sannflowers


Gema dialog dari atas panggung menyiratkan ribuan pesan pada barisan penonton, panggung teater bukan hanya tempat sandiwara, layaknya berkomunikasi, ada kisah yang disampaikan oleh sebuah kisah dari atas panggung.

Setelah membaca pesan terakhir, 'sepuluh menit lagi kita sampai', Anjani menutup ponsel dan kembali menyaksikan riungan orang di atas panggung dari kursi penonton, dia memandangi panggung, menghela napas seakan oksigen di dalam sana menipis, mengingat kalau besok malam, panggung ini akan menjadi sarana untuk melarikan diri dari kekejaman isi kepala yang selama ini menyandera kebebasan.

Dia melihat Dylan sudah melambaikan tangan di tengah kerumunan anggota yang sudah lebih dulu hadir di sana, memberi sinyal jika ini sudah waktunya dia bersembunyi. Sambil berjalan meninggalkan kursi penonton, Anjani banyak-banyak mengucap doa semoga hari pementasan besok berjalan seperti apa yang telah ia saksikan pada gladi resik hari ini. The magic tumbled down from its stage and it was so beautiful, bangga, kagum, dan khawatir dalam satu waktu, dia tidak menyangka kalau rencananya benar-benar terjadi.

Beberapa menit kemudian Anjani mendengar suara orang-orang di dalam aula mendadak semakin ramai, tampaknya mereka yang sudah ada di sana tengah menyambut beberapa orang yang baru saja tiba. Dia tahu ada Aleon di salah satunya, rasanya ingin sekali berlari mengejutkannya setelah seharian ini belum sama sekali melihat lelaki itu, namun Anjani harus tetap bersembunyi di belakang panggung, hanya ditemani dua kotak berisi origami biru.

Untungnya dinding-dinding aula menyampaikan suara dari depan sana sampai ke telinganya dengan sangat baik, sehingga dia ikut merasa terajak ke dalam obrolan. Dia memainkan kertas-kertas origami di dalam kotak, meraup lalu melepaskannya lagi sembari mendengarkan satu per satu perwakilan anggota saling berganti menyampaikan pesan personal, mengucap banyak-banyak apresiasi bagi seluruh tim, juga kata terima kasih yang tiada habisnya terlempar untuk satu sama lain. Sebelum sampai pada puncak pementasan besok, berbagai hal patut dirayakan malam ini karena semuanya sudah bekerja keras di sepanjang 5 bulan terakhir.

Di depan sana, sekarang seluruh pasang mata sedang mengarah pada Aleon seperti lampu panggung yang menyoroti pemeran utama. 

Ini gilirannya berbicara, dengan percaya diri menyampaikan apa-apa yang seharusnya ia ceritakan dari awal bersama senyuman tulusnya.

I've been waiting for this day from the first time the plans were announced. Dulu ibu saya pernah buat pentas musik sederhana untuk anak-anak panti waktu gedung kesenian ini masih dikelola kota. Beliau bukan pemain cello yang hebat bagi semua orang, tapi bagi anak-anak panti yang menunggu permainan musiknya setiap minggu, ibu seorang pemusik yang luar biasa. This project means a lot to me more thank you think, karena lewat projek ini saya bisa ajak lagi ibu main ke tempat yang menyimpan satu memori berharganya, walau semua memorinya tentang gedung ini sekarang sudah gak ada lagi buat beliau. Ibu saya mengidap Alzheimer dini sejak 2014, dan terhitung dari 3 tahun lalu beliau sudah semakin kehilangan dirinya. Life goes very hard when your mother doesn't remember that you are her son. But it is what it is. Gedung seni ini memang kembali asing buat ibu, tapi pementasan besok bisa jadi memori pertama lagi untuk beliau, I think it's totally fine, she can still get all the joy, and this building still holds the happiness she once gave. Rumah cemara dan sanggar maheswara berarti banyak buat saya, terima kasih, terima kasih, dan terima kasih.”

Kini kisah Aleon pun berarti besar untuk banyak orang, untuk mereka yang sama-sama mengalami kehilangan, untuk mereka yang marah pada alur pilihan Tuhan, untuk mereka yang sedang dalam prosesnya belajar bagaimana cara mengikhlaskan. Ucapannya diakhiri oleh tepuk tangan yang diikuti lemparan kata apresiasi bertubi-tubi. 

Bagaikan satu judul lagu semua aku dirayakan, hari ini ia dirayakan.

Dari belakang panggung, Anjani mendengar kalimat Aleon dengan kagum. Dia langsung melirik ke arah tumpukan kertas origami biru di dalam kotak dengan mata berkaca-kaca, Anjani masih ingat harapan pertama yang ia terbangkan melalui pesawat kertas pemberian Aleon. Lalu besok, kertas-kertas ini akan diterbangkan juga oleh banyak orang, they will all fly tomorrow, for everyone's hope and for everyone's freedom.


Selasa, 23 Juni 2020.

Selamat ulang tahun yang ketujuh belas, Leon!

Kakak, ini aku, adikmu Shelly. Aku wakilkan tulisan hari ini ya, semenjak suamimu meninggal kamu semakin jarang menulis, sekarang sudah 3 bulan terakhir ini aku tidak pernah melihat kamu menulis buku harian lagi. Kamu mungkin sudah mulai melupakannya. Hari ini Ale sudah berusia 17 tahun, aku percaya dia akan tumbuh menjadi lelaki yang hebat dan kuat seperti yang selama ini kamu bicarakan.

Selama aku mengenal Ale, aku tidak pernah melihatnya menangis, bahkan di hari kematian Kak Jusuf, Ale hanya menangis satu kali saat penurunan peti. Waktu kita menceritakan tentang penyakitmu juga Ale tidak menangis, dia tidak pernah menunjukan kesedihannya di depan siapapun. Tapi hari ini, di hari ulang tahunnya justru aku melihat Ale menangis.

Kak, dia tidak bisa kudekati, waktu aku menghampirinya ke halaman belakang, dia langsung mengusap air matanya lalu tersenyum padaku, “Nggakpapa, Tan, aku seneng liat ibu sehat hari ini.” Katanya. Dari jawaban itu justru aku bisa menangkap kalau selama ini dia banyak memendam rasa takutnya terhadap kondisimu. Di umurnya yang ke-17, aku mendoakan Ale tulus dari dalam hatiku supaya dia bisa bertemu dengan seseorang yang bisa membuatnya nyaman untuk berbicara, membuatnya tidak merasa malu untuk memperlihatkan air mata selayaknya dia terbuka padamu.

Jika nanti kamu membaca tulisan ini, tolong ingat seluruh kejadian menyenangkan di hari ini ya, kita membuat kue bersama dan terakhir kita makan kuenya di taman dekat gedung seni tempat kamu pentas untuk anak-anak panti dulu. Di taman, Ale memainkan biolanya untuk pertama kali di depan orang lain, orang-orang yang berjalan kaki semua berhenti untuk menonton permainan Ale. Kamu sangat bangga padanya.

Kakak... aku minta maaf, tapi mungkin ini saatnya aku menceritakan tentang rencanamu untuk tinggal di eudaimonia pada Aleon. Sudah tidak ada banyak waktu lagi.

Aku adalah salah satu orang yang paling menentang sewaktu kamu membicarakan hal ini dan memperlihatkan seluruh kepesimisanmu. Setiap aku menentang, kamu selalu bilang, 'Shelly, semuanya untuk Ale. Ale tidak boleh menghabiskan waktu mudanya hanya untuk merawatku, dia harus tetap hidup sebagaimananya dia akan tumbuh dan berkembang seperti seharusnya. Hidup Ale tidak boleh berputar hanya untuk aku. Lagipula ini kan hanya kemungkinan terburuknya, setiap manusia harus memiliki rencana.'

Dan sekarang aku tidak menyangka kalau kami akan benar-benar bertemu dengan kemungkinan terburuknya...

Kak Malinka, terima kasih untuk masih mengingat tanggal ulang tahun Ale dan menjadikan usia 17 nya sangat berharga, aku tau kamu berusaha mati-matian untuk bisa mengingat tanggal ulang tahunnya. Kalau anak-anak lain mungkin mengharapkan kado-kado mewah untuk merayakan usia dewasa, Ale hanya butuh ingatanmu tetap ada, ingatanmu adalah kado terbaik untuk Ale. Ingatlah betapa bahagianya kamu sewaktu Ale lahir ke dunia, tolong ingat betapa kamu sangat menyangi Aleon, putramu.


Selamat ulang tahun Aleon, putraku.

Ibu akan mengingat hari ini sebagai kenangan paling indah karena ibu bisa menyaksikan usia 17 tahunmu, gerbang pertama telah terbuka sebelum nanti kamu membuka gerbang selanjutnya menuju perjalanan hidup yang lebih istimewa. Dan ibu akan selalu ikut bersamamu. Jangan takut ya Ale, ibu ada di sini.

Selasa, 23 Juni 2020. Ibu akan mengingat hari ini sebagai salah satu kenangan paling indah di dalam memoriku. Selamat ulang tahun, putraku tersayang.


2010.

Di usianya yang ke 6 tahun, Aleon baru saja mendapatkan kamar tidur, walau untuk tidur di kamarnya sendiri dia masih harus ditemani dulu oleh ayahnya sampai dia benar-benar tertidur. Kalau ayahnya beranjak sebelum dia pulas, Aleon dengan jahilnya akan membuka mata, “Hayo, mau ke mana tuh ayah? Aku baru merem-mereman doang, jangan pergi dulu!” Dia tidak pernah bisa tidur di bawah jam 9 seperti seharusnya pola tidur normal anak-anak dan perlu waktu 1 sampai 2 jam selisih waktu diperlukan dari memejamkan mata sampai akhirnya bisa benar-benar tertidur. Sepertinya anak itu memang sudah bakat dalam merusak pola tidurnya sejak kecil.

Jadi untuk membantu Aleon mendapatkan rasa kantuknya, setiap malam sebelum Aleon masuk kamar, Malinka akan membawa putranya ke ruang musik untuk memainkannya cello sambil duduk di atas pangkuannya. Inilah yang membuat Aleon kecil sedang suka-sukanya pada musik.

Judul lagu yang dimintanya selalu sama, lihatlah lebih dekat dari film Petualangan Sherina.

Aleon yang kala itu tingginya hanya sebatas pinggang Malinka telah duduk di atas pangkuan sang ibu. “Lagunya Sherina lagi?” tanya Malinka sambil menundukkan wajah memandang mata Aleon kecil.

Dia hanya mengangguk, lalu menyenderkan tubuhnya dengan nyaman pada Malinka bagaikan itu adalah sandaran paling nyaman yang tidak pernah bisa dirasakan di manapun.

Malinka terkekeh, mencuri kesempatan untuk mengusak-usak rambut tebal Aleon sebelum mulai menarik setangkai bow. “Oke. Kayak biasa Ale merem sambil boboan ke ibu ya.”

Dinding-dinding rumah kembali merekam cerita di antara Aleon dan Malinka begitu gesekan senar pertama tergesek dengan lembut. Indahnya lantunan cello menjelajahi relung-relung gelap yang dibawa oleh langit malam. Gerakan tangan Malinka bergemulai ayu, seakan mengendarai melodi-melodinya supaya tertuju pasti pada malaikat kecil di atas pangkuannya. Aleon sangat menyukai lagu ini dan Aleon jatuh hati dua kali lipat pada lagu ini setiap kali lagunya dimainkan oleh ibunya.

Janganlah sedih, janganlah resah. Jangan terlalu cepat berprasangka.” Malinka tiba-tiba bernyanyi dengan suaranya yang juga merdu. Tangannya masih terus mengayun, namun matanya memejam semakin dalam di atas pucuk kepala Aleon.

Setiap kali dia membawakan lagu ini dengan posisi putranya yang pelan-pelan terlelap di dalam dekapannya, emosinya berkecamuk, bayangannya mengingat terlalu cepat pada hari di mana Aleon kecil telah tumbuh dewasa yang pelan-pelan meninggalkan rumah untuk meninggali kehidupannya.

Janganlah gundah, janganlah resah. Lihat segalanya lebih dekat, dan kau bisa menilai lebih bijaksana.

Malinka mengintip putranya, matanya terpejam tenang, anak lelaki itu juga tanpa sadar tertidur sambil meremat renda-renda manis pada lingkar leher gaun tidurnya.

Mengapa bintang bersinar? Mengapa air mengalir? Mengapa dunia berputar? Lihat segalanya lebih dekat, dan kau akan mengerti

Waktu berlalu begitu cepat, hanya kepada malamlah Malinka mengharapkan waktu untuk melambat untuk bisa memangku Aleon lama-lama sebelum anak itu tumbuh tinggi, dan dewasa.

