123; Crowded
Beberapa hari terakhir ini, hari-hari Audine terasa cukup berat untuk dilewati tiap detiknya. Apalagi untuk kembali menghadapi tanggal 18 pada bulan-bulan selanjutnya. Utang keluarga yang nominalnya cukup besar. Tanggal 18 menjadi tanggal jatuh tempo untuk Audine membayar seluruh tagihan yang ada.
Tiga tahun yang lalu, Ayah memutuskan untuk pensiun dini dari pekerjaannya. Dan membuka usaha toko alat listrik di rumah menggunakan uang pesangon. Ayah juga bisa dibilang seorang freelancer, kadang, Ayah beberapa kali dimintai tolong oleh adiknya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan di perusahaan kecilnya. Atau, Ayah juga seringkali membuka orderan jasa service alat-alat elektronik yang rusak. Skill Ayah tidak main-main, hampir seluruh pekerjaan bisa ia lakukan.
Karena penghasilan tiap bulannya yang tidak pasti, dan nominal cicilan yang cukup besar untuk seseorang yang tidak mempunyai penghasilan tetap, Audine dengan senang hati menjadi tulang punggung. Tapi, tidak semua usaha akan selalu mulus dan berjalan lancar. Hari-hari melelahkan dengan segala ujian yang ada, akan selalu hadir di dalam kehidupan. Memaksa Audine untuk berusaha lebih dua kali lipat dari biasanya.
Perempuan itu sangat pandai menutupi perasaan dan semua rasa sakit yang ada, Audine selalu merasa, semua hal yang terjadi di hidupnya adalah urusannya, ia tidak seharusnya ikut menaruh beban pribadi pada orang lain. Audine akan selalu takut untuk minta tolong, walau langkahnya telah sampai di ujung jurang.
Audine menenteng satu kotak martabak keju pemberian Aidan, melangkahkan kaki memasuki rumah dengan perasaan lega dan senyum yang merekah. Tidak sabar untuk menemui dua orang favoritnya, mengajak mama dan ayah menyantap martabak bersama sambil menonton televisi. Keadaan rumah yang selalu hangat. Seakan ribuan masalah yang ada tidak sedikitpun mengurangi kenyamanan yang tercipta dari dalam rumah.
Wajahnya sumringah sampai ia mendengar suara-suara meninggi dari balik pintu. Itu Nala.
“Halo. Mama, ayah?”
Salamnya disambut oleh debatan-debatan tiga orang di dalam sana yang entah karena apa, semuanya tampak serius, sampai tidak sadar kalau Audine ada di sana.
“Tapi kali ini aku emang perlu untuk kebutuhan, aku perlu motor buat kerja, aku tekor kalo setiap hari disuruh pulang-pergi naik ojek, emang ayah mau nganterin? kan engga.” ucap Nala dengan emosi yang cukup menggebu.
“Kak, cicilan ayah udah gede tiap bulannya, kalo ayah tambah lagi buat ambil cicilan motor kamu, siapa yang mau bayar?” balas mama, dengan nada sehalus mungkin, menghindari ucapan-ucapan Nala yang khawatir akan semakin meninggi, “Kamu belum ada sebulan kerja, progresnya juga belum keliatan.”
“Ma, kan aku udah bilang, aku bayar! aku sekarang udah kerja, aku nanti juga punya gaji, motornya aku yang bayar, aku ga minta kalian beliin! aku cuma minjem kartu kredit ayah buat ambil motor.”
“Nala, tapi gaji kamu belum pasti, kamu belum dikontrak jelas, nanti siapa yang mau bayar kalo ternyata gaji kamu ngga keluar?” tanya ayah, napasnya terdengar memberat, “Terakhir kamu minta beliin hp, janji mau bayar sendiri tiap dapet kiriman uang, tapi ternyata mantan suami kamu ga ngirim-ngirim uang, kamu ngga bisa bayar, akhirnya jadi a-“
“Oh waktu itu ayah ngga ikhlas beliin aku hp?!” sambar Nala memotong ucapan ayah dengan nada yang semakin meninggi.
“Kak lo jangan kurang ajar ya.”
Audine yang dari tadi menyaksikan teriakan-teriakan itu dari lorong pintu, tidak tahan lagi melihat kelakuan Nala yang semakin kurang ajar.
