23; Chill, he’s just an ordinary Ocean
Serendipity; keberuntungan yang didapat saat seseorang tidak bermaksud untuk mencari. Atau sederhananya, kebetulan yang menyenangkan. Audine, sudah dua kali ia bolak-balik ke kamar mandi sebelum berangkat tadi, tepat setelah membaca pesan terakhir dari Ghea. Entah momen saat ini bisa disebut sebagai serendipity atau malah apes, Audine harus menemui Ocean dengan penampilan yang menurutnya tidak layak dilihat sebagai first impression.
Balutan jeans high waist, dan long sleeve oversized berwarna putih polos yang sangat sederhana, tanpa sedikitpun riasan wajah, sekaligus rambut panjangnya yang ia simpul asal karena mulai lepek akibat dari keringat matahari yang menyorot memasuki jendela selama ia menjaga florist, ditambah perpaduan peluh gugup dan panik yang menjadi satu.
Ia menjatuhkan kepalanya, berbenturan di atas setir mobil yang saat ini telah terparkir di depan rumah Ghea. Memikirkan seribu cara agar dapat mengantarkan buket bunga tanpa harus bertatap langsung dengan yang dimaksud. Rumah bercat putih itu tampak sepi dengan pintu tertutup, ia hanya dapat melihat mobil BMW berwarna hitam terparkir di teras yang ia yakini itu milik Ocean, yang mungkin tengah menunggu kehadirannya sekarang.
Sesekali perempuan itu menghitung jari sambil bergumam “turun, engga, turun, engga, turun, engga.” Ini akan menjadi kali pertamanya ia bertatap langsung dengan seseorang yang selama ini hanya bisa ia temui lewat foto, sekaligus foto orang yang tidak pernah lepas dari tampilan utama layar ponselnya.
Ocean Abelvan, an amateur model yang sebetulnya nggak terkenal-terkenal amat. Wajahnya memang hampir selalu muncul di beberapa iklan minuman soda di televisi, cover majalah, itu belum terhitung tatapan attractive yang seakan mengintimidasi ditiap pose andalannya pada beberapa local brand yang selalu bisa dijumpai kapanpun memasuki mall.
Tapi, not everyone can really notice whose the guy behind an ads. Sama halnya seperti melihat iklan yang sama berulang kali, atau model-model yang seakan tampak familiar karena merasa sering kali dijumpai. Hanya sekedar disitulah Ocean, familiar, dikenal tapi tidak benar-benar dikenal.
Ocean sendiri tidak pernah merasa dirinya populer, apalagi sampai menyebutnya selebriti. Karena sejujurnya, ia juga tidak suka menjadi pusat perhatian. Melihat bagaimana teman-temannya kehilangan privasi, dibuntuti kamera penggemar dan paparazzi kemanapun mereka pergi, berhasil membuat rasa cemasnya bangkit karena sama-sama berada di dalam industri entertaint. Doanya hanya satu, “semoga job gue lancar jaya, tapi gue jangan sampe jadi artis beneran.”
Makanya, tidak heran Aidan berkali-kali meledek Audine karena mengagumi seseorang yang menurutnya, bukan benar-benar seorang bintang. Kalau saja bukan karena ketidaksengajaannya menemukan akun Ocean sebelum tertulisnya website agensi yang saat ini terpampang di bio akunnya, mungkin Audine juga tidak akan sadar siapa lelaki dibalik cover-cover majalah yang seringkali ia jumpai itu.
Tatap matanya sontak terbelalak saat mendengar suara gagang pintu dibuka, menampakkan lelaki dengan setelan kemeja hitam yang digulung hingga siku, dan dua kancing atasnya yang terbuka, memperlihatkan tulang selangkanya yang tajam dan otot lengan yang terlihat pas pada ukuran tubuhnya. Membuat Audine tanpa sadar membuka mulutnya terpana.
“Orgil anjir lu orgillll! cakep banget ga waras aslinya tiga ratus kali lipat dari foto.”
Gumamnya reflek dengan suara kecil, takut terdengar karena jarak dari luar pagar ke dalam rumah tidak jauh. Kulit honey tan milik lelaki itu tampak bersinar disapa cahaya matahari.
“Ini gimana gue nemuinnya brengsek Ghea sepupu lo bentukannya kayak gitu,” tangannya meraih ponsel, mencari kontak Ghea yang sampai saat ini masih dalam keadaan memblokir, “Masih diblock?!”
Napasnya seakan tercekat saat melihat Ocean bergerak mendekat menuju pagar, tepat beberapa meter dari mobilnya terparkir. Audine spontan menunduk, membungkukkan badan menghindar dari pandangan kaca mobil, khawatir kehadirannya terlihat oleh Ocean. Degup jantungnya terdengar kencang, beriringan dengan suara roda pagar yang terdorong.