“Ale? Udah bobo sayang?” Wanita itu menepuk pelan pipi putranya. “Pindah yuk ke kamar.” Lalu mencium keningnya.

Aleon kecil membuka matanya setelah memastikan kalau lagu yang dimainkan sekaligus dinyanyikan sang ibu telah usai. Dia menggeleng. “Kalau aku gak merem, nanti ibu nyuruh aku ke kamar karena nggak tidur-tidur, jadi aku pura-pura tidur supaya ibu nyanyinya lama. Soalnya aku mau dinyanyiin ibu lama-lama.”

Kalimat putranya membuat Malinka tertawa gemas, dia menyatukan ujung hidung keduanya sambil menggerak-gerakan kecil kepalanya. “Malam ini mau coba bobo sendiri apa masih mau ditemenin ayah?” tanya wanita itu sembari berdeham lembut.

“Ditemenin.” Aleon menggeleng kuat. “Aku takut sendirian kalau lampunya mati, tapi kalau lampunya dinyalain aku gak mau bobo-bobo.”

“Hahaha, loh Ale takut gelap memangnya?”

“Iya, kalau gelap nanti ada hantu.”

Malinka menurunkan Aleon kecil dari atas pangkuannya, membuat putranya kebingungan karena tiba-tiba dia langsung pergi mematikan saklar lampu. Tak lama terdengar suara teriakan heboh.

“IBUUUUU!”

“Ada ada, halo, sini ibu ada di sini!” Malinka segera berlari menghampiri Aleon lagi. Dia mengsejajarkan diri dengan duduk bertimpuh di sebelah putranya.

Ruang musik tidak sepenuhnya gelap setelah lampu dimatikan karena ada cahaya bulan dari luar yang menembuskan terangnya lewat ventilasi jendela, bahkan dari balik gorden, walau cahaya bulan tak seutuhnya lolos tapi tirai-tirai itu rasanya dibuat menyala.

“Coba sekarang Ale lihat ke sekeliling, gelap gak?”

“Sedikit. Wajah ibu masih keliatan,” Aleon menyentuh ujung hidung ibunya dengan satu jari telunjuknya yang kecil. “Tuh, ada.”

“Itu karena Ale selalu punya bulan setiap malamnya.” Wanita itu terkekeh seraya menurunkan jari telunjuk Aleon dari hidungnya. “Kalau Ale takut, Ale bisa lihat lebih dekat ke satu titik cahaya bulan di luar, ada bulan yang nemenin Ale bobo, bahkan nggak cuma Ale, satu bumi ditemani oleh bulan.” Jawabnya penuh kasih sayang.

“Walaupun cahayanya sedikit? Emangnya bulan tetap bisa bikin kamar aku terang?”

Ummm, memang sedikit, tapi kalau Ale lihat lebih lekat, cahayanya selalu dekat dengan Ale.” Malinka berbicara pada binaran mata Aleon yang berkelip kepadanya di antara cahaya remang. “Semua hal akan tampak lebih besar kalau kita mau coba lihat lebih dekat.”


Tiga belas tahun kemudian anak laki-laki itu telah benar-benar jatuh ke dalam musik, dia bahkan sudah bisa memainkan biolanya sendiri untuk diperdengarkan pada orang-orang. Jika ibunya tahu, dia pasti bangga, mereka mungkin bisa berkolaborasi untuk menciptakan ruang aman bagi mereka yang tersesat. Namun tiga belas tahun kemudian, anak laki-laki itulah yang tersesat.

Tiga belas tahun kemudian, Malinka yang dulu khawatir kalau anak satu-satunya beranjak dewasa sekarang beralih jadi sosok yang justru dikhawatirkan oleh putranya. Selasa sore seperti biasa, hari ini Aleon membuka lagi kenangan kecilnya dengan memainkan lagu lihatlah lebih dekat yang sebenarnya khusus untuk ibunya. Malinka ada di sana, menontonnya seperti biasa sambil mengayun-ayunkan kepala ke kanan dan ke kiri mengikuti lantunan biola manis dari putranya, senyumnya tersimpul tipis seumpama bangga. Aleon selalu memimpikan hari di mana dia bisa memainkan lagu untuk ibunya. Tapi tiga belas tahun kemudian nyatanya hanya membawa dirinya menjadi asing bagi sang ibu.

Jumat lalu, dia senang minta ampun waktu Dylan benar-benar mendeklarasikan kalau rumah cemara akan berkolaborasi dengan sanggar maheswara sekaligus melangsungkan projeknya di gedung seni. Tanpa ba bi bu Aleon memberi usul agar memberikan undangan spesial juga bagi anak-anak di Yayasan panti asuhan untuk menonton pementasan, juga teman-teman lansia di rumah jompo milik tantenya. Karena tahun ini, donasi yang dikeluarkan akan terbilang banyak maka hasil donasi dari keduanya akan banyak disalurkan ke beberapa pihak dan Yayasan, termasuk Eudaimonia senior living, sudah pasti ide dari Aleon lagi. Dia ‘memanfaatkan’ projek ini untuk menjadi-lebih-dekat dengan ibunya. Dia juga sudah menceritakan semua rencana rumah cemara pada Shelly dan mendapat 100% dukungan penuh.

Aleon menghampiri Malinka sewaktu satu per satu orang meninggalkan ruang santai. Lingkaran kursi sudah tertata lagi seperti susunan awal. Di saat para penghuni beranjak pergi bersantai ke pendopo, mencari makanan ke dapur atau istirahat ke kamar masing-masing, Malinka memilih diam di sana, duduk pada satu kursi empuk di sebelah jendela yang mengarah ke danau buatan, ia membawa kanvas pola berukuran 40x60 yang siap diwarnai sesuai arahan nomor.

“Ibu, nggak ikut ke pendopo?” Lelaki itu melutut sopan di depan kursi Malinka untuk memberinya kontak mata selama berbicara.

“Banyak orang, terlalu berisik.” Jawabnya, tapi pandangannya menjelajah gusar pada sekitar sambil meraba-raba kursinya.

Aleon yang menyadari bertanya sigap. “Kenapa, ibu? Ada yang hilang?”

“Kuas sama cat airnya di mana ya? Kan sudah aku bawa.” Matanya masih mencari-cari ke sekitar. Ini keseharian yang biasa di kehidupan baru Malinka.

Jika dipertanyakan lebih lanjut di mana terakhir ia menyimpan alat lukisnya atau disuruh meyakinkan lagi apakah dia benar-benar sudah membawanya yang ada hanya membuat wanita itu semakin bingung. Yang harus Aleon lakukan untuk berkomunikasi dengan ibunya adalah dengan mendengarkan dan merespons langsung apapun yang diucapkan tanpa memicu perdebatan.

“Aku bantu cari, ya.” Aleon menaruh tangannya dengan lembut di atas punggung tangan Malinka, namun segera ditahan saat ia hendak beranjak.

“Nggakpapa Leon, nanti saja.”

Aleon tersenyum sendu, lalu melutut lagi.

Sudah berkali-kali Malinka menyebut namanya tetapi rasa asingnya justru terbentuk semakin kuat setiap ibunya memanggil dengan nama Leon, semakin menyedihkan lagi ketika namanya hanya dikenal sebagai pemain biola yang senang berkunjung ke senior living. Setidaknya itu tetap sedikit lebih baik daripada mendengar nama kecilnya disebut oleh Malinka yang sudah tidak mengenali Ale sebagai anak lelaki yang dulu banyak tertidur di pangkuannya.

Semilir angin sore menggelitik tubuh lewat celah-celah jendela, membuat siapapun tidak mampu menolak sejuknya udara dingin. Pelan-pelan Malinka memejamkan matanya pada sandaran kursi, hembusan napasnya sangat tenang bagai sahut percakapan para penghuni yang terdengar dari pendopo sana tidak membisingkan dunianya. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Aleon untuk memandangi cantik ibunya tanpa khawatir tertangkap basah lalu membuat wanita itu takut, dia menaruh dagunya di atas sandaran tangan kursi dan mengagumi betapa bersyukurnya pada kehadiran Malinka di setiap harinya. Bagaimana pun keadaannya dia berlega hati kalau ibunya masih bisa direngkuh dalam sentuhan nyata.

Malinka mengejutkan putranya dengan membuka mata tiba-tiba, untungnya tidak tertangkap basah karena Aleon segera mengalihkan pandangan seolah menikmati langit senja dari balik jendela,

“Aku senang dengan lagu yang kamu mainkan tadi.” Kata Malinka tanpa aba-aba.

Aleon menaruh kontak mata lagi, wajahnya terlihat terkejut penuh harap. “Ibu tau lagunya? Itu lagu kesukaanku waktu kecil.”

Namun wanita itu menggeleng.

“Tapi menyenangkan untuk didengar, aku suka lagunya.” Dia membalas tatapan mata Aleon, lalu tersenyum tipis.

Dan Aleon hanya bisa menjaga senyumannya.

“Nanti aku ajak ibu sama temen-temen lain di sini buat nonton pementasan musik yang lebih besar ya, dari acara organisasi aku. Nanti ada biola, piano, terus… cello, pasti lebih menyenangkan untuk didengar.”

“Kamu yang main?”

“Kayaknya sih, enggak, aku gak bisa ikut main di atas panggung.”

“Kenapa?”

“Panggungnya terlalu besar.” Aleon terkekeh.

“Kenapa memangnya kalau terlalu besar?” Ibunya membulatkan bibir. Aleon tidak bisa menyembunyikan tawanya, rasanya seperti sedang bergurau dengan sang ibu padahal Malinka hanya membulatkan bibir.

“Belum waktunya aku main di panggung besar. Lagian temen-temenku udah panggil seniman-seniman hebat buat tampil di sana.”

Malinka tersenyum lagi. “Kamu juga pemain biola yang hebat, aku selalu suka permainanmu.”

“Hahaha. Kalau lagu yang tadi gimana? Ibu suka juga gak?”

“Bagus. Aku suka.”

“Yang benaaar?” Aleon memiringkan kepala lalu berekspresi dengan matanya yang bulat, posisi dagunya masih menempel pada sandaran kursi Malinka.

“Yaaa, kamu pemain biola yang hebat!” jawab wanita itu dengan intonasi meninggi.

Aleon tertawa lepas, ini adalah intonasi suara paling semangat yang terdengar dari ibunya semenjak ingatannya semakin kacau dan waktu mengubah kepribadian menyenangkannya menjadi tidak banyak berbicara.

Walau pujian ibu masih terasa asing, obrolan kecil kami terasa begitu nyata. Aku tidak lagi menghindari percakapan dengan ibu hanya karena tidak cukup kuat untuk dianggap asing, aku juga sudah berani menatap lekat-lekat wajah ibu lebih dari 7 detik tanpa merasa takut akan hari selanjutnya.

Selasa kali ini rasanya manis seperti kue ulang tahun karena aku bisa merasa sedikit lebih dekat lagi dengan ibu. Ibu boleh menganggap ini sebagai obrolan antara lansia dan pemain biola, tapi bagiku ini akan selalu tentang ibu dan Ale. Dan minggu-minggu selanjutnya juga pasti begitu. Ale akan hidup kembali.


Berkat bantuan Atha, aku bisa mempertemukan Kak Dylan dengan Kak Farras.

Aku sudah sering melihat Kak Dylan beberapa kali, lewat foto, ada lumayan banyak foto-foto Kak Dylan selama berkegiatan mengajar di kamera Aleon. Lelaki yang selalu telihat lebih menonjol di antara kumpulan orang-orang di dalam foto, mata siapapun akan dengan mudah mengarah pada Kak Dylan tanpa ia perlu berpose keren, ternyata aslinya juga begitu. Ada banyak orang-orang yang duduk bersantai di kursi panjang dekat air mancur di depan gedung kesenian, menikmati udara malam, tapi Kak Dylan sangat mudah untuk ditemukan walau dia sedang menunduk fokus mengecek ulang lembaran proposal yang nanti akan diberikan pada Kak Farras, kemeja biru denimnya membuat kulit putih Kak Dylan menyilau dua kali lipat walau hari sudah gelap.

Dia melambaikan tangan begitu Atha memanggil dari kejauhan, dia juga tersenyum, memunculkan dua lesung pipitnya yang sama-sama menyapa kami.

Setelah bertukar sapa, aku dan Kak Dylan saling berterima kasih lalu berkenalan singkat, kami langsung masuk ke dalam gedung, menyambung percakapan di sepanjang langkah sekaligus aku menjelaskan ulang planning-ku pada Kak Dylan karena curiga banyak kalimat yang dilebih-lebihkan di versi Atha. Kami bertiga telah membuat janji dengan Kak Farras di sini, gedung kesenian maheswara.

