110; Cotton candy


Audine menutup jendela, membersihkan meja kerja dari potongan-potongan daun, membereskan tiap sudut florist karena jam kerjanya telah usai, atau lebih tepatnya, mengusaikan jam kerjanya sendiri sebelum waktunya. Audine sengaja menutup florist satu jam lebih cepat, karena mengejar ajakan Ocean. Sebenarnya, bukan masalah jika perempuan itu pergi terlalu sore atau bahkan pulang hingga larut, tapi hari ini, Audine membawa Carissa bersamanya untuk ikut menikmati senja ditemani permen gulali manis yang dijanjikan Ocean.

Carissa, anak perempuan berumur dua tahun lebih lima bulan, satu-satunya keponakan Audine. Pipinya chubby seperti buah peach, kulit putih lobak, dan binaran pada mata berwarna hitamnya berkelip seakan ada bintang yang terjebak di dalamnya. Sudah dua minggu Carissa dititipkan di rumahnya, dari pagi sampai sore setiap weekday.

Semenjak Nala datang pada hari itu, setelah hampir tiga bulan pergi dari rumah menjauhkan diri dari keluarga tanpa sebab yang pasti, perempuan itu tiba-tiba pulang untuk menyampaikan kata maaf yang bahkan tidak sepenuhnya datang dari hati. Alur yang selalu sama, Nala akan berubah menjadi sangat manis kapanpun ia membutuhkan orang-orang disekelilingnya, dan kembali pada sifat aslinya setelah egonya terpenuhi.

Nala memutuskan untuk menikah di umurnya yang ke 21 tahun, dan menjadi single mom setelah tujuh tahun menikah. Jarak usia Audine dan Nala cukup jauh, sebelas tahun jarak terpaut di antara keduanya, dan jarak itu seakan terus bergerak semakin jauh, menjauhkan tali persaudaraan yang terikat pada Audine dan Nala. Semenjak perempuan itu bercerai, Nala tidak pernah berhenti marah pada semesta dan orang-orang di dalamnya, ia merasa hidup yang dimilikinya tidak adil, seakan ia adalah satu-satunya orang yang hidupnya paling menyedihkan di muka bumi.

Kemarahannya semakin menjadi saat Audine lulus kuliah, dan berhasil membangun usahanya sendiri. Ia benci melihat orang lain bahagia di saat hidupnya gagal. Ia benci melihat adiknya menjalani alur yang mulus dan mendapatkan banyak cinta dari sekitar, sedangkan satu persatu orang seolah pergi menjauh meninggalkannya. Tanpa pernah berpikir, kalau justru dirinya sendiri yang membuat orang lain pergi. Nala sendiri yang membuat hubungannya dengan Audine merenggang secara perlahan.

Audine menghentikan kegiatan beres-beresnya saat terasa ada tangan mungil yang menarik-narik ujung kardigannya, menyodorkan satu kotak susu coklat yang telah kosong.

“Yeaaay udah abis, pinter!” Audine berjongkok menyamakan diri dengan Carissa yang hanya setinggi pinggangnya, lalu mencium pipi gembulnya, “Carissa mau ikut ante ngga? ada yang mau beliin kita gulaliii!”

Carissa merespon Audine dengan binaran matanya yang cantik, sambil menjilati sekitaran bibirnya, merasakan sisa susu coklat yang masih ada di sana. Anak perempuan itu belum bisa berbicara, hanya akan ada ocehan-ocehan bayi dengan wangi minyak telon yang menyeruak hangat kapanpun Audine bertatap dengannya.

Suara lonceng pintu menyambut kedatangan seorang lelaki dengan dua buah balon berwarna pink di tangannya. Ocean melambaikan tangan seraya berjalan menghampiri dua perempuan di depannya.

“Hai.” Ocean menyapa Audine, sebelum lelaki itu turut berjongkok menyejajarkan diri dengan Carissa, “Halo Carissa cantik, aku punya balon, mau?”

Lelaki itu menyodorkan satu buah balon sambil tersenyum manis. Tone suaranya tiba-tiba berubah menjadi lebih ringan dan sangat halus saat Ocean berbicara pada Carissa, terdengar seperti bukan suara Ocean yang Audine kenal. Tatap matanya terasa tulus menatap anak perempuan dengan dua jepitan manis di rambutnya, yang saat ini tengah bersembunyi dibalik kaki Audine. Tanpa sadar, Audine ikut tersenyum ke arah Ocean.

