307; A plan
Berkat bantuan Atha, aku bisa mempertemukan Kak Dylan dengan Kak Farras.
Aku sudah sering melihat Kak Dylan beberapa kali, lewat foto, ada lumayan banyak foto-foto Kak Dylan selama berkegiatan mengajar di kamera Aleon. Lelaki yang selalu telihat lebih menonjol di antara kumpulan orang-orang di dalam foto, mata siapapun akan dengan mudah mengarah pada Kak Dylan tanpa ia perlu berpose keren, ternyata aslinya juga begitu. Ada banyak orang-orang yang duduk bersantai di kursi panjang dekat air mancur di depan gedung kesenian, menikmati udara malam, tapi Kak Dylan sangat mudah untuk ditemukan walau dia sedang menunduk fokus mengecek ulang lembaran proposal yang nanti akan diberikan pada Kak Farras, kemeja biru denimnya membuat kulit putih Kak Dylan menyilau dua kali lipat walau hari sudah gelap.
Dia melambaikan tangan begitu Atha memanggil dari kejauhan, dia juga tersenyum, memunculkan dua lesung pipitnya yang sama-sama menyapa kami.
Setelah bertukar sapa, aku dan Kak Dylan saling berterima kasih lalu berkenalan singkat, kami langsung masuk ke dalam gedung, menyambung percakapan di sepanjang langkah sekaligus aku menjelaskan ulang planning-ku pada Kak Dylan karena curiga banyak kalimat yang dilebih-lebihkan di versi Atha. Kami bertiga telah membuat janji dengan Kak Farras di sini, gedung kesenian maheswara.
Suasana gedung ini terasa sama sunyinya seperti kali kedua aku mengunjunginya, entah sunyi karena sedang tidak ada pertunjukan atau karena sisa kenangan Aleon pada gedung ini sekarang ikut berpindah kepadaku.
Di depan pintu auditorium satu, seorang wanita berambut panjang bergelombang telah menunggu kedatangan kami dengan menyuguhkan senyum sempurnanya yang begitu cantik. Aroma parfum Kak Farras bahkan bisa kucium dari jarak 5 langkah, aku tidak terlalu bisa mendeskripsikan wangi seseorang, tapi sepertinya aku mencium wangi green pear dengan perpaduan manis bunga jasmine? Dia cantik. Aku rasa dia bisa kujodohkan dengan Kak Dylan kalau saja dia tidak punya pacar.
“Halo!” sapanya. Suaranya lembut sekali, benar-benar cocok dengan parasnya yang anggun.
Kami saling berjabat tangan. Setelah memperkenalkan Atha, aku memperkenalkan Kak Dylan.
“Kak Farras, ini Kak Dylan, ketua pelaksana dari organisasi rumah cemara yang mau kolaborasi projek bareng sanggar maheswara.” Lalu lelaki itu membungkuk sopan.
“Ah, it such an honor bisa langsung ketemu Dylan! Ayo, kita ngobrol di dalem,” ajaknya seraya berjalan masuk.
Auditorium ini lebih besar dari ruang kedua yang kemarin aku dan Aleon kunjungi, secara interior susunannya tidak jauh berbeda, hanya saja jumlah kursinya lebih banyak dan panggungnya lebih besar, di atas sana tidak hanya ada satu piano tapi juga 2 buah cello dan 1 harpa. Kesan hangat dari cahaya-cahaya lampu keemasan membuat ruang ini lebih terlihat sebagai panggung pementasan klasik.
Selagi Kak Farras dan Kak Dylan berjalan di depan kami—sepertinya sudah mulai membicarakan projek rumah cemara, Atha berbisik kepadaku.
“Jan, are you sure?”
“Why?”
Atha memiringkan kepala, “Oke juga lo gue liat-liat jadi pencetus ide projekan orang, projek gede lagi.” Lalu dia menoyor kepalaku.