Suasana gedung ini terasa sama sunyinya seperti kali kedua aku mengunjunginya, entah sunyi karena sedang tidak ada pertunjukan atau karena sisa kenangan Aleon pada gedung ini sekarang ikut berpindah kepadaku.

Di depan pintu auditorium satu, seorang wanita berambut panjang bergelombang telah menunggu kedatangan kami dengan menyuguhkan senyum sempurnanya yang begitu cantik. Aroma parfum Kak Farras bahkan bisa kucium dari jarak 5 langkah, aku tidak terlalu bisa mendeskripsikan wangi seseorang, tapi sepertinya aku mencium wangi green pear dengan perpaduan manis bunga jasmine? Dia cantik. Aku rasa dia bisa kujodohkan dengan Kak Dylan kalau saja dia tidak punya pacar.

“Halo!” sapanya. Suaranya lembut sekali, benar-benar cocok dengan parasnya yang anggun.

Kami saling berjabat tangan. Setelah memperkenalkan Atha, aku memperkenalkan Kak Dylan.

“Kak Farras, ini Kak Dylan, ketua pelaksana dari organisasi rumah cemara yang mau kolaborasi projek bareng sanggar maheswara.” Lalu lelaki itu membungkuk sopan.

“Ah, it such an honor bisa langsung ketemu Dylan! Ayo, kita ngobrol di dalem,” ajaknya seraya berjalan masuk.

Auditorium ini lebih besar dari ruang kedua yang kemarin aku dan Aleon kunjungi, secara interior susunannya tidak jauh berbeda, hanya saja jumlah kursinya lebih banyak dan panggungnya lebih besar, di atas sana tidak hanya ada satu piano tapi juga 2 buah cello dan 1 harpa. Kesan hangat dari cahaya-cahaya lampu keemasan membuat ruang ini lebih terlihat sebagai panggung pementasan klasik.

Selagi Kak Farras dan Kak Dylan berjalan di depan kami—sepertinya sudah mulai membicarakan projek rumah cemara, Atha berbisik kepadaku.

“Jan, are you sure?”

Why?”

Atha memiringkan kepala, “Oke juga lo gue liat-liat jadi pencetus ide projekan orang, projek gede lagi.” Lalu dia menoyor kepalaku.

Aku menoyor balik. “Ya, karena gue butuh bantuan mereka juga sih. Gue nggak mampulah handle acara-acara begini sendirian, ditambah nyewa auditorium, belum anak drama, orchestra? Masa tunggu gue punya pabrik kue dulu. Kecuali kita adiknya ci Valen.”

“Ci Valen?” Atha menyatukan alis. Kami masih berbisik-bisik.

“Valencia Tanoesoedibjo.”

“Akrab lu ci valen ci valen.” Aku ditoyor lagi. “Baiklah, aku mendukung keculasanmu.”

“Heh?! Itu tuh simbiosis mutualisme tau.” Terakhir, aku membalas dengan menyentil jakunnya.

Kak Farras mengajak kami untuk duduk ke barisan kursi paling depan,. Perempuan itu duduk di antara aku dan Kak Dylan, lalu Atha yang hari ini akan berperan sebagai kambing conge duduk di sebelahku.

“Aku udah dapet sedikit bayangan dari projeknya Dylan,” Kak Farras memimpin obrolan, dia telah membolak-balik lembaran proposal milik Kak Dylan. “Sebenernya ada info nyelip yang belum aku ceritain nih Jan kemarin. Timeline projek rumah cemara itu hitungannya bareng sama projek rutinan sanggar maheswara.”

Aku memasang telinga, seluruh pandanganku hanya berfokus pada Kak Farras.

“Sanggar maheswara punya acara rutinan?” tanya Kak Dylan.

Kak Farras mengangguk seraya tersenyum. “Di kuartal kedua dan keempat tiap tahunnya, sanggar maheswara selalu menyelenggarakan pementasan gratis untuk umum, kuotanya memang nggak banyak sih, biasanya paling banyak pun 100 kursi. Jadi pendaftarannya rebutan gitu, formnya cuma di-share di akun sosial media punya sanggar. Semacam limited invitation untuk temen-temen yang ngikutin acara-acara sanggar. Makanya waktu aku denger-denger sedikit info dari Anjani tentang rumah cemara, aku rasa ini bisa diajak diskusi lebih lanjut.”

“Oh, kayaknya aku pernah tau.” Atha tiba-tiba merespons, kami bertiga menoleh.

“Kamu pernah nonton, Tha?” tanya Kak Farras antusias. Sungguh, pembawaan wanita itu benar-benar sangat menyenangkan.

Atha menggeleng. “Ada temen aku, kalau nggak salah akhir tahun lalu mau nonton violin concer gratis, dapetin undangannya rebutan. Apa jangan-jangan maksudnya itu acara punya sanggar maheswara, ya?”

“Iya! Di kuartal 4 tahun kemarin sanggar maheswara nampilin pementasan biola.”

Violin concert? Serius?” sambungku. “Yah, sayang banget aku gak pernah tau.”

“Nggak selalu konser biola.” Kak Farras menjawab lagi. “Pentasnya beda-beda. Makanya untuk temen-temen maheswara, kita nyebut mereka yang ikutin sanggar maheswara sebagai temen-temen by the way, kenapa acara ini selalu ditunggu-tunggu salah satunya karena isi pentasnya selalu surprise. Bisa konser musik instrumental, choir, musical drama, dan lain-lain!”

“Kereeen, baik banget sanggar maheswara mau kasih pementasan seni secara cuma-cuma tiap tahun. Yang kita tau kan harga tiket acara simfoni gitu gak murah.” Kak Dylan membalas, lesing pipitnya pasti ikut muncul saat dia berbicara.

“Memang itu alasan eyang mengambil hak milik gedung kesenian ini. Beliau pengen kalau suatu saat punya aula sendiri, bisa tampilin pementasan yang bisa ditonton secara gratis.” Kata Kak Farras. “Menurut eyang, semua orang perlu menikmati pertunjukan seni setidaknya sekali seumur hidup. Gemaan musik orchestra yang didengar di dalam aula itu nggak akan bisa ditemui di manapun, orang-orang bisa menemukan dunia baru di dalam sana.”

Perihal dunia baru yang ditemukan, Ibu Malinka juga ingin menciptakan ruang aman lewat musik. Dia berharap senandung melodi yang dimainkan dapat memandu jiwa-jiwa lelah untuk beristirahat sejenak sebelum kembali mencari asa yang hilang.

“Nah, setelah tau tentang charity project rumah cemara, lalu secara timeline juga kita barengan, aku jadi kepikiran ide.” Sekarang wanita di sebelahku menoleh pada Kak Dylan. “Dylan, gimana kalau projek kalian tahun ini kolaborasi bareng sanggar maheswara? Nanti, 100% dana yang kita dapetin dari projek ini, entah dari tiket masuk atau lainnya, kita sumbangkan ke pihak-pihak yang membutuhkan. Gimana?”

Mendengar itu, Kak Dylan tersenyum semringah seakan satu beban pikirannya terselesaikan. “Ide bagus. Super duper setuju,” sahutnya.

Dan aku yang dari tadi menyimak obrolan mereka, diam-diam menarik senyumku yang bahkan bisa jauh lebih lebar dari dua orang pemilik projek itu sendiri, Atha juga menyenggol pelan lenganku sebagai maksud kalau aku berhasil. Angan-angan selewat yang tidak tahu kenapa bisa terlibat di dalam kepalaku tiba-tiba akan benar direalisasikan dengan bantuan beberapa pihak. Mungkin bisa dibilang privilege, but I’m grateful to have the privilege, lewat orang-orang dan lingkungan yang ditinggali Mas Khai juga manusia-manusia keren di sekelilingku.

Aku berharap, projek ini tidak hanya memberi kenangan baru untuk Aleon, tapi juga sebagai bentuk dukungan kecil kami yang bisa diterimanya dalam proses berdamai pada suatu hal yang perlu diikhlaskan.

“Kalau gitu ini proposalnya aku ajuin dulu ke tim ya, nanti pasti aku bantu jelasin ulang biar di-acc!” ucap Kak Farras setelah menerima satu map dari Kak Dylan. “Nanti semisal udah dapet kabar dan disetujui sama pihak sanggar, aku kabarin lagi untuk meeting lanjutan. Kira-kira mau langsung ke Dylan aja atau gimana, Jani?”

Pertanyaan itu memecah lamunanku. “Langsung ke Kak Dylan aja kak, role-ku udah selesai sampe sini aja kok, hahaha.”

“Anjani, Atha, makasih banyak ya.” Sambil tertawa kecil juga, Kak Farras menjabat tangan kami berdua. “Aku tuh sempet kaget waktu Izza bilang ada temennya yang mau ngobrol penting sama aku, bingung, kok bisa tiba-tiba mau ngobrol padahal aku belum pernah kenalan langsung sama temen-temennya yang di Dubai. Eh, ternyata mau ngenalin kamu, yang katanya abis stalking instagramku,” sambungnya sambil sedikit menggodaku dengan sunggingan bibir.

Aku hanya bisa tertawa… karir. “Hehehehehehehehehehehe iya hehehehe.” Malu.

“Khai udah pulang ke Indonesia?”

“Belum, katanya masih ada yang perlu diurus, mungkin paling lama bulan depan.”

Looking forward to hearing good news from you soon, Kak Farras, makasih banyak.” Kata Kak Dylan sembari berjabat tangan. Setelahnya, Kak Dylan juga ikut berterima kasih padaku.

Di sinilah aku mendapat celah untuk membicarakan rencana pribadi yang kutahan-tahan dari tadi karena menunggu keputusan terlebih dulu.

“Kak Farras, Kak Dylan,” panggilku. Tatapan mata dari keduanya membuatku menjeda kalimat, memilah ulang lagi kata-kata yang ingin kusuarakan sambil berdeham. “Sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan paling semangat atau mengatur acara kalian, tapi, boleh nggak kalau aku kasih saran untuk projek acaranya? You guys can take it or leave it, kok…” Aku sedikit merasa tidak enak.

Mungkin Kak Farras merasakan kegugupanku, karena tiba-tiba dia langsung merangkul sebagai ucapan ya. Sama halnya dengan Kak Dylan yang juga membolehkan. “Silakan, Jan, gak usah sungkan, kan kamu juga yang jadi pencetus ide dari awal.” Katanya ramah.

Walau respons keduanya sangat amat baik, tapi tetap saja aku perlu menggenggam jari kelingking Atha sebelum berbicara. Ini sudah jadi kebiasaanku sejak kecil, kalau aku gugup dan ketakutan lalu ada Atha di sebelahku, aku akan menggenggam apapun yang bisa kugenggam darinya, kadang ujung baju atau salah satu jarinya.

“Tentang Leon,” kataku, “aku kemarin udah sempet cerita sedikit ke Kak Farras, Kak Dylan juga mungkin udah denger cerita yang sama dari Atha tentang Leon dan gedung kesenian maheswara. Kalau boleh aku kasih saran, gimana kalau buat projeknya bikin musical drama? Aku punya satu judul cerita yang kita tulis bareng-bareng, Leon gak tau apa-apa tentang rencana ini, but this story has meaning for us, sekiranya setuju, boleh gak kalau aku ajuin ceritanya untuk dijadikan pentas? Aku udah bawa salinan outline-nya barangkali mau Kak Farras atau Kak Dylan review.”

Walau sedang membelakanginya, tapi aku bisa merasakan tatap penuh pertanyaan dari Atha lewat ekor mataku, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang rencanaku yang ini dan tentang akun eyesdontread.

Sebetulnya pun aku agak merasa bersalah untuk membeberkan cerita yang kami tulis secepat ini tanpa sepengetahuan Aleon, tapi rasanya akan sangat merumitkan kalau terlalu banyak rahasia di antara aku dan orang-orang yang terlibat dalam projek ini, sedikitnya mereka perlu tahu. Untuk sebagian cerita lain, tetap aku berikan hak penuh pada Aleon, sang pemilik kisah, untuk membagikannya ke orang-orang jika sudah siap.

Wanita itu mengangguk. “Boleh aku liat?” pinta Kak Farras. Tanpa basi-basi aku segera mengeluarkan salinan outline yang sudah aku cetak dari dalam tas, aku juga sudah menambahkan makna tersirat dari kisah Sabiru dan Baruna agar lebih mudah dipahami. Lalu mereka berdua membacanya bergantian.

Selang beberapa saat aku hanya melihat Kak Dylan sesekali mengangguk, dia sempat memuji kalau kisah yang kami tulis sangat menarik, namun untuk urusan pementasan ia akan serahkan sepenuhnya pada sanggar maheswara. Jadi yang harus kutunggu sekarang adalah jawaban Kak Farras. Reaksi wajah seriusnya yang daritadi tidak berubah membuat jantungku berdegup cepat.