“Lo ngapain senyum-senyum? mau balon juga?” ledek Ocean.

“Ih kok nada suara lo langsung berubah lagi ngga kaya tadi pas ngomong ke Carissa!”

Ocean terkekeh seraya bangun dari setengah duduknya, kali ini menyejajarkan diri dengan Audine. Audine yang notabennya hanya setinggi dagu Ocean, membuat lelaki itu lebih mudah untuk menaruh tangannya di atas pucuk kepala Audine.

“Kenapa cantik? mau balon juga? ini aku beli dua, satunya emang buat kamu.” ujar Ocean dengan nada suara yang diminta Audine, tangannya mengusap-usap pucuk kepalanya. Sontak Audine mendorong Ocean sambil bergidik ngeri.

“GELI! AKU KAMUNYA NGGA USAH IKUT DIBAWA! TERUS APALAGI INI TANGAN LO MEGANG-MEGANG!” pekik Audine seraya menjatuhkan pukulan kecil pada bahu Ocean.

“Dih sok-sok geli, muka lo tuh, kayak lobster rebus.”

Hampir tangannya kembali mendaratkan pukulannya, suara tangis Carissa memecahkan keributan di antara dua orang dewasa itu. Ocean dengan sigap menghampiri dan langsung mengambil Carissa ke dalam pelukannya, mendekapnya sambil mengusap-usap punggungnya dengan sangat lembut.

Sssst, Carissa kaget ya?” kini tangannya pindah ke belakang kepala mungil Carissa, mengusap rambutnya halus.

“Au.” Ocean melemparkan tatap matanya kepada Audine, suaranya datar namun terasa mengintimidasi, ada ketegangan di dalamnya.

“Apa? kok lo nyalahin gue?!” ujar Audine tidak terima dengan nada bicara yang kembali meninggi. Lagi-lagi Ocean menaruh jari telunjuknya ke depan bibir, memberi sinyal pada Audine untuk memelankan nada bicaranya.

“Pelan-pelan ngomongnya Au,” balas Ocean dengan nada bicaranya yang sangat gentle, tapi justru Audine bisa merasakan suara itu seakan memarahinya secara tersirat, “Kalo di depan anak kecil ngga boleh teriak-teriak, dia kaget, kasian nanti otaknya bisa ngerekam memori yang bikin dia takut kalo keinget.”

Tangan mungil milik Carissa melingkari leher Ocean, jarinya meremas ujung kerah pada jaket yang dikenakan lelaki itu, “Maaf yaa Carissa, tadi aku sama Ante Dine bikin Carissa takut ya?” perlahan tangisnya mulai mengecil, kini Carissa mulai berani menatap Ocean dengan sisa-sisa air mata yang masih di ada di matanya.

“Halo Carissa, i’m Ocean.” katanya sambil mengulurkan tangan pada Carissa. Anak perempuan itu meraih jari telunjuk Ocean yang ukurannya berkali lipat lebih besar dari tangannya yang mungil, “Ayo ikut aku, let’s buy cotton candy!”


The wheels on the bus go round and round, round and round, round and round. The wheels on the bus go round and round, all through the town.”

Wheels on the bus from Cocomelon yang entah berapa kali telah terulang sepanjang ketiganya menaiki mobil. Begitu tangis Carissa berhenti, Ocean langsung menggendongnya, dan mereka berangkat membeli permen gulali yang menjadi tujuan utama mereka sore ini. Carissa duduk di atas pangkuan Ocean sembari lelaki itu menyetir. Semenjak momen perkenalan keduanya tadi, Carissa tidak mau lepas dari Ocean, seolah ia dapat merasakan kehangatan dari dalam diri lelaki itu.

The doors on the bus go open and shut, open and shut, open and shut. The doors on the bus go open and shut, all through the town.”

Keduanya terus bernyanyi mengikuti lagu, dengan senang hati menjaga mood Carissa agar tetap bagus. Suara anak itu terdengar gemas, seolah ikut bernyanyi bersama mengikuti alunan lagu.

