocean terkekeh, sambil menaruh satu telunjuknya di kepala seolah berpikir, “Hmm, 45 tahun?” Audine mengangguk, lalu kembali berbicara pada nemo di dalam akuarium, “Yah payah nemo, ternyata umurnya ngga lebih tua dari penyu yang pernah ketemu sama ayah kamu!”
Ocean semakin tidak bisa menahan tawanya, antara heran dan gemas, dia tidak tahu kalau nyatanya Audine can easily getting excited with a little thing. Padahal lelaki itu sempat takut Audine akan bosan diajak ke tempat seperti ini. Ternyata responnya sangat di luar ekspektasi, dan Ocean menyukai itu. Diam-diam ia mengeluarkan ponselnya, merekam dan memotret segala tingkah Audine tanpa perempuan itu sadari.
“Au, now you look like Anne from green gables.”
Kini mereka berjalan di bawah terowongan dengan ikan-ikan besar yang berenang di atasnya, pantulan cahaya biru dari dalam akuarium memberikan suasana bawah laut yang menenangkan, tapi tidak jika sambil membayangkan bagaimana jadinya jika kaca terowongan itu pecah, lalu ikan-ikan besar itu menggila di antara manusia di bawah.
“Ocean, bayangin deh kalo akuariumnya pecah, terus kita ketiban ikan pari,” ujar Audine random, “Terus pas kita mau lari, tiba-tiba kita dihadang ikan hiu. Panik, kita muter arah, eh di belakang ternyata ada buaya ter-“
“Di sini ngga ada buaya Au.” jawab Ocean, memotong imajinasi Audine sambil terkekeh.
“Ih ya namanya juga imajinasi, udah gue jabarin tuh kerangka ceritanya, lo tinggal bayangin doang ngga usah protes.”
Tanpa sadar, Audine berjalan sendiri meninggalkan Ocean beberapa langkah di belakangnya, terlalu asik menikmati pemandangan dalam air di sekelilingnya. Matanya berbinar. Ada sorot keantusiasan di dalam sana, suasana hari ini seakan meluluhkan seluruh rasa lelah pada hari-hari Audine yang terasa berat.
Ocean menahan langkah perempuan itu saat tidak terasa mereka telah sampai di ujung terowongan.
“Mau kemana? jawab pertanyaannya aja belum.” “Oh iya, Shark!” “Ayo kita ke tengah lagi, samperin hiunya.”
Mereka kembali berjalan ke tengah-tengah terowongan, berdiri di depan kaca akuarium menyambut belasan ikan hiu yang berlalu-lalang dengan tenang, mereka semua terlihat jinak tanpa menampakkan barisan giginya yang tajam.
“So, shark vs human, who would win?” “Shark.” jawab Audine percaya diri. “Kenapa? kok yakin banget?”
Audine menengadahkan kepalanya, menyaksikan ikan hiu yang berenang bebas sambil mengatur jawabannya di dalam kepala.
“Realistis sih, kalo lo lagi berenang, atau diving di laut, terus ngga sengaja ketemu hiu dan lo diserang. Dari tenaga aja manusia udah pasti kalah. Gigitan hiu itu besarnya sampe 330 pon, ngalahin manusia yang bahkan cuma nyampe setengahnya. Belom lagi kalo ternyata lo ketemunya sama megalodon yang bisa sampe 40000 psi, hiii takut!” “Megalodon udah punah.” balas Ocean cepat. “Ya udah intinya tetep hiu yang menang!”
Ocean terkekeh, lelaki itu reflek menyelipkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah Audine ke belakang telinganya.
“Tapi faktanya, jumlah hiu yang mati di tangan manusia itu jauh lebih banyak dibanding jumlah manusia yang mati oleh hiu,” Ocean menjeda kalimatnya, “Lo tau ngga Au, perkiraan jumlah manusia yang mati oleh hiu itu pertahun hanya 6-8 orang. Sedangkan hiu yang mati di tangan manusia bisa mencapai 100 juta ekor pertahun. Gila kan?”
Audine sedikit tersontak, cukup kaget akan fakta yang baru Ocean sampaikan.
“Wow.. gue baru tau, itu, mereka emang sengaja dibunuh?” “Iya, mereka sengaja diburu untung kepentingan pribadi manusia. Diambil siripnya, livernya, egois ya? padahal mereka cuma mau berenang dengan bebas.”
