248; It’s 3 AM
Hujan. Aroma sandalwood yang hangat. Jam tiga pagi. Diandra terbangun dengan isakan kecil yang tertahan, meredam suara di dalam tarikan selimutnya agar suara tangis itu tidak tersuarakan, demi menjaga ketenangan seseorang yang tidur di sebelahnya.
Terbangun pada dini hari adalah salah satu kebiasaannya jika gadis itu tidur dengan keadaan hati yang buruk. Suara-suara itu seakan menggema di dalam kepalanya, “Coba contoh Kak Theo”, “kenapa nilai bisa turun”, “suaranya bagusan yang cowo”, “kenapa ngga yang cowo aja yang nyanyi sih”. Semakin Diandra mengingat hal-hal tidak menyenangkan yang ia dapat sepanjang hari kemarin, semakin ia menyalahkan dirinya sendiri. Air matanya terus berjatuhan membasahi bantal. Diandra menutup kuat-kuat mulutnya dengan dua tangan sehingga getaran pada bahu gadis itu semakin kencang.
“Jangan ditahan Ra, nanti sakit loh dadanya. Ngga apa-apa nangis aja.”
Terasa ada tangan lain yang mengusap-usap punggungnya dari belakang. Suara khas bangun tidur dari Shaka menyapa telinganya.
“Sini sama aku, jangan nangis sendiri.” Tidak ada jawaban terdengar selain isak tangis Diandra yang mulai bersuara.
“Raa.” Gadis itu masih membelakanginya.
Shaka menggeser tubuhnya mendekat, “Wanna hug? i’m warmer more than Olaf,” lalu meletakkan dagunya di atas bahu Diandra, dan memberinya pelukan hangat.
Perempuan itu masih menangis tanpa mengeluarkan sepatah kata, sambil menatap embun di luar jendela ia menikmati kehangatan pada dekapan Shaka yang membiarkannya mengeluarkan seluruh perasaan sesak yang mengisi hatinya.
“Diandra, Diandra main yuk!” “Yah tapi Diandranya lagi nangis, ngga mau ngomong dari tadi, pacarnya dicuekkin.” “Loh, emang Diandra pacarnya siapa?” “Pacar akulaaah!”
Shaka terus mengoceh sendirian, sambil mengusap-usap lengan Diandra. Bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri seperti orang bodoh, demi menarik perhatian Diandra agar terhenti dari tangisnya.
“Kasian pacar aku lagi nangis.” “Mau nangis sampe kapan? sampe pagi? sampe besok, atau sam-“ “Seminggu.” Diandra mulai merespon candaan Shaka dengan nada datar tidak tertarik. “Waduh seminggu! Ok boleh, tapi posisinya nanti gantian ah, curang banget, kan aku juga mau dipeluk.” “Ya udah sana kalo ngga ikhlas.” “Ya udah sana kalo ngga ikhlas,” Shaka mengikuti nada bicara Diandra, sambil memajukan bibir, “Sana sana tapi dari tadi tangan aku dipegangin terus.”
Diandra melepas pelukan Shaka secara sepihak, mendorong lelaki itu hingga ke ujung kasur lalu menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut.
“DIH NGAMBEK!” “Udahlah berisik aku mau tidur.” “Mana ada mau tidur cekikikan. Ketawa mah ketawa aja ngga usah gengsi!” Diandra tertawa, “Beruntung kan kamu punya pacar receh.” Ia mengalah, membalikkan badannya menyamping ke arah Shaka.
“Kenapa bangun?” Shaka mengelus-elus dahi Diandra dengan jari telunjuknya, saling berhadapan dengan jarak yang dekat. “Ngga tau, tiba-tiba kebangun aja dada aku sakit.” “Ada yang mau diceritain? i’m listen.”
Shaka menggeser tubuhnya lebih dekat, lalu memindahkan kepala Diandra ke atas dadanya. Tangannya mulai memainkan rambut Diandra.
“Sekilas aja ya, aku ngga mau inget-inget.” Shaka tersenyum, kemudian mencium lembut pucuk kepala Diandra, “Go on, senyamannya kamu Ra.”
“Tadi siang bunda marahin aku gara-gara ipk turun, eh, bukan marah sih, lebih ke negur aja, cuma dibayangan aku tuh kedengeran suara bunda kalo lagi ngomong serius. Terus, aku mulai dibandingin sama Kak Theo, aku bosen banget apa-apa selalu dia yang dijadiin patokan, padahal kan aku juga punya potensiku sendiri. Kenapa sih apa-apa Kak Theo. Kesannya aku ngga berguna banget dibanding dia.”
Diandra berbicara tanpa menatap mata Shaka.
