231; Would you?


“Aku minta warna putih lagi dong.”

Diandra menyodorkan palet pada Shaka yang tengah sibuk menari-narikan kuasnya di atas kanvas. Hari ini, Shaka belum banyak bicara, selain menjawab pertanyaan-pertanyaan Diandra yang bagaikan percakapan di antara dokter dan pasien, “kamu bener udah sembuh?”, “tadi obatnya masih di minum ngga?”, “suhu terakhir kamu berapa?”, lelaki itu seakan bersikap dingin hari ini. Ada kegelisahan dan emosi lain yang tergambar jelas pada raut wajahnya.

Shaka tidak terlalu suka ditanya. Kapanpun Diandra merasa ada yang aneh dari Shaka, perempuan itu hanya akan menemaninya seharian, mengajaknya melakukan atau membicarakan hal-hal yang Shaka suka, sambil menyisiri rambut lelaki itu di atas pangkuannya. Shaka akan bercerita sendiri kalau dia mau.

“Thank you.” Diandra menerima kembali paletnya, Shaka hanya mengangguk dan mengusap pucuk kepala Diandra, lalu kembali menaruh fokus pada lukisannya.

“Kamu lagi bikin apa?” Diandra kembali membuka percakapan. “Bintang.” Jawab lelaki itu, singkat namun tidak terdengar ketus. “Wiiii, aku suka bintang! Mau liat.” “Hahaha nanti, belum jadi masih jelek.” “Dih, jelek katanya. Liat kanvas aku, aku dari tadi cuma nyoret-nyoret ngga ada polanya.” Balas Diandra, sambil memajukan bibirnya.

Shaka terkekeh memandangi kanvas Diandra yang hanya berisi tumpukkan warna abstrak yang ia coret secara asal.

“Kamu emang ngga ngegambar pola apapun, tapi kamu melukis perasaan kamu disana,” ujar Shaka, “I can feel it.”

Shaka meraih kanvas itu.

“No one can ever make the same painting as this one, that’s what makes it interesting. It’s cool! Buat aku ya lukisannya.”

Diandra menatap Shaka heran, bagaimana bisa ia memuji coret-coretan yang bahkan terlihat seperti gambaran anak yang baru belajar menggunakan pensil.

“Shaka, is there something happen?” tanya Diandra hati-hati.

Shaka melempar senyumnya sebelum ia beranjak meninggalkan Diandra sejenak. Lelaki itu mengambil satu keping vinyl record milik André Gagnon berjudul monologue, yang sampulnya sudah mulai terlihat lusuh, seperti rilisan jadul.

“Mau denger ngga, Ra. Ini pianis favoritnya mama.” “Mau, ayo dengerin!”

Shaka memutar piringan hitam itu di atas turntable pada meja kayu di sudut ruangan. Les jours tranquilles, lagu pertama yang terlantun mengisi keheningan di dalam ruang kesayangan sang peri lukis.

“Sini, bintang aku udah jadi.”

Shaka menarik Diandra pelan, mendudukkan perempuan itu di atas pangkuannya. Sebelah tangannya terlingkar pada pinggang Diandra.

“What do you see?” “There’s sky with a lot of stars, terus ada.. eh ini apa sih? kunang-kunang? and a girl who is looking at it.” “Mama.” “Mama?” “Perempuan ini mama, she’s an astrophile,” jawab Shaka, sambil menunjuk sketsa perempuan yang tengah menatap langit di atas kanvasnya.

Astrophile; the one who loves stars and astronomy.

“Kalo kamu suka banget sama lampu kota, mama juga suka banget sama cahaya bintang. Katanya, bintang itu baik udah mau nemenin bulan, soalnya kalo bulan sendirian, dia ngga akan bisa ngasih cahaya yang cukup buat langit malam. Nanti orang-orang di bumi ngga bisa liat!” ujar Shaka, “Sederhana banget alesannya, tapi the way she always get excited just by looking at one star, everybody knows how pure she is.”

Diandra tergelak melihat perubahan ekspresi Shaka dengan senyum sumringah yang sekarang tersimpul pada bibirnya. Senyum yang selalu hadir, kapanpun ia berbicara tentang mama, wanita yang paling lelaki itu cintai.

Lalu tatap matanya jatuh pada inisial huruf di ujung kuas. Jari-jarinya mengelus ukiran yang timbul di atas sana. Alat-alat lukis yang sudah lama tidak disentuh pemiliknya itu serasa masih bernyawa. Sentuhan tangan cantik milik Claudia, seakan masih ada di sana.