Lagi-lagi Atha menginterupsi, “Cerita apa? Kok gue gak tau?” Atha bertanya dengan berbisik-bisik lagi.

“Nanti aja.” Aku mengibaskan tangan.

“Nulisnya di mana? Kok gue gak tau? Thread cerita horror yang suka dibaca Leon itu? Punya lo berdua?”

“Ssssh, nanti aja.”

“Kok gue gak tau?” Masih bawel.

“Ya karena gue gak ngasih tau!”

“Gitu!” Atha melepaskan pegangan tanganku pada kelingkingnya, ngambek, namun aku segera mengambil kelingkingnya lagi.

“Ini serius kalian yang buat?” Pertanyaan Kak Farras berhasil melerai sesi berbisik kami.

Aku mengangguk.

“Wow, unik banget, aku pribadi suka. Sanggar maheswara belum pernah nih kasih pementasan dengan tema dongeng kayak gini. This feels like a fairytale, brilliant, penulisan outline-nya juga rapi lagi. Oke, outline kamu juga bisa aku ajuin ke tim, tapi sebelumnya aku nggak bisa sepenuhnya memastikan ya Jani, tapi aku pasti akan mengusahakan semuanya sebisaku, no worries. Kalau dari Dylan, gimana?” Sekarang wanita itu menoleh pada Kak Dylan.

“Aku suka jalan ceritanya.” Lelaki itu mengacungkan ibu jari padaku, aku menunduk malu seraya menggumam kata terima kasih. “Untuk bagian pertunjukan aku serahin ke sanggar maheswara.”

“Oke kalau gitu, dua ide ini fixed aku bantu ajuin ya, paling lama aku kasih kabar ke Dylan dua minggu lagi. Ada tambahan lagi gak?”

Kami semua menggeleng, termasuk Atha yang dari tadi banyak diam namun banyak menyimak.

“Oh, Kak Dylan!” Ada satu hal yang terlupakan.

Pandangannya mengarah padaku.

“Semisal projek ini jadi berjalan, boleh rahasiain keterlibatanku sampe hari H nggak? Leon jangan tau dulu, termasuk cerita apa yang mau dipentasin. Kira-kira bisa gak ya, Kak Farras?” Aku juga meminta saran dari Kak Farras.

“Buat urusan itu bisa kok menurut aku. Soalnya kita kan kolaborasi, bagian pementasan akan sepenuhnya di-handle sama sanggar, jadi kalau anggota rumah cemara gak tau detail sampai ke alur dramanya pun gak akan jadi masalah, yang penting rundown keseluruhan acaranya aja. Tinggal sekadar bilang drama musikal tentang anak yang mencari kebebasan, udah cukup.” Sarannya ditutup dengan suara tawa.

Belum sempat menyahut, Kak Dylan lebih dulu melanjut. “Bener. Aman, ini nanti kita buat plan bareng anak-anak yang lain aja, Jan, di belakang. Eh, tapi ini anggota lain boleh tau nggak kalau kamu terlibat?”

“Gakpapa dikasih tau, justru biar lebih enak kucing-kucingannya, banyak yang bantu.” Jawabku disambi tawa. “ Cuma kalau masalah cerita Sabiru, nanti aja dikasih taunya seiring berjalan. Aku minta tolong bantuannya untuk make sure kalau anggota lain gak akan bocorin ke Leon ya Kak Dylan.”

“Gampang, ini gue juga bakal bantu urus. Gue boleh join bantu-bantu juga kan Kak Dy?” ujar Atha tiba-tiba.

Kak Dylan terkekeh, mengangguk-angguk. “Lebih banyak yang bantu, lebih bagus. Setau aku kamu juga kenal sama beberapa anggota kan, Jan? Circle-annya Leon.” Dia menoleh padaku lagi.

“Iya, kenal.”

“Nanti aku kabarin mereka-mereka duluan, supaya kucing-kucingannya lebih gampang.” Kak Dylan meniru ucapanku sambil terkekeh.

Aku menyetujui. Kak Farras yang ikut menyimak pun mengangguk-angguk.

“Eh iya, hampir lupa!” Baru dua detik obrolanku dan Kak Dylan berhenti, Kak Farras sudah melanjut lagi. “Jan, ini ceritanya belum ada judul ya? Atau kamu kelupaan tulis judulnya?” tanyanya.

Benar, aku dan Aleon memang belum menemukan judul yang cocok untuk kisah Sabiru dan Baruna. Tapi saat ini rasanya aku seperti mendapat dorongan untuk mengucapkan satu judul dengan pasti. Satu nama yang muncul secara otomatis saat itu juga.

“A Tale of Cerulean Sky.” Kataku yakin.

Pertemuan kami malam ini diakhiri dengan ucap terima kasih yang seperti tidak ada habisnya. Malam ini, gedung kesenian maheswara menunjukanku akan hal-hal penuh syukur. Rencana Tuhan tidak pernah bisa ditebak, orang-orang pemberian-Nya tidak dapat ditebak. Namun yang selalu bisa dipastikan adalah Tuhan tidak pernah mempertemukan hamba-hambanya tanpa alasan. Kita semua bertemu untuk saling memberi dan mengajarkan sesuatu.

Obrolan selesai.


Dokter bilang, harusnya aku menyadari tanda-tandanya dari awal. Sebenarnya sangat sulit membedakan tahapan awal penyakit ini, karena apa-apa yang aku lupakan itu seperti hal yang biasa, setiap orang juga sering melupakan sesuatu kan? Kata dokter, harusnya ada orang yang menemaniku, maksudnya benar-benar tau akan prediksi kesehatanku. Ale tidak tau apa-apa, dia tidak tau kalau sakit yang diderita ibuku bisa bersifat turunan apalagi menyerang di usia muda. Yang mungkin bisa diandalkan cuma adikku, tapi Shelly tidak ada di sini, aku juga tidak berani cerita padanya karena sebenarnya aku takut kalau penyakitnya terdiagnosa, aku yakin hampir semuanya begitu, takut kalau tau ternyata ada yang salah dengan kesehatannya. Sekarang sudah terlambat, sangat terlambat.

Satu-satunya lagi orang yang tau dan sudah mempersiapkan matang-matang apa saja yang harus diurus kalau kondisi ini benar-benar terjadi padaku hanya suamiku Jusuf. Tapi Jusuf sudah meninggal, Jusuf jatuh dari ketinggian 6 lantai waktu memantau proyek pembangunan.

Aku sudah sering melihat kondisi para penderita Alzheimer di panti demensia, aku juga memainkan musik untuk mereka di sana. Rata-rata, pasien di sana sudah berada di tahapan parah, mereka tidak mengenali orang-orang di sekitar, keluarga, tidak mengenal diri sendiri, atau dia ingat punya seorang adik tapi tidak dapat mengenali wajah adiknya. Pandangan mereka semua tampak kosong, seperti meninggali tubuh yang sebenarnya sudah tidak memiliki nyawa. Setiap pulang dari sana, aku memikirkan Ale. Kalau suatu hari aku harus menjadi bagian dari panti itu, Ale bagaimana? Ale sama siapa? Jusuf sudah meninggal, dan yang terjadi padaku akan lebih dari sekadar kematian bagi Ale.

Ale sangat dekat dengan kami, dia jarang menerima ajakan main teman-temannya di hari minggu karena lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama kami. Sekarang hanya denganku. Aku masih ingat, aku masih bisa menceritakan apa yang kuingat di lembar-lembar selanjutnya karena semua sudah aku tulis rapi di buku ini, termasuk semua kegiatanku bersama Ale. Setiap hari aku baca, dan aku ingat-ingat lagi walau sebenarnya semakin terasa sulit mengingat tiap detailnya, sulit mengingat bagaimana suara tawa Ale dan Jusuf di hari-hari bahagia kami.

Buku harian ini mengenang memoriku jauh lebih baik dari kepalaku. Jadi kalau tidak bisa berharap ingatanku tidak hilang, aku harap buku harian ini yang jangan hilang. Supaya suatu hari nanti, jika ditemukan, Ale tau seberapa sayangnya aku dengan dia, seberapa khawatirnya aku dengan dia.

Untuk Aleon, Kalau suatu hari kamu menemukan buku ini dan ingatan ibu sudah semakin memburuk, ibu minta tolong agar kamu tetap mengingat ibu sebagai orang yang sama. Sebagai Malinka yang sama. Ibumu. Dari Malinka di hari ini, aku mewakili Malinka di masa depan untuk meminta maaf karena (mungkin) sudah melupakan kamu sebagai Aleon Loka Arsyanendra, anak kesayangan ibu. Ale, rasa sayang ibu tidak pernah berubah, semuanya masih di sini, dan selalu di sini. Ibu akan tetap menyayangi kamu sebagai Aleon Loka Arsyanendra walau Malinka di masa depan (mungkin) sudah tidak mengenali siapa nama itu. Aku akan selamanya menjadi ibumu, sampai kapanpun.


Belokan terakhir dari jalan arteri membawa keduanya menuju kawasan tinggal yang semakin tenang. Para pejalan kaki menyelusur di bawah pohon-pohon flamboyan merah layaknya pemeran utama yang berlenggok pada sorot cahaya jingga. Dua orang di atas motor tidak sedang saling bercakap, masing-masing pandangnya menjelajah menyusuri hal-hal kecil yang layak disyukuri: mekarnya bunga flamboyan, tujuh warna pelangi, dan obrolan burung-burung kecil.

Ada banyak cara untuk melahirkan sebuah memori, salah satunya dengan membiarkan suatu tempat merekam sejumlah kejadian berharga. Tersusun dan terawat sampai akhirnya tersadari kalau hari-hari itu tidak dapat diulang lagi.

Itu yang dirasakan Aleon pada Gedung Kesenian Maheswara, walau hari telah berlalu panjang, tapi kenangan di dalamnya selalu otomatis terbuka setiap kali diri berpijak.

“Ya ampun, tempat ini? Waktu SMA aku pernah nonton event dari asosiasi Korea gitu di sini!” seru Anjani begitu turun dari motor. “Semacam pentas tentang perayaan chusoek, terus yang tampilnya orang-orang Korea Selatan asli.”

Gedung kesenian ini ada di pojok kota, di belakang air mancur yang pancurannya membentuk lingkaran cincin raksasa. Setiap sore, lampu-lampunya akan menyala, memancarkan cahaya keemasan yang menyinari air mancur. Luas bangunannya tidak terlalu besar, hanya memiliki dua auditorium sedang yang masing-masing berkapasitas tidak lebih dari 100 orang.

“Oh ya? Seru dong?” Aleon merespons sama antusiasnya.

Mereka jalan berdampingan, melewati dua pilar bangunan di pintu masuk utama.

“Seru! Udahnya penonton dibolehin naik panggung buat foto sama pelakonnya. Terus udahnya aku sok iye gitu ngomong, sugohaesseoyo! Eh mereka langsung yang woah, jaraesseoyo jaraesseoyo! Lucu, pada humble banget, nggak tau aja itu aku nyontek kamus dulu, aku kan pas itu cuma tau annyeong.” Katanya sembari tertawa-tawa.

“Giliran sekarang liat yang lucu dikit langsung aaaa, kiyowo!” Kedua tangan Aleon mengepal sambil mimik wajahnya menduplikat ekspresi Anjani setiap bereaksi begitu.

“Idiiiih apaan,” Anjani menonjok pelan bahu Aleon, matanya memicing. “By the way, ini tempat favoritnya ibu?”

“Bukan tempatnya sih, tapi memori yang ibu buat di sini bareng anak-anak panti asuhan yang sampai hari ini masih jadi salah satu bagian favoritku tentang ibu.”

Anjani mengikuti ke mana Aleon melangkah tanpa banyak bertanya. Punggung yang ia tatap dari belakang itu rasanya sudah cukup banyak membeberkan besar rasa rindunya terhadap gedung ini. Perempuan itu memperhatikan dari belakang, bagaimana mata Aleon menjelajahi seluk beluk gedung kesenian seolah mencari ulang sesuatu yang sudah tak dapat lagi ditemukan.

“Kamu nggak nyuruh aku joget di atas panggung terus kamu rekam dan videonya dimasukin youtube dengan clickbait Viral! Seorang perempuan menari seperti lumba-lumba, kan?” Begitu memasuki auditorium penuh kursi kosong Anjani menunjuk Aleon dengan ekspresi waspada. Bergurau.

Aleon menoleh kaget. “Kenapa sih tuduhan curiganya suka di luar nalar?”

Lalu tertawa.

Syukurlah dia tertawa. Aku tahu, jiwanya sudah masuk terlalu dalam ke dalam gedung ini sejak pertama kami tiba. Matanya mengucapkan lebih banyak kata rindu dibanding bibirnya.