“Lo mikir, kapan ayah pernah pelit sama keluarga kalo ayah punya uang? kondisi financial kita lagi kritis, terus lo mau protes apa? mau marah sama siapa?“ sambung Audine yang kini telah bergabung ke dalam perdebatan itu, “Yang ayah bilang bener kak, Ayah cuma ngambil contoh dari pengalaman sebelumnya. Nominal kecil aja lo ngga bisa bayar, gimana lo nuntut nominal yang lebih gede? siapa yang mau bayar kalo ternyata lo ngga bisa nepatin janji? cicilan sekarang aja udah bikin kepala ayah mau meledak.”
Nala tertawa sarkas sebagai respon ucapan Audine, “Kapan ayah pernah pelit? oh jelas, ayah emang ngga pernah pelit, apalagi sama lo,” Nala menjeda ucapannya, lalu berjalan mendekat, berbicara tepat di depan wajah Audine, “Si anak kesayangan.”
Ada air mata yang menggunduk di dalam mata coklat milik Audine. Emosinya telah berada di ujung tanduk, napasnya naik turun dengan tangan yang mengepal di bawah sana. Reflek, perempuan itu menampar Nala di depan kedua orang tuanya.
“NALA, AUDINE, UDAH CUKUP!” teriak ayah seraya bangun dari duduknya, melerai percekcokan di antara kedua putrinya.
“Nala udah, mau sampe kapan kamu kayak gini?” sambung mama, ada air mata yang ikut menetes bersamaan dengan ucapannya.
Nala kembali tertawa sarkas, lalu bertepuk tangan sekilas, “Keren, aku yang ditampar, tapi Audine yang dibela. See? aku ngga salah kan bilang dia anak kesayangan?”
“Nala.. udah ya.” pinta mama lagi, dengan suara yang bergetar
“Lucu, gimana mama sama ayah bela-belain minjem uang ke bank buat buka florist Audine, sedangkan aku yang cuma minta nominal yang bahkan ngga sampe setengahnya nominal Audine? lucu.”
“Lo jangan mendramatisir keadaan, Ayah sama mama minjem uang untuk ngasih kita modal yang sama, lo lupa pernah buka usaha baju?” balas Audine, “Jangan karena usaha lo gagal, lo bisa seenaknya nyalahin semua orang baik yang ada disekeliling lo.”
“Lo ngga usah nasehatin gue.” jawab Nala seraya meraih tas, melangkah pergi meninggalkan ruangan.
Langkahnya terhenti saat tangannya meraih gagang pintu, ia memutar badan, kembali mengucap satu kalimat terakhir sebelum ia benar-benar pergi.
“Keputusan aku untuk pergi dari rumah adalah keputusan yang ngga pernah aku sesali.”
Lalu perempuan itu menghilang, beriringan dengan suara pintu yang dibanting cukup keras.
“Nala...” Ayah terduduk lemas pada sofa sambil mengusap-usap dadanya, pas setelah suara pintu terbanting, “Lusa kita ke sorum ya dek, cariin motor buat kakak kamu. Kasian Nala.”
“Engga ayah!” jawab Audine cepat, “Dengerin aku, stop ngasih makan ego buat Kak Nala, sekali ini aja, biarin Kak Nala mikir, biarin Kak Nala berusaha, biarin Kak Nala sadar.”
“Ayah ngerasa bersalah, kenapa Nala bisa sampe mikir ayah ngga sayang sama dia, apa ayah gagal dalam memberi kasih sayang?”
Audine menggeleng, ia tersenyum lalu menaruh tangannya di atas tangan sang Ayah, “Ayah ngga pernah gagal jadi seorang ayah, jadi seorang suami, dan ayah adalah kepala keluarga yang hebat. Ayah selalu hebat buat aku, buat mama, bahkan untuk Kak Nala. Kak Nala cuma perlu waktu untuk sadar dengan kasih sayang yang ada di dalam rumah ini.”
Audine memeluk dan mengecup singkat pipi masing-masing kedua orang tuanya sebelum pergi menuju kamar. Senyum itu masih ada di sana, ia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi sedih sedikitpun di depan mama dan ayah.
Sampai perempuan itu tiba di kamar miliknya, sampai ia merasa tidak ada siapa-siapa di sana. Audine menjatuhkan tubuhnya ke lantai, menyandarkan diri pada daun pintu seraya menutup mulutnya kuat-kuat.
Malam itu, ada air mata yang kembali mengalir lebih deras, dan tangis yang dari tadi ia tahan akhirnya pecah di dalam ruangan ternyamannya. Tangis tanpa suara, yang ia redam sekuat mungkin. Tanpa ada sosok lain yang bisa ia peluk selain tubuhnya sendiri.