216; Oh, Shaka got sick!
Diandra mengetuk pintu apartment bernomor 548, sambil membawa satu kantong plastik yang cukup besar berisikan obat-obatan dan makanan ringan yang aman untuk dikonsumsi orang sakit, hasil googling. Sebenarnya, Diandra jelas sudah mengetahui password apartment Shaka, mengingat kamar itu sudah nyaris menjadi rumah keduanya, karena hampir tiap hari dua orang itu menghabiskan waktu bersama disana. Selain jatuh cinta pada pemandangan kota yang disuguhi oleh kamar Shaka, Shaka sendiri adalah alasan utama mengapa Diandra senang berlama-lama disana. Diandra selalu merasa aman kapan dan dimanapun selama Shaka ada di sampingnya.
“Masuk aja kali ya, ngapain amat gue nungguin padahal tau passwordnya.” Diandra bergumam pada diri sendiri.
Baru saja tangannya hendak menekan tombol, pintu itu terbuka, menampakkan laki-laki dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur, bibirnya pucat pasi.
“Kenapa ngga masuk aja sih, Ra?” tanya Shaka, suaranya serak. “Iya maaf, aku tau kamu pasti tidur, jadi takut ngagetin.”
Shaka kembali tergeletak di tempat tidur dan memejamkan mata, memaksa diri untuk tidur lagi sambil memegangi perutnya. Diandra yang berjalan tertinggal di belakangnya meraih lelaki itu, menahannya agar tetap terjaga.
“Eh, engga ada jangan tidur lagi, kamu belum makan!“ “Percuma, Ra nanti juga kebuang lagi. Aku udah bolak balik kamar mandi lima kali hari ini.” Jawab Shaka, tanpa membuka singkapan selimutnya sedikitpun. “Ya makanya, sekarang perut kamu kosong, harus diisi. Udah ayo makan dulu ya, ini aku beliin bubur, terus minum obat, baru kamu boleh tidur lagi.”
Shaka mengalah, ia duduk menyandarkan diri pada sandaran kasur dengan selimut yang ia liliti pada seluruh tubuhnya, sehingga hanya menampakkan kepalanya yang menyembul. Seperti bayi di dalam bedong.
“Hahaha kamu kayak we bare bear!“ goda Diandra, sebelum menuju lemari dapur yang hanya dibalas oleh kernyitan dahi oleh Shaka.
Shaka memperhatikan perempuan dengan kardigan rajut berwarna mint itu dari atas kasur, sambil diam-diam tersenyum dan bergumam dalam hati, “mom, she is taking care of me, don’t worry.”
“Ayo makan dulu anak bayi, mau aku suapin?” Diandra kembali menghampiri Shaka, membawa satu mangkuk bubur hangat dan gelas berisi air minum.
“Ngga mau, aku bukan anak kecil, aku bisa makan sendiri ya!” timpal Shaka seraya merebut mangkuk dari tangan Diandra.
Selagi menunggu Shaka menyantap makanannya. Diandra beranjak dari kasur, membereskan beberapa baju dan jaket kotor yang masih tergeletak di lantai. Kamarnya cukup berantakan, karena hampir seharian ini Shaka hanya menghabiskan waktu di atas kasur.
“Kamu abis makan apa sih, perasaan tadi pagi belum kenapa-kenapa?” tanya Diandra. “Aku tadi siang beli tomyum, ngga tau kalo ternyata pedes.” “Emang ngga nanya dulu?” “Aku pesen yang biasa, aku ngga tau kalo yang biasa ternyata udah pedes.” “Terus sekarang masih sakit perutnya?” “Lumayan, tapi udah ngga bolak-balik kamar mandi lagi.” Jawab Shaka, bersamaan dengan suapan terakhirnya.
Diandra kembali menghampiri Shaka, kali ini membawa beberapa butir obat dan satu buah apel yang telah dikupas.
“Mau? aku baca di google katanya buah apel bagus buat orang yang lagi diare, udah aku kupasin.”
Tidak mengiyakan ataupun menolak, Shaka malah meresponnya dengan partanyaan lain.
“Kamu mau pulang abis ini?” “Aku boleh pulang?” “Engga boleh!” pinta Shaka, sambil meraih satu potong apel.
Diandra ikut merebahkan diri di kasur, bersebelahan dengan Shaka. Namun tiba-tiba Shaka menggeser tubuhnya menjauhkan diri, memberi jarak yang cukup renggang di antara mereka berdua.
“Ra jangan deket-deket, badan aku masih panas. Nanti kamu ketularan.” Diandra ikut menggeser tubuhnya kembali berdekatan dengan Shaka. “Ngga apa-apa imun aku kuat, sini, kamu ngga mau aku peluk, ngga dingin?” goda Diandra. “Tadi katanya this person needs hug HAHAHA.”
Shaka menggigit bibir menahan senyum, ingin rasanya ia melingkarkan tangan pada pinggang perempuannya, mencari kehangatan di dalam dekapan itu. Shaka kembali menggeser tubuhnya sampai pas di ujung kasur. Ia benar-benar tidak mau Diandra ikut tertular.
“Jangaaan! Udah kamu diem disitu, jangan geser lagi, aku jatoh ntar.” Bukan Diandra kalau tidak ngeyel, alih-alih ikut menggeser dirinya, perempuan itu langsung menarik Shaka yang tengah lemas kehilangan tenaga, meletakkan kepala lelaki itu di atas lengannya, “bawel, sok sok nolak.” Shaka pasrah tidak menolak, ia melingkarkan tangannya pada pinggang Diandra, “kalo kamu sampe sakit aku ngga tanggung jawab.”
Aroma sandalwood dari diffuser seperti biasanya, semakin memberi kesan tenang yang membuat dua orang di balik selimut itu mengantuk. Shaka sudah lebih dulu tertidur di dalam dekapan Diandra karena efek kantuk pada obat yang barusan ia minum. Pelan-pelan Diandra memindahkan kepalanya pada bantal, lalu menyelimuti seluruh tubuh lelaki itu dengan bed cover, sebelum ia pindah ke sofa, agar lelaki itu bisa tidur di atas kasur yang lebih lega.
“Aku pindah ke sofa, ya. Aku disini, aku ngga pulang.”
Diandra berbisik sambil mengusap kening Shaka yang masih terasa hangat, lalu menciumnya.