“Untuk memaknai suatu hal memang harus banyak merasakan. Tapi terlalu banyak merasakan juga gak baik, bisa menguras energi. Hari ini kayaknya kamu udah terlalu banyak merasakan,” lanjut Anjani seakan tahu pasti situasi di dalam kepala Aleon. “Kalau capek, kenangan manisnya malah bisa jadi racun buat isi kepala kamu. Sampai sini dulu, besok baru dirasain lagi.”

Mendengar itu, Aleon hanya mengusak lembut rambut Anjani, seraya memperlihatkan senyumnya yang membungah bangga.

Karena luasnya tidak terlalu besar, penyusunan kursi penonton dibuat berundak ke belakang, semakin belakang semakin tinggi sehingga penonton di ujung masih dapat melihat panggung tanpa terhalang kepala-kepala penonton di depan.

Mereka berdua pergi menuju kursi di barisan tengah.

Satu bulan berlalu sejak malam tahun baru, rasanya rute kehidupan belum juga dapat ditentukan. Dibanding berlomba mencari tujuan, orang-orang lebih terlihat tengah bersaing untuk bertahan hidup, terserah mau dibawa ke mana yang penting tahun ini tidak mati dibunuh kehidupan.

“Aku masih bisa ngeliat ada ibu main cello di samping piano.” Aleon menunjuk sebuah piano berwarna putih di pojok kanan panggung.

“Eh? Keren banget ibu kamu pernah pentas di sini! Jangan-jangan ibu anggota sanggar maheswara ya?” Intonasi suaranya meninggi, perempuan itu merespons takjub.

Seperti yang banyak orang tahu, bukan rahasia lagi kalau sebagian besar pelakon di televisi adalah jebolan dari sanggar maheswara, atau bermacam acara terhormat yang rata-rata penyambutannya diisi oleh para pemusik dari sana.

“Hahaha nggak. Ibu bikin acara buat anak-anak panti sebelum gedung kesenian ini dihak milik sama sanggar maheswara, waktu izin sewanya masih gampang.”

“Oalah, ya tapi tetep aja keren! Ibu kamu bisa jenius banget sampai kepikir untuk sewa auditorium buat main musik untuk anak panti.”

Hatinya selalu otomatis menghangat saat melihat respons antusias orang ketika mendengar cerita tentang ibunya. Apapun yang berhubungan dengan Malinka, Aleon akan senang menceritakan berbagai hal menyenangkan tentang sang ibu, terutama pada Anjani, dia ingin Anjani mengenal Malinka seutuhnya.

“Gak cuma main musik sendiri, ibu juga ngundang salah satu klub paduan suara sama anak-anak teater, jadi acaranya semacam drama musikal gitulah, anak-anak panti juga yang ikut main peran.”

Silap mata Anjani memancarkan gemilang kekaguman pada sosok Malinka.

“Menurut ibu, dia hanya bisa kasih ruang aman lewat musik. She would do anything for music,” sambung Aleon. Kalungan kamera di lehernya ia arahkan pada panggung kosong, lalu memotretnya seakan-akan Malinka ada di sana.

“Gak heran kenapa ada jutaan emosi yang dititipkan ke dalam suatu karya seni, karena seni gak punya batasan.”

Aleon menoleh pada Anjani untuk memperlihatkan anggukan setuju, setelah itu kembali mengotak-atik kameranya.

Suara air mancur yang terdengar dari luar gedung kesenian membawa Anjani untuk menggeser tubuhnya lebih dekat dan menyandarkan kepalanya pada bahu Aleon, ikut melihat potret pojok auditorium yang hari ini banyak diambil.

Tidak mau lama-lama menciptakan keheningan, Anjani tiba-tiba berbicara. “Leon, kalau ruang aman kamu, di mana?”

Dehaman terdengar dari mulut lelaki itu. “Orang-orang di sekeliling. Ibu, Tante Shelly, Hira, adik-adik asuh, temen-temen lansia, sekarang nambah kamu.”

Anjani mengangguk-angguk, terkekeh. “Oookey… Tapi, kalau tempat lain buat menitipkan perasaan dan emosi kamu lebih bebas, di mana?”

“Kalau hanya mereka, gimana?” kata Aleon. Kedua bahunya menaik, sama-sama terkekeh juga.

“Yaa nggakpapa sih, tapi sepengalamanku, sekalinya orang yang aku andalkan pergi, aku langsung merasa kosong.” Dia menghela napas. “People come and go. Kecuali kalau kamu memang udah menyiapkan diri dari awal buat menghadapi kehilangan yang gak bisa diprediksi. Aku gak pernah menyiapkan diri dari awal, makanya sekalinya papi sama mami gak ada, aku kacau.”

Yang diajak berbicara menganggut. “Dasarnya emang manusia sering terlalu percaya diri bakal hidup saling berdampingan dalam waktu yang lama, menolak paham sama konsep ‘go’. Padahal pergi sendiri konteksnya luas, gak harus putus hubungan. Bisa diambil dari dunia atau ya… kayak ibu. Itu yang menakutkan, gak bisa diprediksi.”

“Perlu waktu yang panjang buat menerima konsep people come and go. Kalau sekarang masih belum bisa, gakpapa Leon, yang penting belajar buat gak menolak paham aja dulu, selebihnya kan kita bisa belajar sama-sama. Life is too hard to learn alone.

“Kamu nggak lupa kan kalau aku pernah menawarkan kamu untuk ikut melanjutkan kisahnya Sabiru dan Baruna?” Masih menyender, Anjani juga melingkarkan tangan pada lengan Aleon, melempar pertanyaan dengan deham kelembutan. “Ciptain ruang aman kamu di situ, bareng aku,” ajak Anjani.

Selain menolak konsep ‘pergi’, banyak juga manusia yang lupa kalau tidak selamanya situasi hanya bisa dihadapi seorang diri. Terkadang kita lupa, kalau mengeluh saja tidak cukup. Beberapa situasi memang cukup dikeluhkan saja setelah itu diurus lagi sendiri, tapi di lain situasi, manusia butuh mengeluh, juga ditolong.

Lewat kalimat-kalimat Anjani yang membuat Aleon termenung dalam hitungan detik, hanya melempar pandang kosong pada potret-potret di monitor kameranya yang dari tadi sudah ia ulang berkali-kali, jelas tidak mungkin kalau dirinya langsung tersadarkan, untuk sembuh itu memerlukan proses panjang. Tapi dari Anjani, Aleon belajar kalau semburat harapan pasti terbit di waktu yang tepat.

Sejak sekian lama, Anjani berhasil membuat Aleon kembali merasakan bagaimana rasanya didengar lagi. Dari Anjani, dia menemukan harapan untuk belajar mengikhlaskan, menerima, dan pulih bersama-sama. Anjani sudah belajar banyak, sekarang sudah waktunya Aleon juga mencoba.

“Kok diem? Salah ngomong ya aku?” Perempuan itu bertanya khawatir.

Aleon yang dari tadi menunduk kini mengangkat wajahnya. Tanpa menjawab lebih dulu, dia mengecup kening Anjani sebagai ungkapan rasa syukur yang tidak akan cukup terwakili jika diucap lewat kata.

“Kalau dengan mengikhlaskan salah satu yang pergi lalu digantinya sama kamu, I will open the widest door to let you in, Jani,” jawab Aleon.

People come and go. Then she came.

Sekali lagi, gedung kesenian maheswara tidak sekadar menciptakan kenangan bagi Aleon, tapi juga menerbitkan harapan.

Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Anjani berjalan menuruni undakan tangga sambil matanya mengarah intens pada panggung kosong dan satu piano putih yang daritadi menontoni mereka. Entah mengapa dia meyakini dengan serius, kalau suatu hari nanti tempat ini akan kembali melahirkan memori baru. Tidak hanya untuk Aleon, tapi juga dirinya.


Bagi Anjani, dunianya sudah berhenti di tahun 2018. Ketika orang-orang berbondong memenuhi jalanan untuk menyambut hari pergantian tahun, menggunakan baju pesta, wig warna warni dan menembakan doa beserta harapan melalui mercon yang pecah di langit, Anjani hanya ingin ledakan yang dilihat dari balik jendelanya justru menjadi satu-satunya ledakan yang akan mengakhiri tahun, seluruh tahun.

Halaman belakang rumah Shelly sudah diisi oleh dua jejeran alat panggang, hawa panas dari bakaran arang di bawahnya mampu menjangkau jarak beberapa meter dan menghangatkan tiap pasang jiwa di sana. Tidak pernah terpikir kalau Anjani akan ikut berpartisipasi dalam perayaan tahun baru yang tidak pernah ia harapkan, sebab luka dan kesedihannya masih mengikat walau dunianya telah terlihat membaik.

Beberapa jam sebelum tahun berganti perempuan itu kembali melamun menatap langit, memisahkan diri dari Aleon dan keluarga Shelly.

“Jani, lagi nungguin pesawat lewat?” Aleon datang memecah lamunannya tiba-tiba.

“Enggak lagi nunggu apa-apa. Kenapa? Tante Shelly nyariin aku?”

“Aku yang nyariin.”

“Ya elaaah!” decaknya, tapi tidak berani menatap mata Aleon, khawatir upaya pura-pura kerennya runtuh. “Oh iya,” sambungnya lagi. “Barusan aku kirim kabar ke Kanisha sama Rein, mereka shock liat aku tahun baruan di luar hahaha, abis itu ngedumal gara-gara aku rayainnya bareng kamu, gak sama mereka padahal mereka lagi pulang.”

Aleon ikut tertawa untuk menghargai Anjani yang juga tertawa, lelaki itu selalu begitu. Showing the same emotions that his girl feels is his personality. “Kamu deket banget ya sama mereka?”

Seraya berjalan beriringan menuju kursi teras di sisi lain halaman, Anjani menjawab. “Gak mungkin kalau gak deket, temenku memang cuma Rein sama Kanisha.”

Keduanya telah duduk, giliran Aleon yang membalas. “Masa?! Nggak percaya banget temen kamu dua doang!” Intonasi suaranya meninggi menyeimbangi besaran bola matanya.

“Yeee maksudnya, temen yang beneran temen. Kalau sekedar status aja, ya banyak, tapi kan gak semua temen bener-bener punya ikatan. Dulu mami pernah bilang, jangan kaget kalau kamu punya beberapa teman yang gak sepenuhnya menganggap kehadiran kamu, karena saling kenal bukan berarti saling mengikat. Kategori teman yang seperti itu cukup dijadikan teman sekadarnya, gak perlu takut ditinggal tapi gak perlu ‘dibuang’ juga, toh, we still need them untuk teman main. Yang benar-benar terhubung dengan kamu, itu yang harus kamu jaga dan khawatiri kalau pergi.”

Sebelum melanjutkan kalimatnya, perempuan berjaket beludru biru itu menatap mata Aleon sebentar, hanya sebentar dan tak lebih dari 10 detik. Itu adalah sepuluh detik paling panjang yang membuat Anjani yakin untuk kembali mencintai tahun-tahun yang akan datang. Asal bersamanya, Aleon Loka Arsyanendra.

Seperti tahu kalau Anjani masih ingin berbicara, maka Aleon hanya merespons ucapannya dengan senyum dan anggukan pelan sebagai tanda mempersilakan jika Anjani bisa berbicara sebanyak apa yang ia mau, dan dia akan mendengarkan karena ia akan selalu mau.

Yang perlu dikhawatiri kalau mereka pergi. Mungkin itu juga yang jadi alasan kenapa temenku cuma mereka. Sejak papi sama mami pergi, aku jadi takut untuk menyayangi banyak orang karena takut ditinggal dengan tiba-tiba, lagi.” Kata Anjani.

“Justru karena kita gak tau kapan seseorang akan pergi, jadi jangan takut untuk menyayangi orang-orang yang kehadirannya masih ada di samping kamu.” Aleon menyelipkan helaian rambut Anjani ke belakang telinganya. “Gak perlu khawatir, kita memang terlahir untuk mengkhawatirkan banyak hal kok,” lalu ditutup oleh sesimpul senyuman.

Aroma lelehan butter di atas jagung bakar sudah sampai pada indra penciuman. Malam semakin larut, namun langitnya semakin terang faktor luncuran roket-roket yang dilepaskan sebelum jamnya. Sesekali Aleon melirik ke balik dinding pembatas antara tempat keduanya sekarang dan area di mana Shelly menyiapkan pesta tahun baru, jaga-jaga tantenya mencari atau membutuhkan bantuan. Tapi begitu matanya berpapasan pada Shelly, wanita itu malah mengedipkan sebelah mata sembari mengibaskan tangan dengan maksud, ‘sudah sana, gakpapa kalau mau pacaran!’.