Aku menoyor balik. “Ya, karena gue butuh bantuan mereka juga sih. Gue nggak mampulah handle acara-acara begini sendirian, ditambah nyewa auditorium, belum anak drama, orchestra? Masa tunggu gue punya pabrik kue dulu. Kecuali kita adiknya ci Valen.”
“Ci Valen?” Atha menyatukan alis. Kami masih berbisik-bisik.
“Valencia Tanoesoedibjo.”
“Akrab lu ci valen ci valen.” Aku ditoyor lagi. “Baiklah, aku mendukung keculasanmu.”
“Heh?! Itu tuh simbiosis mutualisme tau.” Terakhir, aku membalas dengan menyentil jakunnya.
Kak Farras mengajak kami untuk duduk ke barisan kursi paling depan,. Perempuan itu duduk di antara aku dan Kak Dylan, lalu Atha yang hari ini akan berperan sebagai kambing conge duduk di sebelahku.
“Aku udah dapet sedikit bayangan dari projeknya Dylan,” Kak Farras memimpin obrolan, dia telah membolak-balik lembaran proposal milik Kak Dylan. “Sebenernya ada info nyelip yang belum aku ceritain nih Jan kemarin. Timeline projek rumah cemara itu hitungannya bareng sama projek rutinan sanggar maheswara.”
Aku memasang telinga, seluruh pandanganku hanya berfokus pada Kak Farras.
“Sanggar maheswara punya acara rutinan?” tanya Kak Dylan.
Kak Farras mengangguk seraya tersenyum. “Di kuartal kedua dan keempat tiap tahunnya, sanggar maheswara selalu menyelenggarakan pementasan gratis untuk umum, kuotanya memang nggak banyak sih, biasanya paling banyak pun 100 kursi. Jadi pendaftarannya rebutan gitu, formnya cuma di-share di akun sosial media punya sanggar. Semacam limited invitation untuk temen-temen yang ngikutin acara-acara sanggar. Makanya waktu aku denger-denger sedikit info dari Anjani tentang rumah cemara, aku rasa ini bisa diajak diskusi lebih lanjut.”
“Oh, kayaknya aku pernah tau.” Atha tiba-tiba merespons, kami bertiga menoleh.
“Kamu pernah nonton, Tha?” tanya Kak Farras antusias. Sungguh, pembawaan wanita itu benar-benar sangat menyenangkan.
Atha menggeleng. “Ada temen aku, kalau nggak salah akhir tahun lalu mau nonton violin concer gratis, dapetin undangannya rebutan. Apa jangan-jangan maksudnya itu acara punya sanggar maheswara, ya?”
“Iya! Di kuartal 4 tahun kemarin sanggar maheswara nampilin pementasan biola.”
“Violin concert? Serius?” sambungku. “Yah, sayang banget aku gak pernah tau.”
“Nggak selalu konser biola.” Kak Farras menjawab lagi. “Pentasnya beda-beda. Makanya untuk temen-temen maheswara, kita nyebut mereka yang ikutin sanggar maheswara sebagai temen-temen by the way, kenapa acara ini selalu ditunggu-tunggu salah satunya karena isi pentasnya selalu surprise. Bisa konser musik instrumental, choir, musical drama, dan lain-lain!”
“Kereeen, baik banget sanggar maheswara mau kasih pementasan seni secara cuma-cuma tiap tahun. Yang kita tau kan harga tiket acara simfoni gitu gak murah.” Kak Dylan membalas, lesing pipitnya pasti ikut muncul saat dia berbicara.
“Memang itu alasan eyang mengambil hak milik gedung kesenian ini. Beliau pengen kalau suatu saat punya aula sendiri, bisa tampilin pementasan yang bisa ditonton secara gratis.” Kata Kak Farras. “Menurut eyang, semua orang perlu menikmati pertunjukan seni setidaknya sekali seumur hidup. Gemaan musik orchestra yang didengar di dalam aula itu nggak akan bisa ditemui di manapun, orang-orang bisa menemukan dunia baru di dalam sana.”