“Terus tadi di kafe, Hesa tiba-tiba ngabarin ngga bisa dateng sepuluh menit sebelum harusnya kita naik panggung. Aku panik, aku belum pernah nyanyi sendirian, ngga ada persiapan. Mana tadi kafenya rame banget. Aku nge-blank, dua kali salah masuk nada, suara aku fals, aku lupa lirik. Ancur. Sampe yang makan ngga ada yang liat ke arah panggung sama sekali, aku malu.”
Air matanya mulai jatuh kembali, Diandra bercerita dengan suara yang bergetar sambil sesekali menggigit bibir agar tangisnya tidak kembali meledak.
“Udah?” “Udah, segitu aja. Semakin aku cerita detail, semakin keliatan kalo aku payah.”
Shaka sedikit mengangkat kepalanya, mengintip Diandra. Ia sadar kalau tangisan perempuan itu kembali pecah. Shaka menyeka air matanya, lalu kembali meletakkan dagunya di atas kepala Diandra.
“Aku hampir selalu denger cerita kamu tentang gimana kamu dituntut untuk dapetin nilai yang sempurna di mata beliau, dan kamu selalu berujung blaming diri sendiri kapanpun kamu ngga bisa kejar target itu. Tapi, kamu lupa. Dengan kamu berusaha untuk mengikuti alur yang dikasih bunda dengan kondisi kamu yang sebenarnya tertekan sama tuntutan itu, kamu udah keren, Ra. Ngga gampang loh menyesuaikan diri dengan hal-hal yang kita ngga suka, apalagi dengan sesuatu yang ngasih kamu tekanan. Dan kamu berhasil bertahan sampe sejauh ini, kamu hebat banget.”
Shaka menjeda ucapannya, seraya menyisiri rambut Diandra menggunakan jarinya, “Jangan selalu mematok semuanya dari hasil yang kamu dapet, karena proses yang kamu lewatin itu lebih berharga dari si target itu sendiri. Berhasil itu bonus, kalo gagal, ayo kita belajar dari kesalahan itu. Dengan kamu gagal, bukan berarti kamu payah, no. Kamu ngga nyerah, kamu ngelewatin semua prosesnya sampe hari ini. You reallly did a great job, aku bangga banget sama kamu Ra. Makasih udah bertahan sampe sejauh ini ya.”
Diandra mencerna omongan Shaka, menatap mata lelaki itu lekat-lekat sambil tangannya memainkan telinga Shaka.
“Terus yang masalah nyanyi, hahaha! kamu ngga perlu malu Raaa, itu artinya kamu lagi menciptakan pengalaman. Ngga ada pengalaman yang isinya mulus-mulus doang, and it’s normal. Ngga apa-apa, besok kamu nyanyi lagi, tunjukkin kalo kamu layak ada di atas panggung. Okay?”
Diandra semakin terpaku oleh kata-kata Shaka, lelaki itu bahkan menasehatinya tanpa sedikitpun membuat Diandra merasa terpojok.
“Aku speechless, ngga tau mau ngomong apa.” Diandra menghela napas, semakin memeluk Shaka dengan erat. “Thank you so much. I feel like the luckiest girl ever for being chosen by you.”
Shaka menarik Diandra ke dalam pelukannya, kemudian kembali mencium dahi Diandra.
“Udah yuk, sekarang tidur, udah mau jam empat pagi.” Shaka memejamkan matanya di atas kepala Diandra, sembari mengusap-usap punggungnya. “Eh bentar, kok tadi siang kamu ngga nanya-nanya masalah ipk?” Diandra menyembul dari dalam rangkulan Shaka. “Aku tau kalo kamu ngga puas sama hasilnya.” “Tau dari mana?” “Kalo kamu seneng, pasti kamu bakal cerita duluan sambil excited. Dari kamu diem aja juga aku udah tau.” “Kok udah tau tapi ngga nanya?” “Kamu kalo sedih kan ngga mau ditanyaaa, udah ah ayo tidur, aku ngantuk.” Shaka kembali menenggelamkan kepala Diandra ke dalam pelukannya. “Aku udah ngga ngantuk.” “Terus mau ngapain?” “Nonton narnia yuk!” “Araaa!” “Pleaseee, ya, ya aku yang bangun deh ambil remot, kamu diem aja di kasur.” “Aku ngantuk mau tidur!” Shaka tidak melepas tangan Diandra yang dari tadi melingkar pada pinggangnya.
“Ya udah aku nangis lagi.” “Aku pulang.” “Mau cari pacar baru.” Ledek Diandra seolah merajuk kesal. “Hhhh, ya udah fine, kita nonton!” “HAHAHAHA yeay! I love you.” Kemudian ia mencium pipi Shaka, sebelum berjalan mengambil remot.