“Kamu sendiri, apa hal paling banyak yang kamu khawatiri di tahun ini?” Perempuan itu sangat aktif berbicara malam ini.

“Cuma ibu,” jawabnya singkat. Dua kata yang mampu mewakili seluruh ketakutan dalam hidup Aleon. “Aku tau memori ibu gak akan kembali, jadi setiap harinya, aku hanya berdoa semoga aku bisa berhenti jadi manusia denial dan ikhlas pada alur kehidupan yang udah dikasih Tuhan untuk aku dan ibu.”

Beberapa hari lalu sejak ikatannya dengan Malinka sebagai ibu dan anak terkuak, Anjani sempat bertanya, sebegitu besarkah rasa takut Aleon sampai harus bersikap selayaknya orang asing pada Malinka? Bahkan Shelly juga turut andil dalam ‘sandiwara’ Aleon.

Faktanya, sandiwara Aleon dan Shelly bukanlah sekadar sandiwara dari dua manusia denial.

Pada hari-hari pertama Malinka mulai kebingungan tentang siapa dirinya, namanya, kehidupannya, Aleon secara pelan-pelan membantu menata ingatan sang ibu dengan mengenalkan diri sebagai anaknya. Di fase ini perilaku Malinka mulai berubah dan menjadi mulai curiga, bahkan caregiver-nya pun seringkali ia curigai sebagai penipu.

Hari-hari selanjutnya Aleon selalu mengenalkan diri menggunakan cara yang sama dengan maksud menjaga memori sang ibu. Namun di sinilah Malinka justru merasa terancam karena semakin hari, dia semakin sulit mengingat wajah seseorang dan tidak percaya kalau Aleon adalah putranya.

Alasan utama Aleon tidak mengakui Malinka sebagai ibunya karena Aleon tidak mau kehadirannya membuat Malinka semakin takut untuk menemuinya. Aleon memilih menjadi orang asing agar Malinka tidak pergi semakin jauh.

“Leon, kamu belum baca update terbarunya Sabiru, ya?” tanyanya, mengalihkan topik sebelum mengubah malam menyenangkan menjadi pilu.

“Eh? Emang ada update baru?” Benar kan, wajah setengah sendunya langsung berubah menjadi excited saat tahu akun penulis yang ia tunggu-tunggu ceritanya mengunggah chapter selanjutnya. Lelaki itu segera mengeluarkan ponsel dari saku. “Loh iya ada tweet baru semalem, kok notifnya gak masuk di aku, padahal aku nyalain notif.” dumalnya.

Perempuan di sebelahnya ikut tertawa. “Hahaha sama. Tumben juga aku belum dapet notif dari kamu, biasanya tiap aku cek notif pasti selalu nama kamu yang muncul pertama.”

Guliran ibu jari di atas layar ponsel akan berhenti dalam hitungan, 1…2…3

Aleon menoleh tak menyangka. “Anjani? Is eyesdontread you?”

I already told you, kalau mata nggak akan bisa membaca.” Senyuman tipis ditarik oleh Anjani. “Kalau sekarang udah berhasil baca?”

“Belum,” jawabnya. “Tapi setelah aku tau penulisnya kamu, aku rasa aku bisa menjabarkan semua kisah Sabiru yang selama ini udah aku baca.”

Cahaya kota berkilau semakin terang di bawah sana. Menit-menit terakhir menuju malam pergantian tahun, ledakan bunga-bunga api mulai bersaing sengit di atas langit untuk menjadi ledakan tercantik di awal tahun. Aleon melirik pada arloji, masih ada 15 menit terakhir.

“Jani, selama ini aku mengikuti kisah Sabiru dan aku pikir itu hanya kisah dongeng fantasi hasil imajinasi penulis. Aku gak tau apa yang terjadi sama Sabiru, gak pernah kebayang bentuk sangkar raksasa, dan kereta jelek? Kenapa dia harus takut dengan kereta? Dan keliatan juga dari respons pembacamu yang lain kalau ternyata gak cuma aku yang kesulitan mengimajinasikan kisah Sabiru.”

Anjani mendengarkan sambil berharap-harap cemas entah mengapa.

Lelaki itu mengangguk yakin. “Mata gak akan bisa baca. Sekarang aku ngerti, dari awal si penulis memang nggak pernah minta untuk dibaca imajinasinya, tapi ke siratan kisah sebenarnya yang kamu representasikan sebagai kisah seorang anak bernama Sabiru. Jani, now I know, you are Sabiru di dalam cerita itu.”

How?” Ekspresinya hampir menunjukan kalau dia kagum pada Aleon, tapi ia urungkan sebab Aleon belum memecahkan kisahnya.

First, itu bukan sangkar, tapi isi kepala kamu yang kamu ibaratkan sebagai kurungan sangkar. Gimana kamu bilang kamu terjebak di dalam duka bertahun-tahun, bahkan kehilangan diri kamu sendiri, that’s why you titled it as trapped in a cage cause you are trapped in grief.

Demi mengupas habis teka-teki pada tulisan Anjani, Aleon menggulir ulang unggahan kisah Sabiru sampai ke paling bawah.

He almost caught me,” sambungnya, membaca salah satu judul. “Di sini Sabiru menceritakan tentang benda-benda tajam.” Aleon berhenti untuk melirik sebentar ke arah Anjani, ia bisa melihat bagaimana pupil perempuannya membesar, dan wajah yang seperti tengah menahan napas karena untuk bagian ini Anjani khawatir jika Aleon tahu. Dia memulai lagi, “Ini bukan tentang Sabiru yang tertangkap oleh kereta jelek, tapi kamu. You who almost commit suicide for the umpteenth time. Sabiru berhasil, anak itu berhasil. Kamu berhasil bertahan Jani. You and your semicolon tattoo now it all makes sense.

“Kereta jelek yang selalu ingin mengajak Sabiru pergi juga bukan mau menculik, tapi membawa kamu pergi dari sini, dari dunia. Anjani, how genius you are… Selama ini, kamu lagi berusaha bertahan lewat tulisan itu, kamu mengalihkan hasutan-hasutan buruk di kepala kamu pada tulisan, to keep you sane.

Beberapa orang terlahir tanpa keberanian untuk berbicara, dan mereka yang memiliki keberanian bukan berarti memiliki kemampuan dalam berbicara. Anjani salah satunya. Ketika lisan tidak mampu menyuarakan apa yang kepalanya coba teriakan, pada tulisanlah ia menyimpan kisahnya untuk dibaca semua orang. Anjani menulis untuk dirinya sendiri, sebab dia selalu merasa didengar setiap kali orang-orang membaca tulisannya.

Panggilan Shelly sudah terdengar beberapa kali karena waktu semakin mendekati jam tengah malam, namun Aleon masih bergeming, matanya tidak lepas dari unggahan chapter Sabiru yang baru di baca malam itu. Semua kekacauan Baruna yang dia baca… seperti gambaran angin ribut yang berporak-poranda di dalam kepalanya, yang ia biarkan mengacau tanpa tahu harus berbuat apa.

So… Baruna is…

You,” jawab Anjani. “He looks much braver than Sabiru, but in fact, he is the weakest. Kalau Sabiru berusaha mati-matian untuk kabur dari sangkar, Baruna hanya pasrah sambil menunggu keajaiban semoga dia bisa turun satu lantai lagi. Baruna was trapped too deep in grief. Am i right, Leon?”

Lalu suara ledakan kembang api meluncur membelah langit. Ramai teriakan gembira dari orang-orang di sekeliling menembus dinding rumah masing-masing.

Tepat jam 12 malam, hari pergantian tahun.

Perempuan itu menoleh, melemparkan binar mata yang lebih gemilang dari letupan bunga api di langit. “Aleon, kalau kamu malu buat nunjukin perasaan kamu secara terang-terangan, kamu bisa taruh isi kepalamu ke dalam tulisan dan biarkan orang-orang asing itu membaca. Kadang, berbagi cerita ke orang asing memang jauh lebih nyaman. Dan aku pernah denger, kata Kak Olin tulisan kamu bagus. Mau ikut jadi pemilik akun eyesdontread dan ambil POV Baruna?”

Lelaki bermata coklat itu tertawa kecil. “Aku nggak pernah menulis cerita untuk publik sebelumnya. Kayaknya nanti malah bikin pembaca kamu ngerasain kalau yang nulisnya beda.”

Anjani mengangkat bahu. “Gakpapa. Semua orang mencoba hal baru di awal tahun.”


Akhir-akhir ini aku merasakan ada yang salah dengan memoriku, sampai-sampai sudah 2 kali aku membuat Ale dihukum saat upacara hari senin gara-gara aku lupa di mana menyimpan kaus kaki putih berlogo sekolahnya. Aku juga sering lupa menyimpan di mana selai coklat favorit Ale untuk ia sarapan sampai dia memilih untuk memakan roti tawar polosan sebab jika menungguku mencari selai anak itu sudah pasti akan kesiangan. Setiap kali aku minta maaf, responnya selalu sama,

“Yaaah ibu udah mulai tua sekarang, udah pikun hahaha, nanti aku catetin tempat nyimpen barang-barang yang sering ibu butuhin ya, biar kalau lupa ibu tinggal liat listnya.” Semakin hari dinding kamarku makin banyak ditempeli sticky notes warna-warni yang semuanya diisi oleh list penyimpanan barang yang ditulis Ale.

Kaus kaki sekolah di laci ruang tamu nomor 3, sepatu olahraga di rak lama, handcream gak pernah keluar dari pouch tas ibu. Ah, putraku itu memang sangat hafal kalau aku selalu melupakan krim tangan ketika pergi ke panti untuk bermain cello untuk anak-anak, jadi anak itu berinisiatif menyimpannya di dalam tas pergiku.

Ale nggak hanya menulis barang-barang yang sering aku lupakan di sticky notes. Tapi dia juga mencatat jadwal kegiatanku di ponsel lalu mengaturnya sebagai wallpaper. Lalu Ale akan mengganti wallpaper ponselku setiap satu minggu dengan jadwal yang baru.

Ale juga nggak pernah kecewa denganku, Ale nggak pernah malu dengan umur ibunya yang mulai menua, karena setiap kali aku melupakan barang Ale hanya akan tertawa sambil bilang, “Nggakpapa ibu, ibu kan punya aku, kalau ibu lupa, aku yang bakal ingat, nggak perlu khawatir.”

Tapi ibu yang khawatir, Ale.

Ibu khawatir kalau bukan hanya barang-barang yang ibu lupakan, tapi juga kamu. Yang suatu hari mungkin aku akan lupa kalau kamu adalah putra kesayanganku satu-satunya.

Karena semakin hari ingatanku semakin parah dan adikku Shelly semakin kuat meyakinkanku pada sesuatu yang selalu aku denialkan semenjak aku menyadari adanya kesalahan dalam ingatanku. Dan hari ini dia meyakinkanku lagi, kalau ini benar-benar bukan tentang menua. Dan aku tidak mau Ale tau.


Musim hujan mulai hadir, pemandangan awan mendung menjadi hal yang lebih sering dilihat dibanding pesawat yang mengudara di langit. Sampai hari ini, Anjani memang masih belum berhenti menganggap kalau orangtuanya ada di dalam pesawat-pesawat itu. Tapi semenjak rasa ikhlas berhasil mendominasi dirinya, Anjani sudah tidak pernah lagi memberi makan ego berisi harapan bahwa orangtuanya akan mendarat sebentar lagi. Anjani resmi berdamai dengan kehilangan.

Papi, Mami, kalau istana di atas langit jauh lebih indah dari bumi, telusurilah langit jauh lebih tinggi lagi, temukan titik langit terindah untuk tempat kita berkumpul kembali, suatu hari nanti.

Dari Anjani, yang telah ikhlas melepas.

​Sebait paragraf yang Anjani tulis pada kertas origami berwarna biru, siap untuk diterbangkan untuk pertama kali.

​Kehilangan ada bukan untuk meninggalkan rasa sakit, tapi kehilangan ada untuk belajar menerima akan berakhirnya sebuah kisah di satu chapter kehidupan, belajar untuk menelan rasa pahit saat membalik halaman baru tanpa hadirnya mereka yang hilang, dan belajar memahami kalau kehilangan adalah bagian dari hidup. ​ Malam itu, sepulang dari mengirimkan bertumpuk-tumpuk jar cookies, Anjani melipir ke supermarket untuk membeli bahan, sebab telah berjanji pada Aleon akan membuatkan kue ulang tahun.

Sesampainya di apartemen, perempuan itu membaca bolak-balik buku catatan kursusnya, menonton baking vlog di youtube, bahkan membaca ulang semua ulasan positif para pelanggan atas biskuit cokelatnya untuk meyakini diri berkali-kali.