Dalam hitungan detik, Diandra tersontak, diam mematung terhadap nama yang selalu terasa familiar di dalam kepalanya. Claudia Ashalina, salah satu nama yang terpampang tepat di sebelah lukisan pada art gallery yang terakhir kali ia datangi, bersama anak dari pemilik nama indah itu.

”Damn it, how stupid i am!” pekik Diandra, seolah merutuki diri sendiri.

Shaka ikut terkejut, menatap Diandra heran.

“Claudia Ashalina, is she-“ “You’re right,” Shaka memotong kalimat Diandra, “Sekarang kamu inget,” dan ia tersenyum.

“Why? kenapa kamu ngga ngingetin aku?”

Nadanya sedikit meninggi, ada kekecewaan yang ikut tersampaikan di dalam getaran suara Diandra.

“Shaka, maafin aku, kok aku jahat banget ya.. maaf aku udah lupa..”

Shaka merasakan ada perasaan sesal yang tersimpan di antara mata perempuan itu, tatapannya seakan meminta penjelasan, kenapa ia membiarkan Diandra melupakan salah satu moment penting bagi hidupnya.

“Ra.”

Shaka mengusap lembut pipi Diandra.

“Hari itu kejadiannya cepet banget, bahkan cuma selewat kamu liat namanya. Kalo aku jadi kamu, aku juga pasti ngga akan nyadar.”

Diandra masih diam menatap Shaka tidak terima, memandangnya lekat-lekat dengan rasa bersalah. Kini mulai ada genangan air mata di dalamnya. Hatinya terasa sakit. Mengingat betapa besar keinginan Shaka untuk membuat dunia mengakui karya sang ibunda.

“Jangan nangis!”

Cepat-cepat Shaka menyeka air mata yang hampir menetes pada mata perempuan itu.

”Aku udah ngeliat nama beliau berkali-kali, tapi kenapa aku ngga pernah nyadar kalo nama itu adalah nama yang sama saat pertama kali aku liat nama mama di sana. Aku kecewa banget, jahat, ngga seharusnya aku ngelupain nama beliau.” sesal Diandra.

Shaka menggeleng tidak setuju pada satu pernyataan yang baru saja ia dengar.

“Kamu bukan orang jahat, kamu ngga salah, dan ngga ada yang salah.”

Diandra menjatuhkan kepalanya pada ceruk leher Shaka, memeluknya erat, bersamaan dengan air mata yang tidak bisa lagi ia tahan.

“You lie.” Balas perempuan itu dengan suara tertahan. “I’m sorry.”

“Ngga apa-apa sayang,” Shaka mengusap-usap punggung Diandra, hangat, “Makasih ya ra. Makasih udah bilang nama mama cantik, thank you for calling her as an angel, thank you for adoring her that much.”

Semakin Shaka memakluminya, isakan Diandra justru semakin menjadi.

Shaka, your mother really raised you well, how lucky you are, karena sudah terlahir dari rahim seorang ibu yang luar biasa cantik hatinya. I wish i could meet you sooner.

“Kamu lucu banget kalo nangis, aku cium boleh ngga?” ledek Shaka. “SHAKAAA!” “Udah ah, yuk bangun, kita kan mau ngelukis seneng-seneng.” Hiburnya, lalu mencium pucuk kepala Diandra.

Diandra menarik tubuhnya dari pelukan Shaka, sambil menggosok-gosok mata, masih pada posisi yang sama di atas pangkuan lelaki itu. Lantunan instrumen pada vinyl yang masih terputar, seolah ikut mendramatisir apa yang baru saja terjadi.

“Mama selera musiknya bagus, gara-gara mama aku jadi seneng dengerin musik klasik tau. Ternyata emang nenangin banget.” Ujar perempuan itu tiba-tiba.

Alunan musik. Shaka teringat sesuatu pada janjinya terhadap papa.

“Ra, how sweet it would be if there was a couple, terus mereka nari berdua pake alunan musik klasik kayak gini.” “Eh, iya!” rasa sedihnya mulai teralih, “Kayak di film la la land, terus ituuu geneveive sama derek, aku bisa ngulang berkali-kali scene mereka kalo lagi dansa, aku ngerasain banget atmosfernya!”

Diandra, perempuan yang selalu berhasil membuat Shaka terpana dengan segala keantusiasannya terhadap hal-hal kecil. Keunikan itu mampu membuat Shaka jatuh berulang kali.

“Mau ngga?” Shaka menjeda kalimatnya, “Engga sekarang, but, would you like to dance with me? someday.”