Ocean, seakan bukan tanpa alasan nama tersebut diberikan padanya. Kepekaannya terhadap alam dan laut, berhasil merepresentasikan arti samudra yang sesungguhnya, mengalir di dalam jiwanya.
“Jadi, siapa yang lebih jahat?” tanya Ocean sekali lagi. “Us,” Audine membuang napasnya kasar, lalu kembali menengadah ke arah ikan-ikan hiu di atas sana, “We’re sorry shark, swim as far as you want, you deserve to be free.”
Suhu udara semakin terasa dingin di dalam sana, beberapa orang mulai bergerak pergi menuju sudut lain yang belum dijelajahi. Hanya tersisa mereka berdua di lorong terowongan.
“Tapi, apa yang lo jawab pertama juga ngga salah.” ucap Ocean, “Lo bener Au, kalo perbandingannya satu banding satu, hiu pasti menang. Jangankan yang segede gini, anak hiu yang ukurannya ngga nyampe 100cm aja bisa bikin gue koma sampe empat hari.”
Audine sontak menoleh ke arah Ocean, ada sorot mata yang meminta penjelasan apa maksud dari ucapannya. Koma? Siapa?
“Maksudnya?”
Ocean tersenyum, lalu menarik ujung kaos yang dikenakannya, hingga berhasil menampakkan bekas luka jaitan memanjang yang terlukis di atas perutnya. Audine meringis, tangannya spontan langsung menyentuh bekas lukanya sendiri di atas punggung tangannya, kembali menutupinya dengan kardigan.
“Gue suka banget sama pantai, sampe orang tua gue sering panik sendiri takut gue kebawa ombak, saking berenang kejauhan.” Lelaki itu terkekeh disela-sela ucapannya. “Waktu itu umur gue masih sebelas tahun, dan pertama kalinya gue snorkeling di tengah-tengah laut. Gue seneng banget, gue bisa ngeliat terumbu karang warna-warni, dan ikan-ikan di sana banyak banget Au! terus kita berenang bareng!”
Audine mendengarkan Ocean bercerita tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sorot matanya mengikuti nada bicara Ocean, semakin antusias lelaki itu berbicara, semakin bersinar binaran pada mata Audine. Caranya bercerita, benar-benar seperti anak kecil.
“Hari itu, bikin gue makin cinta sama laut, sama isinya, aromanya, ikan dan binatang lain yang berenang bebas di dalem sana, i’ve falling in love with the sea. Sebelum gue ngerasa ada sesuatu yang nabrakin badannya ke atas perut gue, dan hari itu juga jadi hari yang bikin gue takut sama laut. It’s shark.”
Perempuan itu kembali terkejut seraya membuka mulutnya, lalu menunjuk satu ekor hiu yang berenang dengan sorot matanya, Ocean menggeleng dengan cepat.
“Engga segede itu Au, kalo gitu sih gue udah masuk record 6-8 orang yang dibunuh oleh hiu.”
“It’s baby shark. Kalo lo mengira bayi hiu itu lucu, terus warnanya pink sama biru kayak di lagu, itu boong! koyakannya kuat banget, hampir lima belas menit dia ngga mau lepas dari perut gue, dia nakal banget Au.” sambung Ocean, “He make me lose a lot of blood, dan sekarang malah ninggalin bekas abadi di sini, biar gue inget terus katanya, dia ngga mau dilupain.”
Audine hanya bisa meresponnya dengan senyum, seakan lidahnya kelu, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ocean yang menurutnya sempurna, lelaki yang selalu berhasil membuat perempuan itu kagum akan visualnya. Ternyata memiliki lukisan abadi yang sama, terukir di atas kulitnya.
“It was a scary memories for me, but there’s miracle too.” “Miracle?” tanya Audine tidak mengerti. “Karena kejadian itu, gue jadi tau, ternyata gue masih dibutuhin di dunia ini, makanya Tuhan ngasih kesempatan hidup satu kali lagi buat gue, dan buat lo.”
Ocean meraih pergelangan tangan Audine, lalu menyingkap ujung kardigannya, membuat deretan luka dan bekas luka menonjol di atas punggung tangan Audine terlihat.
“Gue ngga tau apa yang lo alamin waktu itu, tapi yang gue tau, kita sama-sama dapet keajaiban yang sama.”
Ocean mengelus halus bekas luka itu dengan ibu jarinya, “You are perfect in the right eyes, Au. Kalo lo merasa ngga sempurna, seengganya jangan merasa di depan gue. Your hand are pretty in my eyes, ngga perlu ditutupin lagi ya?”