Panggilan video dari Aleon masuk ketika Anjani sedang tenggelam di dalam rasa tidak percaya diri. Lelaki itu selalu datang di saat yang tepat seakan tahu kalau membuat Anjani merasa aman dan tenang adalah tugasnya. Aleon juga tahu bagaimana khawatirnya Anjani akan memberikan atmosfer canggung saat bertemu keluarga Shelly, terutama Hira, anak kecil selalu peka pada hal-hal yang membuatnya tidak nyaman dan Anjani takut mengacau.

Maka itu, sebelum benar-benar bertemu dengan keponakannya besok, Aleon sengaja memperkenalkan Hira lewat panggilan video lebih dulu supaya besok Anjani bisa benar-benar menikmati momen tanpa khawatir tidak bisa berbaur dengan keluarganya. Mereka berdua muncul sudah menggunakan topi-topian kertas untuk menyemangatinya. Dan anak perempuan berambut keriting itu menerima Anjani dengan hangat, bahkan Hira memberi panggilan kakak chef pada Anjani setelah melihat kue ulang tahun dengan tataan stroberi berhasil terpanggang sempurna.

“Kakak chef, aku mau coba kuenya! See you tomorrow!” teriak Hira sebelum telepon ditutup.

Beberapa menit kemudian setelah sambungan terputus, Aleon mengirimi voice note berdurasi 8 detik berisi, “Maaf aku udah gatel banget dari tadi nahan-nahan buat gak bilang ini di depan Hira, but Anjani how can you look so pretty in that pink apron?! Selamat sudah berhasil bikin kue strawberrynya kakak chef caaaantik, see you tomorrow!”


“Leon, kira-kira rasa kuenya beneran enak gak, ya?” Mungkin sudah lebih dari 5 kali Anjani mengulang pertanyaan sama sore ini, masih saja khawatir perihal kue buatannya.

Sama seperti biasanya, Aleon tidak pernah meninggalkan biola dan kalungan kamera pada lehernya setiap kali datang. Setelah turun dari motor, kedua remaja itu berjalan berdampingan memasuki panti. Gandengan tangan Anjani pada lengan Aleon membuat langkahnya yang biasanya besar-besar harus mengikuti gerak perempuannya yang gugup.

“Kamu mau aku jawab apa?”

Anjani memanyunkan bibir. “Yang pasti kalau kamu jawab enak, itu gimik banget sih, kan kamu belum coba kuenya.”

Lelaki itu berdeham. “Ummm, emang. Tapi aku percaya kalau kuenya bakal enak dan ini bukan gimik.”

“Apa yang bikin percaya?”

“Kamu. Aku percaya karena kamu yang buat.”

Sebelum sesi senyam senyum membuat Anjani dianggap seperti orang gila, Aleon lebih dulu menunjuk seseorang yang dari tadi telah mengintip di balik pintu masuk, Hira. Anak itu langsung berlari keluar begitu melihat keduanya mendekat.

“Aku tau kalian pacaran,” kata anak kecil sok mengerti itu tiba-tiba, “tapi ngobrol berduanya jangan lama-lama, aku dari tadi liatin kalian di parkiran lama sekali enggak berjalan-jalan.” Bibirnya merengut.

“Jalan-jalan.” Aleon membalas seraya menundukan badannya sejajar dengan kepala Hira yang hanya setinggi pinggangnya. “Nggak usah baku-bakuuu ah! Kan gak lagi ngomong sama bapak presiden.”

“Okey kakak Leon!”

Suara tawa Anjani menyambut.

Ini bukan pertama kali Anjani mendengar Hira berbicara sesuai kalimat EYD, berkali-kali ia tertawa melihat Aleon protes setiap anak perempuan itu mengeluarkan kata baku saat melangsungkan panggilan semalam. Karena terlalu sering menggunakan bahasa Inggris di sekolah, Hira akan mulai menggunakan kalimat baku sekalinya berbicara dengan bahasa ibu. Itu memang bukan masalah bagi Aleon, tapi kadang ia juga ingin berbicara santai pada anak 7 tahun itu tanpa harus merasa seperti sedang mendengar presentasi.

“Tidak apa-apa Hira, kalau dia protes terus, kamu bicara padaku saja.” Anjani menepuk-nepuk pucuk kepala Hira, turut mensejajarkan diri.

“Okey kakak chef!”

Ketiganya masuk dan segera disambut oleh Shelly, tugas Aleon untuk mengenalkan Anjani pada sang paman diambil olehnya, Shelly mengenalkan Anjani pada suaminya seakan-akan ia akan selamanya masuk di dalam keluarga itu. “Ini kuenya buatan kamu, Jan?” ucap suami Shelly dengan suara lantang yang ramah.

“Iya, Om. Semoga rasanya bisa diterima sama lidah semuanya ya, hahaha, aku agak gak pede sebenernya, udah lama gak bikin kue tart.” Jawaban itu dibalas oleh kibasan tangan dari suami Shelly seolah menyuarakan, tenang saja, kue ini tidak mungkin tidak enak. Lalu mereka berterima kasih.

“Kuenya terlihat enak.” Si kecil Hira memulai lagi. “Aku mau makan kuenya dong!”

“Boleh. Tapi nanti ya, tunggu Kak Leon selesai main biola buat para kakek dan nenek, nanti kita makan sama-sama,” sahut Shelly.

“Aku mau menonton.”

Aleon menjawab dengan intonasi bahasa baku yang sama. “Baik, kamu boleh menonton.”

Meski sudah lama Anjani tidak mengunjungi tempat ini, suasana ruang musik terasa sama begitu ia masuk. Deretan kursi sudah siap melingkari Aleon sebelum lelaki itu mengambil posisi tengah bersama biolanya. Masih teringat waktu dirinya ditahan oleh Yani agar tidak pergi dari sisinya, ia sangat merindukan wanita itu, tapi sayangnya Yani tidak hadir hari ini karena harus pergi ke rumah sakit untuk jadwal cek kesehatan.

Maka perempuan itu memilih untuk menduduki kursi kosong di sebelah Malinka. Seketika pikirannya teringat pada foto di dalam dompet Aleon.

“Kamu teman si pemain biola itu, ya? Sudah lama tidak melihat,” Malinka menyala lebih dulu.

“Ah iya, beberapa minggu ini banyak kegiatan yang bikin aku gak sempat ikut. Ibu apa kabar?”

Tidak menjawab, Malinka justru terfokus pada beberapa bulir keringat pada dahi Anjani, ia tiba-tiba menyeka dahi perempuan itu secara lembut. “Rambutmu diikat saja, nak, langit hari ini mendung tapi cuacanya panas.”

Sekaan tangan Malinka membuat Anjani bergeming sampai mulutnya bahkan terasa sulit untuk mengucap terima kasih. Ini mengingatkannya pada usapan terakhir tangan sang ibu sebelum pergi dan tidak pernah kembali, kehangatan itu begitu nyata sampai Anjani berharap kalau usapan tangan Malinka tidak akan pernah turun dari rambutnya.

Tarikan biola yang dimainkan Aleon sama sekali tidak membuat fokusnya gagal untuk menontoni interaksi Anjani dan Malinka. Bibirnya tertarik secara tak sadar saat melihat wanita itu mengikatkan rambut perempuannya. Ia juga berharap, andai waktu bisa berhenti selama sekian detik.

Setelah hiburan musik selesai, satu per satu lansia pergi meninggalkan ruangan, beberapa melipir menuju dapur karena aroma dari hidangan sore sudah memanggil sejak tadi. Begitu juga dengan Hira yang sudah berulang kali menanyakan kapan kuenya akan dipotong padahal kuenya saja belum diberikan pada Malinka. Si pembuat kue sedikit menyesal karena tidak terpikir untuk membuatkan Hira kue juga, tapi ia harap Malinka tidak merasa keberatan untuk membagikan kuenya pada orang lain.

Melihat bagaimana wajahnya semringah saat menerima kue itu, Anjani kembali bertanya-tanya alasan apa dibalik kue ulang tahun di hari selasa.

Dua puluh menit sudah Anjani menunggu sendirian di pendopo halaman semenjak Shelly mengajaknya ke sana untuk menunggu Aleon. Seusai bermain biola, Aleon pasti diperebutkan oleh beberapa teman lansia sebagai teman mengobrol, khususnya Martin yang sudah tak sabar mengajaknya berduel catur. Langit sore semakin menguning, perempuan itu gagal menerbangkan pesawat kertas sebab hari ini tidak ada tanda-tanda pesawat melintas.

“Kakak chef!” Hira tiba-tiba berlari dari dalam ruang santai, sudah memegang sepotong kue di atas piring kecil. “Kuenya enak sekali, aku suka.”

Anjani terkekeh dan mengusak lembut rambut anak 7 tahun yang duduk di sampingnya. “Ikut seneng kalau Hira suka, nanti aku bikinin juga, okey? Khusus buat kamu.” Lalu mengetukan jari telunjuk pada ujung hidungnya.

“Nggak apa-apa Kakak Jani, nanti kamu capek bikin dua kue. Aku kan bisa minta punya Tante Inka.”

“Hahaha kenapa kamu panggil Ibu Malinka pakai tante? Kok nggak nenek?”

Panggilan itu terasa sangat menggemaskan bagi Anjani. Walau usia Malinka cukup jauh dari penghuni panti lain, dan wajahnya yang masih sangat segar untuk umur 50-an terlihat belum cocok mendapat sebutan nenek, tetap saja wanita itu jauh lebih cocok mendapatkan panggilan nenek kalau dari Hira.

Hira mengangkat bahu sambil mulutnya tidak berhenti mengunyah. “Kata mama, aku memang harus panggil tante.”

“Oh ya? Kenapa?” Binar mata Anjani semakin menunjukan kalau ia gemas dengan anak itu.

Namun, kerlipan matanya memadam gelap ketika Hira menyuarakan jawaban yang membuat jantungnya berhenti untuk beberapa detik.

“Soalnya Tante Inka kakaknya mama. Tante Inka kan, mamanya Kak Leon.”

Tidak mungkin. Ini-tidak-masuk-akal.

Anjani hanya bisa memandang Hira dengan tatap penuh harap kalau anak perempuan itu hanya asal bicara. Mungkin maksudnya Shelly sudah menganggap Malinka seperti kakak sendiri atau saking sayangnya Aleon pada penghuni panti makanya ia mengakui semua sebagai orangtua.

Tapi, semua harapan itu hilang ketika Aleon datang. “Maaf, ternyata aku harus keduluan Hira,” jawab Aleon.

Matanya terlihat lembut seperti tidak memiliki kekacauan di dalamnya. Berbeda jauh dengan Anjani yang rahangnya telah mengeras, rasanya ia seperti baru terkena sambaran kilat.

“Hira, Kak Leon boleh pinjem kakak chef sebentar?” pintanya seraya mengelus rambut Hira.

Lelaki itu duduk bergabung di ujung pendopo setelah meminta izin pada Hira yang ekspresinya mendadak berubah bingung untuk diberi waktu berdua dengan Anjani. Tanpa banyak bertanya, Hira pergi masuk ke dalam panti.

Sunyi. Suara berisik air mancur di tengah kolam pun tidak mampu memecahkan keheningan di antara Aleon dan Anjani yang hanya bisa saling berpandang. Anjani seperti sudah menolak kenyataan yang sebentar lagi akan dia dengar. Dia takut. Dia khawatir. Khawatir kalau ternyata dunia sudah tidak lagi memiliki ruang bahagia di manapun, juga pada siapapun.

“Nggak mungkin, Hira bohong, kan? Hira cuma salah kalimat, maksudnya kamu udah menganggap Ibu Malinka sebagai ibu kamu… kan?” Berulang kali ia menegaskan suaranya yang mulai bergetar, berharap untuk segera diiyakan.

Sama sekali tidak ada kecurigaan mendalam waktu ia menemukan foto Malinka pada dompet Aleon. Setidaknya, tidak sejauh ini.

Lelaki itu belum menjawab apapun tapi semuanya seperti sudah terasa tidak masuk akal. Bagaimana bisa Aleon menyimpan ibunya sendiri di panti jompo yang masih dalam keadaan sehat? Kenapa Aleon tidak pernah mengakui kalau Malinka adalah ibunya dan bertingkah seakan wanita itu adalah orang asing? Isi kepalanya ribut. Terlalu cepat untuk merasa marah, tapi juga terlalu takut akan seluar biasa apa luka yang sebenarnya dipendam oleh Aleon seorang diri.

Anjani menggenggam kencang punggung tangan lelakinya. Semakin Aleon diam, rasa sakit semakin menusuk dadanya. Untuk sekadar memikirkan kalimat pertanyaan saja kepalanya seperti tidak sanggup. Karena ia mengerti, tidak mudah bagi siapapun untuk menceritakan luka. Sambil mengelus-elus lembut punggung tangannya, Anjani berusaha menenangkan degup jantung sendiri dan membiarkan Aleon tenggelam dalam sendunya sampai ia siap bercerita.