Carissa mulai aktif, berkali-kali ia duduk dan berdiri dengan antusias di atas paha Ocean, membuat pandangannya terhalang.

“Carissa duduk yuk, aku ngga keliatan, nanti kita nabraaak.” ujar Ocean sambil menahan tubuh Carissa dengan sebelah tangannya agar tidak terjatuh.

Audine yang sadar akan tingkah keponakannya, langsung sigap mengambil Carissa dari pangkuan Ocean seraya tertawa melihat pemandangan di sampingnya.

“Gantian sama aku dulu ya, Osen lagi nyetir kita ngga boleh ganggu.” ucap Audine pada Carissa yang dari tadi tidak berhenti mengoceh, kata-katanya belum terdengar jelas.

“Osen?” tanya Ocean sambil mengernyit.

“Om Ocean hahaha, nama lo susah, biar Carissa kenal dulu kita panggil lo Osen mulai hari ini,” Audine menjeda kalimatnya, “Dalam kurung, gue manggil lo Osen kalo ada Carissa doang.”

Ocean terkekeh seraya tangannya mengelus rambut Carissa di atas pangkuan Audine. Ocean sangat suka dengan anak kecil.

“Gue ngga tau kalo lo punya kakak.” ucap Ocean, “Kakak lo sama suaminya tinggal di mana? deket dari rumah?”

“My sister are single mom.”

Ocean menoleh ke arah Audine dengan ekspresi kaget dan perasaan bersalah, “Eh, Au i’m sorry, gue ngga tau.”

Perempuan itu tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, “No, it’s okay. They both got divorced about a year ago, sekarang Kak Nala tinggal sendiri, cuma berdua sama Carissa. Ngga jauh dari rumah.”

“Au i’m sorry if my question seems rude, tapi, kenapa Kak Nala ngga pulang ke rumah aja? bukannya malah lebih nyaman buat Kak Nala sama Carissa supaya ngga ngerasa sendiri?” tanya Ocean lagi, dengan sangat hati-hati.

Audine membuang napasnya kasar, memaksakan senyumnya yang ia lemparkan pada Carissa. Ia menyisiri rambut Carissa lembut dengan jari-jarinya. Anak perempuan itu asik bermain sendiri dengan balon pemberian Ocean.

Ocean yang sadar akan kecanggungan di antara keduanya, kembali menatap Audine dengan sorot mata khawatir.

“Ngga usah di jawab ya, maaf Au, harusnya gue ngga nanya aneh-aneh.”

Audine kembali menggeleng, “Engga Ocean, maaf kalo bikin lo merasa bersalah, it’s totally fine. Tapi bukannya gue ngga mau cerita dan ngga percaya sama lo. It’s just feels, so complicated sampe gue ngga tau harus mulai dari mana.” jawabnya seraya menaikkan kedua bahunya.

Sepanjang Audine berbicara, ia terus menarik-narik ujung lengan kardigannya, berusaha menutupi bekas luka pada punggung tangannya. Ocean sadar akan hal itu, bahkan, dari pertama kali lelaki itu tidak sengaja mengenggam tangannya. Ia tahu kalau mereka mempunyai ketidaksempurnaan yang sama.

“Au, gue dari dulu ngga pernah bisa nyusun kata-kata supaya bikin orang merasa dipeluk dari kalimat yang gue utarain. Gue ngga jago nge-comfort orang pake kata-kata,” ujar Ocean, “But i can comfort you with my ownself.”

Ocean memarkirkan mobil di pinggir jalan, tepat di depan kedai aneka jajanan manis. Lalu, meraih satu lagi balon berwarna pink yang dari tadi tersimpan di kursi belakang.

“Ini, buat lo,” katanya seraya memberikan satu buah balon pada Audine, “I’m not lying, pas tadi gue bilang satu lagi balonnya buat lo.”

“I can’t comfort you with a thousands words, but i can comfort you with a thousands balloons and cotton candy.”

Ocean membuka sabuk pengamannya begitu mobil terparkir dengan sempurna, lalu kembali mengambil Carissa dari pangkuan Audine.

“Ayo sekarang kita turun. Carissa, aunty Au, let’s buy some candies!”