Samar-samar Audine menangkap percakapan Ocean dengan seseorang pada sambungan telponnya, yang ia yakini itu adalah Ghea.
“Ge udah gue jalan aja ya, udah setengah jam temen lo beneran ngga muncul-muncul.” ucap Ocean dengan nada frustasi.
“Ya gue mau hubungin gimana, gue tau temen lo yang mau kesini aja ngga tau siapa.”
“Gue berangkat deh, ntar buketnya gue beli yang udah jadi aja di florist lain sekalian jalan.”
Mendengar kata setengah jam, Audine terkesiap melirik arloji di pergelangan tangannya, ya, sudah tiga puluh menit ia diam disana membuang-buang waktu tanpa melakukan tujuannya. Rasa bersalah mulai terbesit di dalam benaknya.
“Gila din, lo ga profesional banget.” gerutunya seraya kembali membenturkan jidatnya pelan ke atas setir mobil, lalu memejamkan mata menarik napas, “Oke ayo lo bisa, lo kesini mau nganter buket, lo kerja bukan mau fanmeeting.”
Dengan degup jantung yang masih berdetak tidak karuan lebih cepat dari normalnya, Audine meraih satu buket bunga yang dari tadi ia taruh dengan hati-hati, terikat oleh sabuk pengaman pada kursi di sebelahnya. Sambil menepuk-nepuk dadanya pelan, ia mengambil napas sekali lagi.
“Profesional, profesional, profesional. Lo temuin dia as seller to customer, not as his fans.”
Begitu tangannya menarik tuas pintu mobil, Ocean menghilang dari pandangan. Hanya terdengar suara mesin mobil yang telah menyala dengan pemandangan pagar yang sudah dibuka lebar. Buru-buru Audine keluar, karena itu menjadi kesempatan emasnya untuk menyimpan buket tanpa harus bertatap muka dengan Ocean. Mungkin Ocean sedang mengambil sesuatu di dalam rumah, pikirnya.
Dengan hati-hati ia memasuki teras rumah Ghea, awas matanya berjaga-jaga, khawatir akan kemunculan Ocean yang tiba-tiba di depannya. Audine meletakkan buket bunga di sofa teras, lengkap dengan ucapan selamat yang tertulis pada ikatan pita yang mengelilingi diameter buket. Perempuan itu bergerak mengendap-endap, seperti maling yang takut tertangkap basah.
“Temennya Ghea?”
Satu suara memecah keheningan, membuat badan perempuan itu bergetar sekelibat menerima kejutan. Audine terkinjat memutar badan yang langsung mendapati Ocean yang tengah duduk di dalam mobil, menatap lurus ke arahnya dengan raut wajah polos, “Dari tadi dia disini?!” racaunya dalam hati.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Audine langsung lari terbirit-birit begitu melihat Ocean mulai melangkah mendekat ke arahnya, seraya menarik ikatan rambutnya kasar, mengedepankan tiap helai rambut yang acak-acakan agar menutupi seluruh sisi wajahnya yang telah memerah seperti orang kemasukan lebah, orgil behaviour.
Audine berlari cepat menuju mobilnya, lalu menyalakan mesin dan menancap gas. Tanpa peduli kalau buket bunga buatannya itu perlu dibayar, meninggalkan Ocean yang memandangnya dengan kernyitan dahi sambil menggaruk-garuk tengkuknya, mencoba mencerna pemandangan orang sinting yang baru saja ia lihat.
“Loh, hey! lo belom ambil uangnya!”
Teriak Ocean seraya ikut berlari kecil hingga keluar pagar, menatap buntut mobil Audine yang bergerak pergi semakin menjauh.
“Stres kali itu orang, dipikir gue setan.”
Dengan ekspresi setengah bingung, dan setengahnya lagi tersinggung, lelaki itu kembali memasuki teras. Tidak ada waktu lagi, Ocean mengambil satu buket bunga yang disimpan Audine, siap-siap menuju lokasi tujuan.
Namun langkahnya terhenti pada satu sendal tali berwarna rose gold, yang tergeletak tepat di samping roda mobilnya. Sebelum ia menarik satu kertas yang terikat pada pita buket bertuliskan, Fairy Blossom handled by Audine.
Ada garis lengkung yang tersimpul pada bibirnya secara tidak sadar, lelaki itu terkekeh, lalu kembali melempar pandang pada sendal yang terlepas dari kaki sang pemilik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Audine, ternyata lo beneran kesurupan.”