Aleon menunduk dengan mata terpejam untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya berani mengangkat wajah, lalu melempar pandang pada Malinka di balik jendela ruangan tadi.

Pandangan Aleon terlihat jauh. Karena, bukan hanya Malinka yang ia lihat, tapi ia juga memandang jutaan momen yang telah mati di dalam jiwa Malinka.

“Anjani,” Lelaki itu membuka suara. “Mungkin kamu lupa, kalau selama ini kamu hanya berspekulasi sendiri tentang apa yang terjadi sama aku, juga orangtuaku. Walau memang kamu pun gak sepenuhnya salah.

“Ayahku meninggal karena kecelakaan kerja waktu aku masih berusia 15 tahun. Tapi ibu,” Aleon tertawa kecil, kepalanya menggeleng lemah, “aku sama sekali gak pernah bilang kalau ibuku sudah meninggal. Saat ini kamu sedang melihatnya. Her. Malinka is my mom, Jani.” Katanya sambil tersenyum dan kembali memandangi Malinka di sana.

“Tapi… kenapa kamu gak pernah bilang?”

You never ask, and I don’t want to be asked by anyone.”

Melihat bagaimana Aleon terus menjaga senyumnya agar tetap tertarik adalah pemandangan yang mampu mengoyak jantungnya. Terlebih lagi, ia kembali teringat pada ucapan Olin. Kamu akan lebih merasa bersalah kalau gak tau apa-apa tentang Leon. Tidak, ini lebih dari sekadar perasaan bersalah.

Selama ini, ada sosok yang tengah mati-matian melanjutkan hidupnya di tengah kegelapan dunia. Dunia yang sama gelapnya dengan dirinya. Rasa khawatirnya untuk mengganggu ketenangan Aleon malah membuatnya seolah menyuruh lelaki itu untuk terjun ke dalam rasa sakit sendirian.

“Leon, aku gak melarang kamu untuk menjadi kuat, tapi tolong jangan terlalu kuat.” Anjani semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Aleon, genangan air mata mulai memburami pandangannya.

“Anjani, justru aku diam karena aku gak sekuat kamu. Aku gak pernah berusaha kuat karena terlalu sibuk untuk kabur. Aku gak mau inget semua fakta yang terjadi sama ibu. A-aku…,” Akhirnya, senyum Aleon runtuh bersamaan dengan tetes air mata di atas punggung tangan Anjani. “Aku gak mau mengingat kalau Ibu Malinka adalah ibuku yang selama ini selalu aku cari keberadaannya, Jani. Karena pada kenyataannya, ibu memang udah nggak ada di sini.”

What happened to your mom?”

She has YOAD, young onset alzheimer’s disease, hanya di bawah satu persen kasusnya untuk seseorang mengalami Alzheimer sebelum usia 65 tahun. Tapi sayangnya, ibu harus masuk ke dalam kurang dari satu persen orang yang mengalami Alzheimer dini. Ingatan ibu,” Suara Aleon melemah. “Semakin hari semakin hilang sampai dia lupa kalau beliau punya anak. Ibu ada di panti ini, bukan tanpa alasan.”

Masih belum diketahui penyebab Alzheimer di usia relatif muda, tapi pada sebagian kasus disebabkan oleh faktor genetik dan itu juga kemungkinan yang terjadi pada Malinka. Penurunan sel-sel saraf neuron pada otaknya mempengaruhi kemampuannya dalam mengingat, berinteraksi, serta membuat perubahan pada kepribadiannya. Malinka yang dulunya aktif berbicara hingga mampu membuat banyak orang jatuh hati pada keramahannya kini berubah menjadi pendiam. Jari jemarinya tidak lagi kenal dengan senar-senar cello sebab Malinka telah melupakan bakat dan rasa cintanya pada musik.

Lalu saat tingkat keparahannya semakin bertambah, penyakit itu berhasil merenggut ingatannya pada putra satu-satunya.

Lelaki itu menarik napas panjang sebelum menyambung kalimat berisi fakta yang sampai kapan pun tidak pernah mau ia terima.

“Jani, kamu boleh bilang aku durhaka karena bertingkah dan juga menyuruh Tante Shelly untuk menganggap ibu sebagai orang asing setiap kali di depan aku. Tapi kamu harus tau, kalau ini adalah cara melindungi diri paling menyakitkan buat aku. Lebih sakit dari mengingat kalau ibu udah gak lagi kenal aku, lebih sakit dari kenyataan kalau sekarang ibu mengenal aku sebagai pemain biola yang selalu bawain dia kue di hari selasa, bukan sebagai anaknya.

“Anjani… aku kangen ibu, a-aku kangen ibu ada di sini.” Aleon menjatuhkan diri ke dalam pelukan Anjani.

“Jangan pernah bilang kalau kamu gak lebih kuat dari aku, you are stronger than everyone I’ve ever met. Dan ibu, ibu selalu ada di sini, Leon.”

Air mata keduanya tumpah, membasahi bahu masing-masing di antara pelukan dua manusia tanpa rumah. Memang tidak ada rasa sakit yang dapat dibandingkan, namun kehilangan dia yang wujudnya masih bisa kita temui setiap hari itu lebih dari sekadar pembunuhan.

Dan apa yang dialami oleh Aleon, jauh dari sekadar kematian.


Di tahun 1590, penggunaan ‘cerulean’ tercatat sebagai nama warna dalam bahasa Inggris untuk pertama kali—diketahui bahwa itu merupakan nama pigmen yang ditemukan pada akhir abad ke-18. Birunya sangat stabil, tidak terlalu kehijauan ataupun keunguan, sehingga sangat berharga bagi lukisan artistik langit untuk merepresentasikan warna langit yang nyata. Bersumber dari dua kata latin. Pertama, cerulean berasal dari kata caeruleus, artinya biru tua, biru, biru-hijau. Namun pada gilirannya, mungkin bisa diambil dari kata caerulum, yg berarti surga atau langit.

Itu informasi yang Anjani tangkap di internet waktu pertama kali menyadari kalau biru langit adalah warna favoritnya. Kala itu usianya masih 13 tahun, setelah bertahun-tahun satu kamar dengan Atharya, mereka berdua akhirnya diberi kamar masing-masing dan warna cerulean menjadi pilihan warna cat dinding yang ditunjuk sang ayah untuk kamar Anjani.

Berulang-ulang ia membaca asal usul warna cerulean dan selalu berhenti di bagian ‘yang pada gilirannya mungkin berasal dari kata caerulum, berarti surga atau langit’. Memang kapan gilirannya untuk mengartikan kata cerulean sebagai surga dan langit?

Sampai hari hilangnya pesawat yang ditumpangi kedua orangtuanya tiba, berabad-abad dari kali pertama cerulean ditetapkan sebagai warna, akhirnya Anjani mampu memahami. Mungkin sekarang gilirannya.

Ayahnya memilih warna cerulean agar Anjani bisa terus merasa ada di bawah kedamaian langit biru. Langit tidak pernah lelah memberi peluk kedamaian, burung-burung yang terbang mengikuti iringan angin seolah mengartikan ada kebebasan di atas langit yang tidak bisa dijumpai saat kaki berpijak pada tanah. Saking damainya, langit biru pun mampu memberikan rumah permanen bagi mereka yang hilang di balik awan.

“Cerulean sebagai surga atau langit,” Anjani mengikat uraian rambutnya, tidak lagi menyembunyikan tato kecil di atas tengkuknya pada Akhailan yang bergeming dari dalam layar. “Mas Ai, mungkin sekarang gilirannya. They were engraved within the word cerulean.

Seperti biasa panggilan video selalu mejadi rutinitas tiap malam semenjak Akhailan tiba di Dubai. Malam ini, Anjani telah meyakini kalau inilah saatnya, sudah cukup ia menyembunyikan rahasia kecil dari kedua saudaranya. Walau tak bisa dibohongi, kedua telapak tangannya sudah mendingin dari detik pertama wajah kakak lelakinya muncul di dalam layar, ia menjelaskan arti kata tersebut tanpa berani menatap mata Akhailan. Perempuan itu khawatir kalau Akhailan tidak memiliki pandangan baik pada mereka yang memiliki tato, terlebih lagi, peluangnya untuk mendapat omelan akan lebih besar karena baru berani jujur setelah satu tahun tinta hitam itu terbenam di kulitnya.

​Saking khawatirnya, ia berbicara sembari menggenggam secarik contekan di tangannya. Anjani mencatat kata tiap kata pengakuan yang sebagian besar ditulis oleh Aleon tadi sore. Aleon menerjemahkan sorot ketakutan dari mata Anjani dengan sangat baik, lewat getaran matanya, intonasi menggebu, kalimat terbata-bata yang bahkan Anjani sendiri tidak tahu bagaimana cara meluapkan kepanikannya pada Akhailan. Semua emosi yang tidak bisa diinterpretasikan secara baik, namun dibaca dengan baik oleh Aleon.

​“Anjani,” panggil Akhailan, sama sekali tidak terdengar nada suara menyenangkan. “Kenapa baru bilang sekarang?”

​Perempuan itu semakin yakin untuk menundukan wajah. “Maaf, Mas… You can blame me, tapi boleh kan, aku dapet izin untuk tatonya? I-it means a lot buatku.” Katanya terbata-bata.

​“Kenapa baru bilang sekarang?” Akhailan mengulang pertanyaan.

​“Maaf—”

​“Kalau kamu bilang dari awal, kamu gak akan simpan tato itu sendiri. I’ll get mine too.” ​ Tidak percaya dengan apa yang ia dengar, Anjani mengangkat wajah tak menyangka, ia mendapati Akhailan tengah tersenyum kepadanya. Tidak ada sorot marah yang tampak barang sedetik. ​“I love your philoshopy. Should I get mine too?” sambung lelaki itu.

​“Mas Ai, kamu… nggak marah?” Raut ketakutan pada wajah Anjani seketika meluruh.

​“Kenapa aku harus marah pada sesuatu yang udah menolong kamu untuk bertahan? I saw a semicolon there, kalau kamu menyimpan harapan dan semangat untuk melanjutkan hidup di dalam sana, kenapa aku harus marah? Jani, Mas gak akan menghakimi darimana kamu mendapatkan energimu kembali. Selama Mas bisa lihat senyum kamu balik, I’d love to see it.” Akhailan berdeham, pura-pura bersedekap seraya menyimpan jari telujuk di dagunya. “Kecuali, tujuan kamu bikin tato untuk menyakiti diri seperti alasan kamu piercing, baru Mas marah.”

Dengan seutuhnya Anjani bisa mengembuskan napas yang dari tadi tercekat. ​Ia terkekeh seraya menggeleng. “Hahaha, aku udah gak punya pemikiran itu lagi, Mas. Setiap keinginan itu muncul, aku udah berhasil mengalihkan bisikan-bisikan itu ke suatu hal yang lebih baik.”

​Akhailan menarik senyum penuh perasaan lega. “Thank you for not hurting yourself anymore, Jani…” ​ “Udah sejak lama aku mulai sadar kalau menyakiti diri sama sekali gak membuat keadaan jadi lebih baik. Dengan menyakiti diri, secara gak sadar justru aku malah semakin membiarkan rasa sakit itu menang, aku semakin gak punya celah untuk sembuh karena aku dikuasai oleh luka. Aku… mau bahagia lagi, Mas,” lirih Anjani.

​“You will, Jani. Kamu, Atha, aku, kita bertiga akan sama-sama kembali bahagia. Walau papi sama mami udah gak di sini, tapi perasaan bahagia yang mereka kasih selama mereka hidup, akan tetap di sini.”

​Bibir Anjani sama-sama mencetak senyum manis. “Mas Ai, aku janji, I won’t hurt myself anymore.”

​Dari luar kamar, diam-diam Atharya telah menyimak percakapan yang terjadi antara saudara kembar dan kakak lelakinya sejak tato bertulis cerulean terkuak. Lelaki itu ikut mengembuskan naps lega. Sambil menyandarkan tubuh pada dinding, dia bergumam dalam hati, “Mas Ai, Anjani, aku janji untuk gak akan berpura-pura bahagia lagi. Let’s be happy, now the storm finally stopped.”

​Pintu kamar yang dari tadi tidak tertutup rapat terbuka.

​“Loh, lo di sini dari tadi?” tanya Anjani dengan ekspresi sedikit terkejut.

​Bukannya menjawab pertanyaan, Atharya malah ikut bertanya. Sebuah pertanyaan yang sama dengan Akhailan setelah mendapati tato bertulis cerulean.

Should I get mine too? I love your philosophy.” ​