Perihal dunia baru yang ditemukan, Ibu Malinka juga ingin menciptakan ruang aman lewat musik. Dia berharap senandung melodi yang dimainkan dapat memandu jiwa-jiwa lelah untuk beristirahat sejenak sebelum kembali mencari asa yang hilang.
“Nah, setelah tau tentang charity project rumah cemara, lalu secara timeline juga kita barengan, aku jadi kepikiran ide.” Sekarang wanita di sebelahku menoleh pada Kak Dylan. “Dylan, gimana kalau projek kalian tahun ini kolaborasi bareng sanggar maheswara? Nanti, 100% dana yang kita dapetin dari projek ini, entah dari tiket masuk atau lainnya, kita sumbangkan ke pihak-pihak yang membutuhkan. Gimana?”
Mendengar itu, Kak Dylan tersenyum semringah seakan satu beban pikirannya terselesaikan. “Ide bagus. Super duper setuju,” sahutnya.
Dan aku yang dari tadi menyimak obrolan mereka, diam-diam menarik senyumku yang bahkan bisa jauh lebih lebar dari dua orang pemilik projek itu sendiri, Atha juga menyenggol pelan lenganku sebagai maksud kalau aku berhasil. Angan-angan selewat yang tidak tahu kenapa bisa terlibat di dalam kepalaku tiba-tiba akan benar direalisasikan dengan bantuan beberapa pihak. Mungkin bisa dibilang privilege, but I’m grateful to have the privilege, lewat orang-orang dan lingkungan yang ditinggali Mas Khai juga manusia-manusia keren di sekelilingku.
Aku berharap, projek ini tidak hanya memberi kenangan baru untuk Aleon, tapi juga sebagai bentuk dukungan kecil kami yang bisa diterimanya dalam proses berdamai pada suatu hal yang perlu diikhlaskan.
“Kalau gitu ini proposalnya aku ajuin dulu ke tim ya, nanti pasti aku bantu jelasin ulang biar di-acc!” ucap Kak Farras setelah menerima satu map dari Kak Dylan. “Nanti semisal udah dapet kabar dan disetujui sama pihak sanggar, aku kabarin lagi untuk meeting lanjutan. Kira-kira mau langsung ke Dylan aja atau gimana, Jani?”
Pertanyaan itu memecah lamunanku. “Langsung ke Kak Dylan aja kak, role-ku udah selesai sampe sini aja kok, hahaha.”
“Anjani, Atha, makasih banyak ya.” Sambil tertawa kecil juga, Kak Farras menjabat tangan kami berdua. “Aku tuh sempet kaget waktu Izza bilang ada temennya yang mau ngobrol penting sama aku, bingung, kok bisa tiba-tiba mau ngobrol padahal aku belum pernah kenalan langsung sama temen-temennya yang di Dubai. Eh, ternyata mau ngenalin kamu, yang katanya abis stalking instagramku,” sambungnya sambil sedikit menggodaku dengan sunggingan bibir.
Aku hanya bisa tertawa… karir. “Hehehehehehehehehehehe iya hehehehe.” Malu.
“Khai udah pulang ke Indonesia?”
“Belum, katanya masih ada yang perlu diurus, mungkin paling lama bulan depan.”
“Looking forward to hearing good news from you soon, Kak Farras, makasih banyak.” Kata Kak Dylan sembari berjabat tangan. Setelahnya, Kak Dylan juga ikut berterima kasih padaku.
Di sinilah aku mendapat celah untuk membicarakan rencana pribadi yang kutahan-tahan dari tadi karena menunggu keputusan terlebih dulu.
“Kak Farras, Kak Dylan,” panggilku. Tatapan mata dari keduanya membuatku menjeda kalimat, memilah ulang lagi kata-kata yang ingin kusuarakan sambil berdeham. “Sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan paling semangat atau mengatur acara kalian, tapi, boleh nggak kalau aku kasih saran untuk projek acaranya? You guys can take it or leave it, kok…” Aku sedikit merasa tidak enak.
Mungkin Kak Farras merasakan kegugupanku, karena tiba-tiba dia langsung merangkul sebagai ucapan ya. Sama halnya dengan Kak Dylan yang juga membolehkan. “Silakan, Jan, gak usah sungkan, kan kamu juga yang jadi pencetus ide dari awal.” Katanya ramah.
Walau respons keduanya sangat amat baik, tapi tetap saja aku perlu menggenggam jari kelingking Atha sebelum berbicara. Ini sudah jadi kebiasaanku sejak kecil, kalau aku gugup dan ketakutan lalu ada Atha di sebelahku, aku akan menggenggam apapun yang bisa kugenggam darinya, kadang ujung baju atau salah satu jarinya.
“Tentang Leon,” kataku, “aku kemarin udah sempet cerita sedikit ke Kak Farras, Kak Dylan juga mungkin udah denger cerita yang sama dari Atha tentang Leon dan gedung kesenian maheswara. Kalau boleh aku kasih saran, gimana kalau buat projeknya bikin musical drama? Aku punya satu judul cerita yang kita tulis bareng-bareng, Leon gak tau apa-apa tentang rencana ini, but this story has meaning for us, sekiranya setuju, boleh gak kalau aku ajuin ceritanya untuk dijadikan pentas? Aku udah bawa salinan outline-nya barangkali mau Kak Farras atau Kak Dylan review.”
Walau sedang membelakanginya, tapi aku bisa merasakan tatap penuh pertanyaan dari Atha lewat ekor mataku, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang rencanaku yang ini dan tentang akun eyesdontread.
Sebetulnya pun aku agak merasa bersalah untuk membeberkan cerita yang kami tulis secepat ini tanpa sepengetahuan Aleon, tapi rasanya akan sangat merumitkan kalau terlalu banyak rahasia di antara aku dan orang-orang yang terlibat dalam projek ini, sedikitnya mereka perlu tahu. Untuk sebagian cerita lain, tetap aku berikan hak penuh pada Aleon, sang pemilik kisah, untuk membagikannya ke orang-orang jika sudah siap.
Wanita itu mengangguk. “Boleh aku liat?” pinta Kak Farras. Tanpa basi-basi aku segera mengeluarkan salinan outline yang sudah aku cetak dari dalam tas, aku juga sudah menambahkan makna tersirat dari kisah Sabiru dan Baruna agar lebih mudah dipahami. Lalu mereka berdua membacanya bergantian.
Selang beberapa saat aku hanya melihat Kak Dylan sesekali mengangguk, dia sempat memuji kalau kisah yang kami tulis sangat menarik, namun untuk urusan pementasan ia akan serahkan sepenuhnya pada sanggar maheswara. Jadi yang harus kutunggu sekarang adalah jawaban Kak Farras. Reaksi wajah seriusnya yang daritadi tidak berubah membuat jantungku berdegup cepat.
Lagi-lagi Atha menginterupsi, “Cerita apa? Kok gue gak tau?” Atha bertanya dengan berbisik-bisik lagi.
“Nanti aja.” Aku mengibaskan tangan.
“Nulisnya di mana? Kok gue gak tau? Thread cerita horror yang suka dibaca Leon itu? Punya lo berdua?”
“Ssssh, nanti aja.”
“Kok gue gak tau?” Masih bawel.
“Ya karena gue gak ngasih tau!”
“Gitu!” Atha melepaskan pegangan tanganku pada kelingkingnya, ngambek, namun aku segera mengambil kelingkingnya lagi.
“Ini serius kalian yang buat?” Pertanyaan Kak Farras berhasil melerai sesi berbisik kami.
Aku mengangguk.
“Wow, unik banget, aku pribadi suka. Sanggar maheswara belum pernah nih kasih pementasan dengan tema dongeng kayak gini. This feels like a fairytale, brilliant, penulisan outline-nya juga rapi lagi. Oke, outline kamu juga bisa aku ajuin ke tim, tapi sebelumnya aku nggak bisa sepenuhnya memastikan ya Jani, tapi aku pasti akan mengusahakan semuanya sebisaku, no worries. Kalau dari Dylan, gimana?” Sekarang wanita itu menoleh pada Kak Dylan.
“Aku suka jalan ceritanya.” Lelaki itu mengacungkan ibu jari padaku, aku menunduk malu seraya menggumam kata terima kasih. “Untuk bagian pertunjukan aku serahin ke sanggar maheswara.”
“Oke kalau gitu, dua ide ini fixed aku bantu ajuin ya, paling lama aku kasih kabar ke Dylan dua minggu lagi. Ada tambahan lagi gak?”
Kami semua menggeleng, termasuk Atha yang dari tadi banyak diam namun banyak menyimak.
“Oh, Kak Dylan!” Ada satu hal yang terlupakan.
Pandangannya mengarah padaku.
“Semisal projek ini jadi berjalan, boleh rahasiain keterlibatanku sampe hari H nggak? Leon jangan tau dulu, termasuk cerita apa yang mau dipentasin. Kira-kira bisa gak ya, Kak Farras?” Aku juga meminta saran dari Kak Farras.
“Buat urusan itu bisa kok menurut aku. Soalnya kita kan kolaborasi, bagian pementasan akan sepenuhnya di-handle sama sanggar, jadi kalau anggota rumah cemara gak tau detail sampai ke alur dramanya pun gak akan jadi masalah, yang penting rundown keseluruhan acaranya aja. Tinggal sekadar bilang drama musikal tentang anak yang mencari kebebasan, udah cukup.” Sarannya ditutup dengan suara tawa.
Belum sempat menyahut, Kak Dylan lebih dulu melanjut. “Bener. Aman, ini nanti kita buat plan bareng anak-anak yang lain aja, Jan, di belakang. Eh, tapi ini anggota lain boleh tau nggak kalau kamu terlibat?”
“Gakpapa dikasih tau, justru biar lebih enak kucing-kucingannya, banyak yang bantu.” Jawabku disambi tawa. “ Cuma kalau masalah cerita Sabiru, nanti aja dikasih taunya seiring berjalan. Aku minta tolong bantuannya untuk make sure kalau anggota lain gak akan bocorin ke Leon ya Kak Dylan.”
“Gampang, ini gue juga bakal bantu urus. Gue boleh join bantu-bantu juga kan Kak Dy?” ujar Atha tiba-tiba.
Kak Dylan terkekeh, mengangguk-angguk. “Lebih banyak yang bantu, lebih bagus. Setau aku kamu juga kenal sama beberapa anggota kan, Jan? Circle-annya Leon.” Dia menoleh padaku lagi.
“Iya, kenal.”
“Nanti aku kabarin mereka-mereka duluan, supaya kucing-kucingannya lebih gampang.” Kak Dylan meniru ucapanku sambil terkekeh.
Aku menyetujui. Kak Farras yang ikut menyimak pun mengangguk-angguk.
“Eh iya, hampir lupa!” Baru dua detik obrolanku dan Kak Dylan berhenti, Kak Farras sudah melanjut lagi. “Jan, ini ceritanya belum ada judul ya? Atau kamu kelupaan tulis judulnya?” tanyanya.
Benar, aku dan Aleon memang belum menemukan judul yang cocok untuk kisah Sabiru dan Baruna. Tapi saat ini rasanya aku seperti mendapat dorongan untuk mengucapkan satu judul dengan pasti. Satu nama yang muncul secara otomatis saat itu juga.
“A Tale of Cerulean Sky.” Kataku yakin.
Pertemuan kami malam ini diakhiri dengan ucap terima kasih yang seperti tidak ada habisnya. Malam ini, gedung kesenian maheswara menunjukanku akan hal-hal penuh syukur. Rencana Tuhan tidak pernah bisa ditebak, orang-orang pemberian-Nya tidak dapat ditebak. Namun yang selalu bisa dipastikan adalah Tuhan tidak pernah mempertemukan hamba-hambanya tanpa alasan. Kita semua bertemu untuk saling memberi dan mengajarkan sesuatu.
Obrolan selesai.