258; Collect beautiful moments


“Hp terooos.”

Diandra melempar remahan snack ke arah Shaka, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Yang disindir hanya terkekeh, lalu mencubit pelan ujung hidung Diandra.

“Kayak yang engga aja, laptop terooos!” balas Shaka, balik menyindir. “Dih, kan kamu yang ngasih aku laptop, kenapa nyalahin aku?” ujar Diandra, tak mau kalah. “Ya udah iya.” “Apa?” “Aku yang salah, maaf.” “HAHAHA.” “Kenapa ya aku ngga pernah menang lawan kamu.” “Kamu kelewat bucin.”

Dua orang itu asyik bercanda, menikmati waktu di atas hamparan karpet empuk, sambil menonton video-video yang memutarkan memori lama milik Shaka.

“Papa, mama i did it!” Memori pertama, terputar kenangan saat pertama kali lelaki itu belajar mengemudikan sepeda roda dua. “Liat ke depan jangan ngebut-ngebut dulu!” “Aku bisaaa.” Anak lelaki berusia enam tahun itu, melambai-lambaikan tangannya dengan senyum sumringah, menyapa terpaan angin yang melewati tiap helai rambutnya.

“Ya ampuuun lucu banget! Ini kamu berapa tahun?” Diandra tertawa gemas, sambil menunjuk anak lelaki dengan sepeda berwarna birunya. “Enam tahun, itu pertama kali aku bisa pake sepeda.” Jawab Shaka seraya ikut tertawa, seolah rasa bahagia di hari itu terus terbawa hingga hari ini, “Dulu aku penakut banget ra, kayanya di video itu, hasil setelah percobaan ketiga papa maksa aku sampe akhirnya aku mau belajar sepeda.”

“Engga mau! Mama disini aja, aku ngga mau ditinggal!” Memori kedua, menampilkan anak laki-laki yang tengah menangis dalam balutan seragam sekolah di hari pertamanya, merengek sambil menggenggam kuat tangan sang Mama. “Ini kan mama disini sayang, mama ngga ninggalin Shaka.” “Ayo ikut aku ke dalem kelas, kan itu kursinya banyak yang kosong, mama duduk disitu aja.” Kini anak lelaki itu menarik-narik ujung baju Claudia, sedikit membuatnya ikut tertarik ke dalam ruangan. “Mama ayo! Ngga apa-apa, kan mama ngga nakal.” Claudia terkekeh, lalu berjongkok mensejajarkan diri dengan Shaka.

“Shaka, coba liat ini di tas Shaka ada gambar apa?” Claudia menunjuk satu karakter yang tergambar pada tas gendong di pelukan Shaka. “Spiderman.” “Suka ngga sama spiderman?” “Suka.” “Mama juga suka sama spiderman, soalnya dia hebat, walau dia hidup dengan berbagai masalah dan kesedihan. Spiderman selalu siap berhadapan dengan rasa takutnya, dia petarung yang tidak kenal kata menyerah.” “Aku juga kayak spiderman! Kemarin aku jatoh terus naik sepeda tapi akhirnya aku bisa. Aku ngga nyerah. Aku juga keren kan!” “Thats right!” Claudia mengusap pucuk kepala Shaka. “Waktu itu Shaka jagoan, tangannya sampe banyak yang luka tapi ngga nyerah buat belajar naik sepeda. Sekarang juga ngga takut dong buat masuk ke kelas sendiri?”

Shaka menatap mata sang Mama ragu.

“Masa jadi spidermannya sehari doang. Jadi spiderman lagi yuk hari ini!” Shaka yang polos, ia menggeleng-geleng seakan tidak rela membuang title spiderman yang diberikan Claudia kepadanya. “Nooo, ok shaka-man will going to class right now.”

Satu persatu memori terputar, membawa lelaki itu kembali pada masa-masa paling menyenangkan di dalam hidupnya. Ada kesedihan yang menyeruak, namun memberikan kehangatan secara bersamaan.

Shaka memandang perempuan di sebelahnya, yang dari tadi tidak berhenti melempar senyum terhadap putaran memori di dalam layar. Shaka jatuh cinta pada senyum itu. Diandra, seakan membawa kembali memori lama yang tidak bisa lagi ia ulang.

Shaka mendapatkan dunianya kembali.

“Ra,” panggil Shaka. “Jangan pergi kemana-mana ya.”

Diandra menoleh, tersontak kaget menatap Shaka yang tatap matanya kini telah berubah menjadi sendu.

“Kamu kenapa?” Diandra meraih tangan Shaka, lalu menggenggamnya. “Ngga apa-apa, aku cuma, ngga mau kehilangan lagi. It hurts too much.” jawab Shaka, ia menunduk menghindari tatapan mata itu. Diandra tersenyum, seraya mengusap-usap tangan yang ada di dalam genggamannya.

“It’s called destiny. Beberapa takdir emang jahat, dan waktu yang ikut merenggut perpisahan secara paksa. We can fight, we will leave each other in the end, kita ngga bisa melawan takdir,” Diandra menghela napas, menjeda kalimatnya, “Tapi, aku janji. Selama kamu masih bisa liat aku, i’ll never ever leave you. Aku ngga akan kemana-mana.”

Shaka menjatuhkan tubuhnya pada Diandra, membenamkan kepalanya di antara pundak perempuan itu. Memeluknya erat, aroma lily yang manis dari tubuh Diandra seolah membuat Shaka semakin tertarik ke dalam pelukannya.

“Sekarang aku di sini, aku ngga akan pergi kemana-mana.” ujar Diandra, sambil menyisiri rambut Shaka menggunakan jarinya. “Let’s never stop making memories together.”

Shaka memejamkan matanya, nyaman di dalam dekapan Diandra. Merasakan sentuhan halus pada usapan tangan perempuan itu.

“Promise?” Shaka menarik tubuhnya dari pelukan Diandra, menatap binaran matanya lekat-lekat.

Diandra membalas tatapan itu, ada hening yang cukup lama di antara keduanya. Sebelum akhirnya Diandra menangkup kedua pipi Shaka, mendekatkan wajah di antara keduanya yang sekarang hanya berjarak tiga senti. Lalu mencium bibir Shaka tiba-tiba. Shaka yang terkejut tidak menolak, dengan senang hati ia menerima pagutan itu.

Perasaan hangat dari napasnya yang tidak stabil, waktu seakan berhenti saat bibir manis Diandra bertemu dengan bibirnya. Shaka meletakkan tangannya di belakang kepala Diandra, lalu membelai rambutnya dengan penuh kehangatan. Saling memejamkan mata, merasakan gelombang kenikmatan yang hampir membungkam semua pikiran.

“Promise.” jawab Diandra, di antara